Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.”
-Marcus Garvey
Perkembangan pariwisata di Indonesia saat ini sedang masif dengan program wisata budaya. Banyak tempat wisata menyuarakan dan menjadikan budaya sebagai sentral pergerakan pariwisata yang ada di daerah tersebut. Hal ini juga didukung oleh pemerintah pusat ataupun daerah. Bentuk dukungan pemerintah pusat adalah dengan menyediakan dana untuk proses revitalisasi ikon pariwisata yang ada di daerah tersebut, sedangkan pemerintah daerah menyediakan dana ataupun membuatkan peraturan daerah (perda) atau peraturan desa (perdes) tentang pelaksanaan pariwisata berbasis budaya.
Bentuk dukungan pemerintah dalam bentuk revitalisasi marak dilakukan pada pandemi covid beberapa tahun lalu. Diakses dari laman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia yang diunggah pada tahun 2021 pemerintah melalui dana PEN juga mengalokasikan sebesar Rp7,67 triliun untuk mendukung pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional dan pelatihan sumber daya manusia (SDM) pariwisata. Terkait ini dapat dibaca lebih lanjut pada tautan berikut, setkab.ginilah-dukungan-pemerintah-untuk-pemulihan-sektor-pariwisata-dan-ekonomi-kreatif/. Hal ini tentu saja membuat perkembangan pariwisata di Indonesia semakin baik.
Cultural Tourism adalah pariwisata yang terkait dengan budaya. Jika membicarakan tentang kebudayaan, Sumatera Barat menjadi salah satu objek yang menarik untuk dibicarakan. Banyak pariwisata budaya yang saat ini berkembang di Sumatera Barat, salah satunya adalah tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Mentawai. Mentawai memang berada dalam Provinsi Sumatera Barat, tetapi memiliki kebudayaan dan tradisi yang cukup berbeda dengan tradisi yang dimiliki oleh orang Sumatera Barat yang didominasi oleh etnis Minangkabau. Bumi Sikerei ini menjadi objek wisata eksotis bagi wisatawan asing atau lokal, jurnalis, dan juga para peneliti.
Salah satu daerah yang cukup sering didatangi untuk melihat kekentalan tradisi masyarakat Mentawai adalah Desa Matotonan. Hal ini didukung oleh faktor sikerei, orang yang menyembuhkan penyakit dan juga memimpin jalannya ritual-ritual masyarakat Mentawai, yang ada di Desa Matotonan masih dapat dikatakan tergolong cukup banyak, yaitu lebih dari 30 orang sikerei. Hal ini ditonjolkan ketika upacara atau perayaan ulang tahun desa. Peringatan ulang tahun desa yang ke-44 ini mengangkat tema “Merawat Warisan Merangkul Masa Depan”. Lia Eeruk tahun ini diawali dengan pemindahan gong ke balai desa karena sebelumnya dilakukan di uma. Pemindahan ini tentu saja tidak bisa dipindahkan begitu saja, tetapi juga melalui ritual yang dilakukan oleh sikerei.
Perayaan ulang tahun ini menjadi menarik karena ada beberapa ritual yang dilakukan oleh sikerei. Akan tetapi, ada fenomena yang paling menonjol selain pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh sikerei, yaitu pendokumentasian yang dilakukan oleh banyak pihak, terutama media ataupun peneliti. Anggapan bahwa tradisi ini tidak boleh hilang dan harus dipublikasi ke berbagai negeri, terkadang membuat beberapa hal mulai termarginalkan. Pelaksanaan ritual yang seharusnya dianggap sakral, tetapi orang-orang yang mendokumentasikan berada di dekat mereka, sangat dekat dengan kamera di semua tangan bahkan dengan cahaya flash yang saling bersahut-sahutan. Fenomena ini terlihat cukup mengganggu karena terlihat dari beberapa kali peringatan dari panitia agar yang mendokumenatasikan tidak teralalu dekat dengan para sikerei yang sedang melaksanakan ritual. Walupun ketika dilakukan wawancara dengan Pak Zaidin, pemimpin ritual dalam acara ulang tahun desa kali ini, ia menyampaikan bahwa tidak masalah dengan adanya pendokumentasian yang dilakukan, tetapi dengan catatan meminta izin kepada psikebukat uma.
Pada pelaksanaan upacara ulang tahun desa di Matotonan pada tahun 2024 ini. Banyak jurnalis nasional yang datang, baik diundang ataupun datang melalui sesama kenalan. Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan mendokumentasikan dan kemudian memublikasikan, tetapi yang sering keliru adalah proses untuk melakukan kedua hal tersebut. Contohnya ketika ritual dilakukan ada ruangan kecil di sudut balai desa yang sengaja dibuat untuk sebuah ritual yang dilakukan oleh sikerei sebelum ditampilkan ke publik dan tidak diperbolehkan untuk mendokumentasikan karena hal tersebut dianggap sakral. Namun, ada saja oknum nakal yang yang pergi ke ruangan tersebut untuk mendokumentasikan. Padahal, panitia sudah sering mengingatkan sebelum acara dimulai.
Hal lain yang sama juga terjadi ketika pelaksanaan pasibelek atau ritual pemanggilan roh leluhur ataupun roh diri sendiri yang terlepas dari diri. Namun, orang-orang yang mendokumentasikan kembali tidak mendengarkan apa yang disampaikan oleh panitia. Mereka berdiri persis di depan sikerei yang melaksanakan ritual pasibelek. Hal ini dianggap akan mengganggu ritual yang sedang berlangsung. Mungkin saja bagi kita orang yang berada di luar tradisi menganggap hal tesebut unik dan harus didokumentasikan, entah itu berapa gambar, video, atau bahkan perekamaan bacaan pada ritual yang dilakukan sehingga harus direkam dan dijadikan sebagai objek penelitian. Namun, bagi mereka hal ini adalah sebuah tradisi yang mereka anggap sakral.
Keberadaan sebuah tradisi yang dijadikan sebagai objek dalam mem-branding daerah tersebut menjadi pariwisata berbasis budaya memang rawan terjadi rekonstruksi baik bentuk tradisi ataupun sifat tradisi itu sendiri. Namun, jika tidak dilakukan mungkin saja tradisi tersebut hilang begitu saja tanpa adanya pendokumentasian dan tidak dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut terkait tradisi yang pernah ada. Pendokumentasian ini pada akhirnya seperti pisau yang memiliki dua sisi.
Pada dasarnya, Fenomena swafoto, mengambil foto, dan video sebenarnya terjadi di mana-mana, tidak hanya dalam pariwisata budaya, tetapi juga tempat wisata pada umumnya dan berbagai tempat lainnya. Bahkan ketika terjadi kecelakaan semuanya memvideokan lalu mengunggahnya ke sosial media dan sudah merasa menjadi profesional tanpa memperhatikan kode etik jurnalistik yang seharusnya ditaati. Padahal menjadi seorang jurnalis juga harus mempelajari dan memperhatikan kode etik jurnalistik sehingga ada hal-hal yang harus diperhatikan. Fenomena yang terjadi dalam mempublikasikan ketika terjadi kecelakaan adalah mengekspos korban tanpa melakukan sensor.
Namun demikian, ada hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pendokumentasian, baik untuk dipublikasi di media massa atau sebagai bahan untuk objek penelitian. Pertama, kita juga harus menjaga sifat tradisi itu sehingga tidak mengalami pergeseran yang signifikan. Kemudian, kita juga harus mengikuti aturan yang sudah dijelaskan oleh panitia, agar tradisi atau ritual yang sedang dilakukan dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Jangan hanya datang untuk menjadikan mereka sebagai objek saja, tetapi mereka juga sebagai subjek yang harusnya dilihat dan dihargai sebagaimana mestinya. Terutama, terkait dengan sikerei yang menjadi ikon Mentawai, mereka bukan hanya sekedar objek karena eksistensi tradisi itu berada di tangan mereka.
Discussion about this post