Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Berbicara mengenai buku dan penjualannya, tentu terkait erat dengan toko buku. Mungkin saja bagi sebagian pembaca berkunjung ke toko buku merupakan hal yang menyenangkan. Berbagai macam pula jenis toko buku ini dengan segala fasilitas yang disediakan. Hal paling berkesan bagi saya dari toko buku bekas adalah ketersediaan buku-buku lama yang merupakan “harta karun” yang harus dimiliki.
Beberapa tahun lalu berkunjung ke toko buku bekas di Kota Padang dan Bukittinggi menjadi aktivitas akhir pekan saya. Selain sebagai healing, juga untuk mencari buku-buku kaba dan tambo terbitan tahun 1930-an dari penerbit Sumatera Barat. Bila buku yang dicari tidak ada, tidak jarang pula pedagangnya menawarkan untuk membantu mencarikan ke beberapa relasinya. Sekiranya buku itu ada, mereka akan menghubungi saya agar datang kembali.
Selain itu, membelinya secara daring dari berbagai sosial media penjual buku-buku bekas pun saya lakukan. Terkadang buku-buku lama itu lebih mudah ditemui di sosial media seperti facebook dan instagram, atau dari platform belanja online . Namun begitu, tidak jarang pula buku-buku lama yang dijual secara daring itu lebih mahal dibanding di toko buku bekas. Gampang-gampang sulit, kira-kira begitu yang dirasakan saat mencari buku-buku tersebut.
Buku-buku kaba dan tambo itu merupakan data penelitian untuk tesis yang saya kerjakan. Sebagai data utama, tentu saja buku itu harus saya miliki, atau paling tidak dapat mendokumentasikannya. Sebagai buku bekas, tentu saja berbeda dengan kemasan buku baru. Buku-buku lama yang saya peroleh ini tidak semua juga dengan keadaan utuh, beberapa ada yang tanpa sampul atau sebagian halamannya hilang. Namun begitu, masih tetap bisa dibaca. Lagi pula yang paling penting bagi saya selain isi adalah fisik buku tersebut.
Terkadang, saya melakukan kebiasaan “aneh” saat membuka kemasan buku yang baru saja dibeli, entah itu buku lama (bekas) atau baru. Sebagian besar buku terbitan lama (buku bekas) yang saya beli tidak ada yang dikemas dan dibungkus plastik. Namun sebaliknya, semua buku-buku baru terkemas rapi dengan bungkus plastik yang melindunginya. Inilah hal yang paling saya tunggu, yaitu merobek bungkus plastik dan menciumi aroma khas buku-buku baru itu. Paling tidak, saya selalu ketagihan untuk “ritual” itu dibandingkan dengan membacanya sampai selesai.
Membeli buku merupakan aktivitas yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan membacanya, paling tidak itu yang saya rasakan. Mungkin saja membaca buku, apalagi hingga menyelesaikan bacaan itu, terasa begitu sulit dibandingkan dengan membelinya. Setidaknya sejuah yang saya ketahui, banyak teman-teman yang sering membeli buku, tapi sedikit yang ia baca sampai selesai. Lebih mirisnya lagi, setelah dibeli masih tersimpan rapi dengan kondisi terbungkus plastik. Hal itu juga terjadi terhadap beberapa buku yang saya beli beberapa bulan lalu.
Discussion about this post