Cerpen: Farisza Azzahra
Aku menatap meja makan kecil yang penuh dengan soal ujian biologi. Dengan tambahan sepiring tempe dan sepanci sayur asem, meja tersebut tampaknya semakin semrawut. Alih-alih meja makan, ia lebih mirip meja belajar; tidak ada yang menggugah. Hanya menyebabkan sakit kepala.
Terlebih lagi, aku benci tempe dan sayur asem.
“Mengapa kau tidak makan?”
Suara datar wanita yang duduk di seberangku memenuhi ruangan. Aku mendongak menatapnya dan seperti biasa. Tatapan tersebut bertepuk sebelah tangan. Ia tidak pernah menatapku. Sebatas lirikan juga enggan ia lakukan. Perhatian tertuju pada soal ujian biologi.
“Ibu sendiri, mengapa Ibu tidak makan?” jawabku dengan menambah pertanyaan lain sebagai topik makan malam.
Wanita tersebut –Ibuku, tertawa hambar.
“Aku tidak suka tempe dan sayur asem. Kau makan duluan saja. Ambil nasinya di langseng, ya.”
Aku mengangguk sembari beranjak dari tempat duduk. Mendekati dapur yang sangat kumuh, aku membawa piring biru hadiah dari sabun cuci. Dengan malas, aku mengambil nasi panas dari langseng yang masih duduk di atas kompor. Setidaknya, nasi itu pulen. Cukup membangkitkan cacing-cacing di perutku.
Kembali ke meja makan semrawut, ibuku terus menerus membungkuk. Akhir tahun bukanlah hari libur mengasyikkan untuknya. Terlalu banyak ujian yang harus ia koreksi untuk menuntaskan kelas para murid di semester genap. Sungguh menyedihkan, komisi yang ia dapatkan tidak sebanding dengan kerja kerasnya.
“Aku makan duluan, Bu,” ujarku basa-basi. Setelah duduk dan mengambil kedua lauk terbatas, aku menyantap makanan yang membosankan itu.
Sekilas, aku melihat sudut bibir Ibu melengkung. Sepuluh menit yang kikuk berhasil kulewati. Dengan secepat mungkin, aku bangkit untuk mencuci alat makanku. Kemudian, aku langsung bersiap untuk melakukan rutinitasku: bekerja di SPBU yang berjarak sepuluh kilometer dari rumahku.
“Aku pamit, Bu.”
Aku merasa sangat bebas. Jalan menuju tempat kerjaku merupakan bentuk relaksasi. Angkot dipandang remeh oleh mayoritas masyarakat, tetapi bagiku kendaraan ini adalah anugerah. Angin sepoi-sepoi, anti hujan, serta lajunya yang tidak perlu diinstruksi sangat melemaskan jiwa dan ragaku; apalagi jika dapat tempat di samping supir yang kalem dan benci musik berisik.
“Kiri, Bang.”
Aku turun tepat di depan SPBU. Oleh karena aku telah mengenakan seragam, hal yang perlu dilakukan hanyalah menaruh tas di loker karyawan. Kemudian, aku langsung bergegas menuju salah satu pengisian bensin. Setelah menyapa temanku yang bekerja di sif sebelumnya, aku mulai melakukan tugasku.
Mobil mulai memasuki pom bensin satu demi satu; dari mobil listrik paling mewah sekota, hingga angkot yang sudah tidak layak dikendara. Senyum profesional alias palsu kusunggingkan sejak awal. Sekarang, mobil sedan putih berhenti di depanku. Di lihat dari kaca depannya, sepertinya ia adalah tipe yang tidak bersedia turun untuk bicara pada petugas. Dengan cepat, aku menghampiri jendela mobilnya.
“Selamat datang, ada yang dapat saya bantu?” tanyaku dengan sopan setelah ia menurunkan kaca.
Wanita sekitar tiga puluhan mengendarai mobil tersebut. Dengan rambut ikal, kacamata hitam, serta kuku yang dipoles kian cantik. Dapat diketahui bahwa wanita tersebut berasal dari kalangan yang cukup tinggi. Kalangan yang cukup kubenci.
“Seratus ribu. Debit.” jawabnya singkat.
“Baik,” responku dengan ramah sembari menuju pump island, “dari nol, ya.”
Sekitar delapan menit kemudian, tangki mobil sedan putih terisi penuh. Aku menghampiri jendela pengemudi untuk melakukan pembayaran. Namun, sang wanita ternyata sedang menelepon.
“Iya sayang, mama lagi di jalan pulang ini,” ujarnya kepada seseorang di seberang sana sambil mengisyaratkan diriku untuk menunggu, “Apa? Tanah liat untuk prakarya? Ya ampun. Kenapa tidak bilang dari tadi, sih? Hmm, iya Mama cari dulu ya… oke, dadah.”
Sang wanita glamor mematikan teleponnya. Dengan senyum sedikit asam, ia berkata, “Maaf ya, anak saya nelpon tiba-tiba. Minta tolong beli tanah liat. Kebiasaan emang anak kecil sukanya ribetin emaknya.”
Aku tertawa kecil dan memberikan alat pembayaran debit kepadanya. Selagi sang wanita memasukkan pin, aku berkata, “Ke toko alat tulis di perempatan depan aja, Bu. Masih buka jam segini.”
“Oh iya, ya? Toko alat tulis di samping pos polisi?” tanyanya memastikan.
“Iya. Di sana lengkap, juga ada peralatan prakaryanya,” jawabku sambil memberinya struk, “Terima kasih.” Ia mengambil struknya. Dengan senyuman yang sangat berbeda dengan sebelumnya, ia berterima kasih padaku. Sepertinya aku telah membantu seorang ibu yang kesulitan.
Kali ini, sebuah kijang tua yang terlihat sangat beresiko celaka berhenti di depanku –platnya menunjukkan kota yang cukup jauh dari kotaku. Mengulangi sapaan monoton, aku langsung menuju ke pump island untuk mengisinya dengan bensin seharga lima puluh ribu. Beda dengan sang wanita glamor, sang pengemudi turun dari mobil dan menghampiriku.
“Bu, Aya lapar… habis ini kita makan dulu, ya?”
Sesosok anak perempuan kecil mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Anak itu kurus dan dekil, persis seperti ibunya yang berbadan mungil. Wajahnya manis, tetapi matanya menyiratkan lelah yang cukup mengetuk hati.
Sang Ibu tersenyum dan mengelus kepalanya. “Iya, boleh. Nanti kita cari makan ya.”
Sungguh suatu percakapan yang tidak akan pernah terjadi antara aku dengan Ibu.
Layar telah menunjukkan huruf 50.000. Sang ibu membuka dompetnya dan mengeluarkan selembar uang dengan nominal yang tertera. Kemudian, ia memberikannya padaku sembari bertanya, “Mbak, tempat makan yang masih buka jam segini di mana, ya?”
“Lurus sedikit, masih ada toko makanan cepat saji yang buka, Bu.” jawabku.
Sang ibu terlihat agak ragu. Ia berkata dengan pelan, “Kalau yang lebih murah, di mana Mbak?”
Aku terdiam, berpikir. Hampir seluruh gerai makanan sudah tutup di malam hari. Apalagi, aku selalu makan di rumah sehingga pengetahuanku atas tempat-tempat tersebut agak minim. Namun, samar-samar aku ingat satu warung nasi yang letaknya lima kilo dari SPBU ini. Mungkin itu yang mereka cari.
“Ibu keluar dari SPBU ini langsung belok kiri, lurus terus dan belok kanan di pertigaan. Setelah itu Ibu lurus saja dan ada warung nasi di sebelah kiri jalan.” jelasku sambil berharap bahwa ingatanku ini benar.
Sang ibu tidak menjawab, ia sibuk merogoh-rogoh dompetnya yang dari sudut mataku hanya berisi dua lembar sepuluh ribu. Lalu, ia mengambil salah satunya dan menyerahkannya padaku.
“Makasih ya Mbak,” ujarnya sangat ramah. Aku menolaknya, namun ia bersikeras agar aku menerima uang tersebut. Kalau terus menerus menolak sepertinya tidak sopan maka aku mengambilnya sambil mengucap terima kasih yang banyak.
Malam terasa sangat panjang. Setelah kedua ibu yang datang tadi, hanya ada sekitar enam mobil yang butuh bensinnya terisi. Sisanya, aku menghabiskan waktu dengan bengong dan menatap langit. Pikiranku melayang ke berbagai hal. Mulai dari apakah sang wanita glamor mendapatkan tanah liat? Apakah anaknya akan kena marah ibunya hingga apakah sang ibu mungil juga ikut makan dengan anak perempuannya. Klimaksnya, aku memikirkan ibu.
Aku tidak pernah akrab dengan ibu. Selepas kepergian ayah, aku malah semakin jauh dengannya. Aku merasa bahwa diriku dan dirinya terlalu berbeda, dan hal itu menyebabkan diriku tidak nyaman. Namun, aku selalu berusaha untuk hidup dengan damai berdua. Walau canggung, setidaknya kami tidak pernah ribut satu sama lain. Pekerjaannya sebagai guru biologi di sekolah dasar cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.
Aku agak ragu di bagian cukup tersebut, tetapi mengingat aku masih bisa makan tiga kali sehari, maka sepertinya predikat itu pantas untuk kondisi kami.
Menurutku, kemelaratan kami disebabkan oleh keborosan ibu di masa lampau. Ibu gemar menghabiskan uang ayah. Tidak jarang mereka bertengkar karena hal tersebut. Ayah yang muak dengan kelakuan ibu dan memutuskan untuk pergi. Pergi tanpa meninggalkan sepeser uang dan pergi tanpa memikirkanku. Sisanya, dapat dibayangkan hidupku dengan ibu yang tegang dan kaku.
Waktu menunjukkan pukul empat pagi, tepat ketika selesainya pekerjaanku. Menumpang dengan rekan yang tempat tinggalnya searah, aku lekas kembali ke rumah. Angin menusuk-nusuk tulangku, rasa lapar mulai muncul di perutku. Harapan adanya mi instan menyelimuti pikiranku: semoga masih ada satu.
Dua puluh menit kemudian, aku sampai di rumah. Setelah mengucapkan terima kasih pada rekanku, aku membuka pintu sepelan mungkin, tidak ingin mengganggu ibu. Aku berjingkat-jingkat menuju dapur untuk menunaikan harapan sedari tadi.
Bayangan mie instan rebus membuat perutku berbunyi. Aku langsung membuka laci setelah menginjakkan kaki di dapur. Naasnya, tidak ada mi instan sama sekali. Aku merasa kesal, lelah dan lapar cukup membuat amarahku mudah meningkat. Dengan malas, aku berjalan menuju kamarku; memutuskan untuk tidur.
Aku melewati meja semrawut. Mengejutkannya, terdapat sepiring tempe dan semangkuk sayur asem di atasnya. Perutku bergejolak seakan dapat memakan segala bentuk makanan, bahkan yang tidak aku sukai. Segera, aku duduk dan mendekatkannya padaku.
Aku melahap satu sendok sayur asem. Air mataku hampir turun merasakan kuahnya yang masih hangat. Tempe juga kugigit dengan cepat, dan rasanya masih garing. Setelah semuanya habis, mataku tertuju pada kamar ibu. Gorden pengganti pintu kamar kusibakkan. Di atas kasur yang reyot, aku melihat ibu yang tertidur nyenyak. Aku mendekatinya. Aku mengamati wajah cantik ibu yang rileks walau letih terlihat dengan jelas. Sudah lama sekali aku tidak menatapnya sedekat ini.
Kemudian, mataku tertuju pada nakas di samping lemari. Terdapat fotoku di sana, terpajang dengan cantik. Di sampingnya, aku melihat botol bekas selai yang berisi uang –receh hingga kertas. Huruf-huruf di botol tersebut membuatku terharu: “UNTUK MASA DEPAN FEBRI”, ditulis dengan spidol yang tintanya mulai memudar.
Keesokan paginya, aku bangun dan melihat ibu yang tengah menjahit seragamku. Seperti biasa, tempe dan sayur asem disajikan di atas meja semrawut. Aku bergegas ke dapur, menaruh nasi ke dua piring biru hadiah dari sabun cuci. Setelahnya, aku kembali ke meja tersebut dan meletakkan kedua piring di sisi yang berhadapan.
“Ayo makan, Bu.” ujarku sambil duduk di hadapannya.
Dari ujung mataku, aku melihat ibu yang menatapku dengan mata berkaca-kaca. Perlahan, ia menyingkirkan seragamku dari meja dan mendekatkan piringnya ke depannya persis. Aku mengambil dua buah tempe untuknya, mengambil satu untukku. Lalu, aku menyendokkan secentong sayur asem ke piringnya dan melakukan hal yang sama untukku.
“Selamat makan,” ucapku setelah berdoa.
Ibu masih tidak bergeming. Ia hanya menatapku yang makan dengan pelan. Beberapa saat kemudian, ia mulai menyendokkan nasi ke mulutnya. Isakan kecil mulai terdengar, namun aku memutuskan untuk tidak meresponnya; membiarkan kami makan bersama dengan tenang.
Hari itu, aku berangkat ke SPBU jalan kaki. Perjalanan tersebut jauh lebih menyenangkan dibandingkan biasanya. Pikiran tentang bagaimana seorang ibu yang rela tengah malam mencari tanah liat, membela-belakan kelaparan, dan selalu menyiapkan santapan untuk anaknya. Aku memang tidak terlalu akrab dengan ibu, tetapi aku sangat mengapresiasi kehadirannya. Ibu menganggapku sebagai negerinya. Negeri yang harus dirawat dan dijaga. Sudah saatnya aku melakukan hal yang sama.
Catatan: Nominasi Lomba Cerpen Scientia 2020 dengan tema “Perempuan yang Merawat Negeri”
Biodata Penulis
Farisza Azzahra lahir pada 7 Desember 2001 di Jakarta. Wanita yang biasa dipanggil Ara ini adalah seorang mahasiswi Prodi Prancis di Universitas Indonesia. Ia gemar membaca dan menulis sejak masih sekolah dasar dan terus mengembangkan hobinya hingga saat ini. Ia memiliki blog berisi tulisannya sendiri, yakni fariszara22.wixsite.com/punyaara.