Oleh:
Alex Darmawan
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Kemajuan Indonesia di bidang teknologi sekarang ini begitu pesat. Hal ini ditunjukan salah satunya dengan jumlah pengguna media sosial yang mendekati angka 160 juta dari jumlah penduduk Indonesia 271.349.888 jiwa dalam rilis bersama data sensus penduduk 2020 dan data administrasi kependudukan 2020. Bukan hanya penduduk Indonesia saja sebagai penggunana media sosial, tetapi juga penduduk dunia pada umumnya. Selain sebagai sarana komunikasi, media sosial juga dapat digunakan sebagai sarana bisnis, forum diskusi, mengunggah aktivitas keseharian dan sumber pendapatan hidup. Keberadaan media sosial tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat dunia, khusus penduduk Indonesia sekarang ini. Media sosial itu sendiri sudah menjadi suatu identitas baru bagi masyarakat modern dalam berkomunikasi dengan cakapun wilayah yang luas.
Pengguna media sosial setiap tahunnya di Indonesia selalu meningkat. Tahun 2021 ini saja tembus ke angka 170 juta jiwa. Generasi yang mendominasi penggunaan media sosial di Indonesia kebanyakan berasal dari kalangan muda dengan rentang umur 25-34 tahun. Kalangan ini dikenal generasi Y dan generasi Z. Generasi tersebut sangat aktif dan memiliki intensitas yang cukup tinggi dalam mengakses internet. Kompas Tekno dari laporan We Are Social dan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 14 menit sehari untuk mengakses media sosial. Platform media sosial yang populer digunakan di Indonesia itu ditempati oleh You Tube, whatsApp, Instagram, Facebook dan Twitter (baca: Riset Ungkap Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia ‘Melek’ Media Sosial, Kompas.com, Rabu, 24 Januari 2021).
Bermedia sosial memungkinkan setiap orang bebas berekspresi. Tidak ada aturan tertentu yang mengingkat sehingga orang terkadang lengah dengan etika, norma sosial dan hukum yang ada. Ujung-ujungnya, memunculkan masalah dan keributan antarpribadi, kelompok, lembaga, dan lain sebagainya sampai bermuara ke kasus hukum dan pengadilan. Banyak orang tersandung kasus hukum karena perkataan yang diunggah di media sosial. Sebut saja deretan tokoh-tokoh yang terkenal di mata masyrakat umum, mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, musisi kondang tanah air (Ahmad Dhani), aktivis dan seniman yang menggeluti dunia teater (Ratna Sarumpaet), dan lain sebagainya (Darmawan, dalam artikel “Dosa Bahasa” di Scientia.id, edisi 20 September 2020).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal-Demi Pasar, secara sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya kesimbangan, ketentraman dan ketertiban (Soesilo, 1985). Kata kejahatan bersanding dengan kata berbahasa menjadi perbuatan atau lingkah laku berbahasa yang merugikan pribadi atau masyarakat, baik itu secara lisan maupun tulisan yang menyebabkan hilangnya keseimbangan, ketentraman, dan ketertiban
Kejahatan berbahasa itu dapat dilakukan oleh pribadi atau kelompok secara sadar dengan tujuan dan motif tertentu yang memberi kerugian bagi korban, materiil dan nonmateriil. Sebaliknya, kejahatan berbahasa juga dapat terjadi tanpa disadari oleh pelaku. Pelaku hanya ingin melampiaskan emosi negatif sesaatnya kepada korban dan tidak peduli terhadap sanksi hukum yang akan diterimanya ke depan.
Semakin hari semakin banyak kejahatan berbahasa yang timbul. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus melaporkan untuk rentang Maret-April 2020 ada 443 laporan yang berkenaan dengan kasus ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong. Ini berarti hate speech menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius. Apalagi kalau sudah masuk masa pilkada, kasus ujaran kebencian frekuensinya meningkat (baca:detik.com, 20 Desemmber 2020). Ini mengindikasikan kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai hukum yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik.
Hukum yang mengatur mengenai infomasi dan transaksi elektronik adalah Undang-Undang No.11 Tahun 2008. Sejalan dengan itu, Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 dinyatakan bahwa ujaran kebencian berupa tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP dan ketentuan kejahatan lainnya di luar KUHP, berupa: 1. Penistaan, 2.Menghasut, 3. Penghinaan, 4. Memprovokasi, 5.Menyebarkan berita bohong, 6. Pencemaran nama baik, 7. Perbuatan tidak menyenangkan. Jadi, kejahatan berbahasa yang dilakukan di media sosial dalam pandangan hukum ada sebanyak 7 jenis.
Berbicara mengenai kerugian yang timbul akibat dari kejahatan berbahasa ini untuk pelaku yang sengaja dan sadar akan perbuatan itu melanggar UU ITE Nomor 11 tahun 2008, seyogyanya sudah mempersiap diri menghadapi tuntutan hukum dan segala biaya yang akan dikeluarkan. Nah, untuk pelaku tidak sengaja dan menurutkan emosi melakukan kejahatan berbahasa, tentu belum siap dan tidak menduga akan mendapatkan masalah hukum. Efeknya pelaku menjadi stress, tertekan, dan terganggu aktivitas kesehariannya.
Kejahatan berbahasa itu tidak hanya dilakukan di media sosial saja, tetapi juga dapat dilakukan secara langsung dalam proses komunikasi berupa perkataan yang menghina, meyakiti, dan menyudutkan seseorang di depan umum yang menyebabkan seseorang itu kehilangan muka dan malu. Lebih jauh, sebagai umat beragama, kita percaya bahwa setiap kejahatan itu berupa dosa yang akan kita tanggung kelak di akhirat. Selain hukum dunia yang mesti kita tanggung, hukum akhirat yang harus kita terima. Oleh karena itu, kita sebagai pengguna media sosial mesti cerdas dan pintar dalam menggunakan media sosial yang ada, sadar dan tahu ada hukum yang menjerat dari kesalahan yang kita lakukan. Sebagai umat beragama, sudah sepatutnya kita membangun hubungan baik dan silahturahmi dengan sesama demi terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram. “Mulut dan jempolmu adalah harimaumu”. Wallahu a’lam bish sawabi.
Discussion about this post