Prasangka Keliru
Cerpen: Masaput
Terkadang, di balik sikap riang seseorang, kita tidak tahu masalah apa yang sedang ia pendam. Begitu pun pada seseorang yang menampakkan isi hatinya. Dari tampilannya yang menyeramkan, apakah ada secercah sinar kebaikan tersimpan rapat di lubuk hatinya.
***
Pagi yang menggetar, mata yang sayu telah melebar. Selimut masih mengambang di atas kasur membadung setengah tubuhku. Ya, masih pagi buta. Bunyi genderang teriak menyambar dari luar jendela kamarku. Tak kusangka, itu adalah suara bapak tua yang dari tadi memaki istrinya. Masih kelam, bahkan ayam enggan berkokok sepagi ini, tapi suara bapak tua itu menyala-nyala entah apa. Mengganggu tidur saja. Suara itu dari gubuk sebelah rumahku.
Sepasang suami istri yang baru saja pindah ke daerahku minggu lalu. Mereka bahkan belum sempat silaturahmi dengan tetangga-tetangganya. Aku putuskan untuk menguping pembicaraan. Memang suram. Setiap pagi tidak ada jengahnya. Telingaku sakit mendengar teriakannya, bagaikan bermainkan drama, semua amarah, kesal, pongah, suara itu berkumpul menjadi satu. Ya, itu luapan kekesalan. Mungkin teriakan itu masih terdengar sekitar sepuluh meteran. Namun, ini bukan saatnya membandingkannya betapa jauh jarak suara. Bunyi suara itu sudah seperti alarm pemadam kebakaran. Membangunkan jiwa yang sedang berkelana di alam mimpi.
“Sriiiiikkk….! Ambil kapas itu!” Teriak seorang lelaki. Suara itu jelas terdengar di kupingku.
“I..i..iya.. iya Paa!” balas seorang perempuan dengan sedikit takut.
“Pakailah mata kau Srikk! ini bukan kapas!”
“Ini kapas Pa! Astahgfirullah.. Ini kapas!”
Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Keduanya bersitegang. Kapas saja masih diperdebatkan. Pagi sekali, mereka ribut. Beruntung, rumah mereka berada paling ujung di gang ini. Jika di pertengahan gang, bisa saja warga mengamuk. Aku putuskan untuk melanjutkan tidur. Aku mengambil bantal dan kutarik selimut, lalu kututupi telingaku dengan bantal. Ternyata usahaku untuk menutupi daun telinga tidak membuahkan hasil.
“Aaaaauuhh”. “Craaak….” Teriak lelaki itu lagi. Diikuti suara lemparan gelas kaca dan pecah membentur lantai. Ngilu memang, terdengar jelas di gendang telinga. Pikiranku kembali aktif terpikirkan sesuatu kenapa mereka bertengkar? Ah..Tidak! Ini bukan urusanku. Sesuatu yang tak perlu untuk dipikirkan.
“Diam! Orang tidur woy!” Teriakku sekuat-kuat yang aku bisa. Aku tak ambil pusing apakah suaraku sampai ke sana atau tidak. Jelasnya beberapa menit kemudian suaraku mampu mendiamkan suasana pertengkaran hebat mereka. Masih pukul 2 pagi. Suara ribut itu tidak terdengar lagi.
Padahal, rumah gubuk itu dihuni oleh dua orang. Seorang bapak tua dan istrinya. Pikiran liar mulai singgah dibenakku. Kulihat saat berpapasan petang hari, bapak tua sulit sekali menyunggingkan senyum kepada tetangganya. Menyapa saja, ia enggan, apalagi bercengkrama. Kenapa sang istri betah bertahan dengan kelakuan suaminya?
Terkadang, bapak tua itu larut dalam basa-basi ayam peliharaan. Memberi makan hingga membuatkannya kandang. Sesekali, terdengar suara membentak jikalau ayamnya masuk rumah. Hanya gara-gara tahi ayam, tergeletak indah di teras rumah. Kelihatannya beliau dekat dengan ayam-ayamnya dibanding orang terdekatnya, istrinya. Bapak tua itu sangat gembira berlarian mengejar ayam-ayamnya sambil berceloteh agar mereka masuk kandang. Padahal, senja masih lama.
Namun, ada yang istimewa dari rumah gubuk itu. Kuperhatikan seorang perempuan berkerudung panjang tiap subuh melantunkan ayat suci-Nya. Suaranya yang indah telah merontokkan prasangkaku terhadap pembicaraan yang tidak-tidak. Alhasil, pikiran liar di kepalaku lenyap pagi itu juga. Seiring suara teriakan berbentak-bentak, subuh harinya diikuti lantunan ayat suci Alquran. Mendengarnya saja membuat jiwa tenang. Hati yang geram sirna seketika. Seorang wanita mencuri perhatianku untuk mengetahui seluk-beluk kehidupan mereka. Walaupun aku belum sempat berkunjung ke sana ataupun mereka yang berkunjung ke rumahku.
Pagi yang masih menyisakan hawa dingin. Ibuku sudah menyiapkan sarapan untuk dagangan kelontong. Dagangan yang akan dijual di perempatan jalan Gang Mangga. Gang yang besar dibanding dengan gang lainnya hingga di ujung gang ini bertautan dengan semak belukar dibatasi parit. Di ujung gang inilah, aku tinggal. Bapak tua dan istrinya tinggal bersebelahan rumah denganku. Namun, mereka lebih ke ujung mendekati parit. Mungkin saja mereka putuskan tinggal di ujung gang agar bisa berladang memenuhi kebutuhan hidup. Ah, sudahlah. Rasa penasaranku mulai merajalela. Aku putuskan bertanya pada ibu.
“Bu. Apa ibu tahu tentang tetangga baru kita?” Tanyaku spontan pada ibu. Ibu yang sedang mempersiapkan sarapan di tudung saji terdiam mendengar pertanyaanku. Beberapa saat kemudian ibu membuka suaranya.
“Kenapa Na? kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Mengganggu tidurku saja Bu. Tidakkah ibu dengar tiap pagi suara teriakan berasal dari rumah itu Bu?” Tanyaku heran.
“Iya Na, tapi dia sakit Na” jawab ibuku pendek.
“Maksudnya bu? Apakah bapak tua itu yang sakit bu?
“Hmm… Ibu tidak mau mengambil kesimpulan mengenai ini, tapi kalau ibu dengar dari Pak Kades, dia menderita Skizofrenia”
“Skizofrenia apa Bu?”
“Penyakit kejiwaan Na, tapi alangkah baiknya kita yang menjenguk ke sana dan mengetahui keadaan sebenarnya,” terang ibu. Aku tergagap mendengar penjelasan ibu. Memori kepalaku berputar seperti mencerna keadaan seminggu belakangan. Ada rasa kasihan, takut, dan penasaran tertanam dalam pikiranku.
“Issh, takut ah Bu! Nanti dia meraung bagaimana?”
“Ush.. jangan berbicara seperti itu,” cegah ibuku. Tak ada yang bisa aku tanya lagi, aku masih menganga seakan tak percaya. Pradugaku salah selama ini. Semua yang kuperhatikan dari jendela rumah beberapa hari lalu membenarkannya.
Waktu terus berjalan. Jarum jam berputar tak berkesudahan dan menyisakan hari-hari yang melelahkan. Aktivitas belajar mengajar sebagai anak sekolahan tetap dikerjakan, sedangkan ibu pergi bekerja mencari nafkah hidup. Ibu seperti itu sejak ayah tidak lagi hidup di dunia ini. Ibu terpaksa mencari uang demi memenuhi kebutuhkanku dan kebutuhan sekolahku. Walaupun hidup kami pas-pasan, aku bersyukur masih diberi hidup oleh Tuhan hingga detik ini.
Udara sore membuat badanku gerah dan berkeringat. Pikiranku sudah jenuh berkutat dengan tugas sekolah. Minuman Cappucino tidak lagi berefek pada tubuhku. Aku ingin tidur. Kakiku melangkah menuju kamar tidur. Lagi-lagi, aku menangkap sosok lelaki dari kaca jendela tembus pandang. Ia sedang sibuk membersihkan kandang ayamnya. Siapa lagi kalau bukan bapak tua itu. Dia cekatan merawat ayamnya. Memang jiwa inteligensiku kembali menggebu. Perasaan kantukku mendadak hilang. Prasangkaku kembali hadir membumbui penasaran di jiwa. Ingin sekali aku bercengkrama dengan bapak tua itu. Siapakah dia? Kenapa baju yang ia kenakan selalu bersih dan rapi, tapi tidak tampak seperti orang depresi.
“Bu…kita ke sana yuk bu” ajakku kepada ibu.
Aku dan ibu memutuskan untuk berkunjung ke gubuk sebelah rumahku. Ibu telah membuat gulai ikan gurami lalu menyisihkan semangkuk masakannya. Tujuannya untuk silaturahmi ke rumah gubuk itu sekaligus saling mengenal satu sama lain.
Jarak rumahku dan gubuk bapak tua berjarak hanya lima meter. Rumah kami dipisahkan oleh semak dan pepohonan. Rumah yang asri. Halamannya bersih dari rumput. Sepertinya, mereka habis mencabuti rerumputan liar. Atap rumahnya berumbia, berdinding papan, dan berlantaikan semen. Ukurannya sangat sederhana. Namun, rumah itu rapi dan bersih.
“Assalamualaikum Pak, Buk.” Sapa ibuku yang sudah berdiri di pintu gubuk.
“Waalaikumussalam Bu! Silahkan masuk Bu.” Seorang perempuan berwajah teduh telah menyambut kami. Aku yakin dia adalah istri bapak tua. Kaki kulangkahkan masuk ke dalam rumah. Bola mataku memandang seluruh ruang tamu. Kulihat rumah sederhana itu penerangnya masih memakai lampu minyak. Hanya ada tikar usang yang tergeletak di atas lantai serta meja kayu. Tidak ada televisi ataupun perabotan rumah. Ada dipan kecil di sudut ruang barangkali itu tempat tidurnya bapak tua itu. Sungguh sangat sederhana. Jauh dari kata berada. Hatiku sungguh miris melihatnya.
“Maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Oh ya, saya Juminah, Bu. Kita bersebelahan rumah. Ini Nana anak saya.” Ibuku mulai memperkenalkan dirinya.
“Oh tidak sama sekali. Saya Lasri, Bu. Mari duduk dulu.” Kami duduk di atas tikar yang sudah tergeletak di atas lantai.
“Maafkan Bu. Kami belum sempat silaturahmi ke rumah ibu ya,” terang Bu Lasri dengan santun.
“Tidak apa-apa. Oh ya, ini ada sedikit rejeki untuk makan malam nanti ya Bu.” Ibuku menyodorkan semangkuk gulai ikan gurami.
“Wah terima kasih Bu. Alhamdulillah,” Jawab Ibu Lasri dengan rasa syukur. Terlihat dari raut wajahnya yang anggun, menebar senyum menawan. Ia seperti mendapat harta berlian padahal hanya semangkuk gulai ikan.
Ibu Lasri pergi ke belakang seperti mempersiapkan minuman. Saat berbalik arah. Ada yang menyita perhatianku. Tepat di kakinya, Ibu Lasri berjalan pincang dengan menggunakan tongkat. Sesekali, ia menahan tubuhnya agar tidak tumbang. Aku tidak tahu sama sekali mengenai kondisi Ibu Lasri, bahkan pakaian yang ia kenakan menutupi kekurangannya. Namun, tetap indah dipandang mata. Aku spontan mendekati Ibu Lasri ketika jalannya pelan seperti mau rebah. Aku menuntunnya berjalan hingga menuju dapur.
“Bu.. tidak usah repot-repot. Kami hanya sebentar kok Bu,” jawabku seadanya. Sebenarnya, hatiku sudah mulai merana diterpa kesedihan. Prasangkaku selama ini merusak diriku sendiri. Bisa saja, aku hanya melihat bapak tua, sedangkan istrinya hanya mampu duduk di dalam rumahnya. Bagaimana silaturahim dengan tetangga-tetangganya akan dilakukan, sedangkan dirinya lumpuh tak bisa berjalan. Tak terasa, anak sungai dimataku mengalir tipis. Ia seakan mencambuk hatiku paling dalam.
“Tidak apa Nana. Ini sudah kewajiban saya memuliakan tamu” Ibu Lasri tetap menuju dapur dengan dibantu berjalan olehku.
Saat mencapai dapur, aku tergagap. Aku melihat bapak tua itu sudah berdiri sangar, melipatkan kedua tangannya di pinggang. Aku syok. Tatapannya melotot melihat kehadiranku. Aku mulai merasa panik ketika bapak tua mengambil sebuah barang dari atas meja lalu memutar-mutarkan ke udara.
“Jangan Pa.. Dia baik. Dia tetangga kita,” terang Bu Lasri kepada bapak tua. Suara serak dengan nada menekan. Bapak tua seperti marah padaku. Aku hanya menunduk senyum simpul ke arahnya menandakan bahwa aku anak baik, tapi tetap saja raut wajah yang kuciptakan sedemikiran rupa tak mampu membuatnya tenang. Dia melempar sendok nasi yang ia congkel dari periuk. Dia melemparnya ke arahku, tapi secepat kilat Bu Lasri menyambarnya. Sepertinya kehadiranku tak disambut baik oleh bapak tua. Lagi-lagi, bapak tua itu mengambil gelas plastik, lalu melemparnya ke arahku. Lemparan yang cukup kuat dan bertenaga. Kali ini, bukan aku yang kena, tetapi mangkok gulai yang aku pegang kuahnya telah tumpah menciprat ke segala arah. Pakaian Bu Lasri penuh kuah.
“Cukup Pa.. Kalau seperti ini terus, Aku tidak sanggup lagi Paa!” Bentak istrinya mengiba. Istrinya seperti mau menangis, tapi aku lihat wajahnya memerah seperti menyimpan amarah. Tiba-tiba, bapak tua meraung dan menangis sejadi-jadinya. Entah apa yang terjadi sungguh aku linglung melihat kelakuan bapak tua. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
“Na mari kita ke depan” Ajak bu Lasri. Bu Lasri tidak memedulikan lagi pakainnya yang terkena cipratan kuah gulai. Ia secepat kilat mengunci pintu dapur agar bapak tua itu tidak memasuki ruang tamu.
“Kenapa .. Kenapa Bu?” Tanya ibuku dengan wajah khawatir.
“Duduk dulu Bu Lasri. Tenangkan diri” Ajakku kepada Ibu Lasri.
“Maaf Bu Lasri, Jadi, sebenarnya bapak kenapa Bu?” Tanya ibuku lagi dengan wajah khawatirmya. Tak ada jawaban keluar dari mulut Bu Lasri. Ia mengambil ujung jilbabnya sesekali menghapus air matanya yang tak berhenti mengalir. Ia menangis tapi tak bersuara.
“Dia suamiku Bu. Dia seperti itu sejak tiga tahun lalu,” jawab Bu Lasri. Sesekali, ia menghapus anak sungai di ujung matanya.
“Maaf Bu. Bukan bermaksud apa-apa. Apakah kedatangan kami sangat mengganggu Bu?”
“Tidak sama sekali Bu. Bapak hanya trauma ketika ada yang datang ke rumah.”
“Kenapa trauma Bu?” tanyaku heran.
“Karena kami punya masa lalu yang membuat suamiku sakit seperti ini. Dulu, suamiku seorang pengusaha sukses. Ia jatuh bangkrut semenjak tertipu oleh orang tak dikenal memasuki rumah kami. Uang dan perhiasan dibawa kabur. Dari sanalah, ia tidak percaya lagi orang lain. Dia mengurung dirinya di kamar. Depresi berat telah mengubah hidupnya seperti ini. Tipuan itu membuat kami berhutang banyak. Kami terpaksa jual rumah untuk menutupi hutang-hutang. Semua perkakas rumah habis kami jual.”
“Maafkan kami ya Bu. Jika keadaan ini, ibu menceritakan masa lalu. Kami usahakan bisa membantu semampunya.” balas ibuku menenangkan. Pembicaraan kami terpotong karena suara bapak tua itu menggebu dan menggedor pintu.
“Sriiik… Srik…. Buka Pintu!” Teriak bapak tua. Suaranya keras menggema ruang tamu. Pintu itu iya tendang hingga hampir lepas engselnya.
“Bu Juminah, Nana. Saya sarankan secepatnya pergi dari sini. Saya takut terjadi apa-apa dengan kalian berdua,” terang Bu Lasri. Ada raut kekhawatiran yang terpancar di wajah Bu Lasri.
“Tapi apakah tidak apa-apa ini Bu? melihat kondisi tubuh ibu juga lemah. Masih mengurus suami ibu seperti ini.”
“Ini kewajiban saya Bu. Beliau biar saya yang tangani. Ibu kembalilah,” pinta Bu Lasri
Aku dan ibuku kembali ke rumah sesuai dengan aba-aba Bu Lasri. Sepertinya keadaan gubuk itu sangat genting. Kami memilih pergi dan meninggalkan Bu Lasri, tapi pikiranku masih berkecamuk. Sepulang dari gubuk, aksi nekadku kembali kambuh. Aku mengintip dari dekat apa yang terjadi.
Bapak tua itu marah besar kepada Bu Lasri. Sebuah tamparan mendarat di pipi mulusnya. Ini sudah penganiayaan dalam rumah tangga. Aku ingin sekali masuk gubuk dan melindungi Bu Lasti, tapi kakiku kaku untuk melangkah. Aku tidak mau ikut campur urusan mereka. Hanya gara-gara kedatangan kami bertamu. Bapak tua marah besar. Suara tangisan Bu Lasri kembali terdengar. Apa yang mesti kulakukan? Pikiranku mulai liar. Aku sangat kasihan melihat keluarga mereka. Apakah Bu Lasri tidak memiliki uang untuk mengobati suaminya?
Aku dan ibuku bersepakat membicarakan hal ini dengan perangkat desa. Menemukan jalan keluar agar tidak menyakiti Bu Lasri, tapi suaminya tetap bisa diobat. Dari hasil pembicaraan dengan beberapa perangkat desa dan para pemuda, kami menemukan jalan keluar.
Sedan hitam melaju kencang lalu memberhentikan mobil di halaman rumah. Beberapa petugas rumah sakit turun bergerombolan mengepung rumah gubuk itu. Situasi sangat panas. Kulihat bapak tua itu kembali meronta. Sesekali, ia berteriak dan mengamuk kepada siapa yang mendatangi. Dia mengambil sebilah kayu lalu memukul-mukulkannya kepada petugas yang berdatangan. Ada yang menjerit karena terkena pukulan. Ada yang kepalanya terbentur karena bapak tua susah untuk diajak masuk mobil. Seseorang lalu memborgol tangannya dengan cekatan hingga ia tidak bisa mengelak. Ia dibawa masuk mobil menuju rumah sakit jiwa.
Beberapa orang tetangga menyaksikan kejadian. Ibuku menenangkan Bu Lasri dan menjelaskan rencana ini dari awal.
“Bu.. tidak usah khawatir. semua akan baik-baik saja.” Ibuku menenangkan Bu Lasri. Ibu Lasri kembali menangis melihat suaminya dibawa oleh petugas rumah sakit tanpa sepengetahuannya. Ada raut wajah tidak setuju yang tampak dari wajah Bu Lasri. Namun, berkat masukan dan saran yang lembut dari ibuku mampu meluluhkan hati Bu Lasri. Semua pengobatan sudah ditanggung oleh perangkat desa. Ibuku juga menawarkan agar sakit kaki Bu Lasri segera diobati dan disembuhkan karena terkena pukulan dan kekerasan yang dilakukan oleh bapak tua itu.
“Untuk saat ini pergilah dan tinggallah di rumah kami Bu. Ibu sudah saya anggap seperti keluarga sendiri,” ucapku kepada Bu Lasri.
“Terima kasih Nana!” ungkap Bu Lasri singkat. Ibu Lasri termenung ketika sedan hitam melaju meninggalkan gubuk. Matanya membulat seiring mengeringnya air mata. Tatapan Bu Lasri kosong melihat suaminya yang tidak lagi ada disampingnya. Ia tidak lagi merawatnya dalam keseharian walaupun dia pergi untuk sementara waktu.
“Cepat sembuh Pa! Aku mencintaimu,” ucap Bu Lasri lirih.
Biografi Penulis
Masaput merupakan nama pena dari Rahma Saputri. Panggilan akrab sehari-hari adalah Ma. Ia merupakan anggota FLP Sumbar dengan NRA 075/D/003/005. Perempuan yang berprofesi sebagai Apoteker ini lahir pada 14 Agustus 1995 di Lubuk Alung, Sumatera Barat. Ia hobi menulis dan juga membuat konten animasi. Walaupun masih pemula, begitulah cara ia menyalurkan bakat yang sudah terpendam lama. Ia bisa dihubungi di instagram @masaput148.
Logika-Logika yang Tidak Logis dalam Cerita Pendek
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Sumbar dan Dosen
Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Jakarta)
Cerita pendek memang merupakan sebuah cerita rekaan. Cerita pendek tidak ada yang membantah bahwa ia adalah berasal dari imajinasi penulisnya. Namun, ketika menulis cerita pendek keluar dari kebenaran logika, hal ini akan membuat cerita tersebut gagal sebagai sebagai cerita yang menarik.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang logika dalam cerita pendek (cerpen) tersebut, lebih baik kita lihat pengertian cerita pendek terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), tersusun dari kata “cerita” yang memiliki arti tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian, dan sebagainya). Selain itu, kata cerita juga memiliki arti karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman atau penderitan orang, dan kejadian (baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka), sedangkan pendek berarti kisahnya pendek (kurang dari pada 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memutuskan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (suatu ketika).
Muhardi dan Hasanuddin (1992) dalam buku mereka Prosedur Analisis Fiksi yang diterbitkan oleh Penerbit IKIP Padang Press, Padang, menyampaikan bahwa cerita pendek atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan short story, merupakan bentuk karya sastra yang sering dijumpai di berbagai media masa. Namun, apa sebenarnya dan bagaimana ciri-ciri cerita pendek itu? Banyak yang belum memahaminya secara lengkap.
Lebih jauh, Muhardi dan Hasanuddin menyampaikan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah karya sastra fiksi yang pendek. Cerpen adalah karya fiksi atau rekaan imajinatif dengan mengungkapkan satu permasalahan yang ditulis secara singkat dan padat dengan memiliki komponen-komponen atau unsur struktur berupa alur/plot, latar/setting, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan tema serta amanat.
Kosasih (2012) dalam buku Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Menyampaikan bahwa cerpen adalah karangan pendek berbentuk prosa yang dibentuk oleh beberapa komponen, yakni tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Jadi, cerpen adalah karya fiksi berupa prosa dengan mengungkapkan satu permasalahan yang ditulis secara singkat dan padat yang dibentuk oleh beberapa komponen, yakni tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.
Pada edisi ini, Kreatika menayangkan cerpen yang berjudul “Prasangka Keliru”. Sebagaimana judulnya, cerita ini berisi kisah yang dituturkan oleh tokoh “Aku” yang berprasangka buruk terhadap tetangga barunya. Tokoh “Aku” atau Nana dalam cerita itu kedatangan tetangga baru yang baru seminggu menempati rumah di sebelah rumahnya. Keluarga baru itu adalah seorang bapak tua dan istrinya yang setiap malam atau dini hari membuat keributan dari rumah mereka.
Pada suatu keributan sekitar jam 2 dini hari, terdengar suara ribut-ribut bapak tua itu. Tokoh “Aku” merasa terganggu dan meneriaki mereka agar diam. Setelah itu, siangnya dia berkunjung ke tetangga barunya itu dengan ibunya. Mereka melihat kehidupan sepasang suami istri yang memprihatinkan dan akhirnya tokoh utama cerita ini tahu bahwa bapak tua itu mengalami skizofrenia.
Cerita “Prasangka Keliru” yang ditulis oleh Masaput ini biasa-biasa saja, tidak memperlihatkan cerita ini sebagai sebuah cerpen seperti pengertian cerita pendek seperti yang diungkapkan di atas. Sebagai sebuah cerita, cerpen ini sudah selesai, sudah dapat dinikmati oleh pembaca. Namun, sebagai cerita yang menarik, Masaput gagal mengolah “Prasangka Keliru” ini menjadi cerita yang menarik.
Ada beberapa alasan mengapa cerita ini menjadi tidak menarik. Pertama, cerita ini berjalan datar dan hanya mengisahkan kisah prasangka seseorang pada tetangga baru mereka yang disangka suka ribut yang ternyata mengalami sakit skizofrenia. Saya menduga akan ada kejutan dalam cerita ini. Ternyata cerita ini hanya menyajikan ending dengan membawa bapak tua yang mengalami skizofrenia itu ke rumah sakit.
Kedua, cerita ini seperti potongan dari sebuah novel atau pembuka dari sebuah novel, tidak menyajikan kisah dalam artian seperti cerita pendek yang memiliki suatu masalah, lalu diselesaikan dalam kisah yang singkat ini. Sepertinya, cerita ini pantas diperpanjang dengan membuat kisah-kisah menarik seputar hidup sepasang suami istri yang sudah tua itu. Sepertinya, kisah masa lalu mereka lebih menarik untuk diceritakan dengan berbagai intrik dalam dunia bisnis yang membuat lelaki tua yang dulunya sukses itu kini menderita skizofrenia.
Ketiga, banyak adegan-adegan yang tidak logis dalam cerita Masaput ini. Contohnya bagaimana penulis menggambarkan pipi seorang perempuan tua yang mulus. Mungkin di luar logika ada perempuan yang sudah tidak muda, tetapi memiliki pipi yang mulus. Apalagi perempuan itu tidak lagi perempuan kaya-raya. Perempuan yang sudah jatuh miskin dalam usia yang tidak lagi muda, susah untuk digambarkan masih memiliki pipi mulus sebagaimana gambaran penulis:
“Bapak tua itu marah besar kepada Bu Lasri. Sebuah tamparan mendarat di pipi mulusnya.” (Masaput, 2021).
Pada kejadian lain, Masaput menggambarkan bahwa beberapa orang petugas kesehatan datang ke rumah tetangga barunya yang mengalami sakit jiwa itu. Penulis menggambarkan petugas kesehatan datang dengan mobil sedan berwarna hitam. Mungkin saja dalam realitas ini bisa terjadi, tapi yang lumrah petugas rumah sakit jiwa menjemput pasiennya adalah dengan ambulan khusus untuk pasien rumah sakit jiwa yang dilengkapi dengan berbagai peralatan dan pelindung seandainya hal-hal yang tidak diinginkan dilakukan oleh pasien sakit jiwa. Masaput menggambarkan:
“Sedan hitam melaju kencang lalu memberhentikan mobil di halaman rumah. Beberapa petugas rumah sakit turun bergerombolan mengepung rumah gubuk itu.” (Masaput, 2021).
Perlakuan petugas rumah sakit dengan memborgol tangan pasien yang menderita sakit jiwa juga menjadi ganjil. Biasanya, tindakan untuk menenangkan pasien sakit jiwa adalah dokter akan memberi obat bius untuk menenangkan pasien dalam berbagai tingkatan dosis. Memborgol menurut pendapat saya lebih pas dilakukan oleh polisi yang menangkap penjahat. Masaput menggambarkan sebagai berikut:
“Seseorang lalu memborgol tangan pak tua dengan cekatan hingga pak tua tidak bisa mengelak. Ia dibawa masuk mobil menuju rumah sakit jiwa.” (Masaput, 2021).
Terlepas dari kekurangan cerita ini, sebenarnya Masaput masih bisa menghadirkan cerita yang menarik dengan melakukan berbagai hal sebelum menulis cerita. Pertama, penulis bisa melakukan riset mendalam melalui buku-buku terkait dengan penyakit skizofrenia. Selain dari buku-buku, sekarang dengan perkembangan teknologi internet penulis bisa melakukan riset karena begitu banyaknya data tentang berbagai hal di internet. Dengan riset mendalam, penulis bisa menghadirkan cerita-cerita yang logis, apalagi terkait situasi-situasi yang berkaitan dengan kesehatan dan sesuatu hal yang ilmiah.
Kedua, jika memungkinkan, penulis bisa melakukan observasi untuk mendalami bagaimana seseorang yang menderita sakit jiwa. Observasi bisa dilakukan dengan melihat bagaimana prosedur-prosedur penanganan pasien baik yang dilakukan di rumah sakit atau di luar rumah sakit. Dengan adanya observasi, artinya penulis bisa melihat secara langsung bagaimana realitas sebenarnya. Ketika menulis, penulis tidak hanya mereka-reka atau menghayalkan sebuah kejadian, tetapi bisa menceritakan apa yang dilihatnya.
Ketiga, penulis bisa melakukan wawancara, baik secara formal ataupun tidak formal terkait topik yang akan ditulis. Mungkin bisa bicara dengan keluarga yang anggota keluarganya pernah mengalami skizofrenia atau juga dengan tenaga kesehatan yang memang dalam keseharian mereka menangani orang yang menderita skizofrenia ini.
Dengan mengikuti langkah-langkah itu, mungkin menimbulkan komentar, apakah menulis cerpen serumit itu? Penulis harus membaca banyak hal tentang tema yang akan diangkat. harus observasi atau wawancara. Membuat cerita yang menarik itu memang membutuhkan kerja keras. Oleh sebab itu, mungkin benar ungkapan yang berbunyi,“usaha tidak akan membohongi hasil.” Semakin besar usaha yang dilakukan untuk membuat sebuah cerita, semakin besar keberhasilan cerita itu ketika sampai pada pembaca. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post