Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Istilah gramatika sudah sering kita temukan dalam pembahasan tata bahasa, seperti bagaimana kalimat yang secara struktur benar disusun berdasarkan urutan subjek dan predikatnya. Gramatika dalam paradigma struktural memang berkenaan dengan pola-pola kebahasaan yang mencakup bentuk dan struktur bahasa tanpa mengkaitkannya dengan konteks atau sejarah suatu bahasa. Hal tersebut juga sejalan dengan konsep semiotik yang berangkat dari prinsip tanda (sign) yang sudah tersedia atau berada pada suatu masyarakat. Oleh sebab itu, pengguna bahasa dapat memilih tanda sebagai kesatuan bentuk dan makna saja (Kress, 2010).
Perkembangan paradigma tentang gramatika memberikan perspektif baru bahwa bahasa bukan hanya tentang struktur atau pola saja, melainkan juga penggunaannya. Fokus pada gramatika dalam language in use tersebut merupakan ciri paradigma fungsional. Sebagai contoh, klausa “Saya tidak ada acara akhir pekan ini.” secara sintaksis merupakan kalimat berita. Namun, jika dikaitkan dengan konteks penutur dan mitra tutur dan juga situasi yang melatarbelakanginya, misalnya antara dua orang teman kuliah yang cukup akrab, klausa tersebut bisa dimaknai sebagai undangan untuk mengajak mitra tutur bertemu di akhir pekan. Kemungkinan pemaknaan klausa berdasarkan konteks tersebut merupakan salah satu contoh bahwa paradigma fungsional mengajak kita untuk mengkaitkan pemaknaan bahasa dalam konteksnya.
Selain bahasa dalam konteks, paradigma fungsional ternyata juga menginspirasi munculnya teori gramatika visual. Teori tersebut berangkat dari semiotika sosial yang diusulkan oleh Halliday, tokoh fungsionalisme yang juga merupakan guru Kress dan Leeuwen di Inggris. Jika semiotik dalam paradigma struktural mendudukkan tanda atau sign sebagai bentuk dan makna dalam satu kesatuan, paradigma fungsional menganggap bahwa tanda merupakan moda semiotik yang mengemban makna dalam konteksnya. Moda semiotik tersebut tidak bersifat arbitrer, tetapi produsen gambar memiliki motivasi dan ketertarikan tertentu dalam memilih strategi pengambilan gambar (Kress & Leeuwen, 2001). Dengan kata lain, tanda dalam pandangan fungsionalisme bersifat motivated.
Tanda dan moda semiotik lain yang berupa gambar, suara, dan gerak tubuh saat ini seringkali kita temukan dalam berbagai bentuk untuk membangun suatu wacana, seperti poster dan video. Wacana yang terdiri dari berbagai moda semiotik dalam suatu kesatuan makna yang lebih lengkap disebut dengan wacana multimodal (Noviani, 2018). Saat ini wacana multimodal dianggap sebagai cara yang efektif, efisien, dan memiliki dampak lebih luas dalam komunikasi. Sebagai contoh, promosi pendaftaran sekolah dan universitas tidak jarang menggunakan baliho untuk dipajang di pinggir jalan. Penggunaan moda semiotik gambar dan tulisan secara bersamaan dianggap mampu menyampaikan pesan lebih efisien. Dengan kata lain, gambar mampu meringkas pesan atau kalimat panjang untuk disampaikan kepada audiens.
Secara linguistik, gambar ternyata dapat dikritisi dari segi gramatikanya. Kress & Leeuwen (2001) mengatakan bahwa gambar memiliki tiga jenis makna, yakni makna relasional, interaktif, dan komposisional. Makna relasional merupakan wujud peristiwa atau kejadian yang dialami oleh produsen gambar; makna interaktif berkenaan dengan relasi dan kondisi psikologis yang dibangun antara gambar dan audiens; sedangkan makna komposisional merupakan organisasi gambar sebagai suatu kesatuan entitas (Leeuwen & Jewitt, 2014).
Setiap makna yang diemban oleh moda semiotik gambar dapat ditelusuri melalui strategi-strategi pengambilan gambarnya. Sebagai contoh, makna interaktif terwujud dalam beberapa strategi, yakni kontak, jarak, dan sikap. Strategi kontak dapat ditelusuri dari tatapan mata atau gaze antara audiens dan gambar. Di sisi lain, produsen gambar dapat mempertimbangkan jarak pengambilan gambar atau shot strategy untuk membangun relasi psikologis dengan audiens, apakah gambar yang dibuat akan membangun relasi personal, sosial, atau impersonal. Selain itu, strategi sikap yang ditampilkan pada sebuah gambar dapat ditelusuri dari cara gambar tersebut diambil, apakah dari depan yang 90 derajat sejajar dengan audiens, atau dari samping/45 derajat dari audiens (Kress & Leuuwen, 2001).
Saat ini keberadaan media sosial, seperti Instagram sering digunakan oleh berbagai pihak dalam berkomunikasi dengan berbagai tujuan, seperti mempromosikan produk dagangan atau mengajak audiens memberikan dukungan suatu kelompok atau peristiwa. Salah satu contoh gambar untuk meminta dukungan audiens akhir-akhir ini ditemukan dalam peristiwa perhelatan olahraga dua tahunan SEA Games.
Sebagai contoh, Revival TV memanfaatkan media sosial Instagram untuk meminta dukungan audiens kepada para atlet timnas PUBG. Beberapa strategi pemilihan moda-moda semiotikanya dapat kita telusuri dengan gramatika visual, khususnya pada bagaimana produsen teks multimodal membangun makna interaktif melalui cara-cara pengambilan gambarnya. Pada poster di bawah ini, gambar atlet PUBG diambil dari depan yang memungkinkan audiens membangun kontak mata secara langsung dengan partisipan dalam poster tersebut. Dengan kata lain, audiens berinteraksi dengan tatapan mata secara langsung dengan partisipan dalam gambar. Strategi tersebut berfungsi sebagai demand atau permintaan. Dalam konteks SEA Games 2022, gambar di bawah ini dipiih dan dibuat oleh produsen poster untuk meminta dukungan dari audiens agar timnas PUBG berhasil mendapatkan hasil yang terbaik pada perhelatan SEA Games 2022.
Selain kontak, makna interaktif dalam gambar juga dapat diidentifikasi dari jarak pengambilan gambar, yang oleh Kress dan Leeuwen disebut sebagai jarak sosial. Gambar di atas diambil dari jarak dekat di mana audiens dapat mengidentifikasi detail setiap bagian gambar, termasuk atlet PUBG, gambar garuda Pancasila, dua bendera merah putih, waktu dan alamat tautan pertandingan, logo SEA Games, dan tautan media sosial dari Revival TV sebagai produsen poster tersebut. Jarak pengambilan gambar dekat mempresentasikan relasi sosial yang personal atau dekat. Jika disandingkan dengan strategi linguistik, pola pengambilan gambar personal memiliki fungsi yang sama dengan pronominal we atau kita yang bersifat inklusif. Audiens dan para atlet PUBG diposisikan sebagai pihak yang berada pada kelompok sosial yang sama, yakni rakyat Indonesia. Strategi ini juga berfungsi untuk membangun solidaritas dan nasionalisme audiens dalam perhelatan SEA Games 2022. Hal tersebut dipertegas dengan digunakannya lambang negara, yakni garuda Pancasila dan bendera merah putih yang berada di belakang para atlet.
Sudut pengambilan gambar pada poster di atas juga berada 90 derajat sejajar dengan audiens. Para atlet PUBG di atas seolah-olah mengajak audiens untuk masuk ke dalam gambar. Hal tersebut berfungsi untuk menyampaikan involvement atau keterlibatan audiens dalam perjuangan para atlet menghadapi pertandingan penting di SEA Games. Dukungan dari audiens ditempatkan sebagai aspek yang sama pentingnya dengan perjuangan para atlet saat berlaga di Vietnam. Walaupun pada aspek tekstual poster tersebut menggunakan frasa “Selamat Berjuang”, strategi dari gramatika visual pada poster tersebut menyampaikan pesan yang lebih mendalam. Melalui moda-moda semiotik yang kompleks, poster dukungan di atas menyampaikan pesan bukan hanya perjuangan, melainkan juga solidaritas, nasionalisme, dukungan, dan keterlibatan masyarakat sebagai satu kesatuan yang membangun semangat dan perjuangan para atlet.
Contoh kecil di atas membuktikan bahwa teks multimodal merupakan sumber semiotika yang kaya makna jika ditelaah secara fungsional. Dengan kata lain, gambar bukan hanya merupakan sebuah tanda, melainkan moda semiotik yang secara sengaja dipilih oleh produsen gambar untuk memenuhi fungsi sosialnya. Sebagai media yang menyajikan pemberitaan dan informasi mengenai e-sports di Indonesia, Revival TV mengajak para audiens untuk mendukung timnas PUBG dalam pertandingan SEA Games 2022.
Interpretasi yang berbeda mungkin ditemukan jika strategi pengambilan gambar tersebut dilakukan dengan cara yang lain. Sebagai contoh, pada perhelatan Olimpiade 2020, beberapa atlet Indonesia berhasil mendapatkan medali emas. Berbagai dukungan dan ucapan selamat juga bermunculan di media sosial. Namun, beberapa poster justru memuat gambar pemberi ucapan selamat dalam ukuran yang lebih besar dan berada di depan atlet yang memenangkan medali emas tersebut. Hal tersebut justru menimbulkan interpretasi untuk meminta audiens memberikan dukungan pada pemberi selamat, bukan pada atlet itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam berkomunikasi yang melibatkan berbagai moda semiotik, hendaknya kita mempertimbangkan strategi-strategi kebahasaan dan pengambilan gambar supaya pesan yang disampaikan tidak menimbulkan interpretasi yang justru menyudutkan produsen teks. Sebagai pengguna media sosial, kita dapat memanfaatkan strategi linguistik dan visual untuk mencapai tujuan komunikatif. Pemilihan moda-moda semiotika tersebut tentunya dapat menguntungkan produsen teks atau wacana jika mempertimbangkan aspek gramatika dengan baik.
Discussion about this post