Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Bahasa dan manusia berhubungan erat. Sebagai alat komunikasi, melalui bahasa seseorang dapat menyampaikan gagasan, perasaan, dan pemikirannya kepada orang lain. Bahasa memungkinkan terjadinya interaksi sosial antarmanusia. Bahasa mencerminkan budaya. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki keunikan bahasa tersendiri yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya, misalnya dalam bahasa Indonesia tidak dikenal adanya perbedaan kata ganti berdasarkan gender. Kata dia dalam bahasa Indonesia dapat merujuk kepada laki-laki dan perempuan, Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris menggunakan he (laki-laki) dan she (perempuan) sebagai kata ganti. Selain itu, bahasa juga menujukkan jati diri dan identitas seseorang. Ketika seorang anak mulai belajar berbicara, ia tidak hanya memperlajari satuan-satuan lingual yang digunakan untuk berkomunikasi, tetapi di dalamnya juga terkandung kearifan budaya masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan (Santoso, 2014).
Dalam buku Linguistik Umum, Chaer (2003) menjelaskan istilah “bahasa ibu”. Menurutnya, bahasa ibu ialah bahasa pertama yang diperoleh seseorang sejak kecil melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Bahasa ibu membentuk kerangka berpikir seseorang dan memahami dunia sebelum ia mengenal bahasa lain. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, istilah “bahasa ibu” ini agaknya telah mengalami pergeseran makna. Tidak selamanya bahasa ibu seseorang adalah berupa bahasa daerah ataupun bahasa nasional tempat seseorang itu berasal. Pada zaman sekarang, terutama berkat perkembangan zaman, teknologi, dan globalisasi, kemunculan bahasa asing menginterferensi bahasa nasional sehingga tidak heran jika bahasa asing memiliki kesempatan untuk menjadi bahasa ibu seseorang (Agustin, 2011).
Di Indonesia, bahasa asing digunakan sebagai bahasa pendamping dalam berbagai bidang, misalnya pendidikan, bisnis, komunikasi, dan teknologi. Pernyataan tersebut diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang berbunyi “bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi, tetapi bahasa asing dapat digunakan dalam pergaulan internasional”. Berdasarkan kedudukan dan fungsinya di Indonesia, bahasa asing tidak bersaing dengan bahasa Indonesia. Bahasa asing bukan dijadikan bahasa pengantar di lembaga pendidikan di Indonesia, tetapi digunakan sebagai bahasa pengantar dalam menyajikan mata pelajaran bahasa asing yang bersangkutan, misalnya penggunaan bahasa asing di perguruan tinggi diikuti dengan penawaran program studi bahasa asing.
Salah satu bahasa asing wajib yang dipelajari di Indonesia adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris bahkan telah dikenalkan pada anak-anak sejak usia dini. Pada pendidikan tingkat lanjut seperti jenjang sekolah menengah hingga perguruan tinggi, bahasa inggris menjadi sesuatu yang mutlak, berdampingan dengan mata pelajaran/kuliah seperti bahasa Indonesia dan kewarganegaraan. Bahasa asing lain yang juga diperkenalkan di Indonesia adalah bahasa Jerman. Bahasa Jerman biasanya dapat dipelajari pada jenjang sekolah menengah sebagai mata pelajaran muatan lokal, serta mata kuliah pilihan hingga dijadikan program studi pada tingkat perguruan tinggi. Walaupun demikian, bahasa Inggris tetap berkedudukan sebagai bahasa asing utama di Indonesia, sehingga bahasa Jerman dianggap sebagai pelengkap.
Bahasa Jerman merupakan salah satu bahasa asing yang diajarkan di SMA YARI Padang di tingkat SD, SMP, dan SMA. SMA YARI pernah rutin mengirimkan sejumlah muridnya untuk mengikuti program pertukaran pelajar di sejumlah kota di Jerman, sekaligus mendatangkan murid-murid Jerman ke SMA YARI. Namun, saat ini SMP dan SMA YARI terkendala akan kurangnya tenaga pengajar bahasa Jerman sehingga mata pelajaran bahasa Jerman hanya diajarkan di tingkat SD. Menurut penuturan salah satu pengajar di SMA YARI, sudah hampir dua tahun siswa SMA YARI tidak mendapatkan mata pelajaran bahasa Jerman.
Selain terkendala kekurangan tenaga pengajar, kendala lainnya adalah kesulitan memperoleh bahan ajar dan materi pembelajaran bahasa Jerman sehingga para pengajar lebih banyak menggunakan bahan ajar dan materi yang tersedia di toko buku seperti Gramedia atau mengandalkan sumber-sumber di internet. Saat ini, materi berupa buku teks asli bahasa Jerman hanya tersedia di Goethe Institut yang berlokasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Hal ini menarik perhatian sejumlah dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas untuk memberikan materi pembelajaran bahasa Jerman dalam bentuk kegiatan pengabdian masyarakat. Tujuan pengadaan kegiatan ini ialah mengamati minat siswa terhadap bahasa Jerman sekaligus membangkitkan kembali ingatan akan materi pembelajaran bahasa Jerman yang telah mereka dapatkan.
Penyampaian materi pembelajaran bahasa Jerman pada kegiatan pengabdian masyarakat ini menggunakan media sastra anak. Sastra anak memiliki peran penting dalam pengembangan literasi bahasa dan pendidikan karakter. Sastra anak dapat dimanfaatkan di sekolah-sekolah Indonesia yang menyediakan mata pelajaran bahasa Jerman sebagai media pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan keterampilan berbahasa serta membangun karakter peserta didik. Oleh sebab itu, metode pembelajaran bahasa Jerman berbasis sastra anak dapat digunakan untuk meningkatkan literasi bahasa asing dan membentuk karakter positif pada siswa.
Kegiatan pengabdian ini dilaksanakan hari Jumat, tanggal 24 Januari 2025 lalu. Anggota pengabdian terdiri dari enam orang dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Adapun peserta pengabdian terdiri dari 15 siswa kelas 10 dan 12 SMA YARI, serta didampingi beberapa staf pengajar dan pendidik SMA YARI Padang. Kegiatan dibuka oleh pemateri dengan curah gagasan (brainstorming) mengenai pengetahuan dan ingatan terhadap bahasa Jerman. Beberapa siswa dapat menjawab pertanyaan, sebagian besar sama sekali belum pernah belajar bahasa Jerman. Pemateri pengabdian kemudian mengenalkan frasa-frasa sederhana dalam bahasa Jerman, seperti Wie geht es dir? (apa kabar?), Guten Morgen (selamat pagi), Mein Name ist … (namaku …).
Selanjutnya, pemateri menjelaskan bahwa dalam bahasa Jerman diperlukan penggunaan artikel (kata sandang) untuk menyebut kata benda sekaligus menjelaskan gender dari kata benda tersebut, yaitu der (maskulin), die (feminin), dan das (netral). Penyebutan benda-benda dalam bahasa Jerman seperti buah, hewan dan sebagainya harus menggunakan artikel, seperti die Kuh (sapi) yang bergender feminin, der Tiger (harimau) yang bergender maskulin, dan das Schaf (domba) yang bergender netral. Setelah menyebutkan contoh hewan-hewan dalam bahasa Jerman, pemateri memaparkan materi inti dengan menggunakan materi berupa buku cerita berbahasa Jerman.
Buku yang digunakan ialah buku bergambar berjudul Ginting und Ganteng (Ginting dan Ganteng) karya Petra Rappo dan Regina Fey. Buku ini menceritakan kehidupan orang utan bernama Merah. Sebelum kelahiran anak kembarnya, Ginting dan Ganteng, Merah tinggal di hutan tropis Sumatera Utara. Suatu pagi, Merah mendengar suara-suara aneh. Pohon-pohon ditumbangkan, habitat Merah dan hewan-hewan lainnya sedang dihancurkan. Para penebang terus membabat pohon hingga tidak ada lagi yang tersisa. Debu dan serbuk gergaji beterbangan di udara.
Tiba-tiba hutan yang sudah hancur tersebut terbakar. Hewan-hewan di hutan beterbangan dan berlarian menerbangkan diri, burung, rusa, harimau, babi hutan, gajah, dan orang utan. Untungnya, Merah masih dapat menyelamatkan diri. Ia dilanda kebingungan. Di mana ia harus mencari makanan dan membangun sarang tidur di malam hari? Merah terus mengembara selama bertahun-tahun. Suatu hari ia melewati perkebunan kelapa sawit yang semula adalah hutan. Di sekitar hutan, pabrik-pabrik minyak sawit dibangun.
Merah dan orang utan lainnya terancam mati kelaparan. Suatu hari mereka menemukan sebuah kebun buah. Ketika ia mencoba memakan buah dari kebun tersebut, ia ditembak seorang petani menggunakan senapan angin. Seseorang lain mengamati kejadian tersebut dan segera menghubungi pusat rehabilitasi agar Merah bisa diselamatkan. Merah akhirnya dibawa ke pusat rehabilitasi untuk menjalani perawatan. Ia pun mulai terbiasa dengan kehidupan di pusat rehabilitasi. Tempat ini adalah perawatan bagi orang utan yang kehilangan habitatnya agar kembali siap dilepaskan ke alam liar. Di pusat rehabilitasi, Merah bertemu Rimba yang juga mengalami nasib sama dengannya.
Delapan bulan kemudian, Merah melahirkan Ginting dan Ganteng. Kelahiran keduanya disambut dengan gembira, karena kelahiran orang utan kembar merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Tiga tahun kemudian, Ginting dan Ganteng mulai beranjak besar. Setiap hari keduanya bermain bersama orang utan lainnya. Suatu hari, keduanya dianggap cukup besar untuk meninggalkan pusat rehabilitasi untuk dipersiapkan kembali menjalani kehidupan di alam liar bersama Merah.
Selanjutnya, pemateri mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan buku yang sudah dibacakan. Beberapa siswa dapat menjawab pertanyaan dengan lancar. Melalui media sastra anak dan metode bercerita (storytelling), siswa dapat terbantu dalam meningkatkan kosakata bahasanya. Siswa juga diminta untuk memberikan interpretasi mereka terhadap buku yang telah dibacakan. Pesan moral adalah salah satu aspek penting dalam sastra anak. Salah seorang siswa mengatakan perlunya untuk menjaga kelestarian lingkungan untuk kelangsungan sesama makhluk hidup. Siswa lain menjawab pembakaran hutan adalah tindakan egois yang tidak hanya merugikan hewan, tetapi juga makhluk hidup lainnya seperti manusia dan tumbuhan. Dengan demikian, penggunaan sastra anak sebagai penyampaian materi dan bahan ajar sangat direkomendasikan sebagai media penanaman karakter positif pada siswa.
Namun, perlu diperhatikan pemilihan buku bacaan anak yang digunakan sebagai materi dan bahan ajar. Sebuah karya sastra merupakan hasil pemikiran pengarang, dan bahasa yang dituturkan mencerminkan identitasnya. Di dalam sebuah karya sastra, khususnya sastra asing tertuang aspek-aspek kehidupan dan kebudayaan belum tentu sesuai dengan nilai dan prinsip yang dianut masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, dalam penggunaan sastra anak asing sebagai media pembelajaran tetap membutuhkan pengawasan dari para pendidik. Jangan sampai, kita sebagai pendidik hanya sibuk mengenalkan bahasa asing kepada siswa, tetapi abai dalam penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia.