Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Keberadaan karya sastra merupakan suatu hal yang penting untuk anak-anak. Sastra anak merupakan sebuah genre sastra yang ditujukan untuk anak-anak Secara teoretis, sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan orang dewasa, dan penulisannya dilakukan oleh orang dewasa, (Davis, dalam Sarumpaet, 2010). Huck dalam Krissandi, dkk. (2018) berpendapat bahwa siapa pun dapat menulis sastra anak, selama penggambaran ceritanya ditekankan pada kehidupan anak-anak. Isi dalam sastra anak seyogyanya disesuaikan dengan minat dan dunia anak, serta perkembangan emosional dan intelektualnya sehingga dapat bermakna dan memuaskan mereka.
Fungsi sastra anak dapat dilihat dari unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Secara intrinsik, sebuah bacaan sastra anak dikemas dengan cerita yang menarik dan bahasa yang indah sehingga memberikan rasa senang pada anak ketika membacanya. Membaca karya sastra anak juga dapat memperkaya pengalaman karena karya sastra sejatinya adalah cerminan kehidupan. Melalui penggambaran dalam karya sastra, anak dapat mempelajari bagaimana tokoh menyelesaikan masalahnya, bagaimana terjadinya sebuah konflik, serta belajar tentang perilaku baik dan buruk,
Sastra anak juga memiliki fungsi dilihat dari unsur ekstrinsiknya seperti memberikan manfaat bagi perkembangan kognitif dan bahasa anak, serta pengembangan kepribadian dan sosial anak (Norton, 1983). Selain itu, cerita dalam karya sastra sarat dengan aspek pendidikan. Pengajaran sastra di sekolah diyakini membantu pembentukan karakter anak, karena di dalam bacaan sastra mengandung nilai positif, seperti moral, budaya, kemanusiaan, sosial, hingga agama. Hal ini dapat terwujud dengan menumbuhkan minat baca pada anak. Jika kegiatan membaca telah menjadi kebiasaan, anak akan semakin terpapar secara mendiri nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Dengan begitu proses pendidikan karakter anak akan terbangun secara optimal.
Keberadaan bacaan sastra dan minat baca anak dapat dikatakan saling berhubungan. Namun, perkembangan teknologi juga berbanding lurus dengan perilaku membaca anak. Teknologi telah memungkinkan karya sastra anak tidak hanya hadir dalam bentuk cetak, tetapi juga dalam bentuk digital. Hal ini kemudian membuat pengertian sastra anak mengalami perluasan. Sastra anak tidak hanya dapat dibaca dan dilihat oleh anak, tetapi juga didengar karena buku digital juga tersedia dalam bentuk audio (Utami, 2021). Selain memudahkan anak dalam mengakses informasi, pilihan yang tersedia pun lebih banyak. Di sisi lain, perkembangan teknologi juga menggeser perilaku membaca anak, karena anak lebih tertarik dengan gawai ketimbang membaca buku. Hasil survei yang dilakukan oleh beberapa badan pendidikan terhadap siswa Indonesia menunjukkan, anak-anak Indonesia memiliki minat baca yang rendah, seperti yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA) terhadap 600.000 siswa berusia 15 tahun dari 79 negara. Hasil survei memperlihatkan Indonesia berada pada urutan 74 dengan skor 371 (Anggriani, 2020).
Anggriani (2020) mengungkapkan banyak orang tua belum menyadari pemanfaatan gawai untuk meningkatkan minat baca anak, yaitu dengan mengenalkan buku elektronik pada anak, sambil terus mengawasi anak ketika bermain gawai. Jika anak terus dibiarkan bermain gawai tanpa pengawasan, anak akan semakin terdistraksi dengan berbagai aplikasi permainan dan video yang belum tentu menunjang pendidikan karakter anak. Selain persoalan gawai, sastra anak Indonesia juga tengah berada di persimpangan dengan mendominasinya bacaan anak yang telah disadur ketimbang bacaan sastra anak asli Indonesia.
Di satu sisi, hal ini baik untuk mengenalkan keberagamaan budaya dari berbagai penjuru dunia. Namun, banyak dari bacaan tersebut yang isinya belum tentu sesuai dengan budaya Indonesia sehingga anak dapat dengan mudah terpapar olehnya. Purnomowulan, seorang akademisi sekaligus pemerhati sastra anak berpendapat bahwa Indonesia kaya dengan budaya dan tradisi maka Indonesia memiliki potensi untuk mengeksplorasi bacaan sastra anak dari segi budaya.
Sastra anak juga dapat dijadikan sebagai media pengajaran kesehatan anak. Pada tahun 2020 lalu, Inter-Agency Standing Committee, sebuah organisasi berada di bawah naungan PBB, merilis buku digital bergambar berjudul My Hero is You sebagai upaya pencegahan Covid-19 bagi anak-anak di seluruh dunia. My Hero is You telah diterjemahkan ke dalam 135 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia dengan judul Kamu Pahlawanku (2020). Buku tersebut mengisahkan tentang tokoh anak perempuan bernama Sara yang memiliki misi membantu anak-anak di seluruh dunia dalam memberantas virus Corona. Bersama Ario, makhluk bersayap yang muncul dari imajinasinya, mereka terbang ke berbagai negara untuk mengajarkan Salem, seorang anak Mesir untuk mencuci tangan pakai sabun. Kim, bocah Korea yang juga dikunjungi Sara dan Ario, menceritakan pengalaman temannya yang terkena Covid. Ia tetap berteman dengan temannya itu, dan tetap bermain dengan temannya yang lain sambil menjaga jarak.
Buku ini memenuhi kriteria sastra anak karena di dalamnya memuat cerita dengan anak sebagai sebagai tokoh utamanya. Selain itu, buku My Hero is You juga memberikan pengajaran pendidikan kesehatan dari sudut pandang anak dengan bahasa yang mudah dipahami dan menggugah imajinasi anak dengan menghadirkan tokoh dengan kekuatan yang disukai anak. Di Indonesia juga telah banyak upaya pencegahan Covid yang dilakukan berbagai instansi kesehatan dan pendidikan, seperti menerapkan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat. Maka karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai media pengajaran kesehatan untuk anak-anak. Dengan membaca karya sastra, anak merasa terhibur dan mendapat pelajaran berharga melalui penggambaran tokoh dalam cerita (Wakhyudi, 2021).
Melalui banyaknya kajian mengenai peranan dan pemanfaatan karya sastra untuk pendidikan anak, dapat dilihat adanya potensi bagi pengembangan penulisan bacaan sastra anak. Purnomowulan (2016) melihat unsur pendidikan anak dalam karya sastra Indonesia masih berkutat pada nilai moral. Penggambaran tokoh jahat dan baik masih digambarkan secara hitam putih, yang menurutnya hal ini akan menanamkan nilai negatif seperti sifat sombong dan tamak pada anak. Menurutnya, perlu adanya kebaruan dalam penceritaan sastra anak Indonesia, yaitu dengan lebih mengedepankan tema-tema yang dekat dengan keseharian anak seperti kesehatan, persahabatan, lingkungan, hingga toleransi antarsesama.
Nilai pendidikan diperlihatkan melalui penggambaran pencarian jati diri tokoh. Tokoh awalnya memiliki pandangan ideal terhadap kehidupan dan dunia yang ingin ia jalani. Konflik terjadi ketika tokoh mendapati kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya, sehingga tokoh mengalami pertentangan dengan diri dan lingkungannya. Tokoh mau tidak mau melakukan negosiasi antara nilai-nilai di dalam dan di luar dirinya sehingga tokoh dapat menemukan dirinya yang baru dan lebih mengenal diri sendiri.
Dengan melakukan pembaruan terhadap tema-tema sastra anak, dapat ditanamkan nilai-nilai kemandirian dan menumbuhkan empati karena nilai-nilai tersebut layak untuk diangkat dalam penceritaan sastra anak. Selain itu, karya sastra yang menonjolkan nilai-nilai budaya dan tradisi Indonesia dapat dikembangkan sehingga referensi sastra anak tidak hanya sebatas bacaan yang telah disadur saja. Anak juga dapat merasa lebih terhubung dengan dunia sekarang, terlebih lagi akibat perkembangan teknologi yang membuat permasalahan kehidupan semakin kompleks.
Discussion about this post