Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Ngeri-Ngeri Sedap merupakan film yang sangat kental dengan adat Batak. Film ini merupakan film drama komedi yang disutradarai dan ditulis oleh Bene Dion Rajagukguk. Walaupun Bene Dion selaku sutradara memiliki buku dengan judul yang sama, film ini tidak diadaptasi dari buku tersebut. Tidak hanya sutradaranya saja yang merupakan orang Batak, para pemain film ini pun merupakan suku Batak, seperti Arswendy Beningswara Nasution, Tika Panggabean, Boris Bokir Manullang, Gita Bhebhita Butarbutar, Lolox, dan Indra Jegel.
Film ini ditayangkan di bioskop pada 2 Juni 2022. Film dengan mengangkat latar di daerah Sumatera Utara sebagai latar utama yang mendukung budaya Batak yang kental, film ini juga berkisah mengenai kehidupan dan kepercayaan suku Batak yang dialami oleh para tokohnya. Narasi film ini mengisahkan adanya kerinduan Pak Domu dan Mak Domu kepada ketiga anak laki-lakinya yang merantau di luar pulau. Kedua orang tua ini tinggal bersama anak perempuannya di rumah. Karena adanya pesta adat Batak yang diselenggarakan oleh Pak dan Mak Domu, mereka menyuruh ketiga anaknya untuk pulang. Namun, adanya permasalahan yang membuat ketiga anaknya terhalang untuk pulang. Anak pertama, Domu yang tidak diizinkan untuk menikah dengan suku selain Batak. Karena Domu ingin menikah dengan perempuan Sunda, ia dianggap tidak menurut kepada orang tuanya. Orang tuanya menganggap bahwa jika Domu tidak menikah dengan suku Batak, garis keturunan dan pemahaman terhadap budaya Batak akan berakhir sampai di keluarga Bapaknya saja.
Permasalahan lain adalah adanya masalah yang dihadapi oleh Gabe, anak ketiga yang menjadi pelawak. Ia tidak mendapatkan restu dari Bapaknya karena Bapaknya menganggap pelawak tidak cocok sebagai pekerjaan Gabe karena Gabe adalah sarjana hukum yang semestinya berprofesi sebagai hakim atau jaksa. Selain itu, adanya anak ketiga, Sahat yang tinggal di Yogyakarta setelah kuliah. Sahat dan teman-temannya yang sangat menyukai desa tempat ia dan teman-temannya KKN merasa nyaman di desa tersebut dan melakukan berbagai bantuan untuk masyarakat sekitarnya sehingga mereka mampu untuk melakukan sistem pertanian yang lebih baik lagi. Tentunya, hal ini pun dirasakan oleh masyarakat di sana.
Ketidakinginan ketiga anaknya pulang membuat Pak dan Mak Domu melakukan diskusi untuk mencari jalan agar anaknya dapat pulang. Akhirnya, mereka berpikir dengan cara berpura-pura ingin berpisah atau bercerai. Dengan bantuan anak keduanya, Sarma, ia menelepon kakak dan adiknya agar pulang. Akhirnya, ketiga laki-laki tersebut pulang dan menemui orang tuanya. tidak hanya datang untuk membantu menyelesaikan permasalahan kedua orang tuanya, ketiga anak laki-laki pun akhirnya datang untuk pesta yang diselenggarakan untuk nenek mereka. Namun, ketiga anak laki-laki mereka harus pulang kembali usai pesta dilaksanakan. Hal ini membuat Mak dan Pak Domu harus kehilangan anak-anaknya kembali. Namun, karena adanya sikap yang dirasakan oleh Mak Domu terkait sikap Pak Domu yang selalu otoriter, hal ini membuat adanya permasalahan serius antara keduanya.
Permasalahan awal yang dibuat sebagai alibi agar anak-anaknya pulang berubah menjadi permasalahan serius yang berkepanjangan. Pak Domu yang otoriter dan tidak memberikan kebebasan kepada ketiga anak laki-lakinya untuk memilih dalam hidup mereka. Hal ini membuat Mak Domu kembali ke rumah orang tuanya dan anak-anaknya yang pergi kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Hal ini membuat rasa kesepian dan bersalah dalam diri Pak Domu sehingga ia akhirnya menemui orang-orang yang berhubungan dengan permasalahan anak-anak mereka dan akhirnya menyelesaikan masalah tersebut.
Permasalahan utama yang disajikan dalam film ini adalah ketiadaan pilihan hidup yang dimiliki oleh tokoh-tokoh anak laki-laki. Anak laki-laki ini merasa sebagai seseorang yang dikekang dalam hidupnya sejak kecil. Namun, bertambahnya usia, mereka sadar dan akhirnya mampu untuk melawan otorisasi yang dilakukan oleh Pak Domu kepada mereka.
Terlepas dari permasalahan utama yang disajikan dalam narasi, film ini kental dengan budaya berupa kepercayaan masyarakat suku Batak. Pertama, suku Batak yang harus menikah dengan suku Batak pula agar garis keturunan tetap berlangsung dan sang istri dapat memahami budaya Batak. Keterikatan dengan kekerabatan asal setelah menikah antara istri Batak dengan istri di luar Batak (khususnya Sunda karena di narasi digambarkan bahwa tokoh Domu menikah dengan orang Sunda). Pada istri Batak yang menikah dengan orang Sunda, ia tidak terikat lagi dengan sistem kekerabatan asal (Ratna Sonya, 2018). Namun, jika suami Batak menikah dengan suku Sunda, perempuan harus dibuatkan sebuah pesta adat pemberian marga agar keturunannya kelak dapat berperan aktif dalam adat (Sonora.Id, 2022).
Kedua, permasalahan yang dihadapi adalah adanya stereotipe bahwa suku Batak yang berkuliah hukum haruslah miliki profesi yang berbau dengan jurusan hukum pula, seperti jaksa, hakim, pengacara. Hal ini tentunya menjadi problematik yang dialami oleh anak ketiga di dalam narasi. Ketika ia menjadi seorang pelawak, Pak Domu merasa anaknya tidak menurut kepadanya walaupun Gabe sebagai anak memilih dengan sadar sebagai pelawak. Stereotipe suku Batak yang berkecimpung dalam dunia hukum ternyata karena suku Batak yang tidak pandai bermulut manis. Orang Batak memiliki sikap yang cenderung mengungkapkan semua kebenaran atau isi hatinya tanpa memperindah makna aslinya atau apa adanya mengandung makna dan karakter yang apa adanya (Tentang Batak Di Mata Seorang Batak, 2017). Hal ini membuat orang Batak memiliki spekulasi logis dan apa adanya sehingga ia mampu menyelesaikan perkara yang sedang diurusi oleh mereka.
Permasalahan ketiga adalah adanya kepercayaan bahwa anak bungsu laki-laki dalam masyarakat Batak harus mengurusi orang tua dan rumah akan diwariskan kepada anak bungsu laki-laki ini. Hal ini dikisahkan melalui tokoh Sahat dalam narasi. Hal ini dilakukan karena sebagai anak bungsu, kepercayaan Batak memiliki pandangan bahwa anak bungsu tidak dipisahkan atau dipajae karena anak bungsu diharapkan untuk merawat orang tuanya sehingga jika nantinya orang tua tersebut sudah meninggal, rumah yang ditempati tersebut akan menjadi panjaean dari anak bungsu tersebut (Cikibum-bum, 2020).
Selanjutnya, keempat, kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam narasi film ini adalah pemberian ulos dalam kegiatan adat. Cuplikan scene dapat dilihat dari tokoh Domu yang disuruh untuk mengambil ulos oleh Mak Domu untuk acara neneknya. Namun, Domu asal mengambil ulos yang berada di lemari dan tidak sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini tentunya membuat penonton akan berpikir bahwa ulos dalam suku Batak memiliki makna dan pemakaian yang berbeda-beda dalam kegiatannya.
Berbeda kegiatan, berbeda pula ulos yang diberikan atau digunakan oleh masyarakat suku Batak. Ulos merupakan kait atau wastra suku Batak yang menjadi ciri-ciri suku Batak. Tentunya, penggunaan jenis ulos dalam kegiatan adat memiliki peran yang berbeda-beda dan perlu diperhatikan. Pada mulanya, ulos dianggap sebagai sebuah selimut yang digunakan oleh masyarakat Batak yang tinggal di pegunungan. Namun, akhirnya, penggunaan ulos meluas sesuai dengan kegiatan adat yang diselenggarakan. Penggunaan ulos ini dibagi menjadi tiga peristiwa besar, yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian. kain ulos yang digunakan dalam kelahiran disebut sebagai parompa. Berbeda dengan kain ulos yang digunakan dalam pernikahan yang disebut sebagai ulos hela.lebih jauh, dalam acara pernikahan Batak, pengantin akan mendapatkan ulos dari berbagai tingkatan silsilah keluarga sehingga lebih beragam lagi jenis ulos yang didapatkan (Harahap, 2019).
Ulos yang diberikan dalam pesta suku Batak pun menandakan restu dan doa yang diberikan oleh keluarga. Pemberian dari keluarga ini dibedakan menjadi 2, yaitu merah adalah ulos yang diberikan dari keluarga yang memiliki marga yang sama, putih merupakan ulos dari keluarga pria, dan hitam merupakan ulos dari keluarga perempuan. Lalu, adanya pemberian ulos kepada saudara atau rekan yang meninggal. Kain penutup jenazah pada saat kematian disebut sebagai saput.
Kepercayaan masyarakat Batak dalam film ini juga ditandai dengan adanya panggilan yang dilakukan oleh calon istri Domu saat bertemu dengan ayah Domu. Istilah-istilah yang dimiliki oleh suku Batak ini harus diperhatikan secara teliti karena penggunaan istilah atau panggilan ini sesuai dengan hubungan sedarah atau tidaknya atau aspek lainnya. Pertama, adanya lae yang merupakan panggilan saudara laki-laki dari istri atau saudara ipar laki-laki; suami dari saudara perempuan; anak laki-laki atau laki-laki sesama suku Batak yang tidak semarga. Selain itu, adanya panggilan ito yang merupakan panggulan pria kepada wanita atau sebaliknya yang berbeda jenis kelamin; saudara pria atau wanita dalam satu keluarga; pria atau wanita semarga maupun tidak semarga; dan anak dari saudara perempuan ibu. Lalu, adanya eda yang merupakan panggilan saudara perempuan dari suami atau ipar perempuan; istri dari saudara laki-laki; anak perempuan; wanita sesama suku Batak yang tidak semarga atau perempuan yang baru kenal.
Panggulan lain adalah akkang atau abang yang dapat digunakan jika merupakan kakak kandung atau kakak laki-laki dari suami atau istri. Berbeda dengan akkang, anggi atau adik merupakan panggilan untuk adik perempuan atau adik perempuan dari suami atau istri. Selanjutnya adalah amang tua atau bapak tua merupakan panggulan untuk kakak kandung ayah atau suami dari kakak perempuan ibu baik langsung atau tidak langsung yang semarga dengan ibu. Selanjutnya, adanya panggilan amang muda yang digunakan sebagai kakak kandung ayah atau suami dari adik perempuan ibu, baik langsung maupun tidak langsung yang semarga dengan ibu.
Lalu, adanya inang tua yang merupakan panggilan untuk wanita yang memiliki hubungan istri dari amang tua atau kakak perempuan ibu baik langsung maupun tidak langsung yang semarga dengan ibu. Kemudian, adanya inang muda yang kebalikan dari inang tua yang merupakan adik perempuan ibu yang semarga dengan ibu. Panggilan ini juga tidak harus untuk adik kandung saja, adik sepupu ibu juga boleh dipanggil inang muda asalkan masih semarga. Selanjutnya, adanya inang baju yang digunakan untuk saudara perempuan ibu yang belum menikah. Dalam bahasa Indonesia, sebutan ini pun dapat disebut tante.
Panggilan lain adalah namboru, panggilan perempuan yang memiliki hubungan saudara perempuan dari ayah, baik langsung maupun tidak langsung yang semarga dengan ayah atau wanita yang semarga. Panggilan lainnya adalah amang boru yang digunakan untuk pria yang merupakan suami dari namboru. Lalu, adanya tulang adalah kakak kandung dari ibu dengan pasangannya adalah nantulang yang merupakan istri dari tulang. Lalu, panggilan nenek dari silsilah Batak disebut sebagai opung. Jika perempuan, nenek akan dipanggil sebagai opung boru. Jika laki-laki, kakek akan dipanggil opung doli. Selain itu, adanya pahompu sebagai panggilan untuk cucu. Parumaen adalah sebutan untuk menantu perempuan dan simatua sebutan untuk mertua (Pratama, 2018).
Lima kepercayaan yang disuguhkan oleh sutradara dan tim produksi dapat diberi jempol karena membuat film ini menjadi film yang kental dengan budaya Indonesia, khususnya budaya Batak. Tidak hanya disajikan dengan tampilan suasana Batak, masyarakat di luar suku Batak pun memahami adanya kepercayaan yang dilakukan oleh suku Batak sehingga menambah wawasan budaya Nusantara yang begitu eksotis. Film ini tidak hanya sebagai penghibur, tetapi juga memberikan wawasan atau informasi terkait dengan budaya Nusantara.
Discussion about this post