Sampul Buku Bu Guru
Cerpen: Zikra Delvira
Wanita paruh baya itu menggebrak meja di hadapan Bu Guru Siska. “Ibu namanya melakukan pungli. Ibu jangan macam-macam sama saya. Saya bisa lapor ke Kepala Sekolah!” sembur wanita ibu. Bu Guru Siska sedikit gemetar karena terkejut namun mencoba tegar dan tetap tenang. Ia tak mau terlihat gugup namun berusaha agar amarah wanita di depannya ini tak menjadi-jadi.
Wanita yang sedang di depan Bu Siska saat ini ialah orang tua dari salah seorang muridnya. Tiga hari lalu Bu Guru Siska membagikan buku dari pustaka untuk dipinjamkan kepada murid-murid, sambil menarik uang sebesar 5000 rupiah per buku.
“Untuk sampul,” begitu Bu Guru Siska berkata di kelas beberapa waktu lalu. Memang benar untuk sampul namun tentu tak semahal itu harganya. Selain untuk pembayaran sampul, uang itu dibaginya dengan Lina, pustakawan di sekolah itu. Bu Siska pikir tak masalah dengan penarikan uang sampul buku sebesar 5000 karena orangtua murid-muridnya mampu menyekolahkan anak mereka di SD swasta tempat Bu Siska mengajar, alih-alih di sekolah negeri yang gratis. Walaupun memang biaya sekolah ini juga tak semahal biaya sekolah swasta lainnya di kota itu.
“Begini Bunda, uang itu untuk membeli sampul dan juga perawatan buku,” Bu Guru Siska berkilah. “Berapa sih harga sampul, Bu?! Ini bukan keluhan saya saja ya, Bu, tapi juga orang tua yang lainnya juga mengeluh. Hanya saja mereka tak bernyali untuk langsung protes pada Ibu,” wanita paruh baya itu masih marah-marah. Untung saja di pustaka saat itu sedang tak ada murid. Hanya ada bangku-bangku kosong, buku yang terletak di lemari dan meja, dan juga Pustakawan Lina. Gadis muda yang baru saja mulai bekerja beberapa bulan yang lalu.
“Apakah tak apa begini, Bu?” ujar Pustakawan Lina saat diberi tahu Bu Siska untuk menarik uang sampul buku. Bu Siska mengangguk yakin meskipun baru pertama kalinya ia mencoba hal seperti ini.
“Jadi mana buku untuk anak saya?! Saya tetap tidak mau bayar uang sampulnya ya, Bu. Tapi berikan buku untuk anak saya sekarang juga. Anak saya mau belajar. Masa nggak bayar sampul, eh buku ditahan?!” pungkas wanita paruh baya itu kembali. Pustakawan Lina buru-buru mengambil buku pelajaran untuk murid kelas 3, tanpa menunggu aba-aba dari Bu Guru Siska. Lalu menyerahkan buku itu pada wanita paruh baya yang kini sudah tersenyum menang. Kemarahannya mulai mereda.
“Nah begitu dong, Bu.” Wanita itu lalu berlalu pulang. “Saya harap jangan ada pungli-pungli lagi, Bu!” ujarnya. “Bisa saja saya nanti lapor,” ancamnya. Ia pergi menjauh dari ruang pustaka menuju motornya yang diparkir di halaman.
Pustakawan Lina dan Bu Guru Siska terduduk lemas. “Bagaimana kalau orang tua tadi mengadu ke Kepala Sekolah, Bu?” tanya Lina masih takut. Bu Guru Siska menatap Lina, “Biar aku yang tanggung jawab,” ujar Bu Guru Siska, ini semua idenya. Syukurlah orang tua murid datang saat sekolah sudah sepi dan sudah banyak murid yang pulang. Tak ada murid yang melihatnya dibentak-bentak jika tidak tentu turun sudah marwahnya sebagai guru.
Bu Siska memijit kepalanya. Menahan agar air matanya tak keluar. Sekalinya menarik uang, langsung ia dicecar dan dimaki orang tua murid. Mungkin ini memang teguran untuknya sehingga ia sadar dan tak menarik lagi uang dari anak-anak. Padahal beberapa tahun ini Bu Siska senantiasa sabar mendapatkan gaji sebagai guru di SD swasta itu, dengan nominal yang jauh di bawah UMR kotanya.
Tinn tinn.
Terdengar suara klakson di depan ruang pustaka. Pak Umar, suami Bu Guru Siska, menjemput. Pak Umar juga guru di SMP Negeri yang tak jauh dari sekolah Bu Guru Siska. Statusnya masih sebagai guru honorer. Gajinya bahkan juga tak melebihi gaji Bu Siska. Hanya saja ia berkebun kecil-kecilan di lahan sempit milik orangtuanya, setidaknya ada tambahan sedikit.
Bu Siska beranjak dari duduknya, ia pamit pada Lina dan kemudian masih bisa tersenyum pada suaminya. Mereka bermotor, melewati perkampungan dan pematang, menjemput Nayunika, anak mereka yang dititipkan di rumah orang tua Bu Siska. Anak dua tahun itu senang melihat orang tuanya datang.
“Nak, susu Nika sudah habis. Nanti belikan ya,” ujar ibu mereka. Pak Umar mengangguk, teringat gajinya yang bahkan sudah tiga bulan belum dibayarkan. Teringat hasil kebun yang sudah dijual kemarin ini, tak begitu banyak.
“Wah, sudah habis ya susunya. Pintar ya, Nika. Tumbuh sehat, pintar, dan baik ya, Nak,” ujar Bu Guru Siska sambil menciumi anaknya yang tertawa.
***
Bu Guru Siska menutup pintu ruangan Kepala Sekolah. Laki-laki bijak itu, menasehati Bu Guru Siska terkait sampul buku. Bu Siska menghela napas. Teringat anaknya. Susu Nayunika belum jadi dibeli. Ia sudah menahan hatinya. Memilih pergi bekerja dan meninggalkan Nayunika yang bayi pada orang tuanya agar pemasukan keluarga mereka bisa lebih banyak.
Tok tok tok, klang klang
Tak jauh dari tempat Bu Guru Siska berdiri, beberapa tukang terlihat sedang bekerja. Sebagian merenovasi gerbang sekolah dan sebagian lainnya membuat bangku taman. Bu Guru Siska menatap nanar pada mereka.
”Padahal gerbang itu tak rusak. Mengapa ketua yayasan repot-repot memperbaikinya,” gumamnya sambil memijit-mijit kepalanya. Ia berlalu dan bergegas menuju ruang kelas 6 tempatnya akan mengajar siang ini. Sebentar lagi murid-muridnya harus persiapan untuk berbagai macam ujian agar bisa melanjutkan pendidikan ke SMP. Bu Guru Siska harus memastikan murid-muridnya berhasil.
Payakumbuh, 7 November 2022
Selamat Hari Guru
Biodata Penulis
Zikra Delvira merupakan penulis cerpen, mini biografi, feature, puisi, dan artikel. Saat berkuliah ia bergabung sebagai pers mahasiswa. Kini diamanahkan sebagai Kordiv Kaderisasi FLP Sumbar serta menjadi tim di Saio Penerbit. Zikra dapat dihubungi di Instagram @zikradlv.
Sastra dan Kritik Sosial
Analisis Cerpen “Sampul Buku Bu Guru” Karya Zikra Delvira
Oleh:
Azwar St Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus (DPP) FLP Wilayah Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta.)
Plato dalam bukunya Republik atau dalam Bahasa Inggris The Republic dan dalam Bahasa Yunani Politeia memandang karya sastra yang baik memiliki tiga fungsi, yakni (1) memberikan ajaran moral yang lebih tinggi, (2) memberi kenikmatan pada pembaca, dan (3) memberi ketepatan dalam wujud pengungkapannya. Fungsi pertama terkait dengan fungsi karya sastra dalam membentuk moral pembaca, fungsi kedua terkait dengan tugas karya sastra memberikan hiburan dan nuansa-nuansa keindahan kepada pembaca, dan fungsi ketiga terkait sarat internal yang harus dipenuhi sebuah karya sastra.
Selain mengungkapkan hal di atas, pandangan Plato yang terkenal adalah karya sastra merupakan tiruan dari kenyataan yang sebenarnya. Hal ini dikenal dengan istilah mimesis, dimana sebuah dasar yang digunakan untuk menyatakan bahwa seniman dan sastrawan pada dasarnya meniru realitas dalam berkarya. Pelukis melukis pemandangan alam sebagai tiruan dari alam. Ia melukis bunga maka hal tersebut merupakan tiruan bunga dan lain sebagainya.
Terkait fungsi karya sastra, selain hal yang diungkapkan Plato, Riris Toha Sarumpaet dalam buku berjudul Pedoman Penelitian Sastra Anak (2010) membicarakan tentang fungsi karya sastra dengan mengutip beberapa pendapat ahli seperti Horatius yang menyampaikan fungsi utama karya sastra terdiri dari dulce et utile (sweet and useful). Lebih jauh dalam Bahasa Indonesia dulce (sweet) dapat diartikan sangat menyenangkan sedangkan utile (useful) dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bermanfaat atau bersifat mendidik.
Kedua hal tersebut juga bisa diartikan dengan fungsi menghibur dan mendidik. Karya sastra memiliki fungsi sebagai media untuk memberikan hiburan kepada pembacanya. Sejalan dengan itu karya sastra juga memberi fungsi sebagai media pengajaran yang memberikan nasihat-nasihat dan penanaman nilai-nilai moral kepada pembaca sehingga pembaca mendapatkan nilai-nilai positif dari karya sastra. Lebih jauh Sarumpaet (2010) menyampaikan bahwa karya sastra memampukan manusia menjadi lebih manusiawi; mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupannya.
Jika lebih dirinci lagi, fungsi karya sastra bisa dilihat dari berbagai hal yaitu (1) fungsi estetis yaitu karya sastra dipandang sebagai karya yang indah yang menampilkan keindahan melalui penggunaan bahasa, (2) fungsi etis yaitu karya sastra dipandang memiliki fungsi untuk menanamkan nilai-nilai moral melalui nasihat dan amanat yang terkandung dalam karya sastra, (3) fungsi didaktis yaitu karya sastra memiliki fungsi sebagai media pendidikan yang dapat diperoleh pembaca setelah membaca karya sastra, (4) fungsi reflektif yaitu karya sastra memiliki fungsi sebagai gambaran kehidupan yang mencerminkan realitas sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat, (5) fungsi rekreatif yaitu karya sastra berfungsi sebagai hiburan yang diberikan melalui cerita di dalamnya.
Berangkat dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa karya sastra tidak hanya sekadar bacaan untuk pengisi waktu luang (fungsi rekreatif) saja, tetapi karya sastra juga bisa digunakan sebagai media untuk melakukan kritik sosial. Memanfaatkan karya sastra sebagai kritik sosial sudah banyak dilakukan oleh pengarang-pengarang Indonesia, seperti HAMKA dalam beberapa novelnya banyak mengkritik kondisi sosial masyarakat Minangkabau yang timpang pada zamannya. Ahmad Tohari mengangkat kondisi sosial kemiskinan dan kebodohan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Pramoedya Ananta Toer mengkritik feodalisme Jawa dan patriarki melalui novelnya yang berjudul Gadis Pantai.
Selain sastrawan-sastrawan besar di atas, beberapa sastrawan dari masa ke masa tidak absen dalam mengkritik kondisi zamannya yang tertuang dalam karya sastra. Pada Kreatika edisi ini, redaksi menayangkan sebuah cerpen karya Zikra Delvira berjudul “Sampul Buku Bu Guru”. Cerpen ini mengisahkan sebuah kehidupan yang satire (sindiran terhadap kondisi sosial yang timpang). Penulis menggunakan karya sastra sebagai media untuk mengkritik suatu persoalan sosial yang tragis, kondisi sosial yang berjalan timpang, tidak sebagaimana mestinya.
Zikra menceritakan kisah seorang guru di sebuah sekolah swasta yang melakukan pungli dengan motif membayar biaya sampul buku perpustakaan. Setelah ujian sekolah, siswa-siswa akan libur sekolah, untuk mengisi waktu libur siswa sekolah memberikan pinjaman buku kepada siswa. Agar buku-buku tersebut tetap rapi dan tidak rusak ketika dipinjam siswa Bu Guru Siska bekerjasama dengan petugas perpustakaan memungut biaya sampul buku sebanyak lima ribu rupiah kepada siswa.
Cerpen dibuka dengan kehadiran seorang orang tua siswa yang marah-marah kepada Bu Guru Siska dan mengancam akan melaporkan Bu Guru Siska kepada kepala sekolah. Karena tidak menduga pungutan lima ribu rupiah yang barangkali lebih rendah dari uang jajan siswa itu akan menjadi masalah, Bu Guru Siska akhirnya pasrah dan mengalah pada orang tua siswa itu. Cerita berjalan cepat pada cerpen yang sangat singkat ini. Setelah itu, cerita bergerak pada latarbelakang Bu Guru Siska menarik uang lima ribu rupiah itu.
Sebagai guru swasta, Bu Guru Siska dan guru-guru lain dibayar sangat rendah, jauh dari Upah Minimum Regional (UMR) di kotanya. Padahal, Bu Guru Siska juga manusia yang hidup, berkeluarga, punya anak yang membutuhkan biaya untuk hidup. Inilah pesan utama dari cerpen ini. Cerpen yang menceritakan kehidupan guru-guru honorer atau guru-guru sekolah swasta yang dibayar dengan tidak manusiawi.
Pada kehidupan nyata, kita sudah tidak asing dengan berita-berita yang menyampaikan bahwa guru-guru honorer, guru-guru swasta dibayar hanya Rp150.000,00 setiap bulan dan itu pun diterima di setiap akhir semester. Lantas bagaimana mereka hidup? Apa imbalan untuk jasa mereka mendidik anak-anak? Apa imbalan untuk waktu yang mereka habiskan di sekolah merawat generasi penerus bangs aitu? Inilah ironi pendidikan tidak hanya sekolah-sekolah negeri apalagi sekolah-sekolah swasta yang sudah menjadi industri pendidikan.
Lembaga pendidikan tidak lagi menjadi tempat mendidik saja, tetapi lembaga yang mengemban tugas moral mendidik anak-anak bangsa itu beralih fungsi selayaknya pabrik. Lembaga itu bekerja dengan system ekonomi kapitalis yang kejam. Sekolah diharuskan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dengan memperkecil pengeluaran sekecil-kecilnya. Dalam cerita yang ditulis Zikra, setelah mengisahkan kehidupan Bu Guru Siska yang terhimpit persoalan ekonomi bahkan untuk membeli susu formula untuk anaknya saja dia tidak bisa, penulis juga menceritakan bagaimana pihak yayasan menggunakan uang untuk melakukan pembangunan yang tidak terlalu penting di sekolah.
Inilah kritik dalam cerpen ini, sebuah ironi, di mana pengelola sekolah lebih mementingkan membuat pagar sekolah yang megah daripada memperhatikan kesejahteraan guru yang mendidik anak-anak di sekolah. Cerpen karya Zikra Delvira ini dalam satu hal sudah memenuhi fungsinya sebagai media untuk menyampaikan masalah-masalah sosial. Cerpen ini berpotensi menjadi karya yang bagus, namun sepertinya penulis terlalu terburu-buru mengakhiri cerita.
Cerpen ini akan semakin menarik dan tajam memberikan kritikan jika penulis bersabar menyusun kejadian demi kejadian dalam cerita. Penulis bisa saja menambahkan kisah-kisah tragis Bu Guru Siska, contohnya dia sudah berusaha meminjam uang kepada yayasan tapi ditolak, atau bahkan penulis bisa menceritakan bagaimana orang tua siswa yang tidak berempati pada penderitaan guru. Selain itu penulis juga bisa menambahkan kehidupan sosial guru yang tragis yang banyak terjadi dalam kehidupan nyata. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post