Sarha Perjuangan
Cerpen: Sakura Alvino
Pagi ini, dengan suasana yang terus waspada, aku duduk di kursi dan menyesap syai buatan Aisha, istriku. Tidak ada yang tahu waktu-waktu akan bergulir membawa kepedihan. Tanpa prediksi, serangan udara dari Israel bisa saja mendarat meluluhlantakkan pemukiman kami.
Benar saja, dinding bergetar hebat. Beberapa detik yang lalu bom sudah mendarat di depan rumah kami. Almeera yang sedang sibuk dengan bonekanya tidak sempat kuselamatkan. Bom telah menghancurkan tubuh mungil itu. Hatiku pilu. Aisha telah lebih dulu pergi meninggalkanku dan menyusul putri kami dan tiga orang putra kami yang telah dulu pergi beberapa bulan silam. Agresi yang sempat menghancurkan separuh rumah yang kubangun, kini telah rata dengan tanah. Aku terseok. Kudapati kaki kiriku telah hancur diterjang bangunan yang runtuh. Ledakan itu tak bisa dihindari, bagai kilatan petir, sekejab menghancurkan anggota tubuhku.
Usai ledakan itu, tim medis berlarian mencari jenazah dan korban ledakan. Perawat berusaha mengangkat tubuhku yang tak berdaya. Air mataku tak henti bercucuran, mulutku bungkam. Satu sisi hatiku berdenyut pilu namun sisi lain ada kebahagiaan yang menyapaku. Mereka telah pulang dalam keadaan yang mulia, menemui Rabb-nya dan menjadi anak-anak syurga.
Aku dibawa ke perkemahan tim medis sebab rumah sakit juga hancur lebur dibombardir oleh zionis. Dari beberapa tahun terakhir, serangan kali ini adalah pertempuran terburuk. Hatiku tak hentinya berzikir, cidera berat dialami banyak oleh anak-anak dan wanita. Alat medis yang terbatas memaksa dokter dan perawat memberdayakan apa yang ada. Di depanku-di halaman pengungsian-mereka terpaksa membedah korban yang telah hancur lengannya, menggergaji tulang mereka dan mengamputasi ke panggal lengan. Gadis malang itu hanya memiliki satu lengan yang berfungsi.
Sekarang, giliranku, mereka terpaksa melakukan hal yang sama. Bius lokal membuatku tidak merasakan sakit namun ngilu ketika aku terpaksa melihat pekerjaan mereka. Usai operasi dadakan, aku dibaringkan di atas brangkar dan tiba-tiba penglihatanku kabur dan semua menjadi gelap.
***
Mataku terbuka oleh cahaya yang menulusup dari celah tenda. Aku melindungi wajahku dari terpaannya. Salah seorang perawat menyapaku sambil memeriksa saluran infus ke tubuhku.
“Kau sudah sadar? Lima hari ini kami merawatmu. Kau tidur panjang pascaoperasi kakimu. Alhamdulillah, kau juga salah satu dari beberapa lelaki dewasa yang selamat.”
Aku menatapnya dan tersenyum. Lirih lisanku mengucapkan syukur sekaligus duka dengan kepergian keluargaku. Aku menahan mataku untuk menangis lagi. Ibuku selalu berpesan, “Kita ditakdirkan lahir di tanah para nabi ini. Membela yang menjadi hak kita. Jika suatu hari nanti kau harus kehilangan keluargamu, termasuk aku, ayahmu, saudaramu, kau harus tegar dan lanjutkan hidupmu dan perjuangan kita.”
Hal itu juga yang kupesankan pada keluarga kecilku, tapi aku tidak menyangka bahwa pesan itu kembali ditujukan untukku.
Beberapa hari di camp pengungsian, lalu lalang korban pengeboman berdatangan. Mulai dari luka berat dan ringan dirawat di sini. Keterbatasan alat medis dan obat-obatan memaksa dokter mengambil tindakan prioritas. Blokade belum mengizinkan bantuan makanan dan obat-obatan masuk hingga ke camp mengungsian ini. Aku kini sudah mulai kuat. Aku berjalan memutari camp pengungsian dengan kruk membantu relawan sebisaku.
Bila malam hari tiba, aku ikut berkumpul dengan anak-anak dan pemuda yang ditinggal mati oleh keluarganya. Aku seperti melihat nasib masa kecilku di mata mereka. Pandangan kesepian dan hampa. Aku mencoba menghibur mereka.
“Ada tradisi yang akan selalu mengalir dalam darah orang Palestina.” Aku membuka percakapan, usai memandangi wajah-wajah sedih mereka.
“Apa itu Tuan?” Seorang laki-laki mengangkat wajahnya. Ada setitik binar keingintahuan dalam manik matanya.
“Pertama, minum teh dengan celupan daun mint, kedua menanam pohon zaitun dan tin, dan ketiga Sarha, menjelajah dari satu wilayah ke wilayah lainnya untuk memetik pengalaman dan penguatan naluri sebagai lelaki.” Aku menjelaskan. Wajah lugu mereka menyimak dengan seksama.
“Aku mendapatkan warisan tradisi itu dari perempuan tua di camp pengungsian, kami sama-sama sebatang kara. Ditinggal mati oleh keluarga.” Terangku sambil mengenang perempuan tua yang menceritakan hal itu padaku sewaktu aku hidup di camp pengungsian puluhan tahun silam. Pesan ketiga membuatku kuat untuk menjalankan hidup sebatang kara hingga aku bertemu Aisha.
“Apakah Sarha hanya untuk para lelaki?”, tanya seorang gadis remaja sambil memeluk balita kecil berumur tiga tahun. Belakangan baru kuketahui namanya Sanaa dan adiknya Almeera, nama yang sama dengan putriku.
“Bagiku tidak, Sarha milik kita semua. Kalian sendiri tanpa orang tua dan saudara, begitupun aku. Sebab Sarha memang dilakukan dalam keadaan sendiri. Bertualang, mengenali tiap jengkal tanah milik kita. Dengan mengenali, kita dapat mencintainya dan berjuang untuk tetap mempertahankannya.” Kobaran api semangat membara di mataku. Mereka yang tertunduk, tiba-tiba mendongakkan kepala menatapku dengan pandangan yang sama, tatapan pejuang.
“Waktunya untuk istirahat.” Aku membubarkan mereka sekaligus kesedihan mereka. Langkah mereka menuju tenda untuk beristirahat. Malam yang semakin mencekam dan dingin, aku tidak ingin mereka jatuh sakit ulah kesedihan dan cuaca.
***
Subuh menggema di lapangan camp pengungsian. Saf-saf jamaah telah menunaikan ibadah subuh. Kabar bahagia menggema seantero pengungsian. Gencatan senjata antara Palestina dan Israel telah diumumkan pukul dua dini hari. Bahagia menyelimuti kami.
Jumat ini, aku ikut bergabung menunaikan sholat jumat di Masjidil Aqsa. Merayakan kemenangan kami. Dalam suka cita itu, aku melihat tentara zionis menembakkan gas air mata. Kericuhan menguak. Huru-hara terjadi di mana-mana. Aku segera menyelamatkan diri.
Aku berusaha menjauh dari keributan yang dibuat oleh tentara zionis. Aku melangkah dengan tertatih bersama kruk yang memperlambat jalanku. Ngilu di kakiku semakin menjadi, tapi aku masih mampu menahannya. Dalam masa penyelamatan itu, aku menabrak tentara zionis dan krukku terlempar. Dalam hitungan detik, moncong senapan sudah berada di hadapanku. Tanpa berpikir, tentara zionis melempaskan tembakan ke arahku. Aku merasakan peluru baja dengan lapis karet menerjang tubuhku. Hiruk pikuk dunia terasa berhenti, aku tak mendengar apapun.
Aku melihat senyum Aisha dan tawa Almeera dalam rumah yang kami bangun. Aku melihat semangat diskusi bersama ketiga putraku. Aku melihat mereka tertawa dan bahagia. Mungkinkah perjalananku di tanah kelahiran sudah berakhir? Menemui titik akhir dalam kehidupanku, menyusul mereka.
Catatan:
Syai = the
Wadi = lembah/jurang yang kering di gurun kecuali saat hujan
Biodata Penulis:
Sakura Alvino nama pena dari Fitri Afriani. Lahir dua puluh delapan tahun yang lalu. Saat ini, ia berdomisili di Bukittinggi dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Karya terbarunya terangkum dalam antologi Idul Fitri untuk Ibu (2021). Penulis dapat dihubungi via whatsapp di 082388518514 atau afrianifitri92@gmail.com
Perihal Bahasa Asing dalam Cerpen “Sarha Perjuangan”
Karya Sakura Alvino
Oleh: Azwar Sutan Malaka
(Anggota Forum Lingkar Pena dan Dosen
Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta)
Membaca karya sastra bagi saya adalah sebuah cara untuk menikmati kisah-kisah yang disampaikan dengan bahasa yang indah. Namun, usaha untuk menikmati cerita dengan bahasa yang indah itu seringkali terganggu oleh pemahaman akan kata-kata dalam karya tersebut. Adanya kata-kata yang tidak dimengerti pembaca dalam sebuah karya sastra membuat berkurangnya kenikmatan membaca karya sastra. Kenikmatan membaca karya sastra itu berkurang, baik karena keterbatasan pembaca sendiri memahami kata-kata asing dalam gudang bahasa yang dimilikinya, maupun karena memang kata yang dihadirkan penulis adalah kata-kata yang asing berasal dari budaya yang jauh dari diri pembaca.
Walaupun semua penulis tahu bahwa keterbatasan memahami kata-kata akan mengurangi kenikmatan dalam membaca karya sastra, tapi anehnya banyak penulis yang suka menambahkan kata-kata asing dalam cerita mereka. Menambahkan kosakata asing dalam cerita itu baik dengan tujuan estetika maupun karena tujuan ingin membuat kesan-kesan tertentu dalam karya tersebut. Apapun alasannya menambahkan kosakata asing dalam sebuah karya, seperti yang disampaikan di atas akan menganggu pembaca dalam menikmati karya sastra tersebut.
Bagi saya, perlu menjadi catatan bagi para penulis atau sastrawan dalam menciptakan sebuah karya adalah agar memikirkan kembali apakah menempelkan kosakata asing tersebut menambah keindahan cerita atau hanya akan membebani pembaca dalam menikmati karya sastra. Apakah menambahkan kata-kata asing dalam karya tersebut sebuah pilihan terakhir atau ada alternatif lain dengan tetap menuliskan dengan bahasa yang dimengerti pembaca. Pilihan apakah akan menambahkan kata-kata asing atau kata-kata yang dimengerti pembaca saja bisa dijawab dengan menjawab pertanyaan apakah menulis karya sastra itu untuk tujuan bahasa atau untuk menyampaikan cerita. Manakah yang lebih penting penulis berhasil menimbulkan suasana asing sesuai dengan kosakata yang dipilih atau tersampaikannya cerita dengan baik kepada pembaca.
Hal tersebut di atas seperti pendapat Riki Fernando dalam tulisannya berjudul “Masalah Dialog Berbahasa Asing dalam Penulisan Fiksi,” yang dimuat dalam laman Balai Bahasa Provinsi Aceh (2020) menyampaikan bahwa ada beberapa bentuk dialog pada beberapa karya sastra Indonesia.
Pertama, dialog berbahasa asing tidak selamanya ditampilkan pada dialog yang melibatkan tokoh bukan orang Indonesia, lebih sering pada bagian tertentu dialog saja, dan cenderung hanya untuk mempertegas bahwa si tokoh adalah orang asing (baca: bukan orang Indonesia).
Contoh:
“Fahri, istanna suwayya!”
“Fi eh kaman?”
Aku urung melangkah.
(Penggalan dialog dalam Novel Ayat-Ayat Cinta, karya Habiburrahman El-Shirazy, 2008: 22)
Dialog dengan menggunakan kata istanna suwayya! Untuk mempertegas bahwa tokoh sedang berdialog dengan orang yang berbahasa Arab. Hal itu dipilih penulis karena ingin menunjukkan setting cerita yang berada di daerah-daerah yang berbahasa Arab.
Kedua, ketika menyiasati terjemahan bahasa Indonesia dialog berbahasa asing, ada penulis yang menyertakan terjemahan di catatan kaki, namun ada pula yang menyertakannya setelah kalimat berbahasa asing. Hal ini banyak dilakukan penulis seperti “Pagi ini dengan suasana yang terus waspada, aku duduk di kursi dan menyesap syai buatan Aisha, Istriku,” (Alvino, 2021). Kemudian, di akhir tulisan, penulis menuliskan keterangan syai adalah Bahasa Arab untuk teh dalam Bahasa Indonesia.
Ketiga, ada sikap lain yang lebih ringkas, yaitu menampilkan dialog berbahasa asing saja, tanpa repot-repot memberi tahu terjemahan bahasa Indonesianya kepada pembaca. Cara ini biasanya dilakukan terhadap dialog berbahasa Inggris. Mungkin karena bahasa Inggris sudah dianggap cukup banyak dipahami oleh masyarakat Indonesia saat ini, jadi terjemahan bahasa Indonesianya tak perlu lagi disertakan dalam narasi.
Ketiga pilihan penggunaan bahasa asing tersebut menurut Fernando (2020) perlu dipikirkan ulang oleh penulis karena kembali ke pertanyaan semula apakah esensi dari karya sastra tersebut (khususnya cerpen) tujuannya adalah keindahan bahasa saja atau tersampaikannya cerita dengan baik. Lebih jauh, Fernando menyampaikan bahwa ada pilihan lain yang lebih bijak untuk menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan adalah dalam bahasa asing, seperti yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam contoh berikut ini; “Jelas sewanya lebih mahal,” kataku dalam Belanda. Ia berhenti di hadapanku, bertanya dalam Melayu: “Kontrol Nyo?” (Dialog dalam Novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer, 2011).
Pilihan Pram lebih bijak karena ia mengedepankan karya tersampaikannya cerita kepada pembaca daripada mempertahankan bahasa asing untuk menunjukkan setting asing dalam cerita. Pram tidak bersusah payah menyajikan ucapan para tokoh dalam bahasa asing. Ia hanya memberi keterangan sebelum atau sesudah kutipan ucapan langsung si tokoh bahwa ia berkata dalam bahasa apa.
Fenomena penempelan bahasa asing dalam cerita seperti yang dibahas di atas, juga terjadi dalam cerpen yang ditulis oleh Sakura Alvino dalam cerpennya berjudul “Sarha Perjuangan” yang diterbitkan Kreatika edisi ini. Cerpen Sakura Alvino ini menceritakan bagaimana suasana penyerangan pemukiman penduduk sipil di Jalur Gaza, Paletina oleh tentara Israel.
Cerita dengan setting Palestina ini menceritakan seorang laki-laki (tokoh “Aku”) yang kehilangan semua anggota keluarganya, anak, istri, dan orang tuanya, serta saudara-saudaranya karena pemboman yang dilakukan oleh tentara Israel dalam konflik di Jalur Gaza itu. Tokoh aku menceritakan bahwa ada tiga tradisi dalam kehidupan masyarakat Palestina yaitu meminum syai atau minum teh, kemudian menanam pohon kurma dan pohon tin, serta melakukan sarha atau pengembaraan panjang yang dilakukan laki-laki Palestina dari satu daerah ke daerah lain untuk memperkuat karakter dan jati diri sebagai seorang laki-laki dewasa. Dalam cerita ini penulis ingin menyampaikana bahwa dalam kondisi perang sarha tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga oleh para perempuan.
Dari satu sisi, Cerpen “Sarha Perjuangan” adalah cerpen yang menarik karena penulis berusaha mengambil momen yang terjadi baru-baru ini yaitu penyerangan tentara Israel kepada penduduk Palestina. Tema ini tentu saja tema yang mampu menarik emosi pembaca karya sastra di Indonesia dan bahkan masyarakat di seluruh dunia. Namun di balik keberhasilan penulis menuliskan cerita yang mampu menarik emosi pembaca, tetapi bagi saya pribadi hadirnya kosa kata asing dalam kondisi yang tidak tepat justru mengurangi keindahan cerita.
Saya paham maksud penulis menuliskan kata-kata syai, sharha, dan wadi, untuk memperkuat latar cerita yang mengambil setting di Palestina, namun ketika pembaca tidak paham maksud kata-kata tersebut proses menikmati karya sastra akan terganggu karena sesaat mereka akan jeda untuk melihat arti dari kata tersebut. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini dipersembahkan bagi penulis pemula supaya makin mencintai dunia sastra (khusunya cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.