Peneliti dari Universitas Milano, Casale dan Banchi, dalam jurnal Computers in Human Behavior menyebutkan bahwa perilaku sering memamerkan diri di media sosial erat kaitannya dengan sifat narsistik.
“Media sosial memberi peluang bagi individu narsistik untuk mencari validasi dan pujian secara instan melalui like dan komentar,” ungkap Casale dalam penelitiannya.
Selain kecenderungan narsistik, fenomena ini juga dinilai berisiko menimbulkan masalah pada citra tubuh atau bahkan memicu Body Dysmorphic Disorder (BDD), yaitu gangguan mental yang membuat seseorang terlalu terobsesi pada kekurangan fisik yang sebenarnya kecil atau bahkan tidak nyata. Studi yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Health oleh Fardouly dan timnya menyebutkan, intensitas penggunaan media sosial berbasis penampilan fisik berhubungan erat dengan penurunan kepuasan diri dan meningkatnya gejala BDD serta depresi.
Fenomena lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah munculnya Fear of Missing Out (FOMO) dan kecenderungan melakukan perbandingan sosial. Psikolog Leon Festinger dalam teorinya menjelaskan, kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain di media sosial dapat menimbulkan kecemasan dan stres, terutama jika seseorang merasa dirinya kalah menarik atau kurang populer.
Tak hanya itu, penelitian yang dimuat dalam Addictive Behaviors Reports menunjukkan bahwa motivasi mencari validasi melalui media sosial seperti TikTok dapat mendorong munculnya kecanduan, kecemasan, hingga depresi. Aktivitas mengumbar kecantikan dan berjoget di depan kamera, jika dilakukan untuk mendapatkan perhatian atau pengakuan, berpotensi memicu masalah psikologis jangka panjang.
Meski tidak semua pengguna media sosial mengalami gangguan tersebut, pakar mengimbau agar masyarakat, khususnya remaja, lebih bijak dalam menggunakan TikTok dan tidak menjadikan validasi dari dunia maya sebagai tolok ukur harga diri. (Rai)