
Etalase
Oleh: Maryatul Kuptiah
Manusia-manusia berkaca
Bertatap ramah, bersenda gurau
Bercerita ucapan nenek dahulu
Para orang tua mengulum senyum, bibir merah merekah
Bukan gincu, bukan pemanis
Tapi tinggalan pitarah
Di bawah dangau, orang tua dari orang tua itu berlakon
Sibuk menuai akal kepada anak dari anak
Tangannya melipat sehelai daun hijau, mengacip pinang
Membuai buah hati anak mereka dipangkuan
Dari pagi ke sore
Seorang seniman dunia itu berbicara
Perkara rekaan mulut ke mulut
Terselut nostalgia, melekat di akal
Bukan ocehan semata,
tapi napas yang akan terus bernyawa
Medan, 16 September 2025
Pesan Ibu
Oleh: Maryatul Kuptiah
Hari itu, ibu membual!
saat bocah itu masih dalam  susuan
belum mengijak usia belasan
Dengan wajah heran,
diam terpaku, mendengar wajengan
seolah terbingai album di ingatan ibu
yang katanya, adalah masa depan
Nostalgia hidup dalam benak ibu
aku hanya bergumam,
seketika batinku berbisik
sambari mengangguk dan berkata:” Ini pesan ibu”
Siapa yang tahu?
jejak tamadun dunia
lunglai, tertimbun reruntuhan zaman
manusia sibuk membuai harapan
luput dari kemuliaan
Tindak laku waktu
tanpa sadar, khazanah glamor perlahan memudar
tergerus kerasukan, hilang dari pandangan
Medan, 15 September 2025
Negara seperti ayah, mudah lupa semua tentang anaknya
Oleh: Maryatul Kuptiah
di pagi mendung
sorot ramai pasar mulai tampak sunyi
ibu-ibu menawar tulang punggung
mereka bersuara serak dari tumpukan bawang, cabe dan tomat
yang tak lelah dipilah-pilih, tangan-tangan keriput
kesut termakan usia
dan janji turun, katanya persis seperti hujan panas sore itu.
tuainya, ketika hujan sore mulai mereda
di balik layar kaca, suara-suara pemuka negara bergulat  sabar
minta rakyat mengunyah doa
agar air bersih tidak macet di tengah mandi pagi
agar listrik tidak mati di tengah makan malam
agar gas tidak habis di tengah memasak nasi
agar jalan tidak retak di tengah jalan pulang
beberapa menit, pidato resmi ditutup
kadang, negara ini sama seperti ayah,
lupa memberi uang jajan atau
lupa membayar uang sekolah
di depan pintu anaknya menunggu
melipat tangan, menekuk wajah
dengar: kata itu, lelah
bodohnya, masih bertanya?
adakah sisa rangkaian hutuf, membentuk kata bosan di telinga
aku ingin menulis saja, tentang kita
tentang orang-orang yang menanam padi
dengan cacong yang berpesta pora
katanya, itu pupuk
kesuburan
suatu hari, mungkin lima tahun lagi,
suatu hari, kata itu akan berpulang sendiri
kepada kita
mengetuk pinti pelan,
bukan dari bibir manis mereka
tapi suara kecil yang berani berkata
cukup, kami belum kalah, ucapnya.
Medan, 15 Oktober 2025
Biodata Penulis:
 Maryatul Kuptiah lahir kota Selatpanjang pada penghujung tahun 2004. Penulis merupakan mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Universitas Andalas. Penulis hobi menulis puisi, artikel, dan esai. Saat ini penulis sedang bergiat di UKMF Labor Kepenulisan Kreatif Unand. Beberapa karya penulis telah dimuat di platform media cetak dan digital. Dapat mengikuti instagram penulis @xo.iaa_ , nomor handphone 089515527203, dan email: maryatul131204@gmail.com
Maryatul Kuptiah lahir kota Selatpanjang pada penghujung tahun 2004. Penulis merupakan mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Universitas Andalas. Penulis hobi menulis puisi, artikel, dan esai. Saat ini penulis sedang bergiat di UKMF Labor Kepenulisan Kreatif Unand. Beberapa karya penulis telah dimuat di platform media cetak dan digital. Dapat mengikuti instagram penulis @xo.iaa_ , nomor handphone 089515527203, dan email: maryatul131204@gmail.com
 
			








