Rabu, 21/5/25 | 19:07 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI KREATIKA

Puisi-puisi Surya Hafizh dan Ulasannya oleh Ragdi F. Daye

Minggu, 09/5/21 | 04:05 WIB

Telaga dan Surau Tua

aku tak hendak jadi suara
menjadi kerikil jatuh
yang kau lempar ke telaga
mengusik bias bayang surau tua

aku tak hendak mendengarmu
menyusun suara parau
mengungkit-ungkit kaji lama

aku tak hendak menjadi aroma tubuh
yang memikat: malam dan segenap setan
memperalati waktu, membuatmu
ketakutan menunggu

kabut diam-diam meminjam wajahmu
—diam-diam hendak menjadimu
mengulurkan tangan samar-samar
isyarat yang telah lama kaupahami

BACAJUGA

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB
Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

aku hanya hendak menjadi hening kolam
—hendak menjadi/ kata yang dalam. 

(18/08/20)

 

Hutan

aku suka tidur dalam hutan yang tentram
menggulung badan diselimuti hujan

tak perlu menjadi sepasang boneka pengantin
kesepian. donat yang digigit lalu disisakan sebagian

ingatan adalah tumpukan pakaian kotor
belum terpisah dari peluh dan bau tubuh

aku akan bermimpi dan tertidur lagi
seperti putri yang setia dan tujuh kurcaci

sebuah kota terhapus dari peta
kompas buta arah dan tak melanjutkan kalimat berikutnya

aku hanya pesan hanyut
tak harap ditemukan pelaut.

 

Yang Lupa Caranya Memejamkan Mata

matamu yang teduh telah benar
benar redup. tertutup.

rindu yang mendidih adalah api
lupa kau padamkan
pada sebuah perjamuan
suatu makan malam yang lengang.

gamang nyala lampu damar
asap tungku yang menjelma apa saja
gentayangan jasadmu.

hidangan telah jadi dingin—
tubuh yang kau kenakan kemarin.

 

Lanskap Murung

kau dapat menjumpaiku
di antara reruntuhan dinding kota
—kata-kata yang tak jelas lagi susunannya
meringkuk. seperti sepasang kucing kecil
yang sengaja ditinggalkan

di mana-mana  berjalan manekin-manekin
tanpa kepala. tersebar di penjuru kota

foto keluarga dan senyum yang dipaksa-paksa
adalah lapisan kulit yang mulai berlumut
bunga yang tak mengatakan kesedihannya

kau menemukanku
di deretan panjang daftar hitam
seorang gadis yang menyeret malam

 

Jarum Jam

Ia membayangkan tangan-tangan gaib
memutar jarum-jarum jam pada sebuah
rumah tua yang telah lama tak terdengar lagi
kukuknya. mungkin tangan-tangan itu juga yang sengaja
meninggalkan bercak darah. agar kita saling menuduh
saling membunuh: waktu yang mengganggu percakapan kita itu.

31/08/20

Surya Hafizh. Lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera barat. Tulisan- tulisanya tergabung dalam antologi Buah Sebuah Pilihan ( 2017), Berkisah di Kimia (2019) dan  Empati (2020). Dapat ditemui di suryahafizh979@gmail.com.

 


Yang Ingat Caranya Membaca Isyarat

Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)

 

ingatan adalah tumpukan pakaian kotor
belum terpisah dari peluh dan bau tubuh.

Pada pekan terakhir Ramadan 1422H ini, Kreatika menampilkan lima puisi dari Surya Hafizh. Kelima puisi penyair muda dari Payakumbuh ini berjudul “Telaga dan Surau Tua”, “Hutan”, “Yang Lupa Caranya Memejamkan Mata”, “Lanskap Murung”, dan “Jarum Jam”.

Menurut Waluyo (2000), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. A. Richards (dalam Waluyo, 2000) menyebutkan makna atau struktur batin dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsur hakikat puisi, yakni tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.

Ini dapat kita temukan pada puisi-puisi Surya. Misalnya puisi pertama, “Telaga dan Surau Tua”, perasaan penyair menyatu dengan tema. Larik-larik ‘aku tak hendak jadi suara/ menjadi kerikil jatuh/ yang kau lempar ke telaga/ mengusik bias bayang surau tua’ mengungkapkan keinginan untuk tidak menjadi pengganggu, merusak ketenangan, mengacaukan harmoni. Suasana tenang ditunjukkan melalui permukaan kolam yang membiaskan pantulan surau tua di dekatnya. Lebih lanjut Surya menulis tentang kegelisahan yang disimbolkan dengan ‘kabut’, ‘kabut diam-diam meminjam wajahmu/ —diam-diam hendak menjadimu/ mengulurkan tangan samar-samar/ isyarat yang telah lama kaupahami.’ Meski kita mempunyai bahasa untuk berkomunikasi antarsesama manusia, kadang pesan dan maksud tetap disampaikan secara terselubung yang dapat menimbulkan ketidaksamaan pengertian. Namun, Surya menegaskan maksudnya bahwa yang dia inginkan adalah kedamaian, bukan perseteruan, seperti permukaan kolam yang berkecamuk. Demi terjaganya harmoni, aku lirik pun memilih ‘aku hanya hendak menjadi hening kolam/ —hendak menjadi/ kata yang dalam.’ Itu lebih dari apa pun. Kebijaksanaan.

Keinginan yang cenderung ditahan, tidak dibiarkan meledak-ledak agresif bertransformasi pada puisi ketiga, “Yang Lupa Caranya Memejamkan Mata”. Kali ini hasrat menjadi tak terbendung tak bisa dijinakkan lagi: ‘rindu yang mendidih adalah api/ lupa kau padamkan/ pada sebuah perjamuan/ suatu makan malam yang lengang.’ Meskipun ada kata ‘lengang’ yang cenderung tenang, kata ‘mendidih’ dan ‘api’ memberi energi letup atas rindu yang sebelumnya diredam di bawah permukaan kolam. Gejolak rindu memberontak lewat ‘asap tungku yang menjelma apa saja/ gentayangan jasadmu.’ Sekuat-kuatnya menahan, perasaan-perasaan akan mencari jalan keluar untuk sampai ke sasaran.

Puisi “Hutan” menjadi penengah kedua keinginan yang dituangkan dalam dua puisi di atas. Antara kolam yang memantulkan bayangan surau tua dan api rindu yang mendidih, Surya mengambil kemungkinan lain: ‘aku suka tidur dalam hutan yang tentram/ menggulung badan diselimuti hujan// tak perlu menjadi sepasang boneka pengantin/ kesepian. donat yang digigit lalu disisakan sebagian’. Rasa sakit akan kesepian karena mesti ditinggalkan akhirnya diganti dengan keterasingan yang beku namun menentramkan. Ketentraman, kedamaian memang bermuara pada rasa bahagia walau mulanya pahit di lidah.

Di dalam puisi “Lanskap Murung”, Surya menulis kesuraman kota dengan intens: “kau dapat menjumpaiku/ di antara reruntuhan dinding kota/ —kata-kata yang tak jelas lagi susunannya/ meringkuk. seperti sepasang kucing kecil/ yang sengaja ditinggalkan// di mana-mana  berjalan manekin-manekin/ tanpa kepala. tersebar di penjuru kota.” Pilihan diksi ‘reruntuhan’, ‘kucing kecil’, ‘ditinggalkan’, dan ‘manekin-manekin tanpa kepala’ berhasil membangun suasana lanskap yang tidak menyenangkan, suram, murung, penuh masalah.

Puisi-puisi Surya menunjukkan bakat yang perlu diasah lebih serius sehingga dapat menghasilkan  puisi yang kuat seperti karya Oktavio Paz berjudul “Dengarkan Aku seperti Seseorang Mendengarkan Hujan” berikut:

Dengarkan aku seperti seseorang mendengarkan hujan,
tanpa penuh perhatian dan tanpa terganggu,
langkah ritmis, gerimis tipis,
air itu adalah udara, udara itu adalah waktu,
terang semakin berlalu,
malam belum juga tiba,
wujud-wujud kabut,
di tepian sudut,
wujud-wujud waktu,
di lengkung jeda,

dengarkan aku seperti seorang mendengarkan hujan,
tak perlu menyimak, dengarkan kata-kataku,
dengan mata hati terbuka, terlelap,
dengan pancaindra terjaga,
hujan itu, langkah ritmis, gumaman kata-kata,
udara dan air, kata-kata tanpa beban,
kita adalah kita,
hari demi hari dan tahun demi tahun, saat ini,
waktu yang ringan dan kepedihan yang berat….[]

Catatan:

Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.

Tags: #Ragdi F. DayeFLPKreatikaSurya Hafizh
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Tempe dan Sayur Asem

Berita Sesudah

Puisi-puisi Yogi Resya Pratama

Berita Terkait

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB

Puisi-puisi Farha Nabila   Kanak-Kanak dalam Diri Tatkala kutemukan diriku dalam relung kesepian Yang disana takkan kutemukan dengungan sumpah serapah...

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat Karya: Balqin Adzra   “Silahkan mampir! Kami mempunyai mochi varian baru!” teriak sang penjual...

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 27/4/25 | 16:31 WIB

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra   Merindu Nagari Nan Jauh Tiap langkah yang menapak Meninggalkan rindu yang menjejak Risau nan gulandah memenuhi...

Cerpen “Rantau Nan Jauh” Karya Salman Luthfi Al Fayyadh dan Ulasannya Oleh Azwar

Cerpen “Rantau Nan Jauh” Karya Salman Luthfi Al Fayyadh dan Ulasannya Oleh Azwar

Minggu, 20/4/25 | 20:36 WIB

Rantau Nan Jauh Cerpen Karya: Salman Luthfi Al Fayyadh   Kalian tidak akan percaya jika kuceritakan matahari yang mendaki Singgalang...

Puisi-puisi Fatma Hayati dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Fatma Hayati dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 13/4/25 | 20:49 WIB

Puisi-puisi Fatma Hayati   Daster Ibu Tiba-tiba terdengar suara Kreeekkk..... "Daster ibu sobek" Aku spontan berteriak ke arah ibu Ibu...

Cerpen “Baganti jo Kain Hitam” Karya Athifaleaa dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Baganti jo Kain Hitam” Karya Athifaleaa dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 30/3/25 | 17:36 WIB

Baganti jo Kain Hitam Karya: Athifaleaa   Di tengah udara yang hangat, di sebuah desa di Minangkabau, kehidupan terasa penuh...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Yogi Resya Pratama

Puisi-puisi Yogi Resya Pratama

Discussion about this post

POPULER

  • Anggota DPRD Kota Padang Fraksi PKB, Zalmadi. [foto : ist]

    Maraknya Pencurian Aset Pemko Padang, Zalmadi : Pengawasan Harus Lebih Ketat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Brigjen Pol Solihin Jabat Wakapolda Sumbar Gantikan Brigjen Pol Gupuh Setiyono

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • HMI Dharmasraya Desak Kejari Audit Penggunakan Anggaran di Kemenag Dharmasraya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Koperasi Desa Merah Putih Resmi Dibentuk di Nagari Gunung Medan, Siap Tingkatkan Perekonomian Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yosrizal Soroti Dampak Ekonomi Pasca Kebakaran Pabrik Karet PT Teluk Luas: Nasib Pegawai dan UMKM Harus Jadi Prioritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024