Oleh: Hardisman
(Guru Besar Fakultas Kedokteran & Ketua LPM Universitas Andalas)
Gambaran kesehatan secara nasional sudah berjalan membaik, tetapi masih belum mencapai indikator-indikator target yang diharapkan. Hal senada juga terjadi di Sumatera Barat. Indikator yang belum tercapai dan perbaikan yang lambat tentunya membutuhkan peranan bersama. Ada peranan dari sisi kebijakan dan pemerintah sebagai pelaksana, politisi sebagai penentu arah kebijakan, dan yang tidak kalah pentingnya peranan keluarga sebagai unit terkecil.
Perubahan indikator kesehatan secara nasional tentunya bermula dari perbaikan pada setiap keluarga. Perbaikan tersebut tentunya akan terjadi jika ada perubahan mind set akan kesehatan keluarga, sikap, dan perilaku bertindak dalam menyikapi kebutuhan dan masalah kesehatan.
Indikator Kesehatan Kita
Secara nasional, perkembangan indikator kesehatan secara umum telah mengalami perbaikan meskipun lambat dan masih jauh dari target yang diharapkan. Angka Kematian Ibu (AKI) yang menjadi salah satu indikator utama kesehatan populasi, masih tinggi dari target 183/100.000 kelahiran hidup. Sejak laporan yang mengejutkan 259/100.000-KH pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, menjadi 305 pada SUPAS tahun 2016, dan 189 pada Survei Penduduk 2020. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan dalam Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2023.
Data tersebut masih menunjukkan bahwa saat ini hampir ada dua orang ibu yang meninggal dalam 1000 proses persalinan. Angka terssebut seolah-olah kecil jika tidak dimaknai dengan baik. Namun, bila dilihat dan ditelaah lebih mendalam angka tersebut masih sangat mengkhawatirkan.
Fisik Ibu atau orang dewasa sejatinya kuat secara fisiologis dan dapat bertahan dengan mekanisme homeostatik-nya bila ada perubahan hemodinamik dan ataupun fungsi organ tubuh. Proses persainan sejatinya juga merupakan fungsi fisiologis atau normal yang dapat dilalui dengan baik dan sehat bila kondisi ibu dan faktor pendukungnya berjalan dengan baik pula. Jika Ibu meninggal dalam proses persalinan atau beberapa waktu setelahnya, artinya kondisi ibu sudah sangat buruk dan faktor pendukung untuk persalinan tersebut sangatlah buruk.
Berbagai laporan resmi dan penelitian menunjukkan faktor risiko penyumbang terbesar terhadap terjadinya kematian ibu tersebut adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, dan komplikasi persalinan. Ibu hamil dengan kondisi anemia menjadi risiko berat terjadinya perdarahan dalam persalinan karena tidak adekuatnya kontraksi uterus pada saat dan pasca melahirkan (involusi). Kondisi ini diperberat lagi jika Ibu dalam keadaan kekurangan Energi Kronis (KEK).
Data nasional dan Sumatera Barat menunjukkan kecenderungan yang sama. Laporan Riskesdas terakhir menunjukkan ada 48,9% ibu hamil dalam keadaan anemia yang meningkat dari pendataan periode sebelumnya (37,1%). Bisa kita bayangkan, hampir separuh ibu hamil dalam kedaan lemah karena anemia. Belum lagi ditambah dengan kondisi KEK, yang ada di antaranya 17%. Risiko utama ini lebih banyak berkaitan dengan faktor yang sapat dicegah, baik di sisi perilaku ibu hamil, perilaku dan dukungan keluarga, dan kesiapan layanan kesehatan.
Di sinilah kita perlu melihat dan memberikan penyadaran pada masyarakat bahwa ada peranan keluarga untuk mencegah kondisi buruk terjadi pada ibu saat melahirkan. Peranan serupa juga sangat erat kaitannya dengan masalah gizi balita, terutama dalam pencegahan stunting yang menjadi sorotan utama saat ini.
Angka total stunting (mild dan severe) pada balita tercatat 30,8% secara nasional dan di Sumatera Barat lima tahun lalu, juga telah mengalami perbaikan. Khusus di Sumatera Barat, angka stunting tercatat 25,2% tahun 2022 dan 23,6% di tahun 2023 yang dilaporkan pada awal tahun ini. Meskipun secara statistik telah mengalami perbaikan, namun dengan angka lebih 20% masih menjadi tantangan untuk mewujudkan generasi berkualitas di masa depan.
Pencegahan stunting dan juga perbaikan kondisi kesehatan balita yang telah mengalaminya memang membutuhkan perananan pemerintah, baik sektor kesehatan ataupun sekror lainnya. Namun, peranan keluarga akan pengaturan gizi dalam rumah tangga juga menjadi faktor utama.
Peranan Keluarga
Sebagai faktor yang dapat dicegah (preventable) faktor risiko kematian ibu harus diketahui dan dideteksi sejak dini. Kondisi tersebut bisa terjadi sebelum kehamilan ataupun pada awal kehamilan. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah pemantauan kehamilan tersebut. Pemantauan kehamilan telah ‘diformalkan’ oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kemenkes dalam kegiatan yang disebut sebagai kunjungan antenatal (ANC).
Melalui kunjungan ANC, semua faktor risiko yang muncul dapat ditangani lebih dini. Asuhan persalinan oleh bidan atau petugas kesehatan di Puskesmas dapat mencegah kondisi yang lebih berat. Jika Ibu memerlukan rujukan dan penangangan medis lanjut, akan dapat dilakuan segera. Begitu juga halnya, jika memang ada kondisi yang nengharusnya ibu melahirkan di rumah sakit, sudah direncanakan sejak awal bukan merupakan emegensi yang sarat akan risiko.
Akan tetapi, data menunjukkan kunjungan ANC lengkap baik pada laporan 2013 ataupun 2018 masih di bawah 80%. Data ini memperlihatkan bahwa ada lebih 20% ibu hamil yang betul-betul tidak terpantau kondisinya, yang mungkin sangat bermasalah dalam kehamilannya dan akan bermasalah dan adanya risiko dalam persalinan.
Kunjungan ANC yang rendah mencerminkan kepedulian ibu dan keluarga yang kurang untuk melakukan pemeriksaan dan pemantauan kehamilannya. Begitu juga dengan tingginya anemia ibu hamil dan juga stunting pada balita. Selain itu, tentunya ada faktor daya beli (affordability), salah satu faktor yang berperan dan dapat diubah adalah kepedulian keluarga pada pola distribusi gizi dan makanan dalam keluarga.
Gizi yang baik pada masa kehamilan tidak hanya berperan penting dalam mencegah anemia ibu hamil dan komplikasi persalinan, tetapi menjadi faktor utama dalam pencegahan stunting. Pertumbuhan jaringan otak dan fisik yang optimal terjadi selama 1.000 hari pertama kehidupan sejak kehamilan sampai usia anak 2 tahun. Pemberian gizi optimal pada ibu masa kehamilan harus menjadi prioritas dalam mencegah stunting sejak dini.
Tidak jarang kita lihat ayah yang perokok, meskipun istrinya hamil dengan kondisi keuangan yang terbatas, kebutuhan rokok tetap dipenuhi terlebih dahulu. Jika ada kelebihan, barulah kebutuhan gizi ibu hamil dan kebutuhan layanan kesehatannya dipenuhi. Begitu juga dengan mendapatkan pemantana kehamilan (ANC). Hanya sekelompok kecil suami yang mengambil peran dan memberikan dukungan untuk itu.
Kesehatan ibu hamil, keselamatan persalinan, dan pencegahan stunting memerlukan peranan segenap anggota keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga harus menyadari kebutuhan ibu hamil akan gizi yang lebih baik sehingga distribusi gizi pada ibu hamil menjadi prioritas dalam keluarga. Mindset dan sikap ini harus dimiliki oleh setiap keluarga untuk menjadikan ibu sehat selama kehamilannya serta mencegah risiko persalinan dan stunting. Pada akhirnya, kesiapan dan sikap ketahanan keluarga ini (resilience) akan berperan dalam menciptakan generasi unggul masa depan. Semoga.