Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Luka Kunikmakti sebagai Jalan Mengakhiri Derita. Seperti Dunia yang Sudah Bosan dengan Ulah Manusia dan Berharap Agar Terompet Israfil, Sangkakala Akhir Zaman Segera Saja Ditiupakan” (Re: dan peRempuan-Maman Suherman)
Kehidupan perempuan menjadi objek yang tidak pernah habis untuk dibicarakan bahkan setelah berbagai pergerakan yang telah dilakukan oleh perempuan. Pada hakikatnya setelah perempuan memiliki suara untuk memilih dalam pemilihan pemimpin negara atau perempuan dapat menduduki posisi yang biasanya hanya diisi oleh laki-laki seharusnya membuat perempuan memiliki keputusan penuh terhadap tubuh dan kehidupannya. Namun, pada kenyataannya perempuan tetap saja dikekang dalam wacana-wacana tertentu yang berkembang di masyarakat, misalnya kata-kata yang sampai saat ini masih sering diucapkan adalah 1) Ngapain sekolah terlalu tinggi, toh perempuan tugasnya di dapur juga atau nanti laki-laki minder mendekati; 2) Perempuan diharuskan menikah pada usia-usia tertentu; 3) Jangan terlalu mandiri nanti terlalu nyaman dengan kemandirian dan nanti-nanti lainya yang mengekang kehidupan perempuan.
Hal di atas terjadi pada perempuan yang memiliki kehidupan dengan situasi normal. Namun, akan berbeda dengan perempuan yang kebetulan memiliki kehidupan dengan situasi yang marginal. Perempuan yang berada pada posisi marginal akan semakin sulit untuk memiliki kebebasan atas kehidupannya bahkan untuk tubuhnya sendiri, misalnya terjadi pada perempuan yang terpaksa terikat dengan kehidupan malam karena tuntutan hidup yang semakin besar dan tidak memiliki pilihan yang lain untuk menopang kebutuhan hidupanya atau bahkan perempuan-perempuan yang sengaja dijebak oleh okmun-oknum tertentu. Mereka yang terjebak akhirnya merasa sudah tanggung untuk keluar lagi dari dunia malam tersebut.
Hal ini yang diungkap Maman Suherman dalam bukunya yang berjudul Re dan peRempuan. Maman Suherman adalah seorang penulis dan jurnalis lulusan Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia. Maman sudah menerbitkan beberapa buku di antaranya, Kisah Gelap Dunia Seleb, Potret Para Pesohor, Notulen Cakeppp, Virus Akal Bulus, dan Re dan peRempuan. Novel Re dan peRempuan hingga saat ini sudah mencapai sembilan kali pencetakan.
Novel yang ditulis oleh pria kelahiran Makasar ini dibagi menjadi dua bab, yaitu Re dan peRempuan. Pada bab pertama menceritakan tentang kehidupan Re:, perempuan yang terjebak di dunia malam. Re: adalah seorang perempuan Sunda dan merupakan keturunan keluarga bangsawan. Namun, dia lahir tanpa diketahui siapa ayahnya sehingga ia sering dimarahi oleh neneknya dan ibunya sering disebut lonte. Kemudian, pada usianya yang masih belia ia juga harus kehilangan ibunya. Ibunya meninggal dalam keadaan memeluk dirinya. Ketika SMA Re: memiliki seorang kekasih anak bupati dan mendapatkan perhatian berbeda dari guru les matematikanya. Akhirnya, Re: hamil dan meninggalkan rumah neneknya karena tidak mau membebani neneknya dan ia memutuskan pindah ke Jakarta.
Perpindahan Re: ke Jakarta ini yang membuat ia dijebak oleh Mami Lani, germo yang dikenal dengan keganasannya, tetapi menggunakan trik untuk memerangkap Re: agar menjadi penghasil uangnya. Ia memberikan kebaikan dengan bayaran sehingga Re: tidak mampu membayar dan terpaksa mengikuti kemauannya. Dengan demikian, Re: berada pada posisi yang marginal dan mengakibatkan ia kesulitan untuk mendapatkan kebebasan bahkan untuk tubuhnya sendiri. Mohanty dalam Walters (2006) menjelaskan bahwa adanya perempuan yang berada pada “dunia ketiga” menyebabkan kesulitan yang lebih besar pada mereka untuk memiliki kebebasan pada diri mereka sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut,
“Rupanya, wajah elok Re: adalah aset buat Mami untuk kelak diperdagangkan. Dana, kata Mami, “Kamu sekarang sudah bisa mulai kerja untuk membayar utang-utangmu, dengan melayani perempuan. Kalau Kamu lari seblum utang-utangmu kunas, mami akan kejar sampai ke mana pun. Bahkan, sampai ke liang lahat akan Mami cari,” ancam Mami, sesaat sebelum Re: pindah ke rumah kos.” (Suherman, 2023: 72)
Dari kutipan di atas terlihat ketidakbebasan seorang perempuan yang berada di ruang marginal, bahkan mereka diancam akan disakiti jika melawan perintah perempuan yang lebih superior. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perempuan tidak hanya mendapatkan opresi dari laki-laki, tetapi juga dari perempuan lain yang memiliki kuasa yang lebih tinggi. Kehidupan perempuan yang berada di ruang marginal dan ruang ketiga akan memiliki tekanan yang lebih besar daripada perempuan yang memiliki kehidupan normal atau perempuan yang memiliki kekuasaan.
Selain itu, perempuan yang berada pada ruang marginal bahkan tidak memiliki kuasa atas apa yang dia miliki sepenuhnya, misalnya Re: yang tidak bisa menjaga anaknya bahkan tidak berani untuk memeluk anaknya. Kehidupan perempuan pada ruang marginal pada akhirnya juga membuat mereka tidak percaya diri dengan diri mereka sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut,
“Gue ini pelacur…,” kata Re: nyaris tak terdengar. “Jangan sampai di tubuhnya melekat keringat pelacur. Peluk dia untukku” (Suherman, 2023: 117)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa perempuan pada ruang marginal tidak hanya mendapatkan opresi dari sekitarnya, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. Padahal, dia seutuhnya memiliki kebebasan terhadap anaknya. Namun, latar belakangnya membuat dia merasa tidak pantas untuk berada di samping anaknya.
Pada bagian kedua perempuan tidak lagi berada pada ruang marginal, yaitu disampaikan tentang kehidupan perempuan yang memiliki gelar akademik tertinggi dan gelar tersebut didapatkan dari luar negeri, yaitu Melur, anak perempuan Re: yang tidak bisa ia rawat. Melur digambarkan menjadi perempuan yang cerdas dan memiliki kebebasan dalam menentukan hidupnya. Ia bisa dengan tegas menentukan apa yang harus dia tahu dan tidak tanpa perlu persetujuan orang lain, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Om… please. Ada yang namanya orangtua biologis, ada orangtua sosiologis. Kalau benar ibu kandungku, Ibu Re:, saya tidak akan pernah mencabut status Ibu Marlina sebagai ibuku. Dia akan tetap dan selamanya jadi ibuku. Orang yang merawat dan membesarkanku. Tapi..” (Suherman, 2023: 189)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa perempuan yang tidak berada di ruang marginal dapat menentukan pilihannya tanpa harus menyetujui permintaan orang lain. Selain kebebasan untuk mengetahui apa yang seharusnya diketahui, ia juga memiliki kebebasan untuk melakukan tindakan apa yang akan dia ambil setelah mengetahui suatu hal, seperti terlihat pada kutipan berikut,
“Lebih baik kita mengenang kebaikan-kebaikan ibuku saja, Om, daripada membicarakan anggota DPR yang tewas itu, yang sudah pasti dibicarakan dan dikenang oleh lebih banyak orang dibanding ibuku” (Suherman, 2023: 320)
Keputusan untuk melakukan sesuatu dapat dilakukan oleh perempuan yang berada di ruang normal. Walaupun ada batas-batas tertentu yang membuat mereka sepenuhnya bebas. Namun, berbeda dengan perempuan yang berada pada ruang marginal. Dengan demikian, dapat diketahui kebebasan kehidupan manusia bukan hanya ditentukan dari jenis kelamin mereka, tetapi juga dipengaruhi oleh kedudukan yang mereka miliki dalam masyarakat.
Discussion about this post