Bunga Ros yang Menunggu Layu
Cerpen : Fadli Hafizulhaq
Di suatu sore menjelang senja, lelaki rambut berminyak itu datang tatkala Ros tengah menyesap segelas jus alpukat. Ia tampak necis dengan setelan kemeja lengan panjang dan celana jins serta tidak lupa sekuntum bunga ros–Ros lebih senang menyebutnya begitu ketimbang dengan bunga mawar. Ros hampir saja mati tersedak ketika ia mendapati kedatangan lelaki itu. Ros sudah menyengajakan diri datang jauh lebih cepat agar memiliki sedikit waktu namun tak pernah ia duga jika lelaki itu juga datang lebih cepat dari rencana. Masih ada 10 menit lagi hingga waktu yang diperjanjikan dan ia bertekad tidak akan bicara hingga waktu itu.
Menghilangkan resah di dada tidak gampang ternyata, meski telah meminum segelas minuman manis, pikir Ros. Pergumulannya dengan resah semakin bertambah tatkala melihat batang hidung lelaki itu. Perasaannya campur aduk, antara sedih atau senang. Antara suka dan benci.
Lelaki itu mengambil duduk tepat di depan Ros, digapainya sebuah gelas yang tertelungkup demi meletakkan sekuntum bunga yang dibawanya. Tangannya tampak cukup telaten dalam mengisi gelas itu dengan air dari ceret. Ia kemudian menyunggingkan senyum, Ros membuang pandang.
“Aku datang lebih cepat karena takut kau akan menunggu, tapi ternyata kau datang lebih dahulu. Aku malu padamu,” ujar lelaki itu, Ros tidak bersuara.
“Em…, kau sudah lama Ros?” tanya lelaki itu kemudian, Ros menggeleng cepat.
“Ini sudah kali kesekian. Andai kau akan mengatakannya lagi,” ujar Ros datar, lelaki itu menyembunyikan muka.
“Ah kau, selalu saja membuatku malu,” balas lelaki itu. Kali ini, Ros yang tersenyum meskipun getir.
***
Sesungguhnya Ros sudah terbiasa untuk menerka-nerka segala sesuatu, terlebih tentang lelaki itu, tapi pria paruh baya itu seolah mempunyai sembilan rangkiang di laman hatinya dengan Ros sebagai pemilik ke semuanya. Itulah yang membuat lelaki itu berani datang untuk mengulang apa-apa yang pernah ia lakukan meskipun ia sendiri tidak yakin benar dengan keberhasilan yang akan ia capai.
Semalam, lelaki itu tidak tidur sebab merancang skenario terbaik bagi pertemuan mereka. Ia mengumpulkan dan memilah diksi-diksi terbaik yang akan diadopsi untuk kalimat-kalimatnya. Ia juga memikirkan bagaimana bisa tampil dengan sebaik-baik penampilan meski pada akhirnya hanya berujung seperti yang sudah-sudah. Setelah semua dirasa selesai, ia berangkat bersama gelisah, mengendarai sepeda motor sambil membayangkan perempuan itu. Ia telah siap dengan segala resiko yang akan ia tanggung.
Tepat sepuluh menit sebelum waktu yang diperjanjikan ia tiba di tempat itu, dan betapa malunya ia ketika menemukan Ros telah datang lebih dahulu. Ia mengambil duduk di depan Ros dan meletakkan sekuntum bunga yang ia bawa dalam sebuah gelas yang kemudian ia isi dengan air. Lalu sedikit percakapan tapi Ros cenderung memilih untuk tidak berbanyak kata.
“Baiklah, akan kutunggu sampai waktu yang diperjanjikan agar kau mau bicara. Oh ya, sudah kah kau memesan?” lelaki itu bertanya saat wangi asap bakaran bawang mengawang-awang memenuhi lapau sate tempat mereka bertemu.
***
“Dua piring sate lokan, Pak!” ujar lelaki itu.
Sepuluh tahun yang lalu Ros pernah datang ke lapau itu bersama lelaki yang berada di depannya kini. Itu adalah kedatangannya yang pertama kali sebelum kembali datang hari ini. Tapi lelaki tua, penjual sate, itu tampaknya tidak lupa dengan mereka. Sebagaimana Ros juga tidak pernah lupa dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu itu.
Dulu lapau sate yang tegak di pinggiran pantai itu baru dibuka dan pengunjungnya belum ramai benar, tentu saja tidak seperti sekarang saat pantai ramai dikunjungi orang-orang yang berpasang-pasang untuk menikmati senja. Sekarang lapau sate itu sudah menjadi besar dan lengkap dengan gerobak minuman dan beraneka jus buah dengan beberapa orang perempuan yang membantu melayani pelanggan. Barangkali mereka adalah keluarga penjual sate itu.
Dua piring sate lokan telah terhidang di hadapan Ros. Lelaki tua itu sendiri yang sengaja mengantarnya. Ros mengangguk, penjual sate itu tersenyum. Senyuman yang seakan-akan berkata: sudah lama tak kemari. Ros balas tersenyum. Kemudian, lelaki itu berbalik ke gerobaknya sambil terbatuk-batuk. Tubuhnya sudah dimakan usia. Punggungnya yang bungkuk mengingatkan Ros pada ayahnya yang kini terbujur sakit di kasur, satu-satunya orang yang mendukung hubungan Ros dengan lelaki yang duduk di hadapannya kini.
***
“Apa kau sudah yakin benar dengan lelaki itu, Nak?” ujar ayah Ros beberapa tahun yang lalu. Ros mengangguk yakin. Seorang lelaki telah menyatakan cintanya kepada Ros di kala senja, di sebuah lapau sate di tepian pantai. Sekuntum bunga ros menjadi saksi niat baik si lelaki mempersunting Ros. Dia berjanji akan datang meminang beberapa hari setelah itu.
“Ros sudah yakin Buya. Semoga Tuhan menjadikan ini sebagai keputusan terbaik” tanggap Ros, ayahnya tercenung, menimbang-nimbang segala sesuatu. Perkara itu tentu akan mudah andai kata Ros dan lelaki pilihannya itu tidak sesuku. Betapa dilemanya lelaki itu dengan keinginan anak semata wayangnya.
“Apa kau sudah mempertimbangkan ibumu dan kaum ibumu? Buya paham keinginanmu itu, tapi Buya hanyalah urang sumando yang tidak dapat berlaku banyak apalagi untuk hal semacam itu. Itu adalah wewenang mamak, Nak” jelas lelaki itu, Ros bermasam muka. Hatinya panas, napasnya memburu seiring dadanya yang menggebu-gebu.
“Dia lelaki yang baik, Buya. Dia seorang yang alim. Meski sesuku setidaknya kami tidak sepenghulu, tidak satu kabupaten. Ibu sudah ikhlas, beliau hanya ingin yang terbaik untuk anak satu-satunya. Kalau mamak tinggal sedikit pencerahan dari Buya” rengek Ros.
Beberapa minggu setelah itu Ros dan lelaki pilihannya itu menuju pelaminan seakan semua sudah rencana Tuhan. Ayah sudah mengizinkan dan mengurus semuanya. Ia juga sudah menyediakan tempat di luar kota, di rumah saudaranya, untuk mempersuntingkan anaknya di sana agar orang kampung istrinya tidak ribut akan perkawinan itu. Ia juga sudah menyiapkan alasan andai kata orang kampung bertanya perihal perkawinan anaknya yang dilangsungkan di luar kota.
Masalah suku calon menantunya itu tinggal disamarkan, ia dan kaum istrinya sudah sepakat untuk tidak menyebutkan suku asli lelaki itu. Bukankah agama tiada melarang dua anak manusia menikah bila mana mereka tidak sedarah atau sepersusuan?
Pesta perkawinan Ros dengan lelaki itu begitu meriah. Riuh sorak, gendang yang bertalu, alunan gambus memenuhi ruang dengar para undangan. Kanak-kanak menabuh rebana, menyanyikan kasidah-kasidah khas orang-orang surau. Dari dapur asap membubung tinggi, amai-amai bertukar cerita tentang pesta, para undangan, makanan, dan tentang anak dara dan marapulai yang bersanding di pelaminan. Namun, tetap masih ada suara sumbang dari sekelompok orang, entah dari siapa mereka mengetahui bahwa perkawinan itu adalah perkawinan sesuku.
Lepas perhelatan tak begitu ada aral yang melintang. Orang-orang, terutama keluarga besar kedua mempelai, tenggelam dalam suka cita. Sepasang mempelai itu dapat menikmati peraduan pertama mereka dengan khidmat, melayarkan bahtera mereka pada perairan lengang riak, sungguh dunia serasa hanya milik mereka berdua. Hingga riak-riak lain berdatangan kemudian menjelma gelombang membuat bahtera mereka terombang-ambing. Orang-orang kampung mulai berbisik-bisik, kehidupan mereka mulai terusik. Bahkan pada saat kembali ke kampung ibunya, entah dari mana orang-orang kampung Ros itu menjadi tahu, bahwa Ros telah melanggar pantangan itu.
Semua bertambah buruk sebab lelaki itu adalah lelaki yang tempramental lagi pencemburu. Sifatnya itulah yang membuatnya berkali-kali membuat bahtera kehidupannya dengan Ros oleng di tengah perairan. Bukan karena ia tidak lagi cinta atau sudah bosan dengan Ros, ia bahkan memiliki sembilan rangkiang di hatinya hanya untuk Ros semata. Tapi bisik-bisik orang sekampung membuat hati lelaki itu terusik, membuat kepalanya serasa ditimpa buah kelapa.
Kerongkongannya panas bagai baru saja menelan buah simalakama. Lantaran panas itu ia sering lepas kontrol, membuat mulutnya meloncatkan kata-kata kasar hingga kata-kata yang benar-benar mengiris hati Ros. Tak tanggung-tanggung ia menyebutkan kata talak itu, ia sudah menyebutkannya sebanyak tiga kali. Tepat ketika usia pernikahan mereka memasuki 7 tahun, 6 bulan setelah kelahiran putri semata wayang mereka, Ros dan lelaki itu berpisah.
***
Lelaki itu melirik arloji. Ia mendapati bahwa masih bersisa lima menit lagi sebelum waktu perjanjian, tapi ia sudah jenuh untuk menunggu. Berkali-kali sudah ia memperbaiki posisi duduknya seakan palanta kayu serasa palanta besi yang diletakkan di atas bara. Panas menjalar ke sekujur tubuhnya, terlebih pada tenggorokan.
Tenggorokan lelaki itu seakan-akan ditekan-tekan oleh kata-kata yang berdesakkan ingin keluar. Ia jadi sesak napas, dadanya naik-turun. Bulir-bulir keringat menggerayangi keningnya, membasahi pipi sebelum bergantung di dagu dan terjatuh. Sementara Ros masih terdiam, menatap keluar lapau dengan tatapan kosong.
“Hmm…. Apa aku boleh tahu bagaimana keadaan putriku sekarang?” tanya lelaki itu tiba-tiba, Ros tersentak. Ros tahu belum waktunya ia bicara, ia bahkan belum menemukan kata-kata yang matang untuk ia keluarkan meski telah lima belas menit ia merenung, tapi lelaki itu, bukankah ia berhak tahu?
“Dia sudah semakin pintar dan tidak bisa diam, dia gemar memanggilku…” ujar Ros datar. Ia menghela napas “….Ia juga sering bertanya ke mana ayahnya.”
Lelaki itu tampak ketakutan. Gurat-gurat penyesalan tergambar di wajahnya. Matanya terasa panas oleh genangan air yang ia tahan. Ada perasaan yang bercampur aduk, antara sedih, sesal, dan bahagia. Ia bahagia sebab apa yang ia cemaskan tidak terjadi, perihal prasangka bahwa buah hatinya terlahir bisu. Ah, dia mengutuki dirinya sendiri yang termakan bisik-bisik. Ia mengumpati dirinya yang begitu tega meninggalkan Ros dan anak perempuannya hanya karena prasangka dari bisik-bisik orang lain.
Di antara bisik-bisik kaum istrinya yang tidak lagi mempunyai pandangan terhadapnya. Ia menghilang setengah tahun lamanya setelah menjatuhkan talak ketiga. Kini ia ingin kembali lagi dan ingin membersamai Ros untuk kesekian kalinya.
“Aku ingin kembali seperti dulu. Aku ingin mempersuntingmu lagi,” lelaki itu mengutarakan maksudnya. Ia telah siap dengan segala resiko. Ros yang tadi kebanyakan diam kini tertawa meskipun di hati ia benar-benar terluka. Ia tidak bisa berbohong jika ia masih mencintai lelaki itu dengan sangat. Ia tak menikah lagi setelah perpisahan mereka.
“Kau pikir segampang itu, ha?!” bentak Ros seketika. Napasnya memburu. Resah yang sedari tadi tidak jua hilang kini menjelma emosi yang mengubun-ubun. Lelaki yang duduk di depan Ros itu memejamkan mata sebelum kemudian kembali berbicara.
“Kau boleh anggap aku apa, bajingan atau kutu busuk, tapi benar aku. Aku sebenar-benar ingin kembali untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanku bagaimana pun caranya. Meski harus merelakanmu dinikahi orang lain sebelum aku menikahimu kembali” papar lelaki itu.
Kemudian, waktu seakan berhenti, juga putaran bumi. Suasana sebegitu hening, tak ada yang terdengar meski tempat itu telah penuh oleh orang-orang yang berdatangan. Hanya detak jarum jam menggulung waktu. Kemudian, lamat-lamat Ros seakan mendengar tangisan anaknya yang merengek. Lamat-lamat ia seperti mendengar keluh-kesah ayahnya yang hanya dapat terbaring di kasur. Lamat-lamat ia seperti mendengar sindiran-sindiran dari mulut-mulut orang sekaum pula bisik-bisik orang sekampung.
Ros tak pernah lupa tatkala lelaki itu melontarkan kata yang membuat hati Ros serasa dicabik-cabik. Telinga Ros terasa panas dan juga sekujur tubuhnya. Tangannya perlahan-lahan mengepal hingga kemudian ia pukul meja dengan emosi tak terkendali, membuat sate yang telah dingin di hadapannya tumpah ruah. Ros terisak. Air matanya berjatuhan.
Ros bukan orang yang tidak tahu agama. Tidak ada pernikahan yang direncanakan perceraiannya hanya untuk rujuk kembali dengan lelaki bodoh itu. Pernikahan tidak sebercanda itu. Air mata semakin mengucur deras dari kedua bola matanya. Ros meraung keras. Lelaki itu kalimpasiangan. Sedang bunga ros tadi hanya menjadi saksi dari Ros yang berada di persimpangan. Haruskah ia melupakan lelaki itu dan memulai kehidupan barunya dengan suami yang lebih baik dan bertanggung jawab atau menyimpan perasaannya dengan tidak menikah lagi sepanjang hayat.[]
Catatan :
[1] Rangkiang : lumbung padi di depan rumah gadang
[2] Urang Sumando : orang yang memiliki pertalian keluarga karena perkawinan dengan anggota suatu kaum, jika dipandang dari kaum itu
[3] Palanta : bangku panjang tempat duduk
[4] Kalimpasiangan : kalang kabut
Fadli Hafizulhaq lahir di nagari Kataping di pinggiran pantai Sumatera Barat pada 08 Maret 1992. Penulis merupakan alumni S3 Ilmu Pertanian, Universitas Andalas. Saat ini menetap di Padang dan berprofesi sebagai peneliti serta narablog. Penulis sudah mendapatkan hingga 32 penghargaan/prestasi nasional di bidang blogging semenjak 2019. Buku solo pertamanya adalah Muslim Ace Student yang diterbitkan pada tahun 2018. Penulis dapat dihubungi melalui surel hafizulhaq.fadli@gmail.com. Amanah terkini di Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat adalah Ketua FLP Sumbar dengan NRA 034/D/003/001.
Adat dan Agama dalam Cerita Berlatar Minangkabau Modern
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasehat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta)
Dalam masyarakat Minangkabau, adat dan tradisi merujuk pada tradisi matrilineal, dimana tata cara hidup masyarakat mengikuti pola-pola garis keturunan ibu. Umar Yunus dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1970) mengatakan bahwa suku Minangkabau garis keturunan dalam masyarakatnya diperhitungkan secara matrilineal.
Lebih jauh Yunus (1970) menyampaikan bahwa seseorang termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya. Seorang ayah dalam keluarga Minangkabau termasuk keluarga lain dari anak dan istrinya, sama halnya dengan seorang anak dari laki-laki Minang akan termasuk keluarga lain dari ayahnya.
Apa yang disampaikan Umar Yunus tersebut di atas dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sampai saat ini, bahkan cara hidup beradat tersebut juga tercermin dalam karya-karya sastra yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau. Salah satu karya sastra yang mencerminkan pernyataan di atas adalah Cerpen “Bunga Ros yang Menunggu Layu” karya Fadli Hafizulhaq.
Sekilas cerpen yang berjudul “Bunga Ros yang Menunggu Layu” ini memang berkisah tentang persoalan rumah tangga keluarga Minang modern. Cerpen ini menceritakan kisah Ros, seorang perempuan Minang yang berjuang untuk menikah dengan seorang laki-laki sesuku dengannya walaupun berbeda kampung kelahiran. Perjuangan Ros itu walaupun akhirnya mereka menikah, namun kemudian berantakan dan berujung perceraian.
Jika dihubungkan dengan tradisi matrilineal dimana wewenang laki-laki dalam keluarga adat mereka begitu terbatas dapat dilihat dari pernyataan ayah Ros sebagai berikut:
“Apa kau sudah mempertimbangkan ibumu dan kaum ibumu? Buya paham keinginanmu itu tapi Buya hanyalah urang sumando yang tidak dapat berlaku banyak apalagi untuk hal semacam itu. Itu adalah wewenang mamak, Nak” jelas lelaki itu, Ros bermasam muka. (Hafidzulhaq, 2021).
Sebagai sumando di Minangkabau bahkan dia tidak memiliki kewenangan mutlak terhadap pernikahan anaknya, sebagaimana yang digambarkan Fadli dalam cerpennya ini.
Selain persoalah kewenangan laki-laki dalam tradisi matrilineal di atas, persoalan adat lain yang menarik dalam cerpen ini adalah tentang pernikahan sesuku yang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Minang sendiri. Dalam beberapa tradisi di Minangkabau persoalan perkawinan sesuku ini memang memiliki berbagai pandangan. Ada sebagian daerah yang memang tidak membolehkan menikah satu suku, artinya lelaki dan perempuan memiliki suku yang sama, apapun alasannya, baik satu nagari atau sudah berbeda nagari. Selain hal di atas, ada juga sebagian daerah yang boleh menikah antara laki-laki dan perempuan dengan suku yang sama, tapi berbeda Datuknya. Ada juga tradisi di beberapa daerah boleh menikah satu suku asalkan berbeda daerahnya.
Apapun pendapat tentang tradisi menikah satu suku ini, realitas dalam fiksi yang dihadirkan Fadli adalah pandangan yang longgar tentang tradisi itu. Dalam cerita ini disampaikan bahwa dalam adat yang dianut Ros sebagai tokoh utama dan keluarganya, menikah satu suku dilarang oleh adat. Namun, Ros karena merasa mencintai seorang laki-laki walaupun satu suku dengannya berusaha memperjuangkannya. Dalam cerita ini digambarkan sebagai berikut:
“Apa kau sudah mempertimbangkan ibumu dan kaum ibumu? Buya paham keinginanmu itu tapi Buya hanyalah urang sumando yang tidak dapat berlaku banyak apalagi untuk hal semacam itu. Itu adalah wewenang mamak, Nak” jelas lelaki itu, Ros bermasam muka. Hatinya panas, napasnya memburu seiring dadanya yang menggebu-gebu.“Dia lelaki yang baik, Buya. Dia seorang yang alim. Meski sesuku setidaknya kami tidak sepenghulu, tidak satu kabupaten. Ibu sudah ikhlas, beliau hanya ingin yang terbaik untuk anak satu-satunya. Kalau mamak tinggal sedikit pencerahan dari Buya” rengek Ros. (Hafidzulhaq, 2021).
Dalam cerita ini sangat jelas bagaimana Ros mengabaikan persoalan adat. Baginya adat adalah hal yang kedua yang bisa saja dilanggar hukumnya. Pandangan pengarang dalam cerpen ini sebenarnya juga dapat dalam sikap tokoh yang diciptakan pengarang ini. Secara sadar atau tidak, pengarang sebenarnya ingin mengatakan bahwa adat tidak lagi berlaku mutlak mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau.
Dalam cerpen ini secara sosiologis dapat dinilai bahwa pengarang berpendapat bahwa adat bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Kita dapat menilai bahwa adat seringkali dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan masyarakat. Masyarakat Minang tidak lagi takut pada hukum adat karena bagi mereka sudah ada hukum lain yang lebih kuat seperti hukum agama dan hukum negara.
Pandangan tentang pernikahan sesuku oleh pengarang yang diwakilkan pada tokoh Ros sebagai tokoh utama dalam cerpen ini berbeda dibandingkan pandangannya tentang hukum agama. Ideologi pengarang yang diwakilkan pada tokoh yang dihadirkan menyatakan bahwa jika adat bisa dilanggar, namun berbeda dengan hukum agama yang setitik pun tidak boleh diubah.
“Satitiak indak barubah, sajangka indak buliah diasak” kira-kira begitu istilah Minang untuk menggambarkan bagaimana masyarakatnya memaknai hukum agama itu. Dalam cerpen ini dapat dilihat bagaimana pandangan Ros ketika menyikapi keinginan mantan suaminya untuk menikah kembali walaupun dengan ikhlas merelakan Ros menikah “gantung” dengan pria lain untuk bercerai dan menikah kembali dengan mantan suaminya.
Dengan dasar ajaran agama, Ros menolak rencana tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sepotong cerita berikut ini:
“Kau boleh anggap aku apa, bajingan atau kutu busuk. Tapi benar aku, aku sebenar-benar ingin kembali untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanku bagaimana pun caranya. Meski harus merelakanmu dinikahi orang lain sebelum aku menikahimu kembali” papar lelaki itu. (Hafidzulhaq, 2021).
Kemudian penolakan Ros yang didasari pandangan dan keyakinannya terhadap ajaran agama dapat dilihat dalam cuplikan berikut ini:
“Ros bukan orang yang tidak tahu agama. Tidak ada pernikahan yang direncanakan perceraiannya hanya untuk rujuk kembali dengan lelaki bodoh itu. Pernikahan tidak sebercanda itu. (Hafidzulhaq, 2021).
Melalui cerita ini, dapat disimpulkan bagaimana pandangan pengarang cerpen ini tentang hukum adat dan hukum agama. Secara terang-terangan dalam cerpen ini dijelaskan bahwa ajaran adat contohnya dalam larangan pernikahan sesuku bisa “diakali” sementara ajaran agama seperti larangan untuk merencanakan perceraian dalam pernikahan begitu dipegang kuat oleh pengarang.
Sebagai cerminan masyarakatnya, karya sastra menyatakan bagaimana sikap hidup masyarakat dan juga lingkungan sosial yang memengaruhi pengarang. Adapun pendapat-pendapat yang melaksanakan ajaran adat dengan longgar dan berusaha melaksanakan ajaran agama Islam dengan baik barangkali juga merupakan cerminan masyarakat Minangkabau saat ini. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post