[h]
Oleh:
Elly Delfia
(Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
[/h]
Alam begitu penting bagi seorang penyair.
Melalui alam, para penyair memproduksi kosakata yang dirangkai sebagai ekspresi perasaan yang romantis. Kemudian, rangkaian kosakata tersebut dikenal dengan puisi. Puisi merupakan hasil karya imajinatif yang romantis dan indah. Bahasa yang digunakan dalam puisi bukanlah bahasa ilmiah atau bahasa yang mengandung makna denotatif, tetapi bahasa yang penuh ambiguitas dan homonim sebagai representasi dari romantis penyair. Demikian dinyatakan oleh Wellek dan Warren (1995:15) bahwa bahasa puisi sebagai bagian dari karya sastra adalah penuh dengan ambiguitas dan homonim, serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional seperti gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa).
Bahasa puisi sangat konotatif, ekspresif, berusaha membujuk, dan mempengaruhi sikap, pikiran, serta perasaan pembaca. Bahasa puisi yang demikian merupakan cermin dari romantisme naturalis penyair sebagai pencipta puisi. Bahasa tersebut lahir melalui pengalaman spiritual dan intelektual penyair yang tersuguhkan dalam puisi-puisi yang indah dan bernilai. Dalam teori kesusasteraan, sesungguhnya romantisme dan naturalisme bukan hal baru. Keduanya merupakan dua teori yang saling bertentangan, tetapi saling menyempurnakan satu sama lain. Romantisme muncul pada akhir abad ke-18 sebagai rekasi atas revolusi industri di Eropa dan lebih fokus pada emosi artististik individual serta pemuliaan terhadap masa lalu dan alam, sedangkan naturalis fokus pada realitas dan fakta yang terlihat dari alam dan lingkungan sekitar. Paham naturalis ini muncul awal abad ke-19. Seorang novelis dan jurnalis Amerika, Franks Norris menempatkan realisme, romantisme, dan naturalisme dalam dialektika di mana realisme dan romantisme sebagai kekuatan yang saling bertentangan, dan naturalisme menggabungkan keduanya(www.wikipedia.org).
Lalu bahasa romantisme naturalis dapat dilihat pada puisi-puisi Kong Kwang Kyu, seorang penyair berkebangsaan Korea Selatan yang produktif menulis puisi sepanjang hidupnya. Penyair kelahiran Seoul pada tahun 1960 ini menonjolkan sisi-sisi romantisme dan naturalis dalam puisi-puisinya. Rangkaian diksi yang indah tentang romantisme masa lalu digabungkan dengan realitas tentang alam sekitarnya, seperti musim gugur, musim semi, salju, angin, hujan, bintang-bintang, bunga-bunga, air, sungai, gunung, rawa, pohon-pohon, dan biksu, menjadi objek ekspresi romantismenya. Ekspresi romantisme dan naturalis ini tertuang dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Meruntuhkan Pagar. Buku ini diterbitkan pada 30 Agustus 2013 oleh Changbi Publisher dan mendapat penghargaan Sastra Shin Suk Jung pada tahun 2017.
Beberapa realitas romantisme naturalis dan perasaan individual yang kental dalam penggalan puisi-puisi Kong Kwang Kyu, di antaranya:
Pohon Pemoles Bintang
Bisakah kita menyebut pohon gingko
Sebagai pohon yang memoles bintang
Pohon yang menggenggam hujan, angin, dan sinar mentari
Pohon yang bekerja keras memoles bintang
Ketika musim gugur datang ia bermandikan bintang-bintang dan bersinar keemasan
Beberapa diksi dalam puisi di atas menggunakan metafora atau analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tanpa menggunakan seperti, bak, umpama, bagaikan, bagai (Keraf, 2007:139). Metafora yang digunakan dalam puisi di atas adalah bagian dari alam yang dianalogikan memiliki sifat sebagai manusia, seperti lirik berikut:Pohon yang bekerja keras memoles bintang. Pohon yang menggenggam hujan, angin, dan sinar mentari. Lalu juga ada bagian dari siklus alam dalam puisi di atas, seperti musim gugur. Musim gugur adalah musim yang cantiknya menyamai musim semi di negara yang memiliki empat musim seperti Korea Selatan. Daun-daun sangat indah dan berwarna-warni pada musim ini. Dalam suasana musim gugur, ekspresi individual yang kental akan muncul bersama suasana keindahan yang ditawarkan musim. Semua orang seakan ingin menulis banyak puisi pada musim ini, tidak terkecuali para penyair seperti Kong Kwang Kyu.
Halaman Belakang Sujongsa
Di bawah bayangan pohon ek, di antara pohon jahe dan pohon mapel
Aku menatap aliran sungai kecil yang datang dari kejauahan
Dan aliran sungai besar yang menyatu dengan aliran sungai kecil lalu mengalir jauh
Ketika aku menuang hidup yang telah terlewati
Di aliran sungai yang datang dari tempat yang diketahui
Lalu bersatu dan mengalir menuju tempat yang tak dikenali
Tes ! tes! air mataku menetes di atas daun pohon
Daun pohon yang bersinar karena air mata lalu membasahi dada
Sambil bertekad untuk mencintai air mata
Turun ke halaman belakang Sujongsa
Puisi kedua ini juga penuh romantisme naturalis yang menggunakan diksi tentang alam, seperti pohon ek, pohon jahe, dan pohon mapel. Ketiga pohon ini tentu memiliki arti dan filosofi tersendiri bagi orang Korea. Kayu pohon ek yang terkenal sangat kuat bisa menjadi furniture atau perabotan rumah tangga yang mahal dan berharga. Lalu umbi pohon jahe bisa digunakan sebagai bahan penghangat badan di musim dingin serta bisa menjadi bumbu yang membuat sempurna rasa masakan. Pohon mapel yang berubah merah dan cantik luar biasa pada musim gugur seperti surga yang memanjakan mata. Pohon-pohon itu disebut dalam puisi berarti bahwa pohon-pohon tersebut sangat akrab dengan keseharian masyarakat Korea. Selanjutnya, keindahan dan romantisme naturalis juga menjadi sedikit ironis saat adanya lirik yang bermakna pertentangan atau paradoks pada lirik puisi di atas, yaitu: Sambil bertekad untuk mencintai air mata. Turun ke halaman belakang Sujongsa.
Jika bicara naturalis atau realitas, air mata adalah ungkapan kesedihan, tetapi dalam lirik puisi di atas bertekad mencintai air mata artinya bertekad mencintai kesedihan dan kepahitan hidup atau apa pun yang membuat luka. Lalu, turun halaman ke halaman belakang Sujongsa berarti turun ke tempat yang paling tenang dan spiritual saat merasakan kesedihan. Sujongsa adalah kuil Buddha paling indah di Korea yang dibangun masa pemerintahan Raja Sejo. Dari kuil ini, bisa dilihat pemandangan sungai Hangang yang indah dan kuil ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan (kidsfuninseoulwordpress.com.) Bila kesedihan datang melanda, turun ke halaman belakang Sujongsa adalah pilihan terbaik yang harus dilakukan oleh orang-orang. Keindahan dan ketenangan tempat ini akan menyembuhkan kesedihan dan membuat orang-orang berdamai dengan perasaan terluka. Alam akan memelukmu saat kau sedih. Ketenanangan spirital dan doa-doa akan menemani saat kau terluka. Kau tidak sendiri menghadapi dunia ini. Kira-kira demikian, makna yang ingin disampaikan oleh penyair Kong Kwang Kyu tentang puisi halaman belakang Sujongsa, sebagai tempat yang indah, tenang, dan juga tempat berdoa bagi umat Buddha.
Romantisme naturalis yang lain juga terlihat pada diksi yang menggunakan bunga-bunga dalam puisi berjudul “Jepit Rambut Bunga Violet” Bunga Azalea yang menunjukkan wajahnya di antara daun pohon ek, perlahan layu seperti seseorang itu. Lalu, ada bunga aprikot dalam puisi yang berjudul “Rawa-Rawa Byeongsan”, bunga hortensia dan bunga blending heart dalam puisi Malam di Bawah Pohon Empat Musim. Selain itu, puisi-puisi Kong Kwang Kyu juga memakai nama-nama pohon seperti pohon gingko, pohon ceri, pohon akasia, pohon privet, pohon ash, pohon pinus, pohon aspen, dan pohon ek. Romantisme naturalis sangat kental dalam puisi-puisi yang menyebutkan nama bunga dan pohon. Penyebutan nama bunga-bunga dan pohon-pohon pada puisi Kong Kwang Kyu mencerminkan perasaan atau sisi perempuan yang sensitif, halus, dan penuh kelembutan. Itu membuat puisi-puisi menjadi kuat karena penggabungan dari ekspresi perasaan individual yang kental dengan fakta-fakta tentang alam. Diksi atau pilihan kata yang digunakan dalam puisi-puisi seperti itu akan membuat pembaca terhanyut dan merasakan sisi emosional yang dalam.
Selain itu, puisi-puisi Kong Kwang Kyu juga menjadi kuat karena menggunakan latar atau tempat-tempat yang jelas dan terkenal di Korea. Pembaca seolah diajak berkelana ke tempat-tempat tersebut, seperti Sujongsa, kuil terindah di Korea, Pulai Mui atau Muuido, Pelabuhan Geojam, Suyeon Mountain Tea House di Seongbuk-dong, dan Lembah di Gogi-ri. Tempat-tempat yang menunjukkan bahwa karya sastra seperti puisi adalah cermin dari realitas sosial yang nyata. Realitas tempat dan latar belakang yang jelas dalam puisi berfungsi memperkuat puisi sebagai karya sebagai representasi dari realitas sosial. Tempat-tempat yang disebutkan dalam puisi Kong Kwang Kyu adalah tempat berlangsungnya kehidupan sosial masyarakat Korea dan mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat Korea.
Demikian bahasa romantisme naturalis yang terdapat dalam puisi-puisi Kong Kwang Kyu. Romantisme naturalis tersebut mencerminkan kekuatan imajinasi penyair yang dimanifestasikan dengan kelihaian menggunakan bahasa. Efeknya adalah sang penyair berhasil meraih banyak penghargaan dalam bidang puisi, seperti Penghargaan Literatur Shilla, Penghargaan Literatur Kim Man Joong, Yoon Dong Ju, dan lain-lain.
Discussion about this post