Pulang ke Rahim Ibu
Oleh : Amalia Aris Saraswati
Maghrib hampir jatuh, tapi aku masih termangu di bangku peron. Aku baru tiba dari perjalanan Cikarang-Kramat. Bukannya melanjutkan perjalanan ke kontrakan, aku justru memilih duduk di bangku stasiun agak lama. Orang-orang memperhatikanku, seakan aku perempuan muda yang tampak seperti orang linglung, lupa jalan ke rumah daripada terlihat sebagai anak muda yang penuh harapan. Oh, hai! Namaku Lisa. Cukup itu yang kau tahu, Kawan.
Adzan Maghrib bersahut-sahutan, dari masjid ke masjid, dari musala ke musala. Hatiku begitu hampa mendengar seruan salat itu. Aku beranjak ke toilet, mengucurkan air dari kran, minum sebanyak-banyaknya. Lama berdiri di hadapan cermin besar toilet, mengamati wajahnya yang menjadi kusam dan pucat. Sorot mataku juga redup. Orang-orang akan mengira aku ingin segera mengakhiri hidup.
Hari menjadi gelap, aku beranjak dari stasiun untuk pulang ke kontrakan di gang sempit di Rawasari. Dalam perjalanan, aku tak menghiraukan sepatu kets yang seakan menyerah. Sobekan- sobekan kecil serta tapak kaki yang ingin menganga.
Aku bak mayat hidup, tak peduli ingar bingar kendaraan yang padat di jalanan kota besar. Maghrib itu, semua orang ingin segera pulang ke rumah. Mereka saling mendahului, ribut suara klakson dan makian. Apalagi mobil angkutan kota yang menambah riuh suasana. Mereka sering menepi dan berhenti sesuka hati ketika menaik-turunkan penumpang. Klakson dan kernet mereka juga paling ribut.
Aku harus menepi karena hujan mendadak turun dan jatuh bulir airnya seperti ribuan panah menghujam kulit. Sakit. Pemilik warteg membiarkanku berteduh di depan, di bawah kanopi panjang depan bangunan warteg. Suasana makin kacau, pejalan kaki berlarian mencari tempat berlindung, pun pesepeda motor, menepi demi menghindari hujan. Hujan yang jatuh ke atap seng juga membuat suasana semakin ribut. Namun, di antara riuh itu, mengalun lagu dari dalam warteg.
Lisa berhenti hidup, tapi tak juga mati Ia merasa redup
semua mimpinya mati Lisa pergi ke gunung,
ia merasa murung Ia pergi ke Tuhan, ia tak kenal Tuhan
Ia buat rencana pulang ke rahim ibunya
Lagu itu seakan khusus dibuat Jason Patrick Ranti untukku. Aku tetaplah Lisa, di kepala hanya ada diriku, duniaku sendiri. Suasana seramai itu membuatku sebal, merasa sial, merutuk dalam hati mengapa aku harus terjebak di sini. Di dalam kepalaku sibuk bertengkar sendiri.
***
Bencana paling buruk bagi manusia adalah ketika ia tidak tahu harus berbuat apa, tidak ingin apa-apa, tidak tertarik apa-apa dan berhenti berpikir. Ia mati sebelum mati. Ia hidup seperti mayat yang berjalan-jalan.
Akhirnya bencana itu menerjangku, pada gadis berusia seperempat abad. Badai itu tak henti-hentinya menerpa sejak tahun lalu. Kakiku goyah, pertahananku melemah. Badai itu meluluhlantakkan segalanya, terutama jiwaku. Aku terkapar di sebuah ruang yang gelap, dingin dan sepi. Hanya ada aku di dalamnya, tidak ada seorang pun kuizinkan singgah menyapa.
Aku tak ingat dari mana awalnya, tetapi semua meletus di Agustus 2021. Sebulan di Jakarta, aku masih gadis yang periang. Aku merasa bersemangat menyongsong masa depanku yang gemilang. Rencana-rencana besar telah kubuat. Mulai dari organisasi, pendidikan hingga karir. Aku sudah menjabat di organisasi tingkat pusat. Aku akan melanjutkan studi magister, dan karirku, seakan telah benderang di depan mataku. Semua tampak akan berjalan mulus. Tetapi, entah bagaimana awalnya, bencana itu datang padaku.
Di Agustus itu aku harus kembali ke Padang untuk menyelesaikan studi, hanya mengurus berkas untuk wisuda. Tapi sampai di sana, kesehatanku menurun. Awalnya hanya flu berubah menjadi Covid-19 yang tengah melanda dunia. Seolah invisible hand telah membalikkan duniaku dalam sekejap. Aku mengalami stress berkepanjangan, merasa sedih yang mendalam, bahkan hingga percobaan bunuh diri.
Aku tumbang dalam sesaat. Saat itu aku merasa begitu sendirian, tak ada seorangpun yang mampu memahamiku, merasa tidak berguna, tidak berdaya. Mengutuki diriku sepanjang waktu. Hingga semua pikiran buruk itu berdampak pada kesehatan fisikku. Sebenarnya aku malu mengingatnya, menceritakannya. Tapi, tak apalah, Kawan. Kalau tak kepadamu, ke mana aku harus bercerita. Ya, kuingat Maghrib itu dadaku sesak dan anggota badanku terasa kesemutan. Untungnya aku masih bisa memanggil bantuan seorang kawan, Namanya Yogi.
Yogi datang tepat ketika dadaku makin sesak. Tak ada dalam kendaliku, aku mengerang dan menjerit sejadi-jadinya di dalam mobil. Aku panik, begitu takut malam itu kematianku datang. Kepanikanku membuat tubuhku semakin tegang dan sesak napas.
“Ke rumah sakit!” teriakku pada Yogi.
Lalu aku merasakan mobil dipacu kencang. Aku ingat semuanya, kepanikan Yogi, rumah sakit, perawat yang kesal padaku.
“Tempat dia bukan di sini!” kata perawat yang kesal karena aku tak bisa tenang untuk ditangani. Maksudnya, aku harusnya masuk rumah sakit jiwa? Mereka mencium bahwa aku terkena serangan panik karena trauma.
Mereka memasang nasal kanula, berusaha memasang jarum infus, namun aku semakin kejang menolak. Aku menggenggam baju perawat yang langsung ditepisnya. Berusaha menggenggam tangannya yang juga ditepisnya. Sementara napasku semakin sesak, semakin tidak tenang, seperti hewan kurban disembelih. Akhirnya mereka mengeluarkanku dari ruangan, memanggil Yogi untuk menenangkanku lagi. Orang-orang yang kukenal berdatangan, mereka buru-buru menggenggam tanganku.
Beruntungnya, aku tak sampai harus dirawat inap. Pukul 3 pagi, aku mengontak temanku, Nurul Hakiki, dan menceritakan kejadian tadi. Rasanya kedua tanganku masih kesemutan. Nurul merespon dengan sangat baik. Ia mengerti kondisiku.
“Kau butuh support system yang baik, aku dan kawan-kawan di sini akan jadi support system untukmu. Kapanpun kau butuh kami,” katanya.
Ia juga menyarankanku pergi ke professional seperti psikolog atau psikiater. Belakangan, aku baru tahu ternyata Nurul juga mengalami sakit mental, entah apa namanya. Aku menangis untuk Nurul. Sungguh terkejut dan tak menyangka perempuan segarang itu harus mengidap penyakit mental serius. Berupa-rupa obat ia telan demi meringankan gejala sakitnya.
***
Setelah hari itu, aku merasakan suasana hatiku semakin buruk. Aku yang tinggal di kos sendirian, selalu menangis karena merasa kesepian, seolah tidak ada yang peduli denganku. Setiap bangun pagi aku selalu menangis, lalu menelpon banyak orang untuk datang ke kos. Tentu itu sangat mengganggu aktivitas teman-temanku. Aku juga mulai berani menggambar garis-garis di tubuhku dengan pisau dapur.
Bagian terburuknya adalah, aku tak mampu lagi menyelesaikan beberapa revisi dari skripsiku. Padahal, itu penting untuk dicetak dan diserahkan ke kampus. Hari wisuda semakin dekat dan aku tak mampu berbuat apa-apa. Semua begitu gelap.
Menuruti saran Nurul, aku mencoba pergi ke psikiater. Aku tak mampu bercerita banyak karena semua tercekat di tenggorokanku. Dokter membantuku dengan memberikan obat-obatan untuk menetralkan suasana hatiku. Dari sana, aku tahu telah mengidap depresi.
Aku lega sekaligus sedih. God, why me? Dan mungkin Tuhan menjawab, Why Not?. Kawan, sebelum semua bencana ini datang, aku adalah salah satu orang yang peduli dengan isu kesehatan mental. Bahkan aku promotor kesehatan mental, coach di bidang Psycosocial Support Program di organisasiku. Dengan label depresiku, yang mungkin ringan ini, aku jadi tak percaya. Kenapa harus aku yang mengalami? Tuntutan diriku harus selalu positif dan menginspirasi, justru membuatku lebih sakit.
Berbulan-bulan lamanya aku berkonsultasi dengan psikiater, minum obat tiga kali sehari. Di titik terendah itu, aku merasa jiwaku telah mati. Aku tak minat pada apapun yang dulu aku senangi. Semua lebih menyakitkan ketika aku tidak mendapat dukungan yang baik dari keluargaku, rekan kerjaku. Aku merasa tidak punya siapa-siapa lagi dan ingin segera mati saja.
***
Aku merangkum segala respon orang-orang di sekitarku melihat kondisiku. Sebagian mereka menghakimiku. Mereka mengatakan aku kurang beriman.
“Kau kurang ibadah!”
“Itu masalah biasa, tidak perlu dibesar-besarkan! Semua orang pernah depresi kok”
Ya, semua orang mungkin pernah stress, tapi belum tentu depresi. Jangan sok tahu!
“Kau punya semuanya. Kawan-kawan yang banyak, organisasi bagus, pekerjaan. Apa lagi?
Kau harusnya bersyukur, bukan jadi lemah seperti ini!” kata seseorang.
Tapi yang paling menyakitkan adalah respon ibuku sendiri. Beliau malah marah padaku, memarahi dokter psikiater yang menanganiku. Beliau tidak bisa menjadi tempat yang nyaman untuk aku bercerita. Wataknya keras dan sering membandingkan diriku dengan dirinya yang kuat sebagai single parent. Aku jadi makin terpuruk. Aku benci ibuku saat itu.
***
Hujan sudah agak reda, hanya menyisakan gerimis dan selokan yang meluap. Sambil menitikkan air mata, kukemasi pakaianku ke sebuah tas besar. Aku ingin pulang malam itu juga, mencari kereta terakhir ke Purwokerto. Kamelia memergokiku mengemas barang-barang dari lemari.
“Kau mau apa?”
“Aku mau pulang,” jawabku, sambil mengeluarkan dua amplop surat. Kusodorkan kepadanya.
“Ini untukmu, satu lagi untuk Ketum Maya.”
“Apa-apaan ini? Kau kenapa?” Kamelia bingung. Aku tak menjawab.
Ia segera membuka surat yang untuknya. Di sana tertulis bahwa aku meminta izin untuk mengundurkan diri dari organisasi, karena Kamelia adalah ketua bidang. Sedangkan Maya adalah ketua umumnya. Di sana juga tertera, bahwa aku sakit yang dapat mengganggu jalannya organisasi. Sehingga aku ingin fokus pada kesehatan mentalku dulu.
“Ya Allah… Kenapa kau tak pernah cerita?” tanya Kamelia. Air mataku malah mengalir.
Hanya itu yang dapat kuungkapkan pada Kamelia dan Ketum Maya alasanku mundur, sebenarnya ada alasan lain yang tak mungkin kusebutkan pada mereka. Aku merasa dunia organisasi itu bukan tempatku. Di pusat terlalu berbahaya buatku.
Hatiku patah meninggalkan kontrakan itu. Aku berjalan sendiri keluar gang mencapai stasiun. Semua tampak telah berakhir, semuanya hancur. Badai itu telah merusak segala milikku. Aku masih tak percaya harus hidup dengan Bipolar Disorder selamanya. Rasanya aku ingin pulang saja ke rahim ibuku.
Biodata Penulis:
Penulis bernama Amalia Aris Saraswati kelahiran Banyumas, pada 24 November 1994. Meminati cerpen dan puisi sejak kanak-kanak, tetapi baru aktif sejak SMP. Menulis adalah bagian dari memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain. Beberapa karyanya telah terbit di media online. Selain menulis, aktif juga di organisasi sosial kemanusiaan, seperti Relawan ODGJ Banyumas. Bisa dihubingi melalui email (amaliarizky@gmail.com) atau IG: Amaris_sa24 atau FB: Amalia Aris Saraswati. Mari berkawan!
Sastra Bandingan Cerpen “Pulang ke Rahim Ibu” Karya Amelia Aris Saraswati
Oleh: Azwar, M.Si
(Dewan Penasihat Pengurus (DPP) FLP Wilayah Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta)
Sapardi Djoko Damono dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005) menyampaikan bahwa sastra bandingan merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang ada dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh Sante Beuve dalam sebuah artikelnya yang terbit pada tahun 1868. Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul studi sastra bandingan di Prancis.
Dalam sastra bandingan dikenal dua mazhab, yaitu mazhab Amerika dan Prancis. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra bandingan memberi peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis berpendapat bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan sastra dengan sastra.
Wellek dan Warren dalam Endraswara (2011) mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Pendapat ini lebih menekankan bahwa penelitian sastra bandingan harus berasal dari negara yang berbeda sehingga mempunyai bahasa yang berbeda pula. Hal ini sedikit berbeda dengan dengan pendapat Damono (2005) yang menyatakan bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa yang mempuyai bahasa yang berbeda, tetapi sastra bandingan lebih merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja.
Menurut Endraswara (2011) sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah geografis sastra.
Konsep ini mempresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan. Dalam sastra bandingan, perbedaan dan persamaan yang ada dalam sebuah karya sastra merupakan objek yang akan dibandingkan.
Pada Kreatika edisi ini, redaksi menayangkan sebuah cerpen berjudul “Pulang ke Rahim Ibu” karya Amelia Aris Saraswati. Dari judulnya pembaca sudah bisa menebak bahwa cerpen ini ada kaitannya dengan lagu Pulang ke Rahim Ibunya karya Jason Patrick Ranti. Kajian sastra bandingan selama ini memang didominasi oleh Mazhab Prancis dimana para peneliti banyak membandingkan karya sastra dengan karya sastra lainnya. Dalam hal ini contohnya membandingkan sastra dari Eropa dengan kartya-karya sastra dari Asia.
Di Indonesia yang juga banyak dilakukan adalah membandingkan berbagai karya sastra modern dengan karya sastra lama seperti hikayat, dongeng, dan lain sebagainya. Sebagaimana diketahui, banyak sastgrawan modern yang menghasilkan karya sastra terinspirasi dari karya sastra lama yang mereka baca. Hal ini mungkin karena efek keterkaitan dengan karya sastra yang dibaca, kekaguman berlebihan pada sebuah karya lalu menginspirasi untuk menuliskan karya baru.
Hal ini bukan tidak memiliki risiko. Beberapa penulis besar Indonesia pernah dianggap plagiat karena terinspirasi dari karya besar dunia kemudian membuat karya sastra baru versi Indonesia. Menyebut beberapa nama yang sempat dituduh plagiat seperti Chairil Anwar dan HAMKA yang dalam kajian sastra bandingan berterima sebagai karya baru yang dihasilkan karena terinspirasi dari karya sebelumnya.
Kembali ke Cerpen “Pulang ke Rahim Ibu” karya Amelia Aris Saraswati. Sangat jelas penulis terpengaruh oleh lagu “Pulang ke Rahim Ibunya”. Hal ini dapat dilihat pada bagian ceritanya penulis menuliskan sepenggal petikan lagu tersebut sebagai berikut:
Lisa berhenti hidup, tapi tak juga mati Ia merasa redup
semua mimpinya mati Lisa pergi ke gunung,
ia merasa murung Ia pergi ke Tuhan, ia tak kenal Tuhan
Ia buat rencana pulang ke rahim ibunya.
Selain itu penulis juga menyampaikan bahwa “Lagu itu seakan khusus dibuat Jason Patrick Ranti untukku. Aku tetaplah Lisa, di kepala hanya ada diriku, duniaku sendiri. Suasana seramai itu membuatku sebal, merasa sial, merutuk dalam hati mengapa aku harus terjebak di sini. Di dalam kepalaku sibuk bertengkar sendiri.” ( Saraswati, 2023).
Sebagaimana disampaikan di atas, Cerpen “Pulang ke Rahim Ibu” dapat dikategorikan sebagai karya sastra yang terinspirasi dari karya lainnya yaitu lagu. Berdasarkan analisis sastra bandingan, pada Mazhab Amerika, sastra bandingan memberi peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain.
Dalam hal ini kita bisa membandingkan Cerpen “Pulang ke Rahim Ibu” dengan Lagu “Pulang ke Rahim Ibunya” karya Jason Patrick Ranti. Beberapa catatan yang bisa dilihat dari hadirnya Cerpen “Pulang ke Rahim Ibu” adalah pertama, cerpen ini sangat kentara menunjukkan bahwa penulisnya terinspirasi untuk menulis cerpen setelah mendengar lagu “Pulang ke Rahim Ibunya”. Dalam hal ini, cerpenis-cerpenis yang terinspirasi dari lagu tentu bukan hanya Amelia. Banyak penulis yang terinspirasi dari karya seni lainnya kemudian menuliskan cerpen.
Kedua, dari sisi penceritaan kisah “Pulang ke Rahim Ibu” sebagai cerpen karya Amelia diceritakan dalam sudut pandang orang pertama. Penulis berperan sebagai tokoh utama yang menceritakan dirinya yang senasib dengan tokoh Lisa dalam lagu Jason Ranti. Sementara itu dalam lagu “Pulang ke Rahim Ibunya” karya Jason Ranti diceritakan dalam sudut pandang orang ketiga. Lagu itu menceritakan seorang Lisa, tokoh fiktif yang menjadi titik sentral penceritaan dalam lagu tersebut.
Ketiga, cerpen memiliki media yang cukup panjang dibandingkan lagu. Oleh sebab itu penulis memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi cerita sesuai kebutuhan pencerita. Sebagai sebuah cerita baru, cerpen Amelia ini menambahkan kisah “Aku” yang mengalami bipolar disorder. Karena penyakit kejiwaan yang dialami tokoh itu, ia ingin kembali saja ke rahim ibunya. Sama dengan cerita pada lagu Jason Ranti yang menceritakan tokoh Lisa yang lelah menghadapi hidup ingin mengakhiri saja kehidupannya.
Sastra bandingan mampu menunjukkan apa kesamaan dan perbedaan dua karya (baik itu antara karya sastra dengan sastra lainnya ataupun karya sastra dengan karya seni lainnya). Hal ini bermanfaat memperluas wawasan pembaca terkait dengan karya sastra dan bagaimana pengarang menciptakan karya. Sementara itu bagi anak-anak muda yang ingin menjadi penulis sastra bandingan ini bisa menjadi alternatif bagaimana mencari inspirasi untuk menulis karya sastra.
Menulis karya sastra tentu membutuhkan inspirasi yang bisa didadapatkan dengan membaca karya-karya lainnya. Selain itu bisa juga melalui karya-karya film yang ditonton. Bahkan berdasarkan Mazhab Amerika tentang sastra bandingan ini, penulis bisa mendapatkan inspirasi dari buku-buku filsafat yang dibaca. Intinya apapun itu, bisa menginpirasi pengarang untuk menghasilkan karya sastra baru. (*)
CATATAN: Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post