Memang tak akan pernah berakhir cara seseorang berkreativitas melalui bahasa. Salah satu fenomena bahasa terkini dapat dilihat pada penggunaan afiks meng- yang akhir-akhir ini populer di media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram.
Ada kata mengcapek/mengcape, mengsedih, menganga, menge-sad/mengsad, mengmikir, mengbingung/meng bingung, mengcengeng, mengaku/meng-aku, mengitu, mengartinya, menggokil, menghadeh, menggabut/meng gabut/meng-gabut, meng-ngantuk, meng tambah, meng parangtritis, meng-relax-kan, meng-healing, meng 2, meng-foto, meng-handle, meng-upgrade, meng-ngrepotin, meng jalan, meng-k pop, meng-galau, meng-endorse, meng-evaluasi, meng naturalisasi, meng-apresiasi, meng-ngapain, mengkesel, mengcry, mengnyimak, mengmarah, mengketawa, serta mengpukul. Wow, banyak juga variasi kata yang dilahirkan dari penggunaan awalan meng- tersebut.
Mengapa bisa muncul kata-kata itu? Ada riwayat penggunaannya yang bisa ditelusuri di media sosial. Salah satunya dapat dilihat pada riwayat cuitan di Twitter. Dari riwayat yang ada, dapat dilihat bahwa sejumlah pengguna menggunakan bentuk meng- pada awalnya merujuk pada kucing kesayangan. Hal ini dapat dilihat pada cuitan berikut.
(1) kasihan meng-ku diincer terus, mana anaknya masih bocil2 semua
(2) akibat terlalu gabut, si meng jadi korban
(3) kangen meng
Cuitan-cuitan serupa itu ditulis beserta unggahan sebuah foto kucing kesayangan. Dengan demikian, meng- yang dimaksudkan dalam cuitan itu ialah kucing kesayangan mereka. Tingginya kesadaran masyarakat terhadap keberadaan hewan memang menyebabkan sejumlah orang memelihara dan memberi nama pada hewan kesayangan. Tidak hanya kucing, tetapi juga ikan, anjing, burung, dan bahkan ular, buaya, serta harimau.
Pada awalnya, kecintaan terhadap binatang diwujudkan dengan menggunakan bentuk onomatope. Kridalaksana (1982: 116) menyatakan bahwa onomatope adalah penamaan benda atau perbuatan dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu; mis. berkokok, suara dengung, deru, aum, cicit, dsb. Sementara itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2021) menyatakan bahwa onomatope adalah kata tiruan bunyi, misalnya “kokok” merupakan tiruan bunyi ayam, “cicit” merupakan tiruan bunyi tikus. Dengan demikian, meong pun menjadi onomatope atau tiruan bunyi kucing. Namun, karena masyarakat suka dengan bentuk yang lebih singkat, bentuk meong berubah menjadi meng.
Dari tiga bentuk meng pada cuitan pengguna Twitter dapat diidentifikasi bahwa meng-ku pada kalimat (1) merupakan sebutan kepada kucing sebagaimana sepadan dengan kata kucingku; si meng pada kalimat (2) merupakan kata sandang sebagaimana si pembeli dan si pintar; serta Kangen meng pada kalimat (3) juga merupakan sebutan sebagaimana bentuk “Rindu Rara!” Bentuk meng sebagai sebuah nama seharusnya ditulis menggunakan huruf kapital, yakni Meng. Penulisan yang sama bisa kita lihat pada nama-nama lain dari kucing, seperti Lara, Bobo, Putih, dan Belang.
Meng- sebagai nama seekor kucing kesayangan kemudian digunakan juga oleh sebagian orang sebagai sapaan kepada orang-orang yang disayang. Teman-teman tentu masih ingat dengan nama-nama yang digunakan Raditya Dika untuk sejumlah novelnya, seperti Koala Kumal, Cinta Brontosaurus, dan Kambing Jantan. Pada masa novel tersebut populer, sejumlah orang menggunakan nama hewan untuk menyapa pasangan mereka, baik pacar maupun suami/istri. Misalnya, “Mbing, mau makan apa?” Penggunaan Mbing pada kalimat tersebut menjadi sebuah nama julukan. Pada cuitan salah seorang pengguna Twitter, nama julukan juga dapat dilihat pada bentuk “Meng ngapain” yang merupakan kalimat tidak baku dari kalimat tanya, “Meng, sedang apa?”
Setelah Meng- digunakan sebagai nama kucing dan nama panggilan untuk orang-orang tersayang, pengguna Twitter kemudian berkreasi dengan bentuk meng sebagai sebuah awalan. Dalam bahasa Indonesia, awalan meng- sudah ada sebagai alomorf atau variasi dari prefiks meN-. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2021) menyatakan bahwa prefiks adalah imbuhan yang ditambahkan pada bagian awal sebuah kata dasar atau bentuk dasar. Prefiks meN- dalam bahasa Indonesia memiliki alomorf atau variasi bentuk berupa me-, mem-, men-, meng-, meny-, dan menge-, seperti pada bentuk memasak, membaca, menari, menyapu, menggambar, dan mengecat.
Prefiks meng- atau awalan meng- dalam bahasa Indonesia dapat dilekatkan pada kata dasar yang berawalan vokal (a, i, u, e, dan o), seperti mengajak, mengigau, mengukur, mengentas, dan mengolah; serta kata dasar yang berawalan konsonan (g, h, k, kh), seperti menggambar, menghapus, mengkaji, dan mengkhususkan. Fungsi awalan meng- pada bentuk-bentuk tersebut ialah mengubah kelas kata apa pun menjadi kelas kata kerja (verba), misalnya kata gambar yang termasuk kelas kata benda (nomina) berubah menjadi kata kerja (verba) setelah mendapat awalan meng-, yakni menggambar.
Selanjutnya, bagaimana awalan meng- pada cuitan dan status yang ada di media sosial?
Dalam kajian linguistik secara deskriptif, awalan meng- merupakan wujud kreativitas masyakarat dalam berbahasa. Sebagai wujud kreativitas dalam berbahasa, penggunaan awalan meng- menjadi sebuah fenomena bahasa yang boleh-boleh saja digunakan oleh masyarakat. Penggunaan awalan meng- menjadi cerminan bahwa masyarakat membutuhkan kata-kata tersebut untuk mengekspresikan diri.
Ekspresi bahasa menggunakan awalan meng- dapat dilihat pada bentuk mengsedih, mengkesel, dan mengmarah. Bentuk sedih, kesal, dan marah merupakan ungkapan perasaan yang termasuk dalam kelas kata sifat (ajektiva). Dalam bahasa Indonesia, bentuk-bentuk tersebut sesungguhnya dapat diberi imbuhan, seperti ber-, ter-; atau dilekatkan dengan kata ingkar tidak untuk membentuk kelas kata sifat (ajektiva). Hal ini dapat dilihat pada bentuk bersedih; atau tidak sedih, tidak kesal, dan tidak marah.
Dalam fenomena bahasa ini, pengguna sengaja menghasilkan bentuk mengsedih, mengkesel, dan mengmarah sebagai bentuk ekspresi diri. Salah seorang pengguna bahkan menjelaskan dalam cuitannya bahwa cara membentuk kata-kata tersebut dengan menggunakan awalan meng- dan kata sifat. Karena bentuk-bentuk tersebut berbeda dari bentuk-bentuk yang ada dalam bahasa Indonesia, kemudian bentuk itu dianggap sebagai bentuk yang unik dan menjadi kreativitas bahasa. Mereka pun berkreasi pada seluruh kelas kata dalam bahasa Indonesia.
Pertama, kita bisa lihat pada kreasi kata sifat lainnya, seperti mengcapek/mengcape, mengbingung/mengbingung, mengcengeng, meng-ngrepotin, dan mengkesel. Bentuk-bentuk tersebut bukanlah kata baru dalam bahasa Indonesia, melainkan kata-kata yang sudah ada dalam bahasa Indonesia. Namun, kata-kata tersebut sesungguhnya tidak cocok dilekatkan dengan awalan meng-, tetapi seharusnya dilekatkan dengan adverbia atau kata yang memberikan keterangan pada kata sifat. Misalnya, capek menjadi sudah capek; bingung menjadi sangat bingung; cengeng menjadi sangat cengeng; repot menjadi sangat repot; dan kesal menjadi sangat kesal.
Kedua, awalan meng- dilekatkan pada kata benda, seperti mengmikir, mengartinya, meng-ngantuk, meng tambah, meng-foto, meng jalan, meng-evaluasi, meng naturalisasi, serta meng-apresiasi. Di antara bentuk tersebut, ada yang tepat penggunaan meng-, yakni pada kata mengevaluasi dan mengapresiasi. Evaluasi dan apresiasi merupakan bentuk dasar yang diawali dengan huruf vokal sehingga sudah sesuai dengan kaidah penggunaan awalan meng-.
Sementara itu, ada juga bentuk yang tidak cocok dilekatkan dengan awalan meng-, tetapi lebih tepat dilekatkan dengan konfiks me-kan, seperti mengartikan dan memikirkan; dengan awalan meN- yang luluh ketika mendapat awalan k, p, t, s, seperti kantuk menjadi mengantuk dan tambah menjadi menambah; dengan awalan mem-, seperti memfoto; dengan awalan me-, seperti menaturalisasi; serta dengan awalan ber- menjadi berjalan.
Ketiga, awalan meng- dilekatkan pada kata kerja, seperti menganga, mengnyimak, mengketawa, dan mengpukul. Dalam kaidah bahasa Indonesia, bentuk-bentuk tersebut tidak cocok dilekatkan dengan awalan meng-, tetapi lebih tepat dilekatkan dengan awalan me- pada bentuk prakategorial nganga sehingga menjadi menganga; dengan awalan meN- yang luluh pada bentuk yang berawalan k, p, t, s, seperti menyimak dan memukul; serta dengan awalan ter- berupa tertawa.
Keempat, pengguna media sosial juga menggabungkan pronomina dengan awalan meng-, seperti mengaku/meng-aku, mengitu, dan meng-ngapain. Bentuk-bentuk tersebut jelas salah dalam kaidah bahasa Indonesia. Pada bentuk mengaku/meng-aku, sesungguhnya merujuk pada pernyataan aku sebagai orang pertama. Penulisannya pun bervariasi. Ada yang menggabungkan langsung dengan awalan meng- dan ada yang menggabungkan dengan perantara tanda hubung (-). Kedua penulisan tersebut salah karena seharusnya kata aku berdiri sendiri sebagai sebuah kata atau dapat ditambahkan dengan kata lain, seperti menjadi aku. Begitu juga dengan mengitu dan meng-ngapain yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi dapat ditelusuri bahwa yang dimaksudkan oleh pengguna media sosial tersebut, ialah seperti itu dan sedang apa.
Kelima, awalan meng- juga dilekatkan dengan kata interjeksi, seperti hadeh. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2021) menyatakan bahwa interjeksi adalah kata yang mengungkapkan seruan perasaan. Bentuk hadeh merupakan bentuk tidak baku dari aduh. Sebagai kata seru, kata tersebut tidak dapat digabungkan dengan awalan meng-.
Keenam, pengguna menghasilkan kata meng parangtritis yang merupakan gabungan dari tempat Parangtritis dan awalan meng-. Ini jelas-jelas sebuah kesalahan. Dalam bahasa Indonesia, nama-nama tempat hanya bisa dilekatkan dengan kata depan, seperti di, ke, atau dari sehingga bentuk yang benar ialah di Parangtritis, ke Parangtritis, dan dari Parangtritis.
Ketujuh, sebuah kesalahan juga ketika menggabungkan numeralia dengan awalan meng-, seperti pada bentuk meng 2. Kata dua bisa dilekatkan dengan awalan men-, ber-, dan ke- sehingga kata yang seharusnya terbentuk ialah mendua, berdua, dan kedua. Jika dilihat bentuk meng 2 atau mengdua, kata tersebut salah dan akan lebih tepat jika digantikan dengan bentuk mendua.
Cukupkah bentuk-bentuk tersebut? Jawabannya tidak. Di samping bentuk baku, juga ditemukan bentuk kedelapan, yakni penggabungan awalan meng- dengan bentuk-bentuk bahasa gaul, seperti gokil dan gabut. Kedua kata tersebut belum menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia. Jika dilihat dari fenomena penggunaan kata gokil dan gabut, kata tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ajektiva karena sering dilekatkan dengan adverbia sangat dan sedang, seperti sangat gokil dan sedang gabut. Jika merujuk pada kaidah penggunaan awalan meN-, dapat dinyatakan bahwa bentuk menggokil dan menggabut merupakan bentuk yang salah dalam kaidah bahasa Indonesia.
Kesembilan, pengguna bahasa Indonesia juga menggabungkan awalan meng- dengan kosakata dalam bahasa Inggris, seperti meng-upgrade, meng-K Pop, meng-endorse, meng-healing, mengcry, menge-sad/mengsad, meng-relax-kan, dan meng-handle. Dalam kaidah bahasa Indonesia, kata berbahasa Inggris dapat digabungkan dengan awalan meN- dalam bahasa Indonesia, tetapi harus menggunakan tanda hubung (-) untuk menggabungkan dua bentuk yang berasal dari dua bahasa yang berbeda tersebut. Hal ini dapat dilihat pada bentuk mem-follow dan meng-create.
Dari kata-kata bahasa Inggris yang mendapat awalan meng- tersebut ada yang sudah tepat, seperti meng-upgrade dan meng-endorse karena kata bahasa Inggris tersebut berawalan vokal u dan e, serta meng-handle dan meng-healing karena kata bahasa Inggris tersebut berawalan konsonan h. Sementara itu, ada juga gabungan kata yang tidak tepat, yakni pada bentuk meng-K Pop, mengcry, menge-sad/mengsad, dan meng-relax-kan. Bentuk-bentuk tersebut seharusnya diganti dengan kata berbahasa Indonesia, seperti menjadi K-Pop, bersedih, dan merilekskan.
Dengan melihat analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa kosakata yang berawalan meng- pada media sosial hanyalah bentuk kreativitas berbahasa pengguna pada suatu masa. Semua kata yang dihasilkan tersebut sudah memiliki padanan bentuk yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Dengan demikian, kata-kata yang dibentuk tidak dapat dijelaskan dengan kaidah bahasa Indonesia yang bersifat normatif sehingga tidak dapat diterima sebagai sebuah variasi dari bentuk-bentuk yang ada. Jika demikian, kata-kata tersebut dapat dikatakan hanya gagasan sekelompok orang yang hanya bisa diterima oleh kelompok tertentu. Dalam linguistik, dapat dikatakan sebagai slang.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2021) menyatakan bahwa slang adalah ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti. Inilah yang terjadi pada kata-kata yang terbentuk dengan awalan meng- tersebut. Ada kelompok yang memahami kata-kata yang terbentuk melalui awalan meng- yang kemudian menjadi bagian dari kelompok tersebut, tetapi ada juga sekelompok orang yang tidak memahami sama sekali. Karena hanya bersifat musiman, dalam beberapa waktu ke depan, kelompok tersebut dapat diprediksikan tidak akan menggunakan kata-kata itu lagi.
Dalam perkembangan bahasa Indonesia, bentuk-bentuk tersebut dapat merusak kaidah bahasa Indonesia. Bentuk-bentuk yang dihasilkan sudah mengacaukan pemahaman terkait awalan meng- yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, fenomena penggunaan awalan meng- pada bentuk-bentuk tersebut harus dihentikan. Bentuk tersebut bukanlah sebuah kreativitas bahasa yang bersifat positif, tetapi kreativitas bahasa yang bersifat negatif.
Di tengah-tengah upaya yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dalam menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, kita harus meminimalisasi bentuk-bentuk yang dapat merendahkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi. Pengguna bahasa Indonesia harus berupaya menggunakan kosakata bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, baik yang tercantum dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) maupun yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Ketika bangsa asing sudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mereka—yang tentunya menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah—mengapa kita sebagai bangsa sendiri merusak bahasa dengan menghadirkan kreativitas bahasa yang bernilai negatif? Di bulan bahasa ini, kita patut mengenang kembali perjuangan para tokoh bangsa mengukuhkan bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda. Kita mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dalam pengakuan tersebut, kita harus mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah.
Mari cerdas berbahasa Indonesia di ruang publik!
Mari cerdas berbahasa Indonesia di media sosial!
Discussion about this post