Oleh : Elfahmi Lubis
(Ketua Program Studi PPKN Universitas Muhammadiyah Bengkulu)
Secara kuantitatif, Indonesia merupakan negara demokrasi ketiga terbesar setelah India dan Amerika Serikat. Sebagai negara berdaulat, Indonesia telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai common platform di antara komunitas dan kelompok warga yang sangat majemuk. Dengan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia bukan confenssional state (negara berdasarkan agama), juga tidak negara murni ‘’secular state’’ yang menjadikan agama cukup sebagai landasan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus dipahami bahwa mayoritas mutlak pemimpin Indonesia menerima Pancasila sebagai dasar negara yang final. Dalam konteks ini, sebenarnya multikulturalisme, pluralisme atau kemajemukan sudah diakui negara lewat prinsip Bhineka Tunggal Ika (Diversity in Unity).
Kemajemukan Indonesia dapat dilihat dari fakta demografis, kultural, dan geografis berikut ini, yaitu 17.504 pulau, 9.903 km garis pantai, 7,9 juta km2 laut, 265 juta penduduk, 1.340 ribu suku bangsa, dan 655 bahasa daerah. Untuk merekat kemajemukan tersebut di atas, hanya dengan menjadikan Pancasila sebagai roh dan model dalam kehidupan kebangsaan.
Secara politis, Pancasila merupakan ideologi negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, alat pemersatu bangsa, dan alat untuk menjaga kemajemukan dan kebhinekaan di antara berbagai agama, suku, ras, dan golongan. Terakhir, Pancasila alat untuk menjaga semangat kebangsaan (nasionalisme). Di dalam Pancasila, setidaknya tergandung lima nilai dasar yang harus menjadi rujukan bagi bangsa ini, yaitu nilai spritualitas, nilai humanism, nilai persatuan, nilai demokrasi, dan nilai keadilan sosial.
Implementasi nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, diejawantahkan dalam perilaku berikut ini. Nilai spritualitas dalam bentuk budi pekerti luhur dan akhlak mulia (integrity and piety). Nilai kemanusiaan berpihak pada upaya penegakan HAM, terutama bagi kelompok rentan dan marjinal. Nilai pluralisme yang mengapresiasi setiap perbedaan dan kemajemukan. Nilai kecintaan terhadap NKRI dan rasa solidaritas sesama warga bangsa, dan nilai kepedulian dan solidaritas untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tantangan stuktural umat beragama saat ini, umumnya UU dan kebijakan publik belum kondusif bagi pluralisme. Umumnya, pejabat pemerintah dan tokoh agama takut bicara soal agama di ruang publik, terutama jika isunya kontroversial dan melawan pendapat mayoritas. Kebanyakan, para cendikiawan dan tokoh agama lebih memilih sikap diam karena takut diberikan stempel antiagama oleh sebagian arus publik.
Dalam konteks politik Indonesia, setidaknya ada beberapa proses transformasi dalam relasi agama dan negara. Pertama, transformasi gerakan Islam kebangsaan (kemerdekaan) ke gerakan politik praktis dalam perhelatan demokrasi. Kedua, transformasi dari gerakan politik praktis ke gerakan dakwah, melahirkan dua yang melahirkan dua kelompok besar, yaitu kelompok islam subtansialistik dan kelompok Islam legal-formalistik. Ketiga, transformasi dari gerakan Islam radikal ke Islam jihadis. Kelompok yang terakhir ini sangat berbahaya dan situlah pentingnya inklusi sosial.
Globalisasi telah membawa kontestasi nilai (ideology) dan kepentingan yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas, baik dalam konteks politik maupun sosial budaya. Menguatnya gejala polarisasi dan fragmentasi sosial baik berbasis identitas keagamaan, kesukuan, golongan dan kelas-kelas sosial. Kondisi di atas diperparah oleh lemahnya lietarasi beragama dan budaya kewargaan. Indonesia sebagai masyarakat plural kurang mengembangkan wawasan dan prakatik-praktik pembelajaran berbasis multikulturalisme.
Wacana kebebasan beragama dalam interaksi sosial masyarakat Indonesia. Secara historis, sebenarnya, sudah ada sejak sebelum negara ini diproklamasikan tahun 1945. Bahkan, jauh sebelum itu diwacanakan melalui Badan Usaha Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Wacana ini hangat diperdebatkan oleh founding father and mothers, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Rumusan Pancasila versi Piagam Jakarta jelas menyebutkan bahwa ‘’negera berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’’. Kemudian dengan sikap kenegarawan golongan Islam, akhirnya lewat keputusan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 rumusan tersebut menjadi ‘’Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’’.
Setidaknya, terdapat tiga ranah dalam isu kebebasan beragama, yaitu pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya. Kedua, ranah hukum, terkait dengan isu kebebasan agama dalam waacana regulasi dan peraturan perundang-undangan, di antaranya isu terkait penyiaran agama, bantuan asing, pendirian rumah ibadah, pendidikan agama, dan perda-perda bernuasa syariat Islam. Ketiga, ranah masyarakat sipil, dilevel ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga di daerah. Selain itu, juga patut dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih egaliter.
Untuk itu, kedepan perlu dipikirkan tentang pembatasan kebebasan beragama demi keselamatan publik, demi ketertiban publik, demi kesehatan publik, demi menjaga moral publik, dan demi melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Setidaknya ada 8 komponen hak mendasar kebebasan beragama atau berkeyakinan, yaitu kebebasan internal, kebebasan ekstenal, tidak ada paksaan, hak orang tua dan wali, kebebasan lembaga dan status legal, pembatasan yang diizinak pada kebebasan eksternal, dan neo derogability, di mana negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
Kondisi berbahaya yang perlu diwaspadai ke depan terkait relasi agama dan negara, sebagaimana yang diungkapkan Charles Kimball dalam Bukunya “When Religion Becomes Evil’’ (Musda Mulia, 2020) adalah sebagai berikut : (1) jika pemeluk agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak, (2) jika penganut agama mengkultuskan pemimpin agama dan bertaqlid buta kepadanya, (3) jika pemeluk agama mulai gandrung memimpikan atau romantisme terhadap zaman ideal dalam sejaraah agama, (4) jika pemeluk agama membenarkan penggunaan semua cara untuk mencapai tujuan, dan (5) jika pemeluk agama mulai meneriakkan perang suci dan memanipulasi agama untuk kepentingan politik.
Oleh sebab itu, teologi dan politik harus tegas menyuarakan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan, solidaritas dan emansipasi. Teologi dan politik juga harus mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Terakhir, teoliogi dan politik juga harus mampu membimbing dan mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi.
Masih kurang pemahaman terhadap toleransi subtansial, kasus pemakaian Jilbab di SMKN 2 Padang, oleh sebagaian masyarakat kita dianggap religious virtue (kebajikan keagamaan). Menurut Buku Panduan Kemenag Tahun 2019 (Najib Burhani, 2021), moderasi beragama itu bukanlah melakukan ‘’moderasi terhadap agama’’ tetapi melainkan “memoderasi pemahaman dan pengalaman uat beragama dari sikap ekstrem (tatharruf atau berlebihan).
KH Ahmad Siddik (2005:62) dalam buku Khittah Nadliyyah menyebut moderat itu harus disandingkan dengan bersikap adil dan seimbang. Moderasi beragama tak hanya terkait dengan sikap terhadap mereka yang berbeda agama, tetapi juga terhadap mereka yang seagama tetapi berbeda aliran.
Penelitian tentang ‘’Potret Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa Muslim’’ Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, yang memotret sikap keagamaan mahasiswa di UIN Jakarta, UIN Bandung, dan UIN Yogyakarta dengan tiga indikator yaitu : (1) komitmen kebangsaan, (2) toleransi, dan (3) anti kekerasan. Menurut penelitian yang dirilis 25 Februari 2021 lalu ini menghasilkan kondisi sebagai berikut, yaitu ‘’empati internal’’ mereka ternyata lebih buruk daripada ‘’empati eksternal’’. Sikap mereka terhadap sesama muslim dari aliran yang berbeda, seperti Syiah dan Ahmadiyah. Itu lebih mengkhawatirkan daripada sikap mereka terhadap nonmuslim.
Khusus Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015, dalam rekomendasi muktamar disebutkan bahwa “Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, dan liberal’’ (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47, 2015:112).
Selain itu, juga Muktamar Muhammadiyah Ke-47 di Makassar, juga memutuskan terkait dengan respon terhadap keinginan sekelompok orang yang mendorong pendirian khilafah,menolak demokrasi, dan mengusulkan kembalinya ke Piagam Jakarta maka Muktamar melahirkan keputusan yang dikenal dengan ‘’Negara Pancasila sebagai Dar Al-Ahdy wa Al-Syahadah (Negara Pancasila sebagai Rumah Perjanjian dan Persaksian’’ adalah sebagai upaya Muhammadiyah memutus utopia negara Islam dan Khilafah.
Sejak tahuan 2000-an, kebangkitan keagamaan di Indonesia mengarah kepada yang disebut Martin van Bruinessen (Najib Burhani, 2021) sebagai konservative turn dengan lahirnya, misalnya Perda Syariah dan diskriminalisasi pada kelompok minoritas agama. Selanjutnya, disusul dengan gelombang/fase liberal democracy, yang ditandai dengan isu dan gagasan NKRI Bersyariah, Wasathiyyah Demokrasi, dan Pancasila Bertauhid.
Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan ancaman radikalisme, terorisme, dan separatisme yang kesemuanya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi. Radikalisme, terorisme dan separatisme merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi dan lebih jauh akan berdampak terhadap ketahanan nasional. Untuk itu, segala upaya untuk menangkal penyebaran paham radikal harus menjadi komitmen dan gerakan bersama seluruh komponen bangsa.
Hasil penelitian lembaga riset ALVARA bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2019 merilis bahwa ada tiga tipologis muslim di Indonesia dalam memandang Pancasila. Pertama, tipologi muslim nasionalis oriented sebesar 39,43%, kelompok ini berpendapat bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan syariah Islam. Kedua, tipologi muslim nasionalis religius yaitu sebesar 47%, kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan cinta damai, kelompok ini juga mendukung pemberlakuan Perda Syariah. Ketiga, tipologi religius oriented sebesar 18,10%, kelompok ini memiliki cara pandang bahwa penggunaan kekerasan dihalal dalam menegakkan amar makruf nahi munkar, dan mereka menolak pemimpin non muslim. Dari hasil riset ini , dapat disimpulkan bahwa masih cukup besar kelompok muslim di Indonesia, yaitu sebesar 10,18% yang menghalal penggunaan cara-cara kekerasan dalam beragama.
Hasil Survei Kementerian Pertahanan RI 2018 mengungkapkan bahwa 23,4% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA setuju dengan negara khilafah. Selanjutnya, 18,1% pegawai swasta, 19,4% PNS, dan 19,1% pegawai BUMN tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Bahkan, sungguh mengejutkan bahwa ada sebesar 24% kelompok terpelajar setuju melakukan jihad untuk menegakkan daulah islamiyah atau khilafah.
Fakta ini menunjukkan bahwa pelajar merupakan kelompok yang menjadi sasaran utama penyebaran paham radikal saat ini. Rentannya, pelajar terhadap penyebaran faham radikal ini, disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena kelompok ini dianggap masih labil secara psikologis sehingga mudah untuk dipengaruhi oleh pemikiran ekstrim. Hal ini semakin diperkuat dengan banyak anak usia muda yang menjadi pelaku dan terlibat aktif dalam tindakan terorisme seperti pengeboman.
Pola penyebaran paham radikalisme di kalangan pelajar dilakukan dengan berbagai bentuk mulai dengan cara konvensional (penggalangan massa, kelompok pengajian, kelompok diskusi, dan kelompk hijrah), sampai dengan cara modern melalui kampamnye dan proganda di dunia maya melalui berbagai saluran media sosial seperti facebook, twitter, instagram, line, telegrap, blog, email, dan whatsapp. Akhir-akhir ini, muncul pola baru penyebaran radikalisme dengan memanfaatkan orang-orang tertentu yang sudah terpapar untuk melakukan penggalangan dengan sistem sel kepada orang lain, seperti teman sebaya dan orang terdekat. Dengan semakin terstruktur, sistematis, dan masifnya pola penyebaran paham radikal ini, diperlukan tindakan kontraradikalisme yang efektif dan mampu menjangkau semua elemen masyarakat, terutama kalangan pelajar.
Discussion about this post