Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Akhir-akhir ini, kita dengan mudah menemukan produk barang sehari-hari dengan label ‘ramah lingkungan’. Berbagai produk makanan, minuman, kosmetik, atau bahkan barang elektronik sering ditawarkan dari aspek keramahannya terhadap alam. Dalam salah satu iklan air conditioner (AC), digunakan slogan cools you and the planet. Peminjaman kata the planet dalam iklan tersebut memberikan kesan bahwa pembelian AC dengan slogan tersebut berarti bahwa kita tidak terlalu merusak planet. Kemampuan mesin dan komponen AC tersebut ditawarkan sebagai produk yang memberikan dampak lebih ringan terhadap planet dibandingkan dengan produk lain.
Pertanyaan yang timbul kemudian, ‘Apakah mungkin kita menggunakan AC tanpa merusak planet? Apakah kita bersalah jika menggunakan AC dengan merek yang lain karena akibat terhadap bumi lebih berat?’
Pertanyaan tersebut merupakan salah satu dampak praktik wacana yang dibangun oleh pembuat iklan AC dengan meminjam kata the planet dalam slogannya. Pemilihan kata the planet tersebut secara terencana digunakan untuk mengasosiasikan suatu produk yang ramah terhadap keberlanjutan planet tempat kita tinggal. Pengguna produk AC mungkin telah memiliki pengetahuan tentang dampak penggunaan AC terhadap lapisan ozon yang akibatnya justru akan meningkatkan suhu global. Namun demikian, dengan mengingatkan konsumen produk atas keberadaan planet, produsen iklan justru seolah-olah mengaburkan dampak dari produk AC itu sendiri. Tujuan meminjam kata planet justru dimanfaatkan untuk memberikan citra positif dan peduli terhadap planet ketika konsumen memilih AC dengan merek yang ditawarkan.
Adanya relasi antara pengetahuan produsen dan konsumen produk elektronik AC tersebut menunjukkan adanya hubungan antara kognisi sosial dan bahasa. Kognisi sosial dibangun dari kognisi individu sebagai bagian dari suatu kelompok sosial yang lebih luas. Kognisi tersebut terdiri dari pengalaman, memori, dan pengetahuan individu. Ketiga elemen kognisi tersebut dibangun secara terus menerus dan diteruskan ke dalam kelompok sosial yang lebih luas melalui bahasa. Dengan demikian, bahasa mengambil peran yang penting dalam membangun wacana.
Wacana iklan yang dibangun dalam contoh tersebut menjembatani keyakinan sosial tentang dampak AC terhadap lingkungan yang diwujudkan dalam pemilihan slogan cools you and the planet. Penggunaan AC dengan merek tersebut ditujukan untuk memberikan keuntungan bagi konsumen dan planet. Penyandingan antara kata you dan planet juga menunjukkan bahwa posisi konsumen dan planet berada pada status yang sama, atau mendapatkan dampak yang sama: sama-sama diuntungkan. Konsumen diuntungkan atas suhu dingin dari AC yang ditawarkan, dan planet juga diuntungkan dengan ‘tidak terlalu’ rusaknya lapisan ozon.
Contoh kecil di atas menunjukkan bahwa lingkungan, dalam hal ini diwakili oleh kata planet, justru dipinjam oleh pembuat promosi untuk menaikkan nilai jual dari produk yang ditawarkan. Sejatinya, penggunaan aspek ‘hijau’ dalam promosi tidak selalu bersifat ‘hijau’ atau menguntungkan alam. Tujuan utama dari promosi pada akhirnya untuk mendapatkan profit ekonomi.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari konsumen di atas justru merupakan green washing. Pembuat slogan menggunakan strategi kebahasaan untuk membangun citra suatu perusahaan yang ramah lingkungan. Sesungguhnya, strategi tersebut memberikan dampak lain, yakni pemindahan tanggung jawab atas lingkungan kepada konsumen. Konsumen mungkin akan merasa bersalah jika tidak membeli produk yang bersifat ‘ramah lingkungan’. Aspek ‘hijau’ pada akhirnya tidak jarang digunakan untuk memperdayai konsumen dalam membeli barang.
Contoh lain dari iklan hijau adalah penggunaan frasa cruelty free yang digunakan korporasi untuk mengklaim bahwa produknya tidak menggunakan bahan-bahan dari hewan. Pembuat iklan secara sengaja memilih kata cruelty untuk mengasosiasikan bahwa penggunaan hewan dalam kosmetik atau produk dianggap ‘jahat’ dan ‘kejam’, termasuk dalam uji coba produk terhadap hewan. Strategi kebahasaan ini juga tidak tanpa alasan. Penggunaan kata free yang bermakna literal ‘bebas’ dalam slogan tersebut akan menyampaikan pesan bahwa konsumen akan terlepas dari kejahatan penyiksaan hewan untuk kepentingan konsumen. Dengan demikian, konsumen yang tidak membeli produk dengan label cruelty free tersebut akan diasosiasikan dengan pihak yang egois karena ikut berkontribusi merusak alam.
Jika ditilik dari sejarahnya, penggunaan aspek hijau dalam iklan sudah mulai muncul pada 1920-an Ketika perusahaan minyak Shell di Inggris menggunakan gambar alam untuk menawarkan produk minyak dan gas. Dengan meminjam alam dalam iklannya, Shell bertujuan untuk menyampaikan pesan bahwa mengonsumsi minyak dan gas untuk kendaraan konsumen tidak memberikan dampak terhadap lingkungan. Gambar yang dimunculkan dalam iklan tidak selalu bersifat denotatif. Justru, kemunculan gambar alam dalam iklan minyak bermakna sebaliknya. Keindahan alam yang dipinjam dalam iklan minyak dan gas justru tidak mencerminkan dampak sebenarnya.
Selain peminjaman kata dan gambar yang bersifat ‘hijau’, wacana promosi juga dibangun dengan strategi ‘akreditasi’ dari para ahli. Beberapa produk secara eksplisit menggunakan frasa ‘direkomendasikan para ahli’ untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang ditawarkan bersifat aman dan tidak merusak lingkungan. Aspek persuasif yang melibatkan para ahli juga bentuk lain dari peningkatan penjualan suatu produk.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa produsen memiliki strategi kebahasaan untuk meyakinkan konsumen membeli suatu produk atau meningkatkan konsumsinya. Sebagai manusia yang memiliki aspek kognitif, kita hendaknya memiliki kesadaran bahwa tidak ada produk yang 100% aman atau ramah lingkungan. Dengan kesadaran itulah, kita tidak akan melakukan massive buying atau pembelian produk yang berlebihan. Justru kebiasaan kita untuk tidak mengonsumsi suatu produk secara berlebihan yang akan memberikan dampak baik untuk alam. Bukan sebaliknya, dengan membeli berbagai produk secara masif karena label ‘hijau’ yang disematkan pada produk tersebut.
Tulisan ini mengajak kita untuk berpikir lebih kritis atas pola-pola kebahasaan di sekitar kita yang sudah dianggap mapan dan benar. Terkadang, aspek ‘hijau’ yang digunakan dalam wacana promosi dapat berakibat sebaliknya. Dengan membeli berbagai produk secara besar-besaran karena label ‘hijau’ yang disematkan dalam produk tersebut justru menunjukkan sikap kita yang malah tidak ramah terhadap lingkungan. Seperti kata pepatah buy less, choose well, make it last, hendaknya kita memiliki kebijaksanaan dalam berbelanja dan mengonsumsi produk-produk yang diiklankan.
Discussion about this post