Tuah
Hujan tiada henti membasahi bumi
Inikah yang dinamakan kota hujan?
Sampai-sampai mentari tiada berwujud
Berganti gumpalan awan gelap
Berhias petir dan gemuruh angin
Ke manakah tuahmu kota hujan?
Enggankah engkau memelukku
Membiarkanku menggigil di trotoar jalan
Sudah habiskah sapaan lembutmu
Hilangkah dentingan dawai kehangatanmu
Maaf, hari ini tiada tuah untukmu
Lubuk Lintah, 03 Desember 2016
Dikau
Terlalu lama menyelam akhirnya menyulam petaka
Menghentak dalam napas yang terengah
Pudar dalam kentara
Sayup dalam kedekatan
Solok, 5 Feb 2016
Buih Pepasir
Malam kian larut namun mata enggan terkantuk
Bayang-bayang masa silam kian sarat terbayang
Tak cukup perisai melawan gempuran
Tak kuat karang menahan gelombang
Hancur jua dalam kebimbangan
Kiat apa yang kan dibawa
Kalau kaca tetap pecah
Kalau jalan tetap bersimpang
Merah kental bak sago
Budi baiak takana juo
Lantunan nada rindu berbisik
Bersama angin, ia mendekat
Kalap, panik… harap tak tertahan
Hancur tetap ‘kan dirangkai kembali
Koyak tetap ‘kan dirajut kembali
Namun hati yang luka dan berdarah
Menganga, entah dengan apa ‘kan dibalut lagi
Solok, 1 Februari 2016
Kalam
Kawan, ada satu hal tak bisa dikau ubah dalam hidup ini
Deraian air mata takkan mengubah haluannya
Ratapan puisi takkan membuatnya luluh
Rangkaian kata kau rajut tak membuat dia bergeming
Dia bersemayam dalam gelak tawa
Dia bersinggasana di atas pilu dan sendu
Dia tertidur dalam pusara waktu
Dia hidup dalam sejarah jiwamu
Coba kau jawab wahai penguasa pena sastra
Takdir… ah ia memang raja dalam lika-liku hidup, tapi bukan itu, kawan!
Cinta… kelam menjadi benderang karenanya, namun bukan juga dia!
Masa lalu… yah memang itu jawabannya, kawan
Ia akan tetap seperti apa ia ditinggalkan tak berobah sedikit pun
Tak lekang karena panas tak lapuk karena hujan
Tak mati digilas roda zaman
Inilah kalam tak bertuan
Berguguran dari ujung ranting jiwa kesepian
Padang, 3 Desember 2015
Biodata:
Elsaradam adalah nama pena dari M. Saddam Husin lahir di Sungai Abang Kabupaten Tebo-Jambi 30 S1993. Tamatan Perguruan Thawalib Padang Panjang, sekarang mahasiswa Jinayah Siyasah IAIN IB Padang. Motonya: “Teruslah berkarya walaupun sekecil pepasir di pantai dengan mengharap ridho-Nya!” Dapat dihubungi melalui Fb: El Saradam.
Menghunjam Tuah Pena
Oleh Ragdi F. Daye
(Penulis Buku Kumpulan Puisi Esok yang Selalu Kemarin)
Inilah kalam tak bertuan
Berguguran dari ujung ranting jiwa kesepian
Azhari (2014) mengungkapkan bahwa proses kontemplasi yang dilakukan penyair dapat membentuk ciri-ciri terhadap tema yang diambilnya. Perenungan yang dimaksud adalah proses batiniah yang dilakukan oleh penyair sebelum menciptakan sebuah karya. Proses merenung sering memunculkan ide-ide yang tak terduga dan dari hal tersebutlah muncul makna-makna yang lebih dalam dari setiap diksi yang dipakai oleh penyair dalam puisinya. Setiap makna selalu memiliki tanda-tanda yang dapat dihubungkan untuk membentuk suatu makna baru yang mencakup keseluruhan isi karya puisi tersebut. Setiap penyair biasanya mempunyai waktu-waktu tertentu yang digunakan sebagai titik kontemplasinya untuk menaruh tanda-tanda di setiap makna puisinya.
Kreatika edisi ini menampilkan empat buah puisi Elsaradam, yakni “Tuah”, “Dikau”, “Buih Pepasir”, dan “Kalam”. Puisi-puisi Elsaradam cenderung tenang, menggunakan diksi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, masa silam, bayang-bayang harapan masa depan, dan jiwa kesepian. Tema-tema yang selalu menggoda untuk dituliskan menjadi bait-bait puisi.
Seperti pernyataan Azhari di atas, puisi biasanya lahir dari perenungan penyair atas fenomena kehidupan yang diperhatikannya, baik pengalaman pribadi, maupun pengalaman orang lain yang berseliweran di sekitar kehidupannya. Puisi pertama, mengungkapkan kesan penyair tentang daerah yang disebutnya ‘kota hujan’. Kota hujan dapat diartikan sebagai kota yang sering hujan, misalnya Padang Panjang di Sumatera Barat atau Bogor di Jawa Barat. Penggambaran cuaca muncul di bait pertama, Hujan tiada henti membasahi bumi/Inikah yang dinamakan kota hujan?/Sampai-sampai mentari tiada berwujud. Baris kedua mengindikasikan semacam keheranan atau pemastian apakah tempat yang dikunjungi sesuai dengan julukan. Pertanyaan retoris di baris kedua, dijawab pada bait kedua, berganti gumpalan awan gelap/ Berhias petir dan gemuruh angin. Memang demikian adanya, tempat yang digambarkan memang kota hujan.
Persoalan muncul ketika ‘aku’ lirik bertanya lagi, Ke manakah tuahmu kota hujan?/ Enggankah engkau memelukku/ Membiarkanku menggigil di trotoar jalan. Tuah yang dipertanyakan aku lirik jika dihubungkan dengan larik-larik sebelumnya mengacu pada status ‘kota hujan’, namun kata ‘menggigil’ jadi kurang untuk meragukan tuah karena efek keberadaan hujan memang rasa kedinginan. Berbeda jika yang dipertanyakan tokoh aku lirik adalah keramahtamahan si kota hujan yang tidak ada lagi sehingga membiarkan dia terlantar di pinggir jalan tanpa kehangatan. Diksi ‘tuah’ yang dipakai penyair belum didukung oleh imaji dan metafora yang kuat untuk menghadirkan ironi hilangnya kesaktian atau keistimewaan negeri tersebut.
Puisi kedua, “Dikau” mulai bermain-main dengan diksi. Puisi pendek ini menghadirkan frasa yang berpasang-pasangan di setiap larik, yakni ‘menyelam’ dan ‘menyulam’, ‘menghentak’ dan ‘terengah’, ‘pudar’ dan ‘kentara’, serta ‘sayup’ dan ‘kedekatan’. Ada pasangan yang klop, namun ada juga yang menimbulkan imajinasi absurd, yakni baris Terlalu lama menyelam akhirnya menyulam petaka. Imajinasi visual menyelam akan menghadirkan alam bawah air dengan ikan-ikan dan fauna hidrial lain, namun citraan menyulam akan memunculkan visual kain, jarum, dan benang. Barangkali, menyulam sambil menyelam dapat juga menimbulkan keasyikan.
Pradopo (2009) mengatakan bahwa penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya melalui kata-kata yang dipilih untuk mewakili gagasan yang disampaikan atau menggunakan diksi. Diksi adalah pemilihan kata-kata yang memiliki kedudukan sangat penting dalam puisi. Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2010:272). Bahasa dalam seni sastra tersebut dapat disamakan dengan cat warna. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa sastra. Menggunakan bahasa untuk menyampaikan gagasan dan imajinasi dalamproses penciptaan karya sastra sangat diperlukan oleh setiap pengarang. Hal ini menyiratkan bahwa karya sastra merupakan peristiwa bahasa. Dengan demikian, unsur bahasa merupakan sarana yang penting dandiperhitungkan dalam penyelidikan suatu karya sastra, karena bahasa berfungsiuntuk memperjelas makna. Sebagai karya yang bersifat fiktif, karya sastra bisa menjadi media curahan hati yang efektif bagi pengarangnya dalam bentuk tulisan menjadi puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Karya sastra yang ditulis pengarang tersebut kemudian dibaca dan dipahami oleh pembaca sehingga pembaca dapat mengerti maksud dan pesan yang disampaikan oleh pengarang melalui karyanya tersebut.
Puisi kedua dan ketiga mencoba menggunakan larik-larik yang panjang dengan tiplogi yang diupayakan tertata. Namun, pemilihan diksi yang padat dan mampu menghantarkan makna masih menjadi persoalan penyair. Sejumlah kata masih dapat digantikan posisinya dalam struktur dengan kata atau metafora lain, atau dihilangkan untuk keutuhan struktur sehingga menghasilkan imaji yang solid. Lantunan nada rindu berbisik/ Bersama angin, ia mendekat/ Kalap, panik… harap tak tertahan/ Hancur tetap ‘kan dirangkai kembali/ Koyak tetap ‘kan dirajut kembali/ Namun hati yang luka dan berdarah/ Menganga, entah dengan apa ‘kan dibalut lagi. Meski belum kokoh, bait ini tertolong oleh bunyi-bunyi kakafoni seperti ‘bisik’, ‘kalap’, ‘panik’, ‘koyak’, ‘rajut’, dan ‘balut’ yang menimbulkan efek suasana murung dan sumbang.
Antiklimaks upaya merangkai diksi terjadi di puisi keempat, “Kalam”. Baris-baris dalam puisi ini masih terkesan mentah, perlu direnungkan lagi supaya tidak terjebak menggunakan struktur kalimat yang menyerupai orasi yang verbal kehilangan gugus-gugus metafora yang menyurukkan makna, ‘berguguran dari ujung ranting jiwa kesepian’, yang justru memperkuat keindahan puisi. Selamat menempuh hidup baru, Elsaradam! Ditunggu puisi baru yang lebih menggelora.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.