Puisi-puisi Santi Puspita Ningrum
Sari Puspa Ningrum
Kemuliaan Al-Qur’an
Di malam 17 ramadan yang arumi
Menjadi saksi peristiwa mulia yang dialami sang Nabi
Dalam gelapnya Gua Hira tanpa lentera
Turunnya wahyu pertama menyuarakan iqra’
Betapa bergetar hati Rasululah
Menerima kalamullah yang mulia lagi indah
Sebagai pedoman hidup manusia lemah
Agar mendapat maghfirah maupun hidayah
Dikala atma terjerat kegundahan
Dikala nurani tergopoh kegusaran
Lantunan Al-Qur’an bagai tetesan air hujan
Hempaskan kegeraman pun alirkan ketenangan
Inilah warisan dari Rasul tercinta
Tiada keraguan akan maknanya
Marilah bertadabbur sebagai bagian keseharian kita
Untuk menjadi petunjuk kedekatan terhadap-Nya
Bojonegoro, 17 April 2022
Ramadan Di Perantauan
Candra teristimewa kini telah tiba
Ladang berkumpulnya amal jariyah berlipat pahala
Tampak berbinar wajah para muslim muslimah
Berbondong membersihkan diri dari dosa dan genangan salah
Tapi kali ini ramadanku berbeda
Di tanah rantau tanpa belai ayah bunda
Yang dengan harap, pulang membawa bingkisan
Sebuah keberkahan ilmu, sebagai benteng pertahanan
Mengais kemuliaan dengan lantunkan ayat Al-Qur’an
Kedua tangan tidak lalai memberi santunan
Salat jamaah tidak henti ditegakkan
Untuk satu tujuan, barokah dari tanah rantauan
Saling menguatkan antar sesama
Agar tiada goyah iman di tengah jalannya
Rupa bahagia tidak bisa diungkap kata-kata
Mengumpulkan aroma kebajikan dengan berpuasa
Bojonegoro, 17 April 2022
Terima Kasih Tuhan
Afsun ranum merah di penghujung senja
Tengah melambai elok pada buana
Menganginkan kabar suka cita
Candra yang dinanti umat manusia
Hati berdesir di bawah cahya purnama
Mendengar riuh gema surau di penjuru semesta
Dengan getar tangan menengadah meminta ampunan
Kurangkai lisan dengan kalam Tuhan yang penuh harapan
Meski anca tidak lelah bertandang
Namun amarah harus dipendam hingga rumpang
Maafkan setiap kesalahan agar mudah dijalani
Niscaya keridhaan Illahi pasti akan menyinari
Dengan sujud simpuh merekah
Menyadari akan dosa dan rasa salah
Terima kasih tidak henti kuucapkan
Mengizinkanku kembali menikmati kemuliaan
Bojonegoro, 17 April 2022
Biodata Penulis:
Santi Puspita Ningrum, lahir di Bojonegoro, 06 Juni 2003. Santi sedang menempuh program S1 Akuntansi di Universitas Islam Malang. Santi sangat menyukai menulis, terutama menulis artikel, puisi, dan cerita pendek. Ingin mengenal lebih dekat, bisa dihubungi di ig @santipuspitaningrum.
Warna-warna Terang dalam Puisi
Oleh : Dara Layl
(Penulis dan Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat)
Puisi bisa dikatakan sebagai do’a ataupun harapan yang disusun melalaui kata-kata yang indah berdasarkan representatif penulisnya pada kehidupan. Selain itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pengertian puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilan tiga puisi karya Sari Puspita Ningrum yang berjudul, “Kemuliaan Al-Qur’an” “Ramadan di Perantauan” dan “Terima kasih Tuhan”
Nurgiyantoro (2010: 272) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan unsur terpenting di dalam sebuah karya sastra, bahasa dalam karya sastra tersebut dapat disamakan dengan cat warna. Dengan kata lain, kata-kata di dalam sebuah puisi bisa menjadi warna yang mewakili sebuah puisi.
Puisi-puisi Sari Puspita Ningrum yang dimuat pada Kreatika edisi minggu ini berisi warna-warna terang yang disusun dengan rima dan irama yang hidup dan menghidupkan. Setiap akhir sajak puisi diakhiri dengan kata-kata yang optimistis dan penuh dengan rasa syukur. /Hempaskan kegeraman pun alirkan ketenangan/ (“Kemuliaan Al-Qur’an”). /Untuk satu tujuan barokah dari tanah perantauan/ (“Ramadhan di Perantauan”). /Hati berdesir di bawah cahaya Purnama/ (“Terima kasih Tuhan”). Pada akhir sajak puisi banyak menggunakan huruf konsonan di akhir kata, tapi tetap menimbulkan kesan dan pesan yang tidak gelap atau tidak suram, seperti kata; /santunan/ /pertahanan/ /ampunan/ /harapan/ /kemuliaan/.
Menganalisis puisi merupakan sebuah aktivitas menafsirkan pesan dan maksud yang diungkapkan penyair melalui sajak-sajaknya agar pesannya sampai kepada pembaca. Pradopo (1988: 68) mengungkapkan bahwa penganalisisan puisi dapat dilakukan dengan cara kajian lapisan norma dan pengalaman.
Pada puisi pertama, “Kemuliaan Al-Qur’an” penulis ingin menyampaikan sejarah turunnya ayat Al-Qur’an yang pertama yaitu surat Al-‘alaq ayat 1-5, wahyu ini diterima di Gua Hira tepat pada 17 Ramadhan dengan perintah pertama yaitu iqra’ atau membaca. Selanjutnya, setelah penyair menyampaikan sejarah turunnya Al-Qur’an, penyair masuk kepada tujuan diturunkan Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk dan media untuk mempererat hubungan dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Hal ini bisa dilihat melalui sajak; /Inilah warisan dari Rasul tercinta/ /Tiada keraguan akan maknanya/ /Marilah bertadabbur sebagai bagian keseharian kita/ /Untuk menjadi petunjuk kedekatan terhadap-Nya/. Pada puisi pertama ini penyair menyajikan warna sejarah yang dalam dan ditutup dengan warna kehidupan yang bisa dijalankan dengan penuh ketaatan dan ketenangan.
Pada puisi kedua, “Ramadan di Perantauan” hal yang sangat menarik dari puisi kedua ini adalah puisi yang bertema perantauan kebanyakan akan menulis hal-hal yang biasanya banyak menyerap kata-kata yang menggambarkan kesedihan dan kesenduan serta kerinduan, namun pada puisi kedua ini warna yang dituliskan bertolak belakang yaitu mengugunakan kata-kata yang berisi harapan, bisa dilihat melalui sajak; /Tapi kali ini ramadanku berbeda/ /Di tanah rantau tanpa belai ayah bunda/ /Yang dengan harap, pulang membawa bingkisan/ /Sebuah keberkahan ilmu, sebagai benteng pertahanan/ /Mengais kemuliaan dengan lantunkan ayat Al-Qur’an/ /Kedua tangan tidak lalai memberi santunan/ /Salat jamaah tidak henti ditegakkan/ /Untuk satu tujuan, barokah dari tanah rantauan/. Tema perantauan yang diambil sangat menarik karena mengambil sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang yang menghasilkan keoptimisan dalam memanfaatkan kegiatan yang bermanfaat.
Pada puisi ketiga, “Terima kasih Tuhan” kita seolah bisa merasakan ungkapan rasa syukur yang dialami oleh penyair yang telah sampai pada suatu tujuan yaitu kemuliaan walaupun sebelumnya banyak hal yang sudah dilalui.
Puisi menjadi sarana bagi seorang penyair dalam menanggapi kehidupan serta sebagai sebuah sudut pandang, secara keseluruhan ketiga puisi yang ditulis oleh Santi Puspita Ningrum memiliki kisah-kisah pendek dengan makna yang dalam yang disajikan dengan warna yang terang, sehingga membuat pembaca bisa merasakan bahwa hidup bisa dijalani dengan kedamaian tergantung bagaimana kita mau melihat dan menulis warna yang mana. Terima kasih Santi untuk puisi-puisinya, ditunggu puisi dengan warna lainnya. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post