Oleh: Mayang Puti Ifanny
(Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Beberapa pikiran akan terlintas saat mendengar istilah generasi sandwich. Bukankah sandwich awamnya dikenal sebagai makanan, mengapa menjadi suatu generasi? Ketika mendengar kata sandwich, beberapa orang akan membayangkan roti berlapis sayuran seperti timun, salada maupun tomat bila suka. Disusul dengan lipatan telur dadar yang menyesuaikan besarnya roti, tidak lupa olesan saus sambal. Berlapis-lapis, begitu visual sandwich. Akan tetapi, melihat dari sisi lain, istilah ini menarik untuk dikupas sebab istilah ini sering digunakan bagi mereka yang merasakan tanggung jawab berlapis dalam keluarga.
Istilah generasi sandwich bukanlah perihal trend yang baru-baru ini ada. Generasi sandwich merupakan istilah yang dipopulerkan oleh seorang profesor pekerja sosial di Amerika Serikat, yakni Dorothy A. Miller (1981). Generasi sandwich merujuk pada sebuah generasi yang berada pada posisi “terhimpit” di antara dua generasi yang berbeda, yaitu berada di antara orang tua mereka yang mulai menua dan di sisi lain keberadaan anak-anak mereka, ataupun saudara mereka yang masih membutuhkan bantuan dengan umur berkisar antara delapan belas tahun atau lebih (Khalil & Santoso, 2022).
Istilah ini adalah suatu permasalahan yang sering terjadi dikeluarga, terlebih pada keluarga dengan ekonomi rendah, seperti yang terjadi pada tokoh Zenna dalam novel Dompet Ayah Sepatu Ibu karya JS. Kairen yang terbit tahun 2023. Zena seorang anak dari pinggang gunung yang memiliki saudara yang tidak sedikit, yaitu sebelas. Zenna berada pada urutan ke enam. Jumlah ini menjadi salah satu faktor utama bahwa ia dikatakan generasi sandwich.
Zenna merupakan seorang gadis yang memiliki tekad kuat dalam mengejar mimpinya, rajin sekolah dan menolong orang tua. Tinggal di pinggang Gunung Singgalang, bukanlah halangan baginya untuk sekolah. Keinginannya untuk keluar dari zona kemiskinan amatlah kuat. Terlebih ketika sosok lelaki dalam hidupnya yang disebut Abak, telah meninggal dunia setelah berjanji akan membelikan sepatu kepada Zenna untuk kuliahnya nanti. Ujian hidupnya tidak berhenti sampai disitu saja. Untuk memperbaiki ekonomi keluarganya, Mamak atau Paman dari Zenna mencoba untuk menjodohkan Zenna dengan lelaki yang mapan dengan syarat Zena bisa melanjutkan pendidikan sarjananya untuk menjadi guru. Semua itu telah disetujui oleh dua keluarga. Akan tetapi, nasib buruk terjadi kepada Zenna. Ia mengalami demam tinggi hingga tidak bisa bicara berminggu-minggu. Puncaknya ia mengalami cacar yang membuat badannya bentol-bentol. Hal itu membuat perjodohan dengan pegawai bernama Pinto batal.
Ketika dinyatakan lulus sebagai mahasisiwi di Perguruan Tinggi IKIP Padang, ia harus mengurung niatnya. Sebab setelah bekerja keras memandai emas, ia berpikir uang tersebut untuk adik-adiknya sekolah. Ia tidak ingin berkuliah di Padang, sedangkan di kampung adiknya tidak. Ia bertekad setahun kemudian akan menjadi bagian dari para calon guru di IKIP Padang. Setelah sedikit diulas perjuangan Zenna dalam novel ini, Zenna telah mengalami dan berada pada generasi sandwich yang dibicarakan di awal. Bukan hanya memikirkan dirinya, ia juga memikirkan seisi rumahnya.
Zenna si anak tengah itu, si paling tak pernah dapat perhatian, justru sangat memikirkan keluarganya. Zenna si paling tak terlihat, si paling tak dianggap, sekarang justru jadi bintang paling terang di rumah usang mereka. Sekarang justru jadi orang paling disegani di rumah kayu itu (Khairen, 2023:72).
“Si anak tengah” di sini menjadi simbol lapisan sandwich posisi Zenna karena diapit pada bagian atas oleh Umak dan Kakak-kakaknya dan di bawah oleh adik-adiknya yang sangat memerlukan jerih payah Zenna. Setelah setahun kemudian, ia lulus di IKIP dan mendaftar ulang dengan modal hasil memandai emasnya. Sebagai gadis Minang dan perantau, Zenna tidak kehilangan akal di Padang. Dia berhasil membeli sepatu yang dijanjikan Abak dengan harga yang murah dan mendapatkan pekerjaan di toko sepatu tersebut. Ia juga menjual kue-kue tradisional dengan resep yang didapat di lembaran koran. Sungguh cemerlang hingga menemukan tambatan hatinya, Asrul dan hingga memiliki anak, ia tetap harus menanggung adik-adiknya untuk sekolah dan kuliah. Seperti kata pepatah “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Saat masa sulit, Zenna menguliahi anaknya di kampus ternama, adik-adik yang ia sekolahkan dulunya sekarang membalas budi Zenna dengan membantu biaya kuliah anaknya yang tidak sedikit.
Melalui tokoh Zenna, dapat digambarkan bahwa generasi sandwich disebabkan oleh kemiskinan dan perencanaan keluarga yang belum matang. Pola pikir masyarakat yang masih memegang teguh “banyak anak banyak rezeki” masih sering dijadikan sebagai pembelaan ketika memiliki banyak keturunan. Pola pikir tersebut sebetulnya tidak ada salahnya juga, tetapi ketika menjalani biduk rumah tangga, kesepakatan dan kesanggupan pasangan perlu didiskusikan. Sebab, efek dari hal tersebut menjadi tolak ukur kemakmuran suatu keluarga. Peninjauan seperti finansial, mental, dan pola berpikir akan mempengaruhi generasi berikutnya. Pada lingkungan masyarakat, kehadiran generasi sandwich dapat diketahui melalui banyaknya pengguna media sosial, seperti Tik Tok yang berkeluh kesah tentang posisi generasi sandwich yang mereka alami.
Contoh dari akun @tikayyy25 ia menulis pada vidionya “Aku kehilangan harapan untuk nikah, krn mikir gajiku habis buat keluarga , takutnya kalo nikah kasian suamiku ntar nanggung beban keluarga aku juga” dan contoh lain @dikosauruss “selalu ngerasa bersalah tiap self reward, padahal gue yang kerja” @vyn “minimal sekali seumur hidup lu harus rasain serunya jadi anak sandwich generations, dimn hidup lu hampir gila demi mempertahankan kehidupan keluarga lu”.
Beberapa contoh tersebut menjadi gambaran bahwa dalam kehidupan sehari-hari masih banyak Zenna-Zenna yang lain dengan berbagai permasalahan sebagai tulang punggung keluarga. Permasalahan ini yang perlu dikaji kembali mengenai diskusi dalam berumah tangga. Sebagai seorang anak tidak ada salahnya jika berperan aktif dalam berbakti kepada orang tua terlebih dalam hal finansial, tetapi tentu dengan kesanggupan dan tidak membebankan pikiran anak yang sedang mencari jati diri dan menata kehidupan di masa yang akan datang. Dengan matang dan penuh pertimbangan, generasi sandwich tentu dapat diatasi atau dikurangi dengan berbagai cara, mulai dari melakukan berbagai program pemerintah seperti keluarga berencana, lapangan kerja yang melimpah, pendidikan yang layak bagi generasi penerus dan pembekalan modal usaha serta masih banyak lagi.
Jadi, generasi sandwich merupakan salah satu masalah sosial yang dialami bagi anak-anak yang baru menginjak dewasa dan dalam kondisi mencari jati diri. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kemiskinan. Pola pikir orang yang menjadi generasi sandwich terkadang bermazhab pada kepentingan pribadi di bawah kepentingan bersama atau keluarga. Keuntungannya, seorang generasi sandwich di kemudian hari tidak akan bergantung kepada orang lain karena sudah terlatih untuk bepijak di kaki sendiri sehingga menjadi pribadi yang mandiri dan bermental baja, seperti Zenna.
Bahkan untuk bermimpi saja,
Sepupunya-sepupunya seakan tak punya batas.
Benarlah adanya,
Kemiskinan membuat bermimpi pun
Harus tahu diri (JS.Khairen- Dompet Ayah Sepatu Ibu)