Jumat, 20/6/25 | 10:34 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

“Pendokumentasian” dan Cultural Tourism

Minggu, 18/8/24 | 10:49 WIB
“Pendokumentasian” dan Cultural Tourism

Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)


“Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.”
-Marcus Garvey

Perkembangan pariwisata di Indonesia saat ini sedang masif dengan program wisata budaya. Banyak tempat wisata menyuarakan dan menjadikan budaya sebagai sentral pergerakan pariwisata yang ada di daerah tersebut. Hal ini juga didukung oleh pemerintah pusat ataupun daerah. Bentuk dukungan pemerintah pusat adalah dengan menyediakan dana untuk proses revitalisasi ikon pariwisata yang ada di daerah tersebut, sedangkan pemerintah daerah menyediakan dana ataupun membuatkan peraturan daerah (perda) atau peraturan desa (perdes) tentang pelaksanaan pariwisata berbasis budaya.

BACAJUGA

Memori Kolektif Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto

Memori Kolektif Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto

Minggu, 06/10/24 | 06:53 WIB
Tradisi antara Identitas dan Media Kritik

Tradisi antara Identitas dan Media Kritik

Minggu, 04/8/24 | 07:22 WIB

Bentuk dukungan pemerintah dalam bentuk revitalisasi marak dilakukan pada pandemi covid beberapa tahun lalu. Diakses dari laman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia yang diunggah pada tahun 2021 pemerintah melalui dana PEN juga mengalokasikan sebesar Rp7,67 triliun untuk mendukung pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional dan pelatihan sumber daya manusia (SDM) pariwisata. Terkait ini dapat dibaca lebih lanjut pada tautan berikut, setkab.ginilah-dukungan-pemerintah-untuk-pemulihan-sektor-pariwisata-dan-ekonomi-kreatif/. Hal ini tentu saja membuat perkembangan pariwisata di Indonesia semakin baik.

Cultural Tourism adalah pariwisata yang terkait dengan budaya. Jika membicarakan tentang kebudayaan, Sumatera Barat menjadi salah satu objek yang menarik untuk dibicarakan. Banyak pariwisata budaya yang saat ini berkembang di Sumatera Barat, salah satunya adalah tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Mentawai. Mentawai memang berada dalam Provinsi Sumatera Barat, tetapi memiliki kebudayaan dan tradisi yang cukup berbeda dengan tradisi yang dimiliki oleh orang Sumatera Barat yang didominasi oleh etnis Minangkabau. Bumi Sikerei ini menjadi objek wisata eksotis bagi wisatawan asing atau lokal, jurnalis, dan juga para peneliti.

Salah satu daerah yang cukup sering didatangi untuk melihat kekentalan tradisi masyarakat Mentawai adalah Desa Matotonan. Hal ini didukung oleh faktor sikerei, orang yang menyembuhkan penyakit dan juga memimpin jalannya ritual-ritual masyarakat Mentawai, yang ada di Desa Matotonan masih dapat dikatakan tergolong cukup banyak, yaitu lebih dari 30 orang sikerei. Hal ini ditonjolkan ketika upacara atau perayaan ulang tahun desa. Peringatan ulang tahun desa yang ke-44 ini mengangkat tema “Merawat Warisan Merangkul Masa Depan”. Lia Eeruk tahun ini diawali dengan pemindahan gong ke balai desa karena sebelumnya dilakukan di uma. Pemindahan ini tentu saja tidak bisa dipindahkan begitu saja, tetapi juga melalui ritual yang dilakukan oleh sikerei.

Perayaan ulang tahun ini menjadi menarik karena ada beberapa ritual yang dilakukan oleh sikerei. Akan tetapi, ada fenomena yang paling menonjol selain pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh sikerei, yaitu pendokumentasian yang dilakukan oleh banyak pihak, terutama media ataupun peneliti. Anggapan bahwa tradisi ini tidak boleh hilang dan harus dipublikasi ke berbagai negeri, terkadang membuat beberapa hal mulai termarginalkan. Pelaksanaan ritual yang seharusnya dianggap sakral, tetapi orang-orang yang mendokumentasikan berada di dekat mereka, sangat dekat dengan kamera di semua tangan bahkan dengan cahaya flash yang saling bersahut-sahutan. Fenomena ini terlihat cukup mengganggu karena terlihat dari beberapa kali peringatan dari panitia agar yang mendokumenatasikan tidak teralalu dekat dengan para sikerei yang sedang melaksanakan ritual. Walupun ketika dilakukan wawancara dengan Pak Zaidin, pemimpin ritual dalam acara ulang tahun desa kali ini, ia menyampaikan bahwa tidak masalah dengan adanya pendokumentasian yang dilakukan, tetapi dengan catatan meminta izin kepada psikebukat uma.

Pada pelaksanaan upacara ulang tahun desa di Matotonan pada tahun 2024 ini. Banyak jurnalis nasional yang datang, baik diundang ataupun datang melalui sesama kenalan. Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan mendokumentasikan dan kemudian memublikasikan, tetapi yang sering keliru adalah proses untuk melakukan kedua hal tersebut. Contohnya ketika ritual dilakukan ada ruangan kecil di sudut balai desa yang sengaja dibuat untuk sebuah ritual yang dilakukan oleh sikerei sebelum ditampilkan ke publik dan tidak diperbolehkan untuk mendokumentasikan karena hal tersebut dianggap sakral. Namun, ada saja oknum nakal yang yang pergi ke ruangan tersebut untuk mendokumentasikan. Padahal, panitia sudah sering mengingatkan sebelum acara dimulai.

Hal lain yang sama juga terjadi ketika pelaksanaan pasibelek atau ritual pemanggilan roh leluhur ataupun roh diri sendiri yang terlepas dari diri. Namun, orang-orang yang mendokumentasikan kembali tidak mendengarkan apa yang disampaikan oleh panitia. Mereka berdiri persis di depan sikerei yang melaksanakan ritual pasibelek. Hal ini dianggap akan mengganggu ritual yang sedang berlangsung. Mungkin saja bagi kita orang yang berada di luar tradisi menganggap hal tesebut unik dan harus didokumentasikan, entah itu berapa gambar, video, atau bahkan perekamaan bacaan pada ritual yang dilakukan sehingga harus direkam dan dijadikan sebagai objek penelitian. Namun, bagi mereka hal ini adalah sebuah tradisi yang mereka anggap sakral.

Keberadaan sebuah tradisi yang dijadikan sebagai objek dalam mem-branding daerah tersebut menjadi pariwisata berbasis budaya memang rawan terjadi rekonstruksi baik bentuk tradisi ataupun sifat tradisi itu sendiri. Namun, jika tidak dilakukan mungkin saja tradisi tersebut hilang begitu saja tanpa adanya pendokumentasian dan tidak dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut terkait tradisi yang pernah ada. Pendokumentasian ini pada akhirnya seperti pisau yang memiliki dua sisi.

Pada dasarnya, Fenomena swafoto, mengambil foto, dan video sebenarnya terjadi di mana-mana, tidak hanya dalam pariwisata budaya, tetapi juga tempat wisata pada umumnya dan berbagai tempat lainnya. Bahkan ketika terjadi kecelakaan semuanya memvideokan lalu mengunggahnya ke sosial media dan sudah merasa menjadi profesional tanpa memperhatikan kode etik jurnalistik yang seharusnya ditaati. Padahal menjadi seorang jurnalis juga harus mempelajari dan memperhatikan kode etik jurnalistik sehingga ada hal-hal yang harus diperhatikan. Fenomena yang terjadi dalam mempublikasikan ketika terjadi kecelakaan adalah mengekspos korban tanpa melakukan sensor.

Namun demikian, ada hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pendokumentasian, baik untuk dipublikasi di media massa atau sebagai bahan untuk objek penelitian. Pertama, kita juga harus menjaga sifat tradisi itu sehingga tidak mengalami pergeseran yang signifikan. Kemudian, kita juga harus mengikuti aturan yang sudah dijelaskan oleh panitia, agar tradisi atau ritual yang sedang dilakukan dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Jangan hanya datang untuk menjadikan mereka sebagai objek saja, tetapi mereka juga sebagai subjek yang harusnya dilihat dan dihargai sebagaimana mestinya. Terutama, terkait dengan sikerei yang menjadi ikon Mentawai, mereka bukan hanya sekedar objek karena eksistensi tradisi itu berada di tangan mereka.

Tags: #Rizky Amelya Furqan
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

DPC PKB Kota Padang Dukung Muhaimin Iskandar Lanjutkan Kepemimpinan Partai

Berita Sesudah

Terpidana Kasus Sianida, Jessica Telah Bebas dari Penjara

Berita Terkait

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB

Ilustrasi: Meta AI Oleh: Ratu Julia Putri (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)   “Kamu...

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Minggu, 01/6/25 | 11:46 WIB

Oleh: Ghina Rufa’uda (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas)   Rekeningku hanya tempat...

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Minggu, 01/6/25 | 11:18 WIB

Oleh: Sufrika Sari (Mahasiswi Prodi Sejarah dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas) Kesalehan lahiriah bukanlah jaminan seseorang...

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Minggu, 25/5/25 | 14:40 WIB

Oleh: Raisa Tanjia Ayesha Noori (Mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Peraturan Daerah (Perda) sering kali dianggap sebagai...

Berita Sesudah

Terpidana Kasus Sianida, Jessica Telah Bebas dari Penjara

Discussion about this post

POPULER

  • Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Dharmasraya Diduga Cabuli Puluhan Santriwati

    Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Dharmasraya Diduga Cabuli Puluhan Santriwati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fraksi PKB Soroti Enam Poin Krusial dalam Laporan Pertanggungjawaban APBD Dharmasraya 2024

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dharmasraya Gencarkan Upaya Menuju Kabupaten Layak Anak, di Tengah Bayang-Bayang Kasus Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bentuk-Bentuk Singkatan dalam Surat Resmi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KOPRI PMII Dharmasraya Soroti Dugaan Kasus Pencabulan di Ponpes, Desak Kooperatif dan Pengawasan Kemenag

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024