Rubrik ini diasuh oleh: Ustadz H. Fakhri Emil Habib, Lc, Dipl, Tuangku Rajo Basa.
Alaumni:
S1 Universitas Al-Azhar Fakultas Syariah Islam dan Hukum (2011-2015).
Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar Fakultas Dirasat Ulya Jurusan Usul
Fikih (2016-2017).
Peneliti magister Universitas Al-Azhar Jurusan Usul Fikih (2018-Sekarang)
Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa fikih merupakan ilmu tentang hukum-hukum syariat, sehingga dengan mempelajarinya seorang muslim dapat menerapkan, melaksanakan, mengajarkan dan berkomitmen dengan hukum-hukum tersebut.
Nilai ini sebenarnya telah ada sejak masa kenabian saat wahyu masih diturunkan. Pada saat itu Alquran turun, yang salah satu kandungannya adalah hukum-hukum syariat. Kemudian Rasulullah ﷺ menjelaskan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat.
Penjelasan tersebut mencakup detail-detail, batasan syarat, serta gambaran kokoh tentang tata cara penerapannya, baik melalui lisan, perbuatan, maupun persetujuan beliau terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan oleh para sahabat (persetujuan beliau menunjukkan kesesuaian perbuatan dan perkataan sahabat tersebut dengan syariat).
Sumber hukum pada masa itu masih terbatas pada wahyu (jika wahyu tersebut turun beserta lafaznya, maka disebut dengan Alquran, jika turun maknanya saja maka disebut dengan sunah). Para sahabat merujuk kepada Nabi ﷺ untuk belajar dan mendalami agama, meminta fatwa, menyelesaikan pertikaian, memutuskan perkara.
Tegaklah pada saat itu lingkungan yang islami, kedaulatan berasaskan agama. Hukum syariat diterapkan baik dalam taraf personal maupun komunal. Baik sebagai umat maupun sebagai negara. Memang begitulah amanah yang diemban oleh Rasulullah ﷺ, menyampaikan dakwah sehingga syariat dapat dijalankan dengan sempurna.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, para sahabat melanjutkan peran tersebut dengan sebaik-baiknya. Muncullah pada generasi ini tokoh-tokoh pakar fikih, ahli ijtihad serta kadi. Mereka berpegang kepada hukum syariat yang dahulu didapat dari Rasulullah ﷺ, lalu kepada metode fleksibel yang mereka saksikan saat wahyu turun dan asbâbu al-nuzûl¹.
Mereka juga berpegang kepada kecakapan cemerlang yang mereka dapatkan sebagai hasil dari didikan ala Nabi, pengetahuan tentang hikmah serta tujuan ditetapkannya hukum. Dan mereka memang adalah orang-orang yang menguasai Bahasa Arab fasih serta memahami keterangannya. Tampak bahwa pemuka-pemuka generasi sahabat ini bergelut dengan fikih dan mengajarkan hukum-hukum syariat.
Dalam mengambil kesimpulan hukum, mereka merujuk kepada kitab Allah (Alquran). Jika tidak mereka temukan maka mereka mencarinya di dalam sunah, dengan bertanya kepada siapapun yang mengetahui hadis Nabi ﷺ tentang suatu perkara yang diteliti. Jika tidak juga ditemukan, maka mereka melakukan ijtihad dengan metode kias (analogi) dan penerapan kaidah-kaidah umum. Hal ini sesuai dengan hadis Mu’az bin Jabal²
Jika para sahabat mencapai kesepakatan terhadap suatu perkara, maka ijtihad mereka (yang masih berupa kemungkinan besar benar – zhanniy) itu naik tingkat menjadi ijmak (yang pasti benar – qath’iy), sehingga ijmak menjadi sumber ketiga dalam pengambilan hukum. Jika hasil ijtihad para sahabat berbeda-beda, maka hukum perkara tersebut tetap bisa untuk diteliti kembali (ijtihâdiy).
Hukum perkara tersebut kemudian dapat ditarik berdasarkan pola syariat dan sebab yang menjadi landasan hukum seperti kias, istihsân, istishlâh, dan ‘urf. Setiap mujtahid melakukan penelitian berdasarkan metode yang mereka pahami kemudian memfatwakan hasil ijtihad tersebut kepada khalayak.
Pada masa ini muncul apa yang disebut sebagai ijtihad sahabat, atau perkataan sahabat (qaul el-shahâbiy). Pendapat para sahabat ini terkumpul sehingga seolah-olah membentuk mazhab dan madrasah sendiri. Contohnya mazhab Ibnu Umar, mazhab Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, Zaid, ‘Ali dan lain-lain³.
Bentuk semacam ini terus berlanjut kepada masa tabiin. Para ulama tabiin pun menambahkan hasil ijtihad pribadi dan pendapat mereka dalam permasalahan yang terus berkembang. Di antara ulama cemerlang yang muncul pada pertengahan abad pertama hingga awal abad kedua ini adalah sebagai berikut :
Di Madinah, ada Sa’id bin Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakr bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, Sulaiman bin Yassar, Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud, Nafi’ -seorang imam yang berada dalam pemeliharaan Abdullah bin Umar / maulâ Abdullah bin Umar- dan lain-lain.
Di Kufah ada ‘Alqamah bin Qais, Ibrahim an-Nakha’i dan lain-lain.
Di Bashrah ada Hasan al-Bashri dan lain-lain.
Di Makkah al-Mukarramah ada maulâ Ibnu Abbas (‘Ikrimah al-Barbari), ‘Atha` bin Abu Rabbah dan Thawus.
Di Damaskus ada Makhul Asy-Syamiy dan Abu Idris al-Khaulani.
Di Mesir ada Laits bin Sa’ad dan lain-lain.
Ulama-ulama generasi tabiin lainnya adalah Muhammad bin Sirin, al-Aswad bin Yazid, Masruq, al-A’raj, asy-Sya’bi, Syuraih, Sa’id bin Jabir dan lain-lain.
Masing-masing ulama ini memiliki ijtihad, pola penelitian dan metode tersendiri yang sudah mulai bisa disebut sebagai sebuah mazhab^4. Pada masa ini muncul dua kecenderungan berbeda dalam berijtihad, yang diwakili oleh Madrasah Hadis^5 di Hijaz dan Madrasah Ra`yi^6 ,yang umumnya berada di Irak.
Pada masa selanjutnya, abad kedua Hijriah, muncullah para ulama-ulama hebat yang telah mengambil faidah dari aktivitas ilmiah generasi sebelumnya. Generasi ini meletakkan metode mereka dengan susunan yang jelas, aktivitas mereka begitu brilian. Banyak orang yang belajar kepada mereka dan awam pun merujuk kepada mereka dalam mengambil hukum, tak terkecuali para hakim.
Mereka menjadi rujukan fatwa dan pendapat mereka menjadi anutan. Mereka mengumpulkan pendapat-pendapat mereka, kemudian mengkodifikasinya menjadi mazhab dengan metode unik satu sama lainnya.
Mujtahid penting pada era ini ada 13 orang, yaitu Sufyan bin ‘Uyainah di Makah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan al-Bashri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri di Kufah, al-Auza’i di Syam, asy-Syafi’i dan Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishaq bin Rahawaih di Naisabur, Abu Tsaur, Ahmad, Daud az-Zhahiri dan Ibnu Jarir ath-Thabari di Baghdad.
Setelah era emas ini, tentu ulama serta pendapat fikihnya tetap bermunculan. Namun metode mereka tetap dinisbahkan kepada para ulama generasi tabik tabiin (karena pada masa itulah metode-metode penelitian fikih terkodifikasi, dan generasi setelahnya tidak akan dapat merujuk kepada dalil kecuali melalui mazhab-mazhab tersebut). Kami (Prof. Muhammad az-Zuhaili) menjadikan Imam Syafi’i sebagai rujukan.
***
Tambahan penerjemah :
Mengetahui sejarah perkembangan fikih ini dapat memberikan kepada kita jawaban dari pertanyaan, “Mengapa tidak ada mazhab Aisyah, mazhab Ibnu Abbas dan ulama-ulama generasi sahabat lainnya? Kurang alim apa lagi mereka?”
Kami tegaskan, bahwa kita tidak menafikan kecerdasan dan kecakapan mereka dalam berijtihad.
Namun kita juga tidak mampu meniru metodologi mereka, karena metodologi yang mereka pakai tidak terkodifikasi dengan rapi. Lalu mazhab siapakah yang telah terkodifikasi dengan rapi? Ya mazhab ulama generasi abad kedua Hijriyah, yang berjumlah 13 tadi. Mazhab para sahabat hanya sebatas hasil ijtihad, bukan metode ijtihad.
Barangkali akan ada pertanyaan lain, “Jika memang ada 13 mazhab, lalu mengapa hanya 4 yang dipakai oleh Ahlussunnah wal-Jamaah?”
Jawabannya adalah, karena ada beberapa mazhab yang memang tidak sampai kepada kita pada masa ini, seperti mazhab Laits bin Sa’ad. Bukan berarti beliau tidak alim. Beliau adalah seorang alim, namun murid-murid beliau tidak mampu melanjutkan estafet ilmiah yang telah beliau bangun.
Atau ada juga mazhab yang status mujtahid pendirinya diperdebatkan, seperti mazhab Daud azh-Zhahiri. Beliau menolak analogi (kias), padahal kias adalah satu dari empat sumber hukum yang disepakati ulama. Karena hal ini ada banyak pendapat dalam mazhab beliau yang aneh (syâz), dan mazhab beliau tidak dapat dipakai.
Ada lagi barangkali beberapa ulama yang diakui kepakarannya, namun diuji dengan murid-muridnya yang sesat, misalnya Imam Ja’far ash-Shadiq. Banyak riwayat yang membuktikan kealiman beliau, namun karena pengikut beliau rata-rata adalah Syi’ah, maka metode beliau tidak lagi terjamin sehingga tidak dipakai oleh Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Setelah melalui eliminasi dari tiga standar ini (status keilmuan pendiri, ketersambungan sanad dan pola akidah pemakai mazhab), maka yang tersisa hanya empat mazhab : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Melalui tulisan ini penerjemah juga ingin tegaskan bantahan kita terhadap orang yang mengatakan bahwa mazhab-mazhab fikih adalah bid’ah, sehingga ada sebagian kecil kalangan menolak mengikuti mazhab muktabar dengan dalih “Kami hanya ikut Alquran dan sunah,”. Sebenarnya pernyataan ini bukanlah pernyataan yang baru, karena kaum Khawarij dahulu juga memiliki jargon senada, “Tiada hukum kecuali hukum Allah,”
Bagaimana mungkin mereka mengikuti Alquran dan sunah saja jika mereka tidak punya metode pas dalam memahami Alquran dan sunah?
Lalu bagaimana mungkin mereka mendaku memahami Alquran dan sunah sebagaimana para sahabat memahami keduanya, padahal sahabat tidak ada yang mengkodifikasi metode mereka dalam memahami Alquran dan sunah?
Tidakkah metode mereka ini sama saja dengan orang-orang liberal yang mendaku memiliki kebebasan untuk memahami dalil-dalil sesuai dengan ilmu mereka tanpa memperhatikan kaidah-kaidah ijtihad? Hasbunallah wa ni’mal wakiil.
Wallahu ta’ala a’lam.
*sekedar terjemahan dr kitab al mu’tamad karya Prof. Dr Muhammad Az zuhaili
***
Bersambung…….
Catatan kaki:
1. Sebab-sebab turunnya ayat Alquran
2. Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengutus Muaz bin Jabal Ra ke Yaman sebagai kadi. Nabi bertanya : (Bagaimana engkau
menyelesaikan suatu perkara yang dihadapkan padamu?), Muaz menjawab, “Saya akan berhukum dengan
Kitabullah, kemudian dengan sunah Rasulullah صلى الله عليه وسلم, kemudian saya akan berijtihad dengan pemikiran saya sembari berusaha untuk tidak gagal,” Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم menyetujui hal tersebut dan bersyukur kepada Allah atas jawaban Muaz. Hadis lengkapnya diriwayatkan oleh Abu Daud (2/272), Tirmizi (4/557), Ahmad (5/230, 236, 242), Darimi (1/60) dan Baihaqi (10/114).
3. Perlu penekanan bahwa pendapat para sahabat ini belum lagi menjadi mazhab dalam artian kurikulum ajar.
Mazhab disini maksudnya adalah kumpulan hasil ijtihad. Sedangkan nanti, mazhab memiliki makna lebih, yaitu
kurikulum ajar yang dapat membentuk kecakapan ijtihad.
4. Karena kaidah-kaidah dalam berijtihad sudah mulai tertulis pada masa ini.
5. tekstualis
6. analisis
Discussion about this post