Cerpen: Utari Oktavia Nengsih
Wajah-wajah polos itu tampak riang. Tawa mereka berderai serentak saat diberi guyonan oleh para volunter. Namun, di sisi lain nyatanya tawa mereka berbalut duka. Pascagempa yang mengguncang Ranah Minang, Pasaman Barat, para bocah itu harus hidup bersama di tenda pengungsian, termasuk Yongki. Seusai bermain bersama dengan tim volunteer, Yongki menghampiri amaknya di tenda. bocah lelaki itu kembali menanyakan pertanyaan yang sama selama tujuh hari belakangan pada Amak.
“Kapan Ayah pulang dari ladang, Mak?” tanya Yongki berharap mendapatkan jawaban yang berbeda dari sebelumnya.
Sembari tersenyum getir dengan manik mata berkaca-kaca, Amak mengelus pucuk kepala Yongki. “Kau tak boleh meratap, Nak. Tanyamu juga tanya yang selalu Amak lantunkan dalam doa.”
Bocah lelaki itu mengangguk pelan. Dari lubuk hati terdalam, Yongki berharap amaknya mengatakan kalau sang ayah akan pulang petang nanti, sama seperti hari-hari sebelum gempa mengguncang. Dalam diam, bocah lelaki itu menerka-nerka kenapa Ayah tak kunjung pulang. Apa banyak hama di ladang hingga Ayah harus memantau ladang sampai petang? Apa panen Ayah melimpah hingga Ayah terlampau sibuk hingga lupa pulang?
Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh mengganggu Yongki. Ia rindu dipeluk dan dipangku sang ayah. Ia juga sudah terlalu rindu melihat Amak dengan senyum merekah kala menyuguhkan teh hangat pada ayahnya saat senja menyapa. Namun, kini sudah senja ketujuh. Amak tak lagi tersenyum merekah dan enggan membuat teh hangat.
Bocah lelaki itu menatap langit yang mulai berwarna jingga, lalu kembali ia beralih menatap wajah sendu Amak. “Mak, bagaimana kalau kita pulang ke rumah? Siapa tahu Ayah sudah pulang dan Ayah tidak tahu kalau kita di tenda.”
Bak bongkahan batu besar mengimpit dada wanita paruh baya itu mendengar ucapan polos Yongki. Sesak yang tiada hingga. Air mata yang tertahan, kini mengalir deras membasahi wajah keriput Amak.
Bingung Yongki kenapa amaknya harus menangis. Ia merasa tidak berkata-kata yang buruk.
“Mak …,” ucap Yongki lirih sambil matanya mengerjap-ngerjap. “Yongki hanya rindu Ayah.”
Di tenda pengungsian dalam keramaian itu, Amak memeluk Yongki. Tangis mereka tumpah mengenang bagaimana dan sedang apa lelaki tercinta mereka di ladang hingga belum juga pulang.
Biodata Penulis
Utari Oktavia Nengsih dengan mama Pena: Tari Oktav. Ia berusia 21 tahun. Alamatnya di Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan dan status saat ini adalah mahasiswa. Motto hidupnya “Diamku lebih baik daripada canda tak bermakna”.
Discussion about this post