Melukis Cinta
Oleh: Ali Usman
Terik mentari memancarkan cahaya terang. Panasnya menyibak awan putih di langit biru siang itu. Usai shalat zuhur berjamaah di mushalla sekolah. Karim dan Amin jalan bersama menuju rumah masing-masing.
Suara mobil dan motor berkejar-kejaran di sepanjang jalan raya. Jalan antara Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman itu selalu ramai ketika jam pulang sekolah. Karim dan teman-teman biasa jalan kaki pulang sekolah. Kalau tidak di trotoar atau di tengah jalan rel kereta api.
“Benaran begitu ceritanya Bro?” Suara Karim memecah keributan lalu lalang di jalan raya. Amin yang konsentrasi melangkah mengingat perdebatan di Ruang Labor Fisika tadi, langsung nyambung maksud pertanyaan Karim.
“Nggak sih Bro. Anak-anak IPA III.1 itu sering begitu, kalau mau ikut seleksi mahasiswa undangan, maunya ambil Jurusan Akuntansi dan Manajemen juga. Padahal yang lebih berhak jurusan itu di perguruan tinggi anak-anak jurusan IPS kan?”
Amin menimpali pertanyaan Karim.
“Itu dia Bro. Saya kesel dengan mereka. Kenapa mereka begitu? Kita yang lebih berhak di jurusan itu kan?” Nada suara Karim agak menukik meluapkan emosinya.
“Santai aja Bro. Kalau itu rezeki mereka untuk kuliah di jurusan tersebut, kita harus lapang dada kan? Kita ucapkan aja alhamdulillah ‘ala kullihal. Kalau kita lulus di jurusan itu. Alhamdulillah sekali. Itu yang kita harapkan. Eh iya, kamu juga ingin kuliah di Universitas Indonesia kan? Kok pilih Manajemen Universitas Andalas? Gimana Bro?”
Karim melambatkan langkah dengar ceramah Amin. Sepertinya Karim kurang seirama dengan argumen Amin. Dia merasa Amin tidak mendukung pendapatnya.
Amin terus berciloteh dan mengayunkan tangan menuju rumahnya. Karim meninggalkannya sendiri bicara seperti radio rusak.
“Karim? Gimana? Sepakat kan?”
“Karim!” Teriak Amin.
Amin menoleh ke arah Karim yang melambaikan tangan, “Maaf Bro, saya duduk sini dulu ya? Ada janji.” Suara Karim menutup pembicaraan sore itu.
***
“Apa itu BRI?” Karim balik bertanya saat Didin temannya dari kelas IPA III.2 di SMA Negeri 25 Padang mengajak ikut kegiatan Ekskul BRI.
“BRI adalah Bina Remaja Islam, Karim. Beneran Antum baru tahu? Kan sudah sering abang dan kakak alumni menyosialisasikan kegiatan ekskul ini setelah upacara selama empat kali Senin bulan kemarin,” jelas Didin lebih lanjut saat duduk di Kantin Sekolah ketika jam istirahat.
“Saya tidak menyimak serius Din, karena setiap selesai upacara itu. Amin sering mengajak cerita terkait kegiatan Pramuka yang saya ikuti sejak kelas I SMA.” Timpal Karim membela diri.
“Ya udah, nggak papa. Kalau Karim mau ikut di kelas III SMA ini, boleh kata Bang Yudi. Kebetulan beliau sekarang Ketua BRI di SMA kita. Memang Ekskul BRI baru dirintis sama alumni-alumni sekolah kita yang juga masih sedang kuliah di Kampus Universitas Negeri Padang dan Universitas Andalas. Makanya, sebagai ekskul rintisan alumni, sementara diketuai dulu langsung sama Bang Yudi, alumni sekolah kita ini.” Papar Didin lebih lanjut kepada Karim untuk meyakinkan.
Hening.
Karim manggut-manggut mencerna penjelasan Didin. Ia merasa menjadi dapat penerangan terkait kegiatan ekskul itu. Namun, Karim merasa tertantang. Mungkin kah dia bisa ikut dua ekskul sekalian. Sekarang sedang aktif di kegiatan Pramuka. Ekskul Pramuka mengajarkan Karim menjadi percaya diri dan berani memimpin dalam berorganisasi.
***
Puisi “Menulis Cinta” karya Ibnu Aziz Alfaiz anak IPS III.1. Judul puisi yang Karim baca dalam sebuah mading sekolah pekan lalu. Karim sempat menyalin ulang puisi itu. Bait-baitnya sedang menyinari hati Karim. Tak tuli hati berkata/Aksara terangkai makna/Lisan kelu berujar asa/Hati rindu syahdu bahagia/Munajat jiwa ya Rabbul’izzati/Belajar makna cinta sejati/Membangun cinta hakiki/Berbuah pahala Firdausi/Menulis cinta suci ridho-Mu/Mengharap ampunan ghafur-Mu/Menuju berkumpul di surga-Mu/Mengharap ampunan rahmat-Mu.
Puisi yang sering dia ulang-ulang dalam sepekan ini. Karim merasa ada ‘sesutu’ pesan yang menyeruak jiwanya. Jiwa laki-laki remaja yang sedang dimabuk cinta pertama dengan salah seorang adik kelas. Kedekatan yang dibangun baru memasuki pekan keempat. Namun, Karim tak pandai mengekspresikan cinta seperti teman-temannya. Malahan Karim sering dibilang tidak gaul. Sok rajin dan sok alim.
Karim anak sulung. Adiknya dua orang, Kaisya dan Akram. Sejak Karim kecil, rumah Karim adalah tempat anak-anak belajar mengaji dengan ayah dan ibunya. Sejak duduk di bangku SMP sampai SMA ini, Karim sudah ikut membantu ayah dan ibu menjadi guru mengaji untuk anak-anak yang belajar di rumah Buya Mahmud. Bu Maryam adalah ibu Karim yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Setiap sore dan malam hari, kecuali hari Ahad, ibu juga berperan jadi guru mengaji di rumah.
Buya Mahmud Sidiq adalah ayah Karim yang juga petani biasa. Petani yang menggarap sekitar empat piring sawah di tanah pusaka bako Karim di area persawahan di kaki Bukik Cubadak, tepatnya Bukik Putuih Anak Air.
Bako adalah keluarga pihak ayah dan kemenakan-kemenakan ayah Karim. Adik dan kemenakan-kemenakan ayah sering panggil ayah Karim Uda Mahmud. Ayah Karim penyayang kepada keluarga, terutama kepada Ibu, Karim, Kaisya, dan Akram. Buya Mahmud agak tempramen, sangat marah kalau melihat anaknya tidak patuh dan tidak tepat janji. Sangat tidak suka saat melihat anaknya menangis. Emosinya meledak menumpahkan marah dan menghukum Karim, Kaisya, dan Akram kalau menangis.
***
Sebelum Karim sampai di rumah usai pulang sekolah. Karim meninggalkan Amin tiba-tiba karena ingat janji ketemuan dengan juniornya. Karim mengatakan juniornya ini cinta pertamanya. Namun, sejak Karim membaca dan menghayati makna puisi Menulis Cinta itu, Karim ingin mengutarakan sesuatu pada juniornya.
“Kirana, Abang merasa nggak nyaman akhir-akhir ini. Abang mau fokus persiapan Ujian Akhir Sekolah. Abang mau kita teman biasa aja lagi ya? Abang mau persiapan melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi.” Jelas Karim setelah beberapa menit bercengkrama hangat dengan juniornya ini.
“Plak”
Kata-kata Karim menampar hati Kirana. Dia tidak mengira, kata-kata yang tidak diinginkan itu harus meluncur. Langit-langit hatinya bergemuruh. Langit benar-benar terasa mendung di sepanjang rel kereta api itu. Padahal sejak pertemuan tadi, tidak ada firasat ke arah itu.
Kirana terdiam. Terpana jauh ke ujung rel kereta api. Benarkah tidak akan seiring sejalan lagi? Gemuruh mendung di pelupuk mata tak tertahan lagi. Rintik sedih membasahi pipinya.
“Kirana? Kok diam? Jangan sedih dulu.” Sambil mendekat Karim memandang Kirana. Karim merasa bersalah dengan kata-kata itu.
Dengan menarik ujung jilbabnya Kirana menghapus air matanya. Dia berusaha tegar dengan kecamuk perasaanya. Kirana duduk lambat-lambat.
“Uuugh…Uuugh. Baik Bang.” Kirana mengatur diksinya.
“Aku juga tidak mengerti Bang. Sebagai junior Abang dan masih kelas I SMA. Aku merasa perhatian Abang selama ini membuat aku semangat belajar.
“Semangat belajar sedang menggebu-gebu. Abang hancurkan dengan kata-kata “teman biasa lagi” itu. Seolah-olah perhatian selama ini akan hilang ya Bang?” Kirana berusaha menyeka air mata yang membasahi pipinya dengan kedua tangannya.
Karim tak mampu meluncurkan redaksinya lagi. Hatinya sudah kokoh untuk memaknai pesan puisi “Menulis Cinta” itu. Bait —Menulis cinta suci ridho-Mu/Mengharap ampunan ghafur-Mu/Menuju berkumpul di surga-Mu/Mengharap ampunan rahmat-Mu—ini meyakinkan Karim bersikap dan memutuskan kedekatannya dengan Kirana.
“Baik Bang Karim. Nggak papa Bang. Terima kasih atas kebersamaan dan perhatian Abang selama ini buat aku. Kirana jalan dulu ya Bang. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Seraya melangkah Kirana pergi menyusuri rel kereta api menuju rumahnya meninggalkan kenangan kurang lebih satu bulan bersama Karim.
“Maafkan Bang Karim ya Kirana,” dengan suara lirih Karim mengiringi langkah kecewa Kirana. Menatap Kirana hingga hilang di ujung jalan kereta api.
“Tuut…Tuut…Tuut…!”
Suasana hening di sekitar Karim pecah seketika. Kereta api wisata Padang Pariaman menuju Kota Padang memutus episode sedih melepas kepergian Kirana tadi. Karim berusaha meneruskan langkah mengenang kebersamaannya dengan Kirana. Karim pulang menuju rumah karena sudah hampir masuk shalat asar. Setelah shalat asar, akan membantu ayah dan ibu mengajar mengaji anak-anak sekitar rumah. (*)
Tentang Penulis
Ali Usman, S.S., M.Pd., Lahir di Padang, 25 Februari 1982. Memiliki satu istri (Gusmardina, S.PdI.) dan empat orang putra dan putri. Putri pertama Alhimmatul ‘Aliyah Radhwa. Putra kedua Abdullah Hazim, Putri ketiga Huriyah Sakhia, Putra keempat Abdullah Hilman. Sehari-hari bertugas sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMP Perguruan Islam Ar Risalah (Islamic Boarding School) Kota Padang Sumatera Barat. Alamat email: aliusman.berbagi@gmail.com. Nomor HP/WA/Telegram: 081363046547. Boleh juga ikuti saya di Facebook: Ali Usman, Instagram: @ali.usman252, TikTok: @aliusman.berbagi, dan di Youtube: Ali Usman Berbagi. Sejak 2012 sampai 2022 ini, penulis sudah ikut menulis menjadi kontributor dalam antologi artikel, cerpen, puisi, pantun, dan gurindam. Beberapa kali terbit cerpen, artikel, dan puisi di koran Singgalang, Padang Ekspres. Terbit di https://scientia.id, https://pks.id, https://harianhaluan.id, https://abuhatiga.blogspot.com, fiksiislami.com, dan lain-lain. Alhamdulillah, penulis juga sudah menulis 3 buku solo/karya sendiri dan 55 buku antologi/karya bersama guru dan murid.
Mengenal Konflik dalam Cerita Pendek
Oleh : Dara Layl
(Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat)
Salah satu fungsi karya sastra adalah sebagai media pendidikan moral bagi pembacanya. Hal ini karena karya sastra bisa menyelusup ke dalam relung hati manusia paling dalam. Dengan kemampuan seperti itu, tidak salah jika karya sastra menjadi sarana pembentukan moral bagi masyarakat. Banyak pendapat tentang apa yang disampaikan di atas, salah satunya Fawziah (2014) dalam tulisannya yang berjudul “Pengajaran Apresiasi Sastra Sebagai Sarana Membentuk Moral Anak Bangsa” menyampaikan bahwa sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.
Pesan-pesan dalam karya sastra penting dan menjadi suatu hal yang akan disampaikan pada pembaca. Hal ini sejalan dengan pendapat Budi Darma, (1984) yang menyebutkan bahwa pesan dalam cerita dinamakan moral atau amanat. Dengan demikian, sastra juga bisa dianggap sebagai sarana pendidikan moral bagi pembaca. Moral sendiri diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tertentu, namun kepentingan moral dalam sastra sering tidak sejalan dengan usaha untuk menciptakan keindahan dalam karya sastra.
Walau ada perdebatan bahwa tidak semua pengalaman mental dalam karya sastra dimaksudkan untuk memberikan pesan moral, namun menurut Djojosuroto (2006), meski moral yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang kita ambil harus seperti tokoh tersebut.
Sebuah karya sastra termasuk cerita pendek sering kali merefleksikan kejadian yang ada di dunia nyata. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Abrams 1976 yang mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra terkadang menyiratkan suatu kehidupan nyata. Realita kehidupan masyarakat menjadi ide penciptaan suatu karya sastra. Hal ini tidak bisa terlepas dari fungsi karya sastra yang memang diciptakan untuk menggambarkan sebuah realitas dari kehidupan manusia. Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan, keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang universal.
Cerita pendek atau cerpen adalah salah-satu karya sastra yang habis sekali duduk yang biasanya terdiri dari satu konflik. Pada edisi kali ini Kreatika menampilkan sebuah cerpen karya Ali Usman dengan judul “Melukis Cinta”. Cerpen ini sangat menarik untuk dibaca karena menyajikan beberapa konflik di dalamnya. Konflik-konflik itu terjalin dalam cerita yang membuat pembaca hanyut di dalamnya.
Menurut Lewis A. Coser (1956), konflik adalah perjuangan atas nilai-nilai dan atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang langka dengan tujuan menetralkan lawan atau menghilangkan saingan. Konflik harus ada di dalam sebuah cerita karena pada dasarnya dari konfliklah cerita bisa dikembangkan dengan menarik.
Konflik muncul apabila kepentingan masyarakat tidak sepenuhnya dapat terpenuhi. Untuk itu, konflik dapat difungsikan sebagai pengontrol bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Namun demikian, konflik akan menjadi kian parah bilamana pemenuhan kebutuhan dan kepentingan tersebut menjadi suatu ihwal yang mustahil.
Konflik dalam cerpen “Melukis Cinta” karya Ali Usman menyangkut pribadi tokoh utama dari segi pendidikan dan juga percintaan. Pendidikan dan percintaan menjadi dua hal yang berbeda, namun di dalam cerita ini dijadikan masalah bagi tokoh-tokohnya.
Cerpen ini sangat memikat pada kalimat pertama dengan menyuguhkan narasi keindahan alam sebagai pembukanya. Kemudian, barulah cerpen ini masuk kepada alur ceritanya. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut ini:
“Terik mentari memancarkan cahaya terang. Panasnya menyibak awan putih di langit biru siang itu. Usai shalat zuhur berjamaah di mushalla sekolah. Karim dan Amin jalan bersama menuju rumah masing-masing.” (Usman, 2024).
Cerpen ini bercerita tantang tokoh utama yang bernama Karim dengan konflik ke mana akan melanjutkan pendidikan serta drama percintaan yang sering dialami oleh kebanyakan anak muda usia sembilan belas tahun atau baru tamat SMA dengan emosi yang belum stabil. Hal ini terlihat jelas dari tokoh Karim yang jengkel karena banyak temannya yang mengambil lintas jurusan dan keinginannya ingin berubah ke arah yang lebih baik.
Jika ditelisik lebih dalam, cerpen ini banyak memberikan pesan-pesan moral dan agama, seperti yakin akan takdir, serta membawa pesan lokalitas yaitu menyinggung istilah “bako” dalam Minangkabau. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
“Bako adalah keluarga pihak ayah dan kemenakan-kemenakan ayah Karim. Adik dan kemenakan-kemenakan ayah sering panggil ayah Karim Uda Mahmud. Ayah Karim penyayang kepada keluarga, terutama kepada Ibu, Karim, Kaisya, dan Akram. Buya Mahmud agak tempramen, sangat marah kalau melihat anaknya tidak patuh dan tidak tepat janji. Sangat tidak suka saat melihat anaknya menangis. Emosinya meledak menumpahkan marah dan menghukum Karim, Kaisya, dan Akram kalau menangis.” (Usman, 2024)
Hanya saja, cerpen ini terasa tidak selesai karena terlalu banyak konflik yang diambil, tetapi konflik itu tidak selesai. Hal ini seperti jurusan apa yang seharusnya diambil oleh Karim? Apakah Karim akhirnya hijrah? Atau Mengapa Karim memutuskan pacarnya dalam waktu singkat? Itu belum terasa tuntas terjawab dalam cerpen ini walaupun tokoh Karim yang digambarkan sudah kuat. Sebagai sebuah cerita pendek yang habis dibaca sekali duduk, seharusnya harus ada penyelesaian akan konflik-konlfik yang sudah dimunculkan itu.
Cerpen ini menyajikan terlalu banyak konflik membuat cerpen terasa terburu-buru. Jika boleh berpendapat, cerpen ini sebenarnya bisa menjadi beberapa cerita yang berdiri sendiri atau bisa juga dijadikan sebagai sebuah novel. Hal ini karena cara penyajian konflik seperti ini akan lebih bagus jika diterapkan dalam penulisan novel.
Selain itu, ada beberapa kesalahan dalam tanda baca seperti tidak menggunakan tanda koma sebelum kata sapaan. Pemakaian sapaan “Bro” di daerah kabupaten rasanya kurang cocok, serta ada kesalahan dalam menggunakan huruf kapital.
Kendatipun demikian, cerpen ini tetap gurih untuk dibaca. Ia bisa menjadi teman untuk mengisi luang para pembaca. Selamat atas lahirnya cerpen ini dan ditunggu semoga cerpen ini bisa menjadi novel. Semangat Pak Ali (begitu penulis menyapa cerpenis ini) selalu semangat dalam menghasilkan karya. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post