Cerpen: Annisa Ul Afidah
Pagi pertamaku di ruangan itu, derap langkah banyak kaki anak-anak menyambut pagiku dengan penuh keceriaan. Langit biru di atas sana barangkali cukup menggambarkan kecerahan hari ini. Aku kira ini adalah akhir dari doa-doa ibu yang bisa kunikmati, tetapi ternyata aku masih harus melanjutkan perjuangannya. Dunia baru, langkah baru, peradaban baru, dan perjalananku, baru saja akan dimulai.
“Rinai, bangun Nduk, Sudah jam berapa ini? Nanti kau terlambat sekolah,” suara perempuan paruh baya setengah terdengar di telingaku. Ya, dia ibuku. Perempuan paling sabar sedunia, paling disiplin, dan paling pembelajar. Pokoknya perempuan sempurna bagiku. Tapi lucunya, dari dulu, aku sama sekali tidak punya keinginan menjadi sepertinya atau setidaknya mencontoh kepribadiannya.
“Ya, Bu. Lima menit lagi,” celetukku dengan mata yang masih terpejam. Meskipun mataku masih setengah terpejam, aku mendengar langkah ibu menghampiriku dan kulihat segayung air berada di tangannya.
“Iya Bu. Iya aku bangun, hehe,” sontak aku langsung terhenyak menghindari ibu yang memercikkan air ke kedua mataku. Biasanya, kalau ibu sudah membawa segayung air, tandanya aku sudah melampaui batas. Berkali-kali, aku dibangunkan, tapi tidak beranjak juga.
“Kamu ini, lho. Kebiasaan. Jadi perempuan itu harus bangun gasik, Nduk. Nanti kalau kamu berumah tangga, bangunnya kesiangan anak dan suamimu keburu kelaparan,” entah berapa kali nasihat ini dilontarkan ibu ketika membangunkanku.
“Ah ibu, santai ta, Bu. Lha wong aku ini masih kelas 1 SMA kok. Masih lama sekali berumah tangganya,” timpalku.
“Eh eh.. Jangan dianggap gampang. Segala sesuatu itu harus mulai dibiasakan dari sekarang. Kalau nggak, nanti bakal terlanjur sampai dewasa. Kalau begitu yo wes angel”, jawab ibu.
“Njih, Bu, njih. Rinai berangkat dulu, Bu,” kuraih tangan ibu dan kuciumi. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati, Nduk.”
Kukayuh sepeda gunungku menuju sekolah. Matahari mulai menyemburatkan teriknya. Jalanan mulai ramai oleh kendaraan para penjemput rezeki-Nya. Kulihat masih ada beberapa anak sekolah yang baru berangkat dibonceng oleh orang tuanya menggunakan sepeda motor. Kulirik jam di tangan menunjukkan pukul 07.02 WIB. Sebenarnya, jarak dari rumah ke sekolah hanya sekitar 10 menit, tapi sudah menjadi barang kebiasaanku datang terlambat. Sampai-sampai, guru piket hafal bahwa aku adalah siswa yang sering datang terlambat.
“Langsung ambil sapu di belakang,ya.” Kalimat yang biasa disuguhkan guru piket ketika aku baru tiba. Artinya, sangking sering terlambatnya, Bu Dian, guru piket yang saat ini berjaga dan guru-guru lainnya langsung saja menyuruhku untuk menyapu kantor sebagai sanksi keterlambatanku.
Ya, begitulah aku dengan segala kemasabodohanku dan kemalasanku. Bahkan, ketika jam pelajaran pun aku sering mengantuk atau di sela-sela jam pelajaran ketika guru belum masuk kelas, aku sering pergi ke kantin bersama teman-temanku.
Berbeda dengan kakakku, Mbak Gita. Dia seorang yang tak pernah patah semangat dalam meraih cita-citanya. Semenjak dulu, ia seorang yang sangat rajin dan gigih. Atas usaha kerasnya itu, kini ia telah menjadi seorang dokter di rumah sakit ternama di Jakarta sesuai dengan harapannya dan juga harapan Ibu. Ibarat langit dan bumi, aku hanyalah perempuan yang membiarkan semuanya berlalu begitu saja mengikuti alur kehidupan tanpa aku berusaha dalam meraih sesuatu. Tidak punya cita-cita dan tidak punya ambisi. Beruntungnya, aku mempunyai banyak teman yang senang bergaul denganku. Aku sering kali menjadi tempat curhat mereka ketika mereka sedang mempunyai masalah. Aku cenderung lebih senang memperbanyak teman, memperluas pergaulanku, dan ketimbang berambisi mengejar cita-cita. Walau demikian, aku meyakini suatu saat aku akan tersadar bahwa memiliki mimpi itu penting untuk masa depan. Aku masih teringat wejangan Ibu ketika kita masak bersama di dapur. Bukan masak bersama, lebih tepatnya ketika aku menemani Ibu memasak.
“Nduk, dulu itu ibu pernah punya cita-cita menjadi guru,” ceritanya. Sambil menahan mata yang pedih karena mengiris bawang merah, aku mulai mendengarkan ibu yang seolah ingin bercerita. Seketika, aku menoleh ke wajahnya sejenak, lalu kembali mengiris bawang merah.
“Tapi, seketika itu impian ibu kandas,” ibu menghela napas seolah menggambarkan kepasrahan saat itu.
“Kenapa, Bu?” tanyaku.
“Yah, karena ibu dijodohkan Nduk. Jadi, mau tidak mau ibu harus mengubur mimpi itu dalam-dalam,” jawabnya. Kali ini, ia menghela napas agak panjang.
“Tapi kan ibu masih tetap bisa melanjutkan mimpi ibu. Memangnya kalau sudah berumah tangga ndak boleh mengajar?”sanggahku.
“Kan Ibu ndak kuliah Nduk, sekolah juga cuma tamatan SMP,” keluhnya.
Aku terdiam.
“Tapi Nduk, selain itu, ibu juga ingin fokus mendidik anak-anak ibu yang cantik-cantik ini.” Ibu tersenyum sambil menyentuh pipiku.
“Makanya kalau ibu ngomel-ngomel kalau kamu malas-malasan. Jangan marah. Itu semua ibu lakukan untuk kebaikanmu supaya kamu ndak seperti ibu. Supaya kamu punya cita-cita. Cita-cita bukan semata-mata untuk cari uang, tapi supaya kamu bisa berbuat sesuatu untuk nusa, bangsa, dan agama. Supaya kamu bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama,” lanjut ibu seraya menatap wajahku lama. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca.
Aku terdiam membalas tatapannya.
Nasihat, itu yang selalu terngiang di kepalaku. Walaupun aku sering kali tidak menuruti kata-kata ibu dan cenderung bandel, ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Meskipun demikian, sikap disiplin dan kerja kerasnya tak terkalahkan. Kesabarannya pun seluas samudera dalam mendidik anak-anak serta melayani bapak. Pagi buta, ketika anak-anaknya masih terlelap, ibu sudah terbangun untuk bermunajat. Ibu mendoakan anak-anaknya agar menjadi manusia yang bermanfaat. Ibu tidak pernah menuntut anak-anaknya menjadi seorang yang sukses, terkenal, kaya, dan sebagainya. Ibu hanya ingin anak-anaknya menjadi seorang yang memiliki empati tinggi ketika orang lain sedang berada dalam kesulitan. Ibu berdoa agar kami bisa merasakan penderitaan orang lain dan ikut andil memberikan manfaat kepada mereka.
Sampai suatu ketika, aku tersadar akan kata-kata ibu yang membuatku harus bangkit. Ketika ibu, orang yang sangat kucintai terbaring tak berdaya. Sementara itu, bapak sudah tua renta dan tak bisa lagi bekerja. Mbak Gita cuti panjang karena melahirkan. Aku tidak tega melihat ibu dan bapak yang sudah semakin menua. Aku sadar dan teringat kata-kata ibu bahwa aku harus punya mimpi. Aku harus punya cita-cita. Aku harus menjadi rinai yang bukan anak-anak lagi.
Setelah lulus SMA, aku mendaftar kuliah di salah satu universitas negeri di Indonesia. Setelah lulus sarjana, aku mendaftar tes CPNS. Saat itu, aku tidak berambisi untuk lulus dan tidak terlalu berharap. Akan tetapi, semua berkat bingkisan doa yang selalu ibu juntaikan ke langit dan usaha bapak untuk membiayai pendidikanku. Kini, aku bisa melihat senyum di wajah ibu. Tidak sia-sia ibu setiap hari terbangun melangitkan doa ketika semua mata yang terlelap masih asyik dengan mimpinya. Ibu adalah alasan paling masuk akan mengapa Tuhan mengabulkan doa-doa. Sebab ridha-Nya adalah ridha ibu. Ibu adalah magnet terkuat di antara jutaan mimpi-mimpiku.
Ibu dengan kesabaran seluas samudera dan kegigihan selapang lautan langit, mendidik anak-anaknya hingga menjadi seperti saat ini. Tanpanya, aku tidak hanyalah selembar daun yang tak pernah tahu hendak ke mana aku pergi tanpa tujuan dan tanpa langkah yang pasti.
Kini, aku mengajar anak-anak berkebutuhan khusus di dekat kota tempat tinggalku. Mereka menjadi bagian dari semangatku kini. Dari mereka, aku belajar banyak hal. Aku akan selalu teringat pesan ibu, “Di mana pun kamu berada, Nduk, jadilah bermanfaat bagi orang-orang di sekitarmu.”
Pagi pertamaku di ruangan impian itu. Derap langkah banyak kaki anak-anak menyambut pagiku dengan penuh keceriaan. Langit biru di atas sana barangkali cukup menggambarkan kecerahan hari ini. Para guru dan anak-anak bersiap-siap untuk melaksanakan belajar-mengajar hari ini. Ibuku tiba-tiba datang dan melihatku dari luar. Ia tersenyum. Ada semburat cahaya dan semangat dari matanya. Alhamdulilah, setelah lama terbaring sakit akhirnya Ibu sehat kembali. Rupanya Tuhan ingin memberi bingkisan terindah untukku. Karena sampai hari ini, aku masih dikelilingi orang-orang tersayangku.
Terlebih ibu, perempuan yang doanya tak terhalang. Kukira ini adalah akhir dari doa-doa ibu yang bisa kunikmati, tetapi ternyata aku masih harus melanjutkan perjuangannya. Dunia baru, langkah baru, peradaban baru, dan perjalananku, baru saja akan dimulai.
Biodata:
Annisa Ul Afidah lahir di Cilacap, 30 Juni 1996. Ia berasal dari Cilacap, Jawa Tengah. Sejak kecil menyukai dunia kepenulisan, khususnya dalam bidang sastra. Saat ini, ia tinggal di Karawang, Jawa Barat. Email:annisaulafidah@gmail.com, instagram: @annisaulaf, dan whatsapp: 0895395935543.
Discussion about this post