Tenunan
Cerpen:Naima Muharrani Yanfa
Cahaya sore menerangi langit, cakrawala memanggil mentari dan gelap sebentar lagi menggantinya serasa menyambutku pulang. Ayam-ayam Amak masih mengais makanan di halaman samping rumah. Aku langkahkan kaki memasuki rumah sembari mengucap salam.
Plak! plak! plak!
Suara alat tenun Amak serasa ikut menyambutku. Layung senja telah mencuatkan sinar indahnya, sebuah keindahan tersendiri saat kita menyaksikan tenggelamnya matahari menjelang senja di balik bukit sana, sore yang indah.
“Kelak Yati mau jadi apa?” Amak memulai pembicaraan. Pertanyaan yang selalu Amak tanyakan padaku. Bingung harus menjawab apa, aku menggaruk kepala sembari berpindah posisi ke dekat Amak. “Ingin jadi desainer, Mak.” Untuk pertama kalinya, akhirnya aku bisa menyampaikan apa yang kuinginkan sebenarnya, jadi desainer.
Tiba-tiba suara berat menyeruak masuk pembicaraan, “Apak ingin Yati jadi dokter.” Aku dan Amak menoleh ke arah pemilik suara berat nan tegas itu. Sudah sering Apak menuntut cita-citaku jadi dokter. “Lihat kondisi keluarga kita, Yati. Amak hanyalah karyawan tenunan Bu Santi. Apalagi di masa sekarang ini, Tenunan Balai Cacang Bu Santi sudah tidak banyak lagi diminati. Sebulan paling hanya satu atau dua pesanan saja. Apak hanyalah petani penggarap sawah. Apakah kau tak ingin menaikkan derajat kedua orang tuamu ini?” Raut wajah Apak mulai serius. “Apak tetap ingin kau jadi dokter. Belajarlah dengan rajin, usahakan nilai kau itu selalu di atas angka 9.”
Aku menunduk. De-sai-ner. Kuulang kata itu di dalam hati. Desainer memang cita-citaku sejak kecil. Desainer tampak keren bagiku. Ia merancang dan mengembangkan berbagai busana unik. Apak selalu menginginkanku menjadi dokter. Orang di tempat tinggalku mayoritas hanya lulusan SMA, lalu menjadi tenaga kerja siap pakai. Ada yang berdagang, menjadi petani, atau menjadi pengrajin tenun seperti Amak. Apak ingin, aku sebagai anak satu-satunya, mengubah kampung ini. Beliau ingin aku yang menjadi lulusan kedokteran pertama di kampung ini.
Bagaimana mungkin aku mewujudkan cita-citaku dengan kondisi ambisi Apak yang menginginkanku jadi dokter? Setiap malam, setiap sebelum tidur, kusempatkan memikirkan masalah ini. Aku tidak ingin menjadi dokter seperti yang dikatakan Apak. Menjadi dokter tidaklah mudah, harus menguasai pelajaran biologi. Melihat banyaknya materi biologi di buku saja sudah membuat kepalaku pusing, apalagi ditambah dengan istilah-istilah sulitnya itu. Nilai biologiku pun paling tinggi hanya mencapai angka 8, belum pernah menyentuh angka 9. Aku gemar menggambar. Menggambar seolah-olah bentuk pengekspresian diriku. Pendapat Apak tadi mematahkan semangatku.
Apak berlalu meninggalkan Aku yang termangu dan Amak yang sibuk dengan alat tenunnya. “Yati, Amak mendukung kau jadi desainer. Kembangkan terus bakat kau. Jangan mudah menyerah meski terhalang Ambisi Apak. Jika kau memang serius di bidang perancangan, lanjutkanlah menuntutlah ilmu di SMA khusus Fashion Design.” Gairah muncul dari wajahku. Perutku bak dipenuhi kupu-kupu. Tetapi, terbesit suatu pikiran akan biayanya. SMA khusus Fashion Design ini tentulah relatif sedikit mahal dibanding sekolah biasa. Pesanan tenunan Amak hanya satu atau dua selama sebulan. Apak yang bekerja sebagai petani penggarap sawah hanya mendapat upah harian. Mungkin upah Amak bekerja sebagai pengrajin tenun Bu Santi dan upah harian Apak tidak akan cukup untuk membiayai sekolah impianku.
“Tapi Mak, biaya masuknya tentu mahal dibanding sekolah biasa.” Raut mukaku kembali muram seperti tadi. “Amak tahu, Yati. Kau mau tidak Amak ajarkan menenun? Agar bisa bantu-bantu tenunan Amak.” Amak menghentikan gerakan menenunnya sembari menatapku. Tanpa pikir panjang, aku mengangguk.
Tangan Amak bergerak menunjuk alat pertama. “Yati, alat ini namanya nandiah, gunanya untuk meletakkan benang yang akan di gumpal ke tabung.” Tangan Amak beralih ke alat tenun selanjutnya. Yang satu ini berbentuk tabung yang dililit benang-benang. Di bawahnya tampak tiang pendek yang terbuat seperti kayu. Saat tabung dilepas Amak, tampak sumbu yang terbuat dari besi untuk meletakkan tabung. “Kalau ini namanya tagundang-gundang. Gunanya untuk meletakkan tabung agar bisa diputar saat menggumpal. Setelah benang di gumpal ke tabung, selanjutnya dipindahkan ke bulua menggunakan kincia.” Aku mangut-mangut, menandakan bahwa aku mengerti.
Nah, kalo sudah mengerti Yati bisa bantu-bantu Amak, Ya?” Amak beralih menatapku, menunggu jawaban. “Baik, Mak.”
***
Angin sepoi-sepoi terasa menyapa lembut kulitku. Lembutnya hembusan angin beriringan dengan suara beberapa anak yang sibuk berlarian mengejar bola. Sepulang sekolah aku mulai membantu Amak menyelesaikan pesanan tenunannya, kata Amak, biasanya pesanannya adalah cawek, lalu misie, yaitu kain untuk pinggir telekung adat, ada juga misie yang besar, digunakan untuk lambak ompek.
Pesanan tenun hari ini adalah membuat Cawek yang berwarna merah dengan panjang 2 meter. Aku duduk bersimpuh meletakkan benang yang akan digumpal ke tabung menggunakan nandiah, setelah di gumpal benang ke tabung kemudian dipindahkan ke bulua dengan memakai kincia, kincia di putar ke kanan sampai penuh. Amak duduk di panta dengan kaki di tijak-tijak, tangannya sibuk memasukkan benang dengan bantuan lidi untuk memudahkan menganyam benang. Sehingga sesekali terdengar “plak! plak! plak!” Bunyi suara kayu yang ditarik Amak untuk merapatkan benang.
Hari beranjak malam. Mentari berganti rembulan. Malam dipenuhi suara binatang malam yang nyaring, di antara dinginnya hawa angin malam, Aku mengambil buku paket biologi ku, berniat mengulang pelajaran. Tak butuh waktu lama, buku catatanku sudah dipenuhi dengan istilah-istilah biologi yang membuat kepala pusing.
Aku menghela napas. Mataku menatap lurus ke depan. Pikiranku melayang. Tuhan. Bagaimana aku akan mewujudkan cita-citaku? Bagaimana dengan ambisi Apak yang menginginkanku jadi dokter? Bagaimana aku akan menaikkan derajat orang tuaku? Bagaimana aku bisa berhasil dengan kondisi ekonomi keluargaku yang terbilang sulit? Bagaimana pendidikan ku setelah SMP? Akankah berlanjut ke SMA atau hanya sampai lulusan SMP saja, lalu menjadi tenaga kerja siap pakai? atau menjadi tenaga penenun Bu Santi? Akankah aku menjadi dokter seperti keinginan Apak?
Terlalu banyak ‘bagaimana’ malam ini. Hampir setiap malam aku memikirkan semua ini. Apakah aku memilih pilihan yang salah, menjadi desainer dan menentang keinginan Apak untuk menjadi dokter? Pikiranku terasa sangat berisik malam ini. Perasaanku berkecamuk. Tak terasa mataku terasa berat dan aku memutuskan untuk tidur.
***
Hari ini sudah bulan Desember. Ujian Akhir Semester sudah seminggu lalu berakhir. Itu artinya, hari ini pembagian rapor. Nilaiku kurang memuaskan, aku mendapat nilai dengan rata-rata 83.
Kudekati Amak yang sibuk dengan tenunannya, menyerahkan hasil pencapaianku selama satu semester ini. Beliau meraih tanganku dan berlanjut mendekap badanku. “Tidak apa-apa, Nak. Amak tidak marah. Untuk yang selanjutnya, belajarnya harus Yati tingkatkan lagi, ya?” Aku tersenyum di balik dekapan Amak. Mataku tak kuasa menahan air mata yang sudah bergelayut di kelopak mata. “Terima kasih, Mak.”
Apak yang melihat rapor terletak di atas meja bergerak membuka halaman perhalamannya. Alis lelaki berumur setengah abad itu mulai berkerut, “Yati, mengapa nilai kau rendah sekali? Apak kan sudah bilang, nilai kau harus di atas angka 9. Malah yang kau dapat angka 83. Kalau begini, bagaimana kau akan jadi dokter, Yati?” Pemilik suara berat nan tegas itu kini menatapku. Aku menunduk. Sudah kuduga, tanggapan Apak akan seperti ini. “Maafkan Yati, Pak, tretapi Yati tidak ingin menjadi dokter, Pak.” Suaraku begetar mengatakannya, antara takut dan ingin menangis. “Heran Apak dengan kau. Di mana-mana orang ingin jadi dokter, tetapi kau tidak. Mengapa nilai kau turun seperti ini? Padahal, sebelumnya rata-rata kau 90. Apakah ini semua karena kau sibuk menenun? Kau fokus saja pada sekolahmu itu. Tak usah sibuk menenun terus.” Aku tak berani lagi berkata-kata, mataku sudah tak bisa menahan air mata. Apakah memang benar nilaiku menurun karena sibuk menenun?
Amak menjawab perkataan Apak, “Sudahlah, Pak. Tidak ada juga gunanya emosi di saat semua sudah terjadi. Nilai Yati memang menurun, Pak. Seharusnya kita memberikan motivasi padanya. Bukan malah memarahinya seperti ini.” Suara tenang Amak berhasil meredakan amarah Apak. Apak memang sudah tidak meluapkan emosinya lagi, tetapi beliau masuk menuju kamarnya.
***
Sore ini, kuisi dengan kegiatan menenun. Tugasku kali ini adalah menggumpal benang. Sembari melakukannya, aku bertanya pada Amak, “Mak, mangapa tenunan kita hanya sedikit dibeli setimap bulannya, Mak?” Amak menatapku dengan tatapan lara, “Itu karena Tenunan Balai Cacang hanya digunakan untuk pakaian adat saja. Biasanya, orang hanya membeli sekali.” Aku mangut-mangut mendengar penjelasan Amak. Pikiranku kembali memikirkan biaya sekolah yang ada jurusan designernya tentulah relatif sedikit mahal dibanding sekolah biasa. Pesanan tenunan Amak hanya satu atau dua selama sebulan. Mungkin upah Amak bekerja sebagai pekerja tenun Bu Santi tidak akan cukup untuk membiayai sekolah impianku.
Saat sedang sibuk dengan pikiran itu, terdengar derapan langkah kaki berjalan melewati rumahku. Seorang gadis yang tampaknya memiliki kondisi ekonomi yang lancar, mengenakan gamis dengan rompi panjang yang terlihat bermerek. Di kakinya, sepasang sepatu brand luar negeri terpasang. Masker yang dipakai di wajahnya tampak menambah kesan anggunnya. Ia berdiri tersenyum dengan dua jari membentuk V. Tampak sesorang memotretnya dengan cekatan. Aku sempat terpukau melihat gaya gadis itu berpakaian. Tiba-tiba, terbesit sebuah ide di benakku, aku tersenyum puas.
***
Kugoreskan pensil di atas selembar kertas. Tanganku bergerak menggambar sebuah sketsa nan indah. Ku tambahkan beberapa hiasan di atas sketsa yang kubuat, “Dan … Selesai!”ujarku sembari mengangkat hasil sketsaku dengan bangga. Aku melangkah mendekati Amak yang sedang duduk melihat hasil tenunannya. “Mak, Yati punya ide, Mak. Bagaimana kalau kita kembangkan tenunan ini dalam bentuk pakaian modern, Mak? Agar tenunan Balai Cacang ini semakin dikenal masyakarat luas sehingga anak muda juga ikut tertarik dengan kebudayaan Tenunan Balai Cacang ini.
Yati akan mengikuti lomba fashion week yang di adakan dalam rangka memperingati ulang tahun Kota Payakumbuh, Mak. Yati akan pakai tenunan rancangan Yati sendiri. Yati juga sudah buat rancangannya. Bagaimana menurut, Amak?” Aku menyodorkan kertas sketsa yang sudah kubuat tadi kepada Amak. Wanita berusia hampir setengah abad itu terperangah kagum melihat hasil sketsa ku. Beliau memperhatikan setiap detailnya sembari memujiku, “Bagus sekali sketsa rompinya, Yati! Amak setuju dengan ide Yati. Semoga Yati mendapat hasil yang memuaskan di lombanya.” Amak tersenyum bangga melihatku. “Aamiin, terima kasih, Mak. Kita mulai hari ini ya, Mak. “ Aku segera mendaftar melalui form online yang sudah disediakan panitia. Lombanya akan diadakan dua minggu lagi.
***
Aku mengambil nandiah untuk meletakkan benang yang akan digumpal ke tabung. Selanjutnya, dipindahkan ke bulua menggunakan kincia. Seperti biasa, Amak duduk di panta dengan kaki di tijak-tijak, sibuk menganyam benang dengan bantuan lidi, lalu terdengarlah “plak! plak! plak!” seirama dengan gerakan kaki Amak. Aku juga merancang sebuah masker kain dengan motif garis-garis abstrak. Sebuah padu padan nan indah. Aku berharap masker dan rompi ini selesai sebelum lomba dilaksanakan. Aku dan Amak menikmati senja ini dengan perasaan lega dan puas akan pekerjaan kami hari ini.
***
Fajar menyinsing di ufuk timur. Ayam Amak berlomba-loba mengeluarkan kokoknya yang nyaring. Aku terbangun dari tidurku. Kulanjutkan dengan salat Subuh lalu membantu Amak memasak. Kini adalah saat yang ditunggu-tunggu, lomba fashion week dengan memperkenalkan tenunan ini pada anak-anak muda. Aku bersiap menunggu Amak merias wajahku. Polesan bedak dengan beberapa riasan tipis lainnya tampak cantik dan sesuai dengan wajahku untuk seukuran pelajar.
Aku, Amak, dan Apak berangkat menuju lokasi. Sesampainya di lokasi, riuh suara penonton memenuhi. Semua orang terlihat antusias. Berbagai macam kostum tampak indah dikenakan para peserta. Masker tenun bewarna dongker dengan motif garis-garis abstrak, terasa sangat serasi dengan baju lengan panjang bewarna hitam, yang dibalut dengan rompi tenunan yang bewarna dongker pula. Aku mengenakan sepatu bewarna hitam, tampak serasi dengan seluruh busana ku bagian atas.
Aku berdiri di depan kaca backstage melatih gaya berposeku. Tak lama, nomor urutku di panggil, aku melangkah maju memamerkan keindahan busana tenunanku. Seluruh tatapan tertuju padaku. Kuusahakan menjaga keseimbangan. Aku melangkah dengan percaya diri. elasan kamera siap memotret poseku. Dewan juri tampak sibuk menulis pada catatannya. Aku berbalik dan melangkah menuju backstage. Peserta selanjutnya dipanggil, aku duduk di barisan peserta yang sudah selesai tampil. Kini tinggal menunggu hasilnya. Menunggu hasil dari perjuanganku. Sekitar setengah jam kemudian, MC memanggil kami satu persatu untuk berbaris di panggung. Inilah saat yang ku tunggu-tunggu, pengumuman juara. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin membasahi tanganku. Ya Allah … apakah hasilnya? Aku hanya berharap pada-Mu yang terbaik untukku Ya Allah.
MC bersiap mengucapkan siapa yang menjadi juara pada ajang ini. Yang membuat jantungku semakin berdebar, juaranya hanya satu orang. “Berdasarkan keputusan dewan juri, pemenang lomba Fashion Week kali ini, diberikan kepada …” MC sengaja menghentikan kata-katanya, membuat peserta serta penonton semakin tegang. “Selamat kepada … nomor lot 04, atas nama Rayati Asnani!” Riuh tepuk tangan penonton memenuhi. Itu namaku, namaku disebut menjadi pemenang ajang ini. Mataku menyorot kursi tempat Amak dan Apak duduk. Mereka tersenyum bangga sembari bertepuk tangan. Terima kasih, Ya Allah.
Aku melangkah maju untuk menerima hadiah, aku mendapat uang tunai sebesar 20 juta rupiah. Aku juga diminta mengucapkan sepatah-dua patah kata, “Terima kasih kepada orang tua saya, dewan juri dan pihak-pihak terkait yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu. Kupersembahkan tenunan ini kepada masyarakat luas. Saya ingin Tenunan ini semakin dikenal. Tidak hanya pakaian adat yang bisa dibuat dengan tenunan, pakaian modern juga tak kalah cantik jika dibuat dari tenunan. Saya berharap tenunan Balai Cacang akan terus maju, lestari untuk generasi penerus dan menjadi kebanggaan kami, kota Payakumbuh.” Penonton bertepuk tangan setelah mendengar ucapanku.
Belasan kamera memancarkan sinarnya padaku. Setelah acara selesai, aku disambut Amak dan Apak dengan perasaan bangga, “Allhamdulillah, kau menang, Yati. Selamat, ya. Amak dan Apak bangga padamu.” Amak bergerak memelukku. Di samping Amak, berdirilah Apak dengan gairah di wajahnya, “Selamat atas keberhasilanmu dalam ajang ini, Yati. Maafkan Apak yang selalu menuntutmu demi ambisi Apak. Apak sadar, bidang kau bukan di sana. Apak juga sadar, impian kau sangat mulia, ingin mengenalkan tenunan Balai Cacang yang hampir punah kepada masyarakat luas. Apak sangat bangga padamu, Yati. Kejarlah impianmu menjadi desainer itu, Apak dan Amak selalu mendukungmu.” Aku memeluk Apak dan Amak, “Terima kasih, Mak, Pak.” Kami bertiga pulang menikmati sore dengan wajah berseri-seri penuh gairah.
***
Sejak aku memenangkan lomba itu, hadiah uang tunai kugunakan untuk membantu modal Amak menenun. Pesanan tenunan mulai berdatangan, teman sekelasku, Ira, juga ikut mempromosikan lewat media sosialnya. Aku dan Amak sampai kewalahan mengerjakan seluruh pesanan, sampai akhirnya Amak memperkerjakan 4 orang pengrajin tenun. Berbagai macam rupa hasil tenunan makin beragam kami buat, ada tunik, rok, dan tas tenun selempang sampai syal. Aku menatap kesibukan di tengah rumah. Tijak-tijak berlomba-lomba mengeluarkan suaranya, seakan berirama memperdengarkan nyanyian penuh suka cita. InsyaAllah dengan semakin banyaknya pesanan tenunan ditambah dengan uang tunai hasil lomba, Amak dan Apak dapat menyekolahkanku di SMA impian.
Arti Kata:
Nandia : Berasal dari bahasa Minang artinya tempat menggumpalkan benang untuk menenun.
Bambu : Alat yang digunakan untuk menggulung benang setelah kincir.
Kincir : Digunakan untuk menggulung benang.
Cawek : Selendang merah untuk perempuan yang belum menikah.
Misie : Kain tipis dengan renda yang dikenakan sebelum memakai selendang kepala.
Lambak Ompek: Kain panjang adat yang digunakan bundo kanduang (Ibu dalam adat Minangkabau)
Panta : Tempat duduk saat menenun.
Tijak-Tijak :Alat tenun yang dipijak kaki untuk menaikturunkan benang.
Biodata Penulis
Naima Muharrani Yanfa lahir di Payakumbuh, 04 Februari 2007. Ia merupakan siswa SMP Islam Raudhatul Jannah Payakumbuh. Alamat email rifyanismael381@gmail.com, Penulis juga dapat dihubungi pada Nomor Handphone: 082363271581.
Cerpen dan Komunikasi Sastrawi
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta
dan Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumbar)
Dalam buku Membaca Sastra Membaca Dunia yang diterbitkan oleh Penerbit Basabasi tahun 2016, saya menyampaikan bahwa ada hubungan antara cerpen dengan dunia komunikasi. Dalam buku itu, saya sampaikan bahwa komunikasi pada dasarnya adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Bila dilihat lebih spesifik, komunikasi juga terdiri dari beberapa hal, salah satunya adalah komunikasi massa. Komunikasi massa secara sederhana adalah penyebaran informasi yang dilakukan oleh seseorang atau suatu kelompok sosial tertentu kepada massa atau khalayak yang heterogen serta tersebar di mana-mana.
Melihat pengertian sederhana tersebut, saya mencoba mendefinisikan komunikasi sastrawi sebagai pengiriman pesan oleh pengirim pesan kepada penerima pesan (masyarakat) dengan media karya-karya sastra. Secara umum komunikasi sastrawi yang dibicarakan ini adalah bagian dari komunikasi massa karena komunikasi jenis ini menggunakan sebuah media yang bernama karya sastra. Hal ini secara umum tentu saja membantah upaya untuk menganaktirikan buku-buku fiksi sebagai bagian dari komunikasi.
Anna Sewell novelis kelahiran Norfork, Inggris pada 30 Maret 1820 percaya bahwa fiksi bisa mengumunikasikan ide-ide kepada masyarakat luas. Untuk itu, dia menulis sebuah novel berjudul Black Beauty yang bercerita tentang kehidupan seekor kuda hitam bersama tuan-tuannya. Black Beauty bukan kuda biasa. Dia berasal dari keturunan kuda terbaik dan sejak kecil diajarkan ibunya untuk mengabdi kepada majikan dengan baik. Sepanjang hidupnya, Black Beauty berpindah dari satu majikan ke majikan lain. Itulah hidup, seperti manusia, kadang mengalami nasib baik kadang mendapatkan kehidupan yang buruk.
Sebenarnya novel ini mengangkat cerita yang sederhana, tentang jatuh bangun kehidupan seekor kuda. Akan tetapi, novel ini menjadi salah satu novel terlaris sepanjang masa karena cerita ini dituturkan dengan indah. Bukan hanya itu, kalau dicermati novel ini menyampaikan ide-ide tentang kemanusiaan yang perlu diperhatikan oleh banyak orang. Novel ini memuat banyak petuah tentang kehidupan dan bagaimana cara menghadapi kehidupan itu.
Pada Kreatika edisi minggu ini, saya mengulas sebuah cerpen berjudul “Tenunan” karya Naima Muharrani Yanfa, seorang pelajar SMP di Payakumbuh, Sumatera Barat. Cerpen “Tenunan” ini menceritakan kisah seorang remaja perempuan bernama Yati yang ingin menjadi desainer, tapi ditentang oleh Ayahnya yang ingin anaknya itu menjadi dokter. Sebagai anak satu-satunya, orang tua Yati sangat berharap Yati sebagai “pambangkik batang tarandam”, mengangkat harkat dan martabat keluarga serta menjadi kebanggaan kampung halamannya.
Yati yang merupakan anak seorang tukang tenun, menaruh perhatian akan kerajinan khas Minangkabau itu karena setiap hari dia melihat bagaimana ibunya membuat kain tenun. Karena ingin membantu Ibunya, Yati belajar menenun. Bahkan karena perhatiannya lebih banyak dicurahkan pada kegiatan menenun itu, nilai Yati di SMP jauh dari harapan Ayahnya. Melihat nilai Yati yang tidak sesuai harapannya itu, Ayah Yati kecewa. Untunglah, ibunya merupakan perempuan yang sangat pengertian sehingga dia bisa meredam emosi Ayah Yati karena melihat nilai yang tidak sesuai harapan itu.
Pada suatu kesempatan, Yati mengikuti lomba Fashion Week dalam rangka memperingati hari jadi kotanya. Singkat cerita dalam perlombaan itu, Yati berhasil memenangkan lomba Fashion Show dengan membawakan kain tenunan khas kampung halamannya yang sudah langka. Karena menjuarai lomba itu, Yati memiliki kesempatan mengomunikasikan gagasannya tentang pelestarian kain tenun. Selain itu, ia juga mendapatkan hadiah uang tunai yang bisa digunakan untuk menjadi modal usaha tenunan orang tuanya. Hal yang paling penting dari kemenangannya di acara Fashion Show itu adalah kain tenun Balai Cacang khas kampungnya jadi terkenal sehingga membuat usaha tenunan Ibunya kebanjiran pesanan.
Pada akhir cerita, Yati bisa meyakinkan Ayahnya bahwa untuk menjadi sukses tidak harus jadi dokter. Ayahnya akhirnya dengan lapang dada mau menerima keinginan Yati untuk melanjutkan sekolah ke SMA khusus Fashion Desainer. Yati senang melihat usaha tenunan Ibunya bisa berkembang dan sekarang sudah memiliki karyawan. Selain itu dia juga senang, karena sudah bisa meyakinkan Ayahnya bahwa pilihannya menjadi desainer sesuai dengan bakatnya.
Begitulah cerpen “Tenunan” ini menjadi alat komunikasi seorang pengarang kepada masyarakat luas bahwa tradisi tenunan Minangkabau harus dilestarikan. Sebagaimana judul analisis ini, yaitu komunikasi sastrawi. Inilah salah satu contoh bagaimana karya sastra menjadi media kampanye untuk melestarikan berbagai tradisi masyarakat Indonesia. Penulis cerpen ini sudah berhasil menjadikan cerpen sebagai media untuk menyebarluaskan pemikirannya akan pentingnya anak muda mencintai tradisi leluhurnya.
Walaupun banyak sastrawan dan juga kritikus sastra yang tidak mau menerima karya sastra “ditumpangi” oleh embel-embel lain atau kepentingan lain di luar karya itu sendiri seperti kepentingan ideologi, kepentingan agama, moral, dan lain sebagainya, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra, apa pun itu (cerpen, puisi, novel, dan lain-lain) memang memiliki muatan-muatan (dalam komunikasi disebut pesan) untuk disampaikan kepada masyarakat luas.
Selanjutnya, jika dibaca cerpen karya Naima ini sebagai sebuah karya yang ditulis anak SMP tentu saja masih banyak kekurangannya. Selain tema populer yang diangkat penulisnya, kelemahan cerpen ini adalah alur cerita yang ditulis dengan sangat sederhana. Membaca satu paragraf cerpen ini memungkinkan pembaca bisa menebak ending ceritanya. Hampir tidak ada konflik yang berarti dalam cerpen ini kecuali ayahnya yang ingin melihat Yati menjadi dokter sementara Yati sebenarnya ingin jadi desainer.
Sebenarnya tema cerita ini cukup menarik, memungkinkan untuk menghadirkan banyak konflik dalam cerita ini seperti konflik ayah dan anak tentang bagaimana orang tua terlalu mendikte masa depan anaknya. Konflik lain bisa digarap bagaimana pertentangan modernitas dengan lokalitas, contohnya bagaimana dalam acara Fashion Show juga dihadirkan perlawanan antara model tradisional yang diwakili oleh tenunan Balai Cacang dengan model yang modern. Sayangnya, potensi agar cerpen ini memiliki konflik yang tajam belum digarap oleh penulisnya.
Selain itu, cerpen ini juga banyak memuat istilah-istilah yang membuat pembaca dari luar budaya Minangkabau harus membaca arti kata yang ditulis terlebih dahulu. Sekilas bisa dipahami bahwa penulis ingin menciptakan nuansa lokalitas melalui kata-kata khas lokal (Minangkabau) namun hal ini terlihat sebagai tempelan belaka. Karena nuansa lokalitas baru sebatas kata-kata lokal itu, penulis belum mampu membawa pembacanya pada nuansa lokal dari folosofi adat dan lain sebagainya yang lebih esensial.
Jika dibahas kekurangan cerpen ini tentu banyak hal yang lainnya yang menjadi perhatian penulis. Namun, hal yang perlu diingat adalah cerpen ini ditulis oleh pelajar SMP yang masih remaja. Sebagai cerpen karya anak muda, cerpen ini sudah cukup baik. Penulisnya sudah luar biasa bisa berkarya dan menyampaikan gagasan-gagasannya melalui karya sastra.
Menyadari bahwa cerpen ini ditulis oleh remaja yang masih duduk di bangku SMP, membuat kita semakin optimis bahwa ke depan Sumatera Barat akan terus melahirkan sastrawan-sastrawan untuk meramaikan karya sastra Indonesia. Membaca karya Naima yang berjudul “Tenunan” ini, kita juga sadar bahwa masih ada anak-anak muda yang mencintai kekayaan budayanya, seperti tradisi menenun yang diangkat dalam cerpen ini.
Kelebihan lain cerpen ini adalah penulis sudah cukup bagus dalam menyusun cerita dari awal hingga akhir. Ia sudah bercerita dengan runtut sehingga karyanya bisa dinikmati. Selain karya yang bisa dinikmati pembaca, sebagai anak muda, kita bisa membaca gagasan-gagasannya untuk melestarikan nilai-nilai budaya Indonesia yang kaya ini. Hal ini tentu saja menjadi modal yang baik bagi Naima untuk melanjutkan proses kreatifnya dalam berkarya. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post