Puisi-puisi Feiruzy Azzahra
Merindu Nagari Nan Jauh
Tiap langkah yang menapak
Meninggalkan rindu yang menjejak
Risau nan gulandah memenuhi diri
Tak kuasa jauh dari nagari
Jauh di sana;
Di antara bukit-bukit yang menjulang
Terdapat rasa yang tak sanggup angin sampaikan
Di antara sayap-sayap yang mengepak
dan lembah Harau yang membisu
Terdapat hati yang berbisik rindu
Masihkah kau ingat?
Senda gurau kala itu;
Ketika kaki-kaki kecil berlari riang
Mengitari surau hingga sawah yang berjenjang
Ketika saluang merdu bersahutan
Bagai bisikan ibu, tenang dan hening
Menghibur hati, melepas lara
Masihkah kau ingat?
Suasana hari itu;
Ketika kaum tua sibuk menakar nasib
Di dalam lapau, di antara semerbak kopi-kopi
Ketika para gadis sibuk menampi padi
Di tepian ladang, di antara gemericik embun pagi
Ketika sang ibunda menitikkan rindu
Di rumah gadang, di antara asap randang yang menggebu
Biar alam takambang jadi guru
Menegaskan langkah yang kian ragu
Dari jauh kusisipkan rindu
Pada nagari dan anginnya yang syahdu
—Harau, 16 Januari 2025
Senandung Duka
Bagai ombak yang tak lelah memukul pantai
Luka yang tertanam tumbuh dan tertuai
Enggan hilang, datang tuk menerjang
Ialah sang bayang dalam lukisan
Izinkan aku tuk berlari
dan kutukan duniawi
Aku terus tersesat
Di dalam sekat
Yang kian menyayat
Bias cahaya yang remang
Perlahan datang mengusir bayang
Sendu kubisikkan doa-doamu
Semoga yang kelam dan redam
Kutempuh badai, kuterjang ombak
Meski seribu nestapa menjerat
Bait-baitmu tetap terucap
Dalam hati yang berharap
Jalan setapak kulalui
Namun terjalnya kembali menghantui
Berkali-kali banyaknya aku lupa
Bahwa kita hanyalah manusia
Namun aku enggan menyerah
Pada hari yang marah
Kan kudekap duka yang tak terucap
Meski takdir hitam berbisik harap
Kupenggal namamu dalam gelap
Namun hanya hening yang menjawab
Ragu kutanyakan pada waktu
Akankah luka ini berlalu
Namun ini senandung duka;
Sayup debu perkotaan
Klakson kendaraan
Jadi saksi nyata
Pada duka tak sudah
—Harau, 16 Januari 2025
Rindu
Takdir telah berganti ditepis waktu
Seperti ragamu yang sirna di bawah semu
Sebab rindu membawa candu
Buat anganku tetap terpaku
Berkali-kali aku berputar
Pada raga yang tak sama
Berkali-kali aku terjerat
Dalam untaian masa yang sama
Sekali lagi tertawa lalu menangis
Untuk hari yang tak akan kembali
Sekali lagi luluh dan runtuh
Pada senyum tak abadi
Hilang tlah hilang dirimu
Tetap kan menetap memoriku
Dunia adalah dunia tapi kau semesta
Kian abadi tapi tidak denganku
—Harau, 16 Januari 2025
Senandung Duka Rindu
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Kutempuh badai, kuterjang ombak
Meski seribu nestapa menjerat
Bait-baitmu tetap terucap
Dalam hati yang berharap
Pradopo (2009) mengatakan bahwa penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya melalui kata-kata yang dipilih untuk mewakili gagasan yang disampaikan atau menggunakan diksi. Diksi adalah pemilihan kata-kata yang memiliki kedudukan sangat penting dalam puisi. Sebagai karya yang bersifat fiktif, karya sastra bisa menjadi media curahan hati yang efektif bagi pengarangnya dalam bentuk tulisan menjadi puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Karya sastra yang ditulis pengarang tersebut kemudian dibaca dan dipahami oleh pembaca sehingga pembaca dapat mengerti maksud dan pesan yang disampaikan oleh pengarang melalui karyanya tersebut.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Feiruzy Azzahra. Ketiga puisi tersebut berjudul “Merindu Nagari Nan Jauh”, “Senandung Duka”, dan “Rindu”. Puisi pertama Puisi menyampaikan kerinduan yang dalam terhadap kampung halaman (nagari). Emosinya mengalir lembut dan menyentuh hati. Diksi lokalitas seperti “surau”, “lapau”, “lembah Harau”, “saluang”, dan “randang” memperkaya puisi dengan budaya Minangkabau, memperkuat identitas budaya dalam puisi yang cenderung bernuansa romantis. Puisi ini juga bernada sentimentil berupa monolog penyair yang sedang berbicara kepada diri sendiri dengan nuansa lirih dan penuh kenangan disebabkan kerinduan mendalam.
Struktur teks puisi ini cukup panjang dengan pengulangan-pengulangan yang dapat memberi efek puitis yang enak dibaca dan menimbulkan keindahan bunyi. Repetisi yang berlebihan tidak hanya menimbulkan efek dramatis namun juga bisa menjemukan. Risiko ini perlu menjadi perhatian penulis meski secara keseluruhan, puisi ini sangat indah mengungkapkan kerinduan mendalam terhadap kampung halaman, khususnya kampung di Minangkabau. Feiruzy dan lembut berhasil mengekspresikan cinta pada budaya, kenangan masa kecil, dan suasana yang tidak bisa tergantikan oleh tempat lain. Penyair juga menyisipkan pesan filosofis ‘alam takambang jadi guru’ supaya pembaca tetap menggali dan mewarisi nilai-nilai tuntunan hidup dari kampung halaman.
Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2010: 272). Bahasa dalam seni sastra tersebut dapat disamakan dengan cat warna. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa sastra. Menggunakan bahasa untuk menyampaikan gagasan dan imajinasi dalamproses penciptaan karya sastra sangat diperlukan oleh setiap pengarang. Hal ini menyiratkan bahwa karya sastra merupakan peristiwa bahasa. Dengan demikian, unsur bahasa merupakan sarana yang penting dandiperhitungkan dalam penyelidikan suatu karya sastra, karena bahasa berfungsi untuk memperjelas makna.
Sayuti (2008: 3) merumuskan bahwa puisi merupakan bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan aspek bunyi, berisi ungkapan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair dari kehidupannya. Dengan demikian, puisi harus mampu membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca atau pendengarnya.
Puisi kedua “Senandung Duka” masih mempertahankan gaya berbahasa yang lirih dan lembut serta memperhitungkan aspek bunyi yang membangkitkan emosi. Puisi ini sarat dengan perasaan luka, harap, dan perjuangan yang disampaikan dengan tulus dan penuh jiwa. Nada puisi sangat konsisten mengesankan kesunyian, melankolis, murung, dan kedukaan. Metafora yang digunakan menciptakan atmosfer yang emosional dan mendalam seperti “ombak memukul pantai”, “badai dan ombak”, serta “bias cahaya yang remang” memberi makna ganda yang dalam dan visual yang kuat.
Penggunaan diksi ‘klakson’ yang kontras sedikit mengejutkan, ‘Namun ini senandung duka;/ Sayup debu perkotaan/ Klakson kendaraan/ Jadi saksi nyata/ Pada duka tak sudah.’ Bait ini seperti sentakan yang yang membangkitkan kesadaran kita yang sedang termangu atau terpruk dalam perasaan duka cita yang suram.
Puisi ketiga sepertinya puncak dari melankolisme Feiruzy. Setelah larut dalam kerinduan pada kenangan kampung halaman yang ditinggalkan dan perasaan duka yang tak tertanggungkan, puisi terakhir menyuguhkan antiklimaks atas harapan yang kandas. Feiruzy membuka puisi dengan ‘Takdir telah berganti ditepis waktu/ Seperti ragamu yang sirna di bawah semu/ Sebab rindu membawa candu/ Buat anganku tetap terpaku’.
Perasaan rindu pada sosok yang didambakan memicu persona melakukan tindakan irasional yang kadang terkesan konyol dan memalukan. Orang-orang yang sedang jatuh cinta menampakkan polah tingkah perilaku aneh yang lucu dan juga bisa menjengkelkan. Hingga mereka sampai pada titik bisa kembali berpikir jernih ketika yang mereka hadapi adalah kenyataan yang tidak sama dengan igauan. Realitas patah hati mendatangkan frustrasi, ‘Hilang tlah hilang dirimu/ Tetap kan menetap memoriku/ Dunia adalah dunia tapi kau semesta/ Kian abadi tapi tidak denganku.’ Larik ‘abadi tapi tidak denganmu’ adalah antiklimaks yang tragis dari senandung lirih Feiruzy minggu ini. []
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.