
Cerpen: Reno Wulan Sari
Setelah hari kematian Kenya, tepatnya setelah 10 hari sejak pemakamannya, semua berkumpul di rumah yang mungil itu, rumah Kenya. Mereka adalah keluarga kandung Kenya. Bapak, ibu, Lakara—kakak laki-laki—beserta istri dan anaknya, serta Biyan—adik perempuannya yang belum menikah. Tidak hanya mereka, di rumah itu juga ada Sakia, sahabat Kenya sejak SMA. Sakia datang ke rumah itu setelah ditelepon oleh Biyan. Selain mereka, juga ada Rambang, suami Kenya, yang kini tinggal di rumah itu seorang diri. Kali ini, beberapa di antara mereka telah berpindah duduk.
Awalnya, semua orang itu ada di dalam rumah, tepatnya di ruangan tengah yang lapang. Di ruangan itu, semua aktivitas bisa dilakukan, seperti makan, mengobrol, menonton televisi, senam, karaoke, dan sebagainya. Di sanalah, Kenya melakukan semua aktivitasnya, sebab rumah itu tak memiliki banyak ruangan lainnya. Ukuran rumahnya pun tak besar. Cukuplah untuk sepasang suami istri.
Rumah itu sama seperti rumah sederhana lainnya. Rumah yang memiliki ruang tamu dengan ukuran kecil, 2 kamar tidur, 1 di antaranya memiliki kamar mandi di dalam, 1 dapur, 1 kamar mandi yang bisa diakses oleh semua orang, 1 garasi kecil (cukup untuk 1 mobil berukuran kecil, 1 sepeda motor, dan 1 sepeda), 1 halaman kecil di samping rumah, dan 1 ruangan tengah yang telah disebutkan sebelumnya. Sekarang, bapak, ibu, Biyan, dan keponakan Kenya sedang duduk di halaman kecil. Selebihnya, yaitu Lakara, istri Lakara, Sakia, dan Rambang, masih berada di ruangan tengah tersebut. Barangkali, ruangan tengah itu juga bisa disebut sebagai ruangan keluarga. Ruangan itu memang berkonsep ruangan keluarga, tetapi ternyata selama ini, fungsinya tidak menjadi ruangan keluarga bagi Kenya dan Rambang. Itu adalah ruangan Kenya.
Di ruangan tengah itu, Kenya melakukan semua aktivitasnya. Kenya makan, melukis, menulis novel pertamanya yang kini sudah ada di tangan editor, membaca, menonton, menelepon, mengobrol, tidur siang, menjahit, merajut, memotong bahan-bahan untuk masakan, senam, salat, dan sebagainya. Ya, itu adalah ruangan Kenya—sering kali menjadi ruangan menyambut sahabat dan keluarga besarnya dengan hangat. Terkadang, juga menjadi tempat rapat untuk komunitas Nusantara Pintar yang diurus bersama teman-temannya.
Semua orang tentu bisa menebak, satu kamar tidur yang memiliki kamar mandi di dalamnya adalah kamar tidur utama si pemilik rumah. Ya, tepat sekali. Itu adalah kamar tidur Kenya dan Rambang. Satu kamar tidur yang lain tidak dimiliki oleh siapa pun. Akan tetapi, biasanya, adik perempuan Kenya sering menempati kamar itu jika bermalam di rumah Kenya. Dengan demikian, kamar itu selalu tampak rapi karena sangat layak dijadikan sebagai kamar tamu. Hanya ada satu perelangkapan Kenya di dalamnya, yaitu perlengkapan melukis. Kenya sangat gemar melukis. Ia lebih sering melukis sebuah objek yang tampak fokus, dibandingkan melukis pemandangan yang memenuhi semua sisi kanvas. Begitulah Kenya dan kegiatan sehari-harinya.
Kini, beberapa di antara barang-barang milik Kenya yang awalnya tersusun rapi di tempatnya masing-masing, sudah berada di ruangan tengah tersebut secara tidak teratur. Sejak 2 hari yang lalu, Biyan, adik perempuan Kenya, mengeluarkan semua barang-barang tersebut, termasuk lukisan beserta alat-alat lukis yang ada di dalam kamar tamu. Mereka mencoba mencari barang-barang yang mungkin milik orang lain, untuk bisa dikembalikan segera.
Beberapa hari setelah pemakaman Kenya, Biyan menghubungi teman-teman kakaknya yang ia kenal untuk mengetahui barangkali Kenya memiliki utang atau ada barang mereka yang belum dikembalikan Kenya. Biyan mengenal banyak teman Kenya. Hampir keseluruhan. Beberapa teman dekat sering diundang Kenya untuk datang ke rumah dan berkenalan dengan keluarga lainnya.
Sampai saat ini, tidak ada yang menagih persoalan utang-piutang Kenya kepada Biyan. Kenya memang jarang berurusan uang dengan orang lain. Akan tetapi, ada beberapa barang yang harus dikembalikan Biyan, seperti laporan rapat seorang teman yang tertinggal di ruangan kantor kakaknya, kotak makanan teman lain yang lupa dibawa kembali ketika teman itu berkunjung ke rumah kakaknya. Hanya itu. Selain itu, ada juga barang yang ingin diberinya kepada pihak lain, tetapi belum terwujud. Untuk niat itu, Sakia dan Biyan adalah sosok yang paling tahu, apa yang sedang dilakukan dan apa yang akan dilakukan Kenya. Itulah yang mereka lakukan sejak 2 hari lalu, mewujudkan niat Kenya untuk memberikan barang-barang kepada orang atau pihak-pihak yang pernah diutarakannya.
Di sisi lain, tepatnya di halaman rumah, mata bapak masih terus menerawang. Bapak seperti seolah tidak bisa diajak berbicara. Pandangannya jauh ke depan, hatinya begitu terpukul. Akan tetapi, remuknya hati bapak kali ini terasa lebih dalam dibandingkan saat hari kematian Kenya. Ketika Kenya meninggal, jasadnya dibawa ke rumah bapak dan ibu. Saat itu, bapak tak menangis. Sedikit pun tidak. Bapak begitu tenang dan damai, tidak seperti ibu yang meraung menyambut jasad anaknya yang dulu ia lahirkan. Begitu perih, ketika menyadari kini sang ibu pula yang kemudian memakamkannya. Hati ibu begitu luluh lantak, secara mendadak, anaknya tewas di jalan dalam sebuah kecelakaan. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 09.00 malam, ketika Kenya akan kembali ke rumah setelah lembur di kantornya. Ponsel Biyan berdering karena ada panggilan masuk dari Rambang. Suatu panggilan telepon yang tak pernah disangka-sangka. Setelah melalui berbagai proses dan administrasi, jasad Kenya diantarkan ke rumah bapak dan ibunya. Malam itu, tangis ibu memecah malam yang terlalu tenang untuk dicabik-cabik secepat kilat. Rambang senantiasa berusaha menenangkan ibu mertuanya, setelah ia pun tak tahu mesti melakukan apa lagi. Semua berduka, semua kehilangan sebab semua mencintai Kenya.
“Tidak. Dia tidak mencintai anakku!”, ujar bapak memecah hening sesaat. Kalimat yang diutarakan bapak secara tenang dan tegas menoreh luka kembali di hati ibu yang sejak hari kematian Kenya sangat sering menangis. Kali ini, entah bagaimana cara mendeskripsikan hati bapak, lelaki tua yang sangat berwibawa itu pun meneteskan air mata, tanpa suara. Hanya itu kalimat yang diutarakan bapak, sejak ia duduk di halaman rumah Kenya, sekitar 30 menit yang lalu. Bapak memutuskan keluar dari ruangan tengah, tepat saat semua orang berdiskusi apakah novel pertama Kenya akan tetap diterbitkan atau ditarik kembali. Sang editor buku sangat sering menghubungi Sakia sejak dua hari setelah kematian Kenya.
Bapak keluar dari ruangan tengah itu dengan raut wajah yang datar, tak seperti Lakara. Kakak laki-laki Kenya itu masih berada di ruangan tengah, duduk di sebuah sofa empuk berwarna cokelat muda, warna kesukaan Kenya.
“Jadi apa yang kau tahu tentang adikku? Apa?”
“Sayang, sudah!” Sahut sang istri, hendak menenangkan suaminya. Sedari tadi, istri Lakara tak pernah berada jauh dari suaminya. Perempuan itu khawatir Lakara akan bertindak kasar. Ketika bapak dan ibu memutuskan keluar dari ruangan itu, Lakara meminta Biyan menggendong anaknya untuk dibawa keluar bersama bapak dan ibu.
“Setiap kami bertanya, tak ada satu pun yang kau tahu! Kau tak tahu apa pun tentang Kenya. Kau tak tahu barang-barang Kenya. Bahkan, kau tak tahu novelnya akan diterbitkan,” Suara Lakara mulai meninggi.
“Kurasa yang ini lukisannya,” Sahut Sakia yang saat itu sibuk memilah-milah beberapa lukisan Kenya. Kali ini, Sakia ingin memastikan bahwa pendapatnya benar. Ia memperlihatkan lukisan seorang anak kecil yang sedang memegang buku kepada istri Lakara, “Bagaimana menurutmu, Kak?”
“Ini cocok dengan tema komunitas kalian. Aku pikir juga ini!”
“Baiklah, kalau begitu aku akan memberi tahu Aninda,”
Setelah itu, Sakia membuka kembali ponselnya dan membaca sebuah catatan yang dikirim oleh Aninda, si ketua komunitas Nusantara Pintar. Kenya sudah lama bergabung dengan komunitas itu. Ia dan teman-temannya membantu anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan dengan layak untuk segera disekolahkan. Sudah ada puluhan anak yang terkumpul di komunitas tersebut. Mereka merawat anak-anak itu dengan baik. Sepengetahuan Sakia, anak-anak itu mencintai Kenya, perempuan baik hati yang juga gemar mendongeng setiap akhir pekan. Namun sayangnya, komunitas itu belum memiliki tempat tetap sebagai kantornya. Kenya sering bercerita tentang ini kepada bapak. Seandainya ia memiliki banyak uang, ia ingin membuat kantor untuk Nusantara Pintar dan juga bisa menampung anak-anak lain yang tidak memiliki tempat tinggal.
Pekan depan, komunitas itu akan berulang tahun. Kenya pernah mengatakan kepada Aninda bahwa ia akan menyiapkan sebuah lukisan dan tiga tas rajut untuk anak-anak yang prestasinya paling tinggi di sekolah, saat peringatan ulang tahun komunitas mereka. Kenya, Sakia, dan Aninda adalah tiga sahabat yang selalu bersama dan saling mendukung. Namun sayang saat ini, Sakia pun tidak tahu lukisan mana yang dimaksud oleh Kenya. Mereka hanya tahu rencana tersebut, ketika Aninda menelepon Sakia, kemudian Sakia meminta tolong kepada Biyan untuk mencarikan lukisan dan tas rajut yang dimaksud. Namun, Biyan pun tak tahu. Oleh sebab itu, Biyan memutuskan untuk mencari bersama dan mengundang Sakia ikut mengecek semua barang-barang milik Kenya.
“Di mana Kenya menyimpan tas rajut yang sudah dijahitnya?”
“Mungkin yang itu, yang warna cokelat muda!” Rambang menunjuk sebuah tas yang belum selesai dirajut di atas tumpukan bunga. Benangnya masih menggulung di bagian ujung.
“Itu hanya satu. Jumlahnya tiga. Lagi pula itu belum selesai, benangnya masih panjang. Di mana Kenya menyimpan rajutan lainnya?”
“Mungkin di lemari.” Jawab Rambang dengan datar.
“Lemari mana? Kalau bicara yang jelas! Ada banyak lemari di rumah ini. Lemari yang mana?”
“Sayang, sudah!” Sekali lagi, istri Lakara menenangkan suaminya dengan mengusap-usap punggung Lakara.
“Sejak beberapa hari ini, aku sudah sabar. Sejak kita mengurus segala hal tentang Kenya, aku sudah sabar dengan laki-laki ini. Sekarang aku muak! Lemari mana yang kau maksud?”
“Lemari putih di kamar kami!”
“Semua isi lemari itu sudah dibongkar kemarin! Tidak ada tas rajut di sana! Tidak ada tas rajut di lemari mana pun!”
Rambang membisu. Ia tak tahu harus menjawab apa karena memang tidak tahu di mana Kenya menyimpan hasil rajutannya, bahkan ia tak pernah melihat Kenya merajut di rungan tengah itu.
“Di mana biasanya Kenya merajut? Mungkin dia menyimpan di sana,”
“Aku tak pernah melihat dia merajut, jadi aku tidak tahu. Bisa jadi juga dia merajut di kantor.”
“Apa yang kau tahu tentang adikku, hah?”
“Sayang…” Lengking suara istri Lakara menyamai suaminya.
“Kau tidak tahu segala password-nya tidak apa-apa. Itu hak kalian sebagai suami-istri, tetapi, tetapi…. Astaga! Bagaimana bisa kau mengatakan ia merajut di kantor, sedangkan salah satu benangnya ada di depan TV. Bagaimana kau tak tahu itu benang apa? Padahal, ada tas itu juga di sana,” Istri Lakara tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia sedikit lega ketika melihat ibu masuk ke ruangan itu kembali. Hanya ibu.
“Lakara, sudah, Nak, sudah!” bagaimana cara Kenya berbicara, begitu pula cara ibu menenangkan Lakara. Begitu lembut.
“Ini nih… ini… menantu kesayangan ibu! Yang ibu puji-puji setiap berkumpul dengan keluarga besar! Yang ibu katakan kepada Biyan, cari suami seperti kakak iparmu, Nak. Baik hati, tidak banyak bicara, tidak aneh-aneh, sayang keluarganya, rajin bekerja, dan lain-lain. Jangan seperti Kak Lakara, melipat selimut saja tidak bisa. Sekarang lihat. Lihat, apa yang dia tahu tentang hidup Kenya? Apa? Foto untuk di pemakaman Kenya saja dia tidak punya. Dia tidak punya foto Kenya di ponselnya. Kau tak pernah men-download foto yang dikirim Kenya ke WhatsApp-mu kan, makanya kau tak memiliki foto terbaru Kenya? Bukankah kau orang pertama yang kumintai foto terbaru Kenya? Hah? Foto untuk mengiringi jasad Kenya ke kuburnya, kau tak punya foto yang bisa dicetak segera.”
“Nak jangan terlalu menekan Rambang! Untuk apa membahas foto. Belum tentu Kenya selalu mengirim foto,”
“Malam itu aku lihat dia berusaha men-download dari WhatsApp-nya, tapi tidak bisa lagi. File-nya sudah tidak bisa di-downloa. Kau pikir aku tidak memperhatikanmu? Ibu tahu? Dia tidak punya foto Kenya lainnya di ponselnya. Untung Biyan menyimpan semua foto yang dikirim kakaknya! Sekali lagi kutanya, kau tak tahu ia suka merajut kan?”
“Aku hanya tahu ia suka melukis. Maafkan aku, Kak. Aku tidak memperhatikan kapan dia merajut,”
“Omong kosong!”
Rambang menundukkan kepalanya.
“Anakku saja, keponakannya, mendapatkan kaus kaki dari hasil rajutannya. Semua di keluarga ini tahu. Kau juga tak tahu itu?”
“Nak… pelan-pelan bicaranya,” Ibu kembali menenangkan.
Rambang tetap tak menjawab,
“Ia posting itu di Facebook-nya!” Lakara menatap istrinya, “Sayang, buka Facebook-mu, kita perlihatkan ke laki-laki yang sangat baik hati ini bahwa Kenya juga menandai namanya di postingan itu. Bacakan keras-keras postingan Kenya itu. Bacakan!”
“Sayang, itu tidak perlu!”
“Sudah, Nak, sudah! Jangan berlebihan!”
“Bacakan!”
Sang istri mengeluarkan ponsel dari tasnya. Jika perempuan itu tak melakukan permintaan Lakara, lelaki itu pasti akan tambah marah. Ia segera membuka Facebook-nya dan mencari postingan yang dimaksud Lakara.
“Postingan saat ulang tahun Kea?”
“Ya, itu! Ulang tahun Kea. Bacakan keras-keras!”
“Selamat ulang tahun, Kea tersayang… aku… aku…” Perempuan itu berhenti membaca karema tangisnya pun pecah mengingat segala kenangan anaknya bersama Kenya. Itu adalah hari ulang tahun terakhir Kea yang mereka rayakan bersama Kenya.
“Aku… aku beruntung menjadi tantemu, Nak. Aku akan menemanimu tumbuh hingga dewasa, Sayangku. Untuk ulang tahun pertamamu, sepasang kaus kaki cokelat yang kurajut sendiri kuharap bisa menemani tiap langkahmu. Percayalah, Nak, doa terbaikku selalu bersamamu. Sehat selalu, Sayangku! Nb: maaf ya sayang, warnanya mirip dengan tas laptop Om @Rambang, tapi tasnya belum selesai wkwkwkwk. Om Rambang sabar ya, kali ini kaus kaki Kea lebih duluan selesai.”
Ruangan itu menjadi hening. Seketika. Terdengar isak tangis dari istri Lakara dan ibu.
“Siapa yang ditandainya di postingan itu? Bacakan!”
“Bapak, ibu, aku, kamu, dan Biyan!”
“Kenya tidak menandai nama Rambang?”
“Nama Rambang ada di mention statusnya,”
“Ada di mention statusnya…” Lakara mengulang ucapan terakhir istrinya. Ia mengusap mulut dan mengacak-acak rambutnya. Kini, ia duduk persis di hadapan Rambang dalam posisi jongkok. Rambang masih duduk di sofat cokelat muda itu.
“Kau mau apa, Sayang?” para perempuan di ruangan itu khawatir ketika Lakara semakin mendekatkan dirinya kepada Rambang. Ia tatap Rambang lekat-lekat, entah berkedip, entah tidak, tetapi tetap berujar pada istrinya, di depan wajah Rambang “Buka profil Rambang. Apakah ada postingan laki-laki ini setelah postingan Kenya itu?”
“Nak… ini bukan pengadilan, Nak” Ibu mencoba menghentikan.
“Tolong diam, Bu!”
“Ada! Ada postingan Rambang,” jawab istrinya lirih, dengan nada yang teramat pelan.
“Apa yang diposting laki-laki ini?”
“Jadwal pertandingan sepak bola dan foto keponakannya.”
Rambang berdiri. Sang ibu mendekap erat menantu perempuannya. Mereka sangat ketakutan. Saat ini, suasana semakin terasa aneh. Ibu juga terus menatap ke arah halaman untuk memastikan Bapak, Biyan, dan Kea tetap berada di sana. Ibu sangat berharap Bapak tidak masuk ke ruangan ini sekarang. Sementara itu, Sakia sibuk mencari aktivitas lain karena merasa tidak nyaman dalam situasi ini. Bagaimana pun, ia hanya sebatas sahabat bagi Kenya. Ia tak ingin terlibat terlalu jauh dengan urusan keluarga besar ini. Entah berapa lama, suasana menjadi hening. Tak ada suara apa pun. Semua orang menyelami senyapnya masing-masing.
Semuanya berantakan. Ya. Sangat berantakan. Barang-barang di ruangan tengah itu sama-sama berantakan seperti hati mereka saat ini. Begitu pun Rambang. Semua sulit mendefinisikan rasa kehilangan Rambang. Atau sedalam apa kesedihannya. Semua meraba-raba dengan penilaian masing-masing, tetapi tidak demikian ketika mereka melihat keadaan bapak. Semua tahu sedalam apa bapak terluka saat ini. Kini, lelaki tua itu masih duduk bersama anak bungsu dan cucu satu-satunya di halaman rumah itu. Bapak tetap tak bersuara. Hanya itu satu-satunya kalimat yang keluar dari mulut bapak sejak awal ia meninggalkan ruangan tengah. Bapak tak sanggup melihat pertengkaran antara putra sulung dan menantunya itu. Bapak tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa caranya memperlakukan putrinya, sangat berbeda dengan cara menantunya, yang ia ketahui setelah hari kematian sang putri. Bapak merasa kecolongan. Ternyata ada sisi diri Kenya yang tak diketahui bapak. Dulu, bapak mengetahui segala hal tentang Kenya. Jika Kenya selesai membuat cerpen dan mengirimnya ke koran, bapak selalu mengecek koran itu sampai tulisan Kenya keluar. Bapak membacanya dengan saksama. Jika ada kesempatan, bapak bertanya tentang tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen itu. Siapa yang sedang diceritakan oleh Kenya, di mana Kenya mendapatkan inspirasi itu, dan sebagainya. Dua sosok yang kerap berdiskusi selepas makan malam. Mereka menjadi teman. Teman berbagi banyak hal, bukan hanya teman serumah.
Bapak mengeluarkan air mata lagi, kali keduanya. Sekali lagi, tanpa suara. Saat hari kematian Kenya, bapak tidak meneteskan air mata sedikit pun. Bapak begitu ikhlas melepas anaknya, tetapi kini ia tak kuasa menahan tangisnya. Sudah 10 hari setelah hari kematian Kenya, bapak akhirnya menangis, di rumah itu. Rumah yang ia berikan kepada Kenya. Saat itu, Kenya menolak pemberian bapak. Kenya mengatakan ia bisa membeli dengan uangnya sendiri. Akan tetapi, bapak terus mendesak, hingga akhirnya mereka sepakat, “Kau beli mobil saja, Nak. Setelah itu, ajak bapak dan ibu jalan-jalan.” Benar saja. Ketika Kenya berhasil membeli mobil sendiri, ia tak pernah lupa mengajak kedua orang tuanya berjalan-jalan. Beberapa kali, mereka berjalan berempat dengan Rambang. Kadang-kadang, berempat dengan Biyan jika Rambang terlalu sibuk di kantornya. Kadang-kadan, juga berlima dengan Kea dan kakak iparnya. Kenya lebih banyak menyetir untuk orang lain dibandingnya bersama suaminya di mobil itu. Lebih sering lagi, ia pergi sendirian. Saat ia membeli mobil itu, bapak cukup heran mengapa warna mobilnya hitam, bukan cokelat seperti kesukaan Kenya. Kenya mengatakan, Rambang tak suka warna cokelat, jadi dia memilih warna hitam agar Rambang juga bisa memakai mobil itu untuk bekerja. Kenya sangat suka menyetir mobil. Baginya, melewati jalanan yang berliku-liku adalah sebuah tantangan. Oleh karena itu, ia juga sering menyetir bergantian dengan Rambang jika pergi ke kota kelahiran Rambang.
Kini, mobil itu tak berbentuk lagi. Remuk. Seperti hati bapak. Bapak tak ingin melihat bagaimana keadaan mobil itu sampai hari ini. Sama seperti ketidaksiapan bapak melewati situasi ini sekarang. Biyan menyandarkan kepalanya ke bahu bapak. Di pangkuan Biyan, Kea tidur begitu lelap. Tidak ada yang perlu dibicarakan oleh mereka berdua saat ini. Rasanya, bapak ingin segera kembali ke rumahnya, tetapi aura Kenya terasa begitu nyata di sini. Bapak begitu bahagia melihat barang-barang Kenya yang tak banyak berubah. Kenya sangat menghargai semua pemberian orang. Kenya selalu bercerita bahwa tas itu pemberian Sakia, kotak kosmetik ini pemberian Aninda, dan sebagainya. Bapak mengelus semua barang yang pernah diceritakan Kenya. Kenya selalu bercerita banyak hal kepada orang-orang terdekatnya.
“Tapi, Kenya tak pernah bercerita padaku tentang penerbitan buku itu,” Sahut Rambang di ruang tengah. Kali ini, Sakia kembali membahas topik novel yang belum mendapatkan keputusan keluarga sejak awal mereka mengurus semua hal tentang Kenya. Naskah novel Kenya sudah berada di tangan seorang editor untuk segera dipublikasikan. Apakah itu akan diteruskan untuk dicetak atau mau ditarik kembali, sang editor meminta Sakia bertanya kepada keluarga Kenya.
“Tidak mungkin Kenya tak bercerita padamu. Ia anak yang selalu menceritakan semua hal kepada kami. Bahkan kami tahu banyak tentang kau. Kenya bercerita banyak hal tentangmu. Tentang kegiatan sepak bolamu sehabis pulang kerja, tentang adikmu yang bingung memilih warna baju pernikahan, semuanya.” Sahut ibu.
“Sepertinya, bukan Kenya yang tak bercerita padamu, tetapi kau yang tak mendengarnya. Atau, kau yang berhenti mendengarnya, sehingga Kenya pun berhenti bercerita. Mana yang benar di antara semua itu? Mengapa selalu Sakia dan Biyan yang ada di setiap aktivitasnya? Mengapa kami tahu dia menulis novel sedangkan kau tidak? Itu hal besar dalam hidupnya, dan kau tak tahu?” Kali ini, suara Lakara sedikit lebih rendah.
“Dia memang sering menulis di sini. Duduk di sofa ini, tetapi aku tidak tahu dia menulis apa,”
“Kau tak bertanya?”
Ketika tak ada jawaban dari Rambang, Lakara menambahkan kalimatnya, “Pertanyaanku bodoh. Untuk apa kau bertanya Kenya sedang apa. Bukankah segala hal tentang adikku nyatanya tak menarik bagimu?”
Pada saat itu, Sakia yang sedari tadi juga terus mencari tas rajut yang dimaksud Kenya, mengeluarkan tiga buah tas dari sebuah kardus. Suara Sakia memecah kebuntuan obrolan semua orang di ruangan itu, “Ini ada tiga tas baru, tetapi bukan tas rajut. Apakah Aninda salah memberi informasi ya? Apakah mungkin maksudnya tas yang ini, bukan tas rajut? Aku telepon Aninda dulu ya,”
“Sakia, maaf, sepertinya bukan yang itu. Itu tas untuk adik dan sepupuku.” Suara Rambang terdengar cukup percaya diri.
“Ah, akhirnya ada yang kau tahu dari sekian banyak barang-barang ini. Kau membeli tas ini?”
Rambang kembali diam. Lakara tertawa begitu lantang. Semua mata tertuju pada Lakara. Ia menjawab pertanyaannya sendiri, “Tentu saja Kenya yang membelinya ya. Ah adikku yang malang. Kau bersusah payah untuk totalitas pada laki-laki ini, Dik, sedangkan ia? Mengaku saja, kau atau Kenya yang membelinya? Aku sering melihat Kenya mempersiapkan berbagai hal untuk hidupmu.”
Tidak ada jawaban. Kini, Lakara mengeja pertanyaannya per suku kata, “Kau a-tau Ke-nya yang mem-be-li-nya? Jawab!”
“Kenya yang menyiapkan ini semua. Ada suratnya, tulisan tangan Kenya. Aku tahu tulisan Kenya!” Jawab Sakia mendahului Rambang saat mengecek tas itu.
Di halaman rumah itu, Biyan memicingkan mata dan menikmati udara begitu hangat sambil terus bersandar ke bapak. Bapak mengelus punggung tangan anaknya yang sedang menggendong Kea. Kali ini, bapak sedikit memberi senyumannya. Biyan pun tersenyum. Udara terasa lebih hangat dengan hati mereka yang kini tenang. Bapak tidak pernah tidak berhasil mengendalikan amarahnya. Oleh sebab itu, bapak beralih ke halaman, tidak ingin semakin menyadari apa yang sedang terjadi di rumah ini sebenarnya. Bagaimana anaknya menghabiskan sisa harinya sehabis bekerja di ruangan tengah itu. Bagaimana cara anaknya mencari sebuah kebahagiaan. Bagaimana anaknya seolah terlihat selalu baik-baik saja. Bapak memeluk Biyan semakin erat. Semakin hangat. Menurut hati bapak, saat ini Kenya juga sedang memeluk mereka. Begitu damai. Bapak menatap Biyan begitu dekat, tuturan kedua dari bapak sejak duduk di halaman ini terdengar lirih, “Kita jadikan rumah ini sebagai kantor untuk Nusantara Pintar. Jiwa Kenya ada di sini, bersama lukisan-lukisan, rajutan, dan semua karyanya. Kita wujudkan impiannya, kemudian kita cetak novelnya.”
“Tentu saja!”
“Dan untukmu, Sayang, menemukan lelaki yang baik, itu bagus, Nak, tetapi belum tentu ia mencintaimu. Menemukan lelaki yang mencintaimu itu lebih penting karena pasti ia akan melakukan yang terbaik untukmu.”
Setelah hari kematian Kenya, tepatnya 10 hari setelah acara pemakamannya, bapak menemukan makna cinta Kenya di rumah ini. Bapak menemukan jiwa anaknya yang tetap hidup di rumah ini. Sementara itu, suara Lakara masih terdengar begitu lantang dari ruangan tengah itu, ruangan keluarga, yang nyatanya hanya menjadi ruangan pribadi Kenya.
(Busan, 21 Januari 2022)
Discussion about this post