Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom.
(Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Pemberitaan tentang pandemi Covid-19 memang tidak ada hentinya sampai sekarang. Media-media seperti televisi, radio, surat kabar, dan media sosial hampir 24 jam penuh menginformasikan perkembangan dunia dalam kondisi pandemi, baik kabar buruk seperti penambahan kasus dan bahkan adanya korban meninggal dunia yang diakibatkan virus corona, maupun kabar baik mengenai pengurangan jumlah kasus di daerah-daerah mereka. Sebagian masyarakat ada yang sudah jenuh melihat kabar berita pandemi ini, namun sebagian lagi masih ada yang masih terus mengikuti situasi pandemi dengan harapan ada informasi yang menggemberikan hati dan telinga mereka.
Upaya untuk melepaskan diri dari situasi pandemi Covid-19 terus dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Sejak awal munculnya kasus pertama di daerah Depok pada bulan Maret tahun 2020 lalu, pemerintah terus berupaya meminimalisasi penyebaran virus ini agar tidak mewabah di Indonesia. Walaupun pada akhirnya yang seperti dirasakan pada saat sekarang, data kasus Covid-19 di Indonesia yang tercatat di JHU CSSE COVID-19 Data dan Our World in Data per tanggal 18 Agustus 2021, selama setahun lebih hampir mencapai angka 4 juta kasus dan 121 ribu di antaranya meninggal dunia.
Sudah banyak cara yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi pandemi Covid-19, baik yang tertulis di peraturan maupun surat edaran pemerintah. Upaya yang sangat dipercaya bisa mengurangi angka kasus Covid-19 dan keluar dari situasi pandemi adalah vaksinasi. Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin ke dalam tubuh sehingga seseorang menjadi kebal atau terlindungi dari suatu penyakit. Vaksinasi tidak hanya bertujuan untuk memutus rantai penularan penyakit, tetapi juga dalam rangka panjang untuk mengeliminasi bahkan membasmi penyakit itu sendiri. Dengan adanya vaksinasi Covid-19, diharapkan masyarakat akan kebal dari virus tersebut. Sekalipun masih terkena virus, mereka yang sudah divaksin dipercaya tidak akan terserang penyakit yang membahayakan tubuh mereka seperti yang tidak divaksin.
Vaksinasi di Indonesia sudah mulai tersebar di daerah-daerah yang khususnya memiliki angka kasus tinggi. Satgas Covid-19 memberikan informasi bahwa hingga tanggal 17 Agustus 2021 lalu, total vaksinasi di Indonesia yang sudah mendapatkan dua dosis sudah mencapai 29 juta orang. Ada banyak tempat untuk vaksinasi yang bisa dijangkau oleh masyarakat agar mereka mendapatkan suntikan vaksin, seperti fasilitas umum seperti kantor lurah, mal atau pusat perbelanjaan, atau juga rumah sakit.
Proses vaksinasi di Indonesia terasa agak lambat, karena berdasarkan fakta penerima vaksin belum mencapai 50% hingga saat ini. Jika dibandingkan dengan Cina, negara yang dipercaya sebagai sumber virus ini berasal, yakni sudah mencapai 1 miliar suntikan vaksin, tentu saja pencapaian vaksinasi di Indonesia yang sangat jauh lebih rendah. Salah satu penyebab mengapa hal ini terjadi adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin yang digunakan oleh pemerintah setelah mendapatkan informasi tersebut dari media-media yang mereka percaya.
Banyak kejanggalan-kejanggalan mengenai vaksin yang ada di Indonesia yang dimuat di media. Sebagai contoh, saat vaksin sinovac dikirim ke Indonesia dari Cina, ternyata pada saat itu vaksin sinovac belum mendapatkan izin atau sertifikasi dari WHO untuk bisa digunakan. Hal ini membuat ketidakpercayaan masyarakat kepada vaksin lumayan meningkat. Rasa tidak percaya masyarakat terhadap vaksinasi setelah melihat pemberitaan-pemberitaan media ini selaras dengan teori jarum hipodermik atau bullet theory yang dikemukakan Schramm. Schramm dalam Effendi (2003) menjelaskan bahwa komunikator dapat menyebabkan suatu pesan yang mereka sampaikan laksana peluru yang ditembakkan. Asumsi dasar teori yang dikemukakan Schramm dalam Roem dan Sarmiati (2021) ini adalah komponen komunikasi meliputi komunikator, komunikan, pesan yang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap kegiatan komunikasi yang dilakukan. Akibat dari banyaknya pesan komunikasi mengenai keraguan terhadap vaksinasi yang ada di Indonesia, masyarakat percaya pada pesan tersebut sehingga enggan untuk vaksinasi.
Kecemasan pada efek vaksinasi yang dilihat masyarakat di berita-berita yang ada di media, baik itu tv, media cetak, radio, dan media sosial juga bisa dilihat dari teori kultivasi yang dikemukakan Littlejohn. Littelejohn (2012) mengemukakan bahwa teori kultivasi merupakan teori yang mengkaji terkait pengaruh dari paparan media. Dalam teori ini diperlihatkan mengenai perbedaan kecenderungan yang terjadi antara penonton kelas ringan (light users) dengan penonton kelas berat (heavy users). Penonton kelas ringan biasanya menghabiskan waktu melihat media dan tidak terlalu banyak dibandingkan penonton kelas berat. Pada kasus ini, masyarakat banyak berdiam di rumah karena dalam kondisi PPKM dan keseharian mereka melihat media, tentu pemberitaan media mengenai hal-hal negatif tentang vaksinasi akan berpengaruh besar terhadap mereka.
Media memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyarakat sebagai komunikan. Untuk menyeimbangkan berita-berita negatif mengenai vaksinasi yang berkembang di tengah masyarakat, pemerintah Indonesia juga berupaya memanfaatkan keberadaan media untuk mengajak masyarakat mau ikut vaksinasi. Proses vaksinasi yang sudah mulai sejak November 2019 dengan diawali oleh Presiden Indonesia dan kemudian diikuti oleh para tenaga kesehatan selalu diinformasikan oleh media kepada masyarakat. Namun, informasi kontroversi mengenai vaksinasi ternyata lumayan membuat hambatan yang cukup besar bagi pemerintah.
Pada tanggal 24 Juni 2021, Kementerian Kesehatan melalui Direktoran Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat membuat sebuah iklan layanan masyarakat berbentuk video yang berjudul “Kenali dan Tangani Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) setelah Vaksinasi. Iklan ini berisikan pesan kepada masyarakat agar tahu dan paham tentang apa-apa saja pengaruh yang akan dirasakan setelah melakukan vaksinasi dan bagaimana cara mengatasinya. Tujuan pembuatan iklan salah satunya untuk menanggulangi isu-isu buruk bahwa setelah vaksinasi banyak orang yang malah mengalami demam tinggi dan malah ada yang terkena positif virus Covid-19. Dengan iklan ini, pemerintah mencoba untuk meredam pemberitaan mengenai dampak buruk pascavaksinasi.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah konsisten membuat iklan layanan masyarakat mengenai vaksinasi dan upaya pencegahan melawan virus corona. Namun, jika ditinjau pesan-pesan yang disampaikan dalam iklan-iklan tersebut ada beberapa yang masih kurang mengena oleh masyarakat. Salah satunya iklan pentingnya vaksinasi untuk mencegah penyebaran covid-19 yang bisa dilihat di YouTube atau website resmi Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Iklan yang berdurasi 35 detik itu hanya berisi himbauan kepada masyarakat agar segera vaksinasi jika sudah ada kesempatan mendapatkan vaksin covid-19. Setelah itu, ada pesan bahwa walau sudah vaksinasi, mari tetap pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak minimal satu meter, hindari kerumunan, dan batasi mobilitas untuk melindungi diri dan orang lain. Iklan ini tidak mewakili judul iklan dan tidak menjelaskan mengapa vaksinasi penting dilakukan oleh masyarakat.
Pesan komunikasi pemerintah melalui iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memang tidak pernah menyebutkan bahwa vaksinasi dapat membuat masyarakat terhindar dari Covid-19. Pesan yang diterima masyarakat melalui iklan-iklan tersebut hanyalah meminta masyarakat agar bisa mengurangi risiko terkena Covid-19 melalui program vaksinasi. Ada sedikit keraguan yang muncul dalam benak masyarakat mengapa setelah vaksinasi, masyarakat masih diwajibkan menggunakan masker dan protokol kesehatan lainnya. Padahal, seperti yang diliput pada Kontan.co.id pada tanggal 26 Mei 2021, Pemerintah Korea Selatan mengumumkan bahwa warganya yang telah menerima vaksin Covid-19 boleh berkativitas di luar ruangan tanpa menggunakan masker. Penggunaan masker sudah tidak lagi diperlukan di luar ruangan mulai bulan Juli untuk mereka yang telah menerima satu dosis vaksin. Kondisi yang sangat berbeda dengan yang terjadi di negara kita, Indonesia.
Himbauan kepada masyarakat agar segera melakukan vaksinasi tidak hanya ada pada iklan layanan masyarakat yang ada di media-media. Himbauan untuk segera melakukan vaksinasi juga tersirat pada beberapa peraturan administrasi, seperti bepergian ke luar kota dengan pesawat, mengunjungi mal, dan syarat untuk sekolah secara offline nanti wajib menyertakan sertifikat vaksin. Hal ini mengisyarakatkan bahwa masyarakat wajib dan dipaksa untuk mengikuti vaksinasi agar dimudahkan segala urusannya. Ini berarti pemerintah memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki agar masyarakat mau tidak mau harus mengikuti vaksinasi. Senada dengan yang disampaikan oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” (2007), beliau mengungkapkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain supaya melakukan tindakan-tindakan yang dikehendaki atau diperintahkannya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan memang tidak pernah menyatakan bahwa semua masyarakat wajib untuk melakukan vaksinasi dan bagi yang tidak mau akan menerima sanksi. Namun, dengan adanya peraturan birokrasi seperti naik pesawat harus ada sertifitat vaksin, ini menandakan bahwa masyarakat dengan halus dan tidak secara tertulis diwajibkan vaksinasi. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) sebenarnya tidak setuju apabila ada negara yang mewajibkan masyarakatnya vaksinasi Covid-19. WHO menganggap mewajibkan vaksinasi corona kepada setiap warga hanya akan menjadikan bumerang yang memicu warga semakin bersikap antipati terkait vaksin Covid-19 (cnnindonesia.com).
Pesan adalah gagasan, perasaan, atau pemikiran yang akan di-encode oleh pengirim atau di-decode oleh penerima (Liliweri, 2011). Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menghimbau masyarakat untuk vaksinasi, baik yang tersurat dalam iklan layanan masyarakat maupun yang tersirat melalui peraturan-peraturan yang ada kaitannya dengan vaksinasi, ada baiknya pemerintah meninjau kembali semua pesan yang akan mereka berikan kepada masyarakat. Jika tujuan vaksinasi ini adalah untuk pencegahan pengurangan kasus Covid-19, ada baiknya pemerintah fokus memberikan pesan komunikasi kepada masyarakat tentang keunggulunan vaksinasi ini dibandingkan membuat aturan-aturan yang mewajibkan masyarakat untuk vaksinasi. Jika vaksinasi ini berupa kewajiban masyarakat agar tidak dipersulit dalam segala urusan administrasi, berarti tujuan vaksinasi sudah berbeda dengan tujuan awalnya.
Vaksinasi merupakan langkah yang tepat untuk pencegahan Covid-19 layaknya imunisasi yang sudah dilakukan hampir semua warga Indonesia sejak bayi. Ada imunisasi polio, imunisasi cacar, hepatitis, dan lain-lain. Kehadiran vaksinasi tentu saja sangat diharapkan bisa membuat kekebalan tubuh seseorang lebih meningkat melawan virus-virus yang siap menyerang kapan saja. Oleh karena itu, pemerintah harus mau untuk membuat pesan-pesan yang lebih indah lagi dan lebih menyentuh hati nurani masyarakat agar mau tanpa adanya keterpaksaan mengikuti vaksinasi. Dengan begitu, insya Allah pandemi ini pasti akan lebih cepat berakhir dan dunia akan kembali normal seperti sediakala.
Discussion about this post