Pawai Obor
Karya: Khairanna Nabila Fitra
“Apa-apaan ini?” Teriakan laki-laki tua itu mengelegar ke seluruh ruangannya yang berukuran 4 x 5 meter itu. Dengan kekesalan yang memuncak, ia lemparkan draft skripsi itu di hadapan Andika, pemuda asal Minang yang ingin menyelesaikan kuliahnya di tahun ini. Laki-laki tua yang berada di hadapan Andika adalah Pak Bayu yang sudah mendapatkan gelar profesor sejak 15 tahun yang lalu, sekaligus dosen yang akan membimbingnya untuk menyelesaikan skripsi.
Dimana letak salahnya? Semuanya terlihat sempurna di matanya. Teman-teman fakultasnya juga mengatakan hal yang sama dengan dirinya. Hanya Pak Bayu yang berbeda. Biasa? Apakah tidak ada keunikan yang ia ketik di naskahnya? Andika mengaruk-garuk kakinya yang sama sekali tidak gatal. Topik apa yang harus ia angkat untuk skripsinya? Apa yang harus ia cari? Apa yang membuat dosennya senang? Ia tidak tahu. Andika menghela napas, ia harus mengulang semuanya dari awal. Baru beberapa langkah meninggalkan kantor Pak Bayu. Seseorang menepuk pundaknya.
“Cemana?” Tanya Pramu, teman dekat Andika yang berbeda fakultas dengannya. Pemuda yang sebaya dengan Andika, walau beda fakultas. Mereka sering berangkat atau pulang dari jadwal kuliah yang padat. Hanya bertemu beberapa kali, tidak membuat tali persahabatan mereka merenggang begitu saja.
“Dibilang ‘biasa’ terus sama Pak Bayu!” Jawab Andika malas, ia benar-benar lelah untuk diajak ngobrol oleh Pramu.
“Masa anak Minang kayak gini, seharusnya kau itu semangat!” Balas Pramu, pemuda asal Medan itu terus menghibur. Berharap Andika mendapatkan kembali semangatnya kembali, sembari merangkul pundak Andika.
“Coba bapak itu tau kalau aku bisa silat, sudah aku keluarkan dari tadi” Kata Andika kesal, membuat Pramu melotot ngeri.
“Mungkin saja, Pak Bayu pengen kau jadi mahasiswa terbaik!” Seketika Andika melirik kearah Pramu, membuat teman Medannya itu salah tingkah karena kata-katanya. Takut dengan tatapan Andika yang tak biasanya tajam.
“Sekali lagi kamu berceloteh aku keluarkan jurus silatku!” Balas Andika tajam, membuat Pramu melepaskan rangkulannya. Kalau Andika berkata bahwa ia akan mengeluarkan jurus silatnya, itu sudah membuat Pramu takut.
“Skripsimu sudah selesai, Pramu?” Tanya Andika, Pramu yang di tanya tentang naskahnya langsung tersenyum lebar. Tas yang sejak tadi ia tenteng, ia buka dan mengeluarkan beberapa helai kertas yang berstapler rapi. Lantas menunjukkan kepada Andika, membuat teman karibnya itu semakin malas unuk membuat naskah yang baru. Menyadari akan hal itu, Pramu kembali memasukkannya ke dalam tas.
“Hebat sekali! Kamu udah selesai” Kata Andika yang sedih dan terbebani karena naskahnya yang tak kunjung diterima oleh ‘dosen killer’nya itu. Pramu tahu jika temannya sudah mulai putus asa.
“Kalau aja gak dapat sama Pak Bayu, mungkin aku udah kelar kayak kamu Pramu!” Tambah Andika. Pramu yang mendengar itu, mulai tak enak hati dengan teman karibnya yang satu-satunya yang dekat dengannya.
“Jangan kau cakap macam itu, kau itu laki-laki harus kuat kalo dibanting!” Hibur Pramu, sedangkan Andika melihat Pramu yang siap mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Walau terdengar sedikit ngawur jika didengar oleh Andika. Tapi itulah yang membuat teman asal Medannya ini sedikit berbeda dengan mahasiswa yang lain.
“Kau pikir ajalah! Pak Bayu kasar ke kau itu, supaya kau semangat lagi!” Apa yag dikatakan Pramu tidak ada yang salah. Andika juga sempat pernah berpikir hal yang sama dengan Pramu. Hanya saja, penyampaian bapak itu terlalu kasar sehingga membuat hati mahasiswa tersakiti.
Teringat oleh Andika jika perkataan Umi tak pernah salah ‘Saberang apo guru tu, sabanonyo guru tu sayang samo anak murid ee. Jadi, patuah-patuahlah samo guru, Dika!’ Karena inilah yang membuat Andika tidak pernah membantah siapapun yang mengajarinya sampai saat ini. Termasuk wanita terhormat yang berada nan jauh di kampungnya. Dan kerap kali ia panggil dengan panggilan Umi oleh Andika beserta 2 adiknya.
“Sudahlah, berlalu biarlah berlalu, sekarang kau maju ajalah terus, daripada junior-junior kita memanggil kau dengan panggilan mahasiswa abadi ndak mau kan?” Gurau Pramu, yang dibalas dengan dehaman Andika. Yang tidak terima dengan panggilan yang sudah melegenda di dunia perkuliahan. sementara Pramu tertawa lepas saat melihat reaksi Andika yang tidak terima.
“Kau istirahatkanlah dulu itu otak, aku traktir kau makan hari ini!” Kata Pramu, membuat Andika menatap temannya seakan-akan tidak percaya.
“Tapi, setelah ini kau harus semangat!” Kata Pramu yang mengeluarkan syarat jika ingin di traktir olehnya.
“Siaaap!” Jawab Andika mantap. Sekarang hatinya sedikit terobati oleh Pramu, pemuda asal Medan itu memang pandai sekali menghibur dirinya yang sedang patah semangat. Pramu hampir sama dengan Umi. Yang selalu memberikan semangat disaat-saat ia terjatuh.
***
Senyuman terukir jelas di wajah pemuda asal Minang itu, sembari masih membaca kembali naskah barunya yang dipegangnya. Pramu menungguya di depan pintu kantor Pak Bayu dibuat heran olehnya.
“Kenapa kau senyum-senyum tak jelas?” Tanya Pramu yang menghampiri Andika yang masih menampakkan kebahagiannya. Seketika Andika diam saat mendengar ucapan Pramu yang terdengar sedikit kasar. Tapi baginya itu sudah biasa, karena ia paham kalau Pramu berasal dari Medan.
“Jaga omonganmu Pramu! kamu harus lihat naskah aku dulu!” Kata Andika yang menyodorkan kertas yang ada di tangannya. Pramu yang penasaran langsung melihat naskah yang di buat Andika. Tampak tulisan disetujui tertoreh di atas samping kertas naskahnya yang ditandatangani Pak Bayu. Mereka menoleh secara persamaan, dengan senyuman terukir di wajah.
“Bisalah kau mudik Dika!” Kata Pramu, Andika mengangguk mantap. Masih tak percaya, dosennya senang saat ia memberikan naskahnya yang ke-11 kalinya. Ia akan pulang kampung. Tak ingin membuat Umi sedih jika anak sulungnya tak pulang pada saat hari penting umat Islam tahun ini. Sudah lama ia nantikan untuk berkumpul dengan sanak saudaranya yang ada di kampung. Dan paling yang berbekas di ingatannya adalah pawai obor.
Sebuah tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat kampungnya yang berada di Pasaman. Diadakan setiap malam takbiran saat bulan ramadhan. Ia ingat betul terakhir kalinya ia mengikuti pawai obor itu pada saat masih duduk dibangku SMP. Amboi, saat mengingat kenangan manis itu membuatnya rindu dengan suasana hangat dan meriah pada kala itu. Perasaan gemuruh didada membuat dirinya tidak sabar utuk segera pulang.
***
Sudah jauh-jauh hari ia dan Pramu membeli tiket bus untuk pulang, tapi tetap saja Umi selalu menelponnya. Terkadang Umi menanyakan sesuatu yang dirasa Andika tak terlalu penting. Seperti “sudah makan? sehat, kan disana? sudah dibeli tiket itu nak?” Sampai hal-hal yang tidak dicemaskan oleh Umi. Membuat Pramu geleng-geleng kepala saat mendengar celoteh umi di seberang sana.
“Iyo Umi, Dika alah di bus…hmm…Iyo Umi.., Samo Pramu, Dika pulang…Umi ijan cameh, Dika pasti pulang…Amin..Alah dih Umi..Lah…Assalamualaikum” Sambungan telepon ia putus secara sepihak setelah mengatakan salam kepada Umi. Lantas memasukkan gawainya kedalam saku jaketnya.
“Umi kau cerewet juga yah!” Kata Pramu yang selesai meletakkan tasnya di bagasi atas bus. Andika hanya tersenyum tipis. Tak berkomentar, bahwa sifat asli ibu memang seperti itu.
“Gara-gara kamu juga sih Pramu! Untung masih ingat jalan tikus” Balas Andika yang setengah kesal dengan Pramu. Lihatlah mereka berdua yang masih bersimbah keringat karena berlari untuk mengejar bus. Hanya dikarenakan Pramu yang melihat mobil sedan berwarna putih silver itu terjebak di kubangan jalan aspal yang sudah rusak.
Entah kenapa, Pramu langsung menarik Andika untuk membantu pemilik mobil sedan putih silver itu. Mau tak mau, terpaksa ia membantu Pramu pada saat itu juga. Walapun mereka berdua dikejar oleh waktu. Untung Andika langsung berlari menyusuri jalan pintas, disusul oleh Pramu di belakang. Ia ingat seluk beluk jalan daerah di sekitar kos mereka, hingga akhirnya mereka menemukan bus itu berhenti untuk mengangkut para penumpang yang juga sudah memesan tiket sama seperti mereka berdua.
“Maafkan aku Dika!” Pramu tersenyum, membuat kekesalan Andika mereda seketika. Ia tak bisa berlama-lama kesal dengan teman karibnya ini.
“Tapi mengingat kita mengejar bus itu..” Kalimat Andika tergantng, baru merasakan malu yang luar biasa saat ia mengingat mereka mengejar bus sambil berteriak-teriak di depan umum.
“Kayak orang paok!” Kata Pramu singkat, Andika hanya tertawa kecil saat mendengar tanggapan dari Pramu.
“Sudahlah! Dah ngantuk kali aku” Dengan segera Pramu membuat posisi tidurnya di kursi bus itu. Jaket yang dipakainya tadi, dijadikan Pramu untuk selimutnya malam ini. Begitupun juga Andika dan para penumpang bus lainnya. Seketika hanya menyisakan keheningan yang sunyi di malam itu. sementara pak sopir terus terjaga untuk membawa para penumpangnya ke tujuan dengan selamat.
***
Seharusnya ia tetap memilih bus itu untuk sampai ke kampungnya, Pasaman. Seharusnya ia tetap mendengar pilihan Pramu, kalau begini tak ada yang bisa dilakukannya. Beberapa jam yang lalu, ia berpisah dengan Pramu di Medan. Sedangkan ia terus di dalam bus itu sampai di kota Padang, barulah ia berpindah ke travel yang sudah ia pesan ke Pasaman.
Tapi lihatlah sekarang, mobil travel itu mogok dan tak bisa jalan kemana-mana. Ditambah lagi, ia sekarang berada di tengah jalan menuju rumah. Hanya beberapa menit lagi ia akan sampai ke tempat tujuannya. Sudah 1 jam berlalu tapi tidak ada satupun kendaraan yang lewat di depan warung yang buka ditengah-tengah hutan rimba ini.
“Minta maaf awak dik! Ndak sangko oto ko bisa mogok lo” Kata pak sopir travel yang Andika tumpangi.
“Ndak baa do da! Untuang masih ado warung ditangah jalan ko” Balas Andika, tak masalah. Ia masih bisa berharap jika ada kendaraan yang lewat. Pak sopir itu masuk kembali kedalam warung sembari menunggu bantuan dari jasa derek yang ia telepon dari Pasaman.
“Allahu akbar! Allahu akbar!” Suara azan berkumandang melalui radio yang terpajang di warung itu. Membuat hati Andika bertambah gusar. Apa yang haru dia lakukan?
“Dek! Buko lah dulu!” Kata ibu pemilik warung itu sembari memberi Andika minuman dan beberapa gorengan yang dibuat oleh ibu pemilik warung itu beberapa saat yang lalu. Masih hangat-hangatnya gorengan itu, membuat Andika tak kuasa untuk menolak pemberian ibu pemilik warung itu. Setelah diajak untuk sholat maghrib, Andika menunggu kembali. Biasanya jasa derek tak selama ini untuk menjemput mobil yang mogok, apalagi mengingat jaraknya yang tak terbilang jauh.
Andika takut jika Umi terlalu mencemaskan dirinya, apalagi gawainya mati karena kehabisan baterai. Butuh waktu untuk mengisi ulang daya baterainya. Gawainya juga tak akan berfungsi di tengah-tegah hutan rimba begini. Jika punya paket data tapi jaringannya tidak ada, sama saja.
Ia tidak bisa menghubungi Umi jika ia pulang terlambat malam ini. Tergiang kembali olehnya pawai obor yang berlangsung pada malam ini. Pasti ia akan melewatkan momen meriah ini, sementara ia masih menunggu kendaraan yang lewat.
Andika yang menunggu di luar, melihat mobil sedan dari kejauhan membuat dirinya berteriak dengan kencang sembari mengangkat kedua tangannya.
“Ei! Ei! Ei!” Teriakkannya berhasil membuat pemilik mobil berhenti didepannya. Seperti mengenal mobil sedan itu, Andika hanya menduga-duga saja. Tapi perkiraannya benar-benar betul, bahwa mobil sedan itu adalah mobil sedan yang ia bantu bersama Pramu saat masih di Aceh.
“Bapak!” Seru Andika yang kaget karena mengenal pemilik mobil sedan berwarna putih silver itu saat menurunkan kaca mobilnya. Sedangkan pemilik mobil yang merupakan bapak berusia 30 tahunan beserta istri dan 2 anaknya, menyapa hangat Andika yang kaget.
“Adek yang di aceh itu kan? Yang bantu bapak waktu itu?” Tanya bapak pemilik mobil itu sembari mengingat bahwa ia tak salah orang.
“Ya pak! Nama saya Andika” Kata Andika yang memperkenalkan dirinya agar bapak pemilik mobil itu mudah memanggilnya.
“Ouh! nak Andika ingin ke Pasaman juga?” Tanya bapak itu lagi, lantas Andika mengangguk cepat. Ia benar-benar membutuhkan tumpangan.
“Masuk aja nak Andika, bapak dan sekeluarga juga ingin ke Pasaman!” Andika kaget, benarkah? Ia benar-benar tidak percaya bahwa akan semudah itu ia bisa mendapatkan tumpangan, padahal ia belum mengatakan maksudnya.
“Boleh pak?” Tanya Andika, bapak itu menganguk menginyakan. Lantas menyuruh dua anaknya yang masih SMP untuk membukakan pintu belakang mobil, membiarkan Andika masuk ke dalam mobil.
“Uda! Ndak baa do Andika tingga uda disiko! Andika pai samo oto iko!” Teriak Andika dari kejauhan, pak sopir travel mengangkat jempolnya. Bertanda ia akan baik-baik saja disini, sembari menunggu jasa derek datang. Andika masuk dengan bahagia karena mendapatkan balasan dari pak sopir travelnya. ‘Umi, tunggu jo lah dirumah, Dika pasti pulang!’ Batinnya dalam hati dengan senyuman merekah.
***
Seorang wanita tua yang sudah berusia 60 tahunan hanya menampakkan wajahnya yang terlihat khawatir akan sesuatu, berharap jika yang ia pikirkan tidak terjadi di dunia nyata. Ia mondar-mondir selama hampir 1 jam di ruang tamu. Waktu isya sudah lewat. tapi anak sulungnya belum juga menunjukkan batang hidungnya.
“Umi, duduaklah dulu, ndak panek umi bajalan kasinan kasiko nda manatu?” Tanya anak keduanya yang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarganya. Umi yang ditanya seperti itu langsung duduk di atas sofa kayu jati, tapi kegelisahannya tetap masih terpancar di wajahnya. Anak gadis itu adalah Mariya, anak Umi yang kedua.
“Bang Dika pasti pulang dengan selamat Umi, Mariya yakin itu!” Kata Mariya lembut, agar Umi bisa tenang. Mariya duduk disebelah Umi sembari mengelus-ngelus telapak tangan Umi. Apa yang diharapkan Mariya tidak sepenuhnya terpenuhi, wajah Umi masih terlihat sedikit khawatir.
“Umi takuik jiko abang kau ndak pulang Mariya” Kata Umi lagi dengan suaranya yang sudah lirih karena dimakan usia. Mariya tersenyum.
“Bang Dika pasti pulang Umi” Mariya tetap berusaha meyakinkan wanita tua itu dengan kata-kata lembutnya dan usapan hangatnya untuk menghilangkan rasa khawatir itu dari hati sang wanita terhormat di keluarganya.
“Mariya bukakan pintu muko ko dih mi” Pinta Mariya sembari berdiri kembali untuk mebuka pintu rumah kayu mereka. Umi hanya mengangguk mengiyakan, karena ini adalah malam takbiran. Besok adalah hari penting umat islam, Hari Raya Idul Fitri. Saat Mariya membuka pintu, matanya terbelalak. Kaget bukan main, jika di halaman rumahnya sudah ada seseorang yang berdiri menunggu untuk disambut.
“Umi! Caliak ka siko Umi!” Mariya menjerit bahagia membuat wanita tua itu segera berdiri, lantas pergi ke depan pintu ruang tamu mereka. Senyumannya merekah, seperti bunga yang baru mekar. Hatinya lega seketika saat tau, apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi.
Pemuda itu berdiri dengan senyuman rindu di lubuk hatinya. Pada saat bersamaan, pawai obor yang dinantikan melintasi jalan depan halaman rumah mereka. Menghiasi rasa rindu mereka yang terpenuhi.(*)
Tentang Penulis
Khairanna Nabila Fitra merupakan siswi SMA IT Insan Cendekia Boarding School Payakumbuh. Khairanna sangat menyukai membaca buku, sehingga juga tertarik dengan dunia kepenulisan, serta berharap suatu hari nanti bisa konsisten menulis dan bisa menjadi penulis yang bermanfaat.
Fakta Kultural dalam Cerita Pendek, Ulasan Atas Cerpen “Pawai Obor” Karya Khairanna Nabila Fitra
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat)
Sebagaimana hal yang sudah lumrah diketahui, karya sastra merupakan wujud apa yang diserap seseorang terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya, kemudian ditulis dengan menggunakan bahasa yang indah. Menurut Faruk (2012) karya sastra adalah objek manusiawi, fakta kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab merupakan hasil ciptaan manusia.
Menurut Salimudin (2023) dalam artikelnya berjudul ““Mengulik Nilai-Nilai Budaya dan Eksistensi Tradisi Kuno Pada Cerpen Senampan Daun Pisang Karya Uwais Qorni” yang ditulis pada Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Peradaban, Nomor 1, Oktober 2023, hlm 48 – 61 menyampaikan bahwa sastra merupakan cabang ilmu kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia dahulu.
Kehadiran sastra diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya, di tengah peradaban manusia yang tidak dapat ditolak. Sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap suatu karya yang kreatif dan dimanfaatkan oleh manusia.
Menurut Endraswara (2016), karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan, di dalamnya ada pesan ekologis yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Sementara itu Nurgiyantoro (2013) menyatakan struktur karya sastra juga menunjuk pada pengertian adanya hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling memengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Pandangan para ahli sastra seperti Faruk (2012), Endraswara (2016), dan Nurgiyantoro (2013) adalah tepat dan relevan dalam analisis karya sastra, termasuk cerpen “Pawai Obor” karya Khairanna Nabila Fitra.
Kreatika Minggu ini menampilkan cerpen “Pawai Obor” Karya Khairanna Nabila Fitra. Berdasarkan wujud gagasan dan pandangan sosial cerpen ini merupakan manifestasi dari gagasan sosial mengenai tantangan akademis dan tekanan yang dihadapi oleh mahasiswa. Hal ini menggambarkan kenyataan sosial yang dialami banyak orang, terutama mahasiswa di Indonesia.
Secara umum cerpen “Pawai Obor” karya Khairanna Nabila Fitra menceritakan tentang seorang pemuda Minang bernama Andika yang sudah sangat rindu kampung halamannya. Kenangan melihat pawai obor membuatnya ingin pulang. Namun sayangnya ia sedang berjuang menyelesaikan skripsinya.
Dia menghadapi kesulitan karena skripsinya selalu dianggap “biasa” oleh dosennya yang keras, Pak Bayu. Meskipun demikian, Andika tidak menyerah dan terus berusaha mencari topik yang tepat untuk memuaskan dosennya. Dalam perjalanannya, dia mendapat dukungan dari sahabatnya, Pramu, yang selalu memberi semangat.
Setelah berkali-kali mencoba, Andika akhirnya berhasil mendapatkan persetujuan dari Pak Bayu pada setelah merevisi skripsinya sebanyak sebelah kali. Kabar baik ini membuat Andika bersemangat untuk pulang ke kampung halamannya di Pasaman untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarganya. Andika sangat merindukan momen kebersamaan dan tradisi pawai obor yang selalu diadakan pada malam takbiran.
Melalui tokoh Andika, cerpen ini menggambarkan hubungan antara individu dan lingkungannya, termasuk interaksi dengan dosen, teman, dan keluarga. Ini mencerminkan bagaimana lingkungan sosial memengaruhi perjalanan hidup seseorang.
Fakta kultural dalam cerpen ini memperkenalkan tradisi Minangkabau seperti pawai obor, yang merupakan elemen penting dalam cerita dan memberikan wawasan budaya kepada pembaca. Ini menunjukkan bahwa karya sastra dapat menjadi refleksi fakta kultural dari masyarakat.
Kreativitas penulis berhasil memadukan elemen akademis dan budaya lokal dalam cerpen ini. Hal ini menunjukkan kreativitas dalam menyampaikan cerita yang kaya akan nilai-nilai budaya dan sosial.
Pesan Ekologis dalam cerpen ini menyampaikan pesan penting tentang melestarikan tradisi dan budaya lokal, yang merupakan bagian dari ekologi sosial budaya dalam kehidupan masyarakat.
Unsur intrinsik cerpen ini memuat unsur-unsur intrinsik seperti tema, alur, tokoh, latar, dan amanat yang saling berhubungan dan membentuk kesatuan cerita. Tema cerpen ini menonjolkan tema perjuangan dan ketekunan dalam mencapai tujuan. Alur cerita yang linier menggambarkan perjalanan tokoh utama dari awal hingga akhir.
Tokoh dan penokohan dalam cerita ini menampilkan karakter Andika dan interaksinya dengan tokoh lain seperti Pramu dan Pak Bayu, menggambarkan perkembangan karakter dan interaksi sosial yang realistis. Latar budaya dalam cerpen ini menunjukkan masyarakat Pasaman yang memberikan warna lokal yang kuat pada cerita. Amanat cerpen ini menyampaikan pesan tentang pentingnya ketekunan dan dukungan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi tantangan.
Cerpen ini menggambarkan perjuangan, keteguhan, dan kerinduan seorang anak terhadap kampung halaman dan tradisi yang melekat dalam hidupnya. Cerpen ini menyajikan kisah hidup anak muda berjuang menyelesaikan tugas akhir di kampusnya. Selain itu cerpen ini sebagaimana judulnya “pawai obor” ingin mengisahkan bagaimana tradisi tahunan itu selalu memanggil-manggil para perantau untuk pulang ke kampung halaman.
Sayangnya, cerpen ini belum mengeksplorasi bagaimana menariknya pawai obor itu dilaksanakan. Penulis hanya mengisahkan sekilas saja tentang pawai obor ini. Seharusnya, tradisi pawai obor ini bisa menjadi kekuatan cerita ini. Namun sekali lagi sangat disayangkan penulis belum mampu membuat detai bagaimana pawai obor itu sebenarnya mampu menciptakan kerinduan yang mendalam bagi masyarakatnya.
Cerpen “Pawai Obor” karya Khairanna Nabila Fitra memiliki beberapa kelebihan, antara lain pertama, tema yang umum. Cerita ini mengangkat tema yang akrab bagi banyak mahasiswa, yaitu perjuangan menyelesaikan skripsi. Pembaca dapat merasa terhubung dengan perjuangan dan kegigihan tokoh utama, Andika, dalam menghadapi tantangan akademis.
Kedua, penggambaran budaya lokal yang kuat. Cerpen ini mengangkat tradisi lokal masyarakat Pasaman, Sumatera Barat, khususnya pawai obor, yang menambah nilai budaya dan memberikan wawasan tentang kekayaan budaya Indonesia kepada pembaca.
Ketiga, karakterisasi yang cukup kuat. Tokoh-tokoh dalam cerpen ini, terutama Andika dan sahabatnya, Pramu, digambarkan dengan baik. Kepribadian mereka dan hubungan persahabatan yang hangat menambah kedalaman cerita.
Keempat pesan inspiratif. Cerpen ini memberikan pesan tentang ketekunan dan semangat pantang menyerah dalam menghadapi rintangan, serta pentingnya dukungan dari orang-orang terdekat dalam mencapai tujuan.
Kelima, emosi yang menyentuh. Penggambaran kerinduan Andika terhadap kampung halaman dan momen kebersamaan dengan keluarga menyentuh emosi pembaca dan menambah elemen nostalgia dalam cerita.
Secara umum cerpen ini berhasil menyampaikan kisah yang inspiratif dan menghibur, sekaligus memperkenalkan pembaca pada tradisi budaya yang kaya. Namun sebagaimana karya sastra lainnya, cerpen ini juga memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan itu diantaranya adalah pertama, alur cerita yang kurang terhubung. Tema perjuangan mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi mungkin terasa klise bagi sebagian pembaca, karena sudah sering diangkat dalam berbagai karya lain. Namun sebenarnya cerita adalah tentang kerinduan Andika pada pawai obor di kampung halamannya. Hal ini bisa membuat alur cerita terasa terduga.
Kedua, pengembangan konflik. Konflik utama dalam cerita ini lebih banyak berfokus pada masalah akademis Andika. Mungkin akan lebih menarik jika ada pengembangan konflik lain, misalnya dalam hubungan pribadi atau tantangan lain di kampung halamannya terkait dengan pawai obor yang dirinduinya, hal ini untuk menambah dinamika cerita.
Ketiga, pemaparan tentang tradisi yang belum mendalam. Meskipun cerpen ini memperkenalkan tradisi pawai obor, pembahasan tentang tradisi ini belum mendalam. Hal ini seharisnya bisa lebih diperdalam untuk memberikan gambaran yang lebih kaya dan hidup mengenai budaya lokal.
Keempat, karakter pendukung kurang berkembang. Beberapa karakter pendukung, seperti dosen Pak Bayu atau sahabat Pramu, mungkin kurang mendapatkan pengembangan yang mendalam, sehingga peran dan motivasi mereka dalam cerita bisa terasa kurang kuat.
Kelimata, penyelesaian yang terburu-buru. Terkadang, cerita pendek memiliki keterbatasan ruang untuk mengembangkan semua elemen cerita secara mendetail. Hal ini bisa membuat penyelesaian cerita terasa terburu-buru atau kurang memuaskan bagi sebagian pembaca.
Meskipun demikian, kelemahan-kelemahan ini tidak mengurangi kelebihan dan nilai dari cerpen tersebut dan dapat menjadi peluang untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan. Semoga Khairanna semakin semangat dalam berkarya. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post