MAMUNG
Cerpen (True Story): Afrizal Jasmann
Ini adalah tentang kepercayaan masyarakat lokal. Sebuah kepercayaan akan sesuatu yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam waktu yang panjang hingga akhirnya menjadi semacam keyakinan yang tidak terbantahkan.
Aku terlahir dan dibesarkan di lingkungan masyarakat pesisir Piaman. Di sini ada semacam kepercayaan bahwa setiap bulan safar tiba, akan muncul sosok makhluk jejadian yang datang dari darek. Badannya besar dan berjalan tegak. Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu yang lebat. Pertama kali mendengar cerita ini sekitar tiga puluh tahun lalu, saat itu umurku baru sekitar enam tahun, aku membayangkannya sebagai seekor beruang rakus pemakan daging yang beringas. Ya, apa pun itu dia bukanlah makluk yang ramah dan jinak. Hingga setiap kali mendengar cerita tentangnya, bulu kudukku berdiri dan sangat ketakutan. Sama takutnya dengan cerita kiamat yang sudah dekat yang sering diwartakan di pengajian.
Siapa dia sebenarnya, lalu kenapa bulan Safar seperti sekarang ini yang menjadi pilihan waktu baginya untuk muncul?
***
“Cepat habiskan nasimu….” Ucap Nenek tiba-tiba kala itu sembari memadamkan api di tungku. “Jangan sisakan sayur kangkungnya. Nanti dimakan Mamung. Kata orang dia sudah turun dari darek.” Sambung Nenek lagi.
Kunyahanku terhenti seketika. Mataku nyalang menyorot tajam menembus dinding. Khayalanku menyasar pada sosok makluk yang sekarang katanya sudah dekat dan siap muncul seketika. Betapa tidak amannya susana di luar rumah pikirku.
“Cepat makannya.” Ucap Nenek sekali lagi, membuyarkan lamunanku. Api ditungku sudah padam. Yang tersisa hanya asap tipis beraroma khas kayu bakar. Nenek sedang memasang palang pintu yang berada di sebelah tungku.
***
Rumah kami sangat sederhana dan terpencil dari keramaian jalan raya. Dinding-dindingnya terbuat dari perpaduan beton tak bertulang di bagian bawah dengan anyaman bilah bambu di bagian atas. Kala itu belum ada listrik dan kompor gas kecuali hanya lampu minyak dan tungku kayu tempat memasak makanan yang kami santap sehari-hari. Ketika waktu makan malam tiba, kami sekeluarga berkumpul di tikar pandan di sebelah tungku itu sembari menghangatkan badan. Di sana ada aku, kakek, nenek, dan sesekali ada paman yang ikut makan malam apabila ia belum sempat pulang ke rumah istrinya setelah seharian berkutat di sawah ataupun ladang. Sungguh suasana yang hangat.
Sehabis makan malam, tidak ada aktivitas lain. Tidak ada ruang keluarga yang terang benderang untuk bermain, tidak ada tivi untuk ditonton. Aku hanya duduk di ambang pintu ruang tengah sembari menunggu nenek membereskan dapur dan piring-piring kotor sisa makan malam, sedangkan kakek, selesai makan sehabis magrib tadi langsung pergi ke surau sebagaimana biasanya. Lama lagi beliau baru akan kembali ke rumah. Seringnya setelah aku tertidur lelap sekitar menjelang tengah malam.
Ucapan Nenek soal -dia sudah turun- tadi masih terngiang-ngiang dalam pikirianku dan tidak bisa hilang.
“Tidurlah dulu, sebentar lagi Nenek selesai.” Ucap Nenek sembari terus berbenah. Aku tidak menjawab apa-apa, tapi beliau tahu pasti jawaban apa yang ada diotakku. “Jadi laki-laki jangan penakut.” Sambungnya lagi.
“Ya, Nenek cepatlah. Aku ngantuk.” Jawabku sembari menguap panjang.
Lelah menunggu, kurebahkan badan di lantai itu. Bayang-bayang Nenek di dinding bagai siluet wayang kulit yang serba lancip kujadikan tontonan pengalih rasa takut yang semula menyelimuti.
“Ferdi, jangan tidur dipintu. Ayo bangun!” Ucap Nenek membuyarkan tidurku yang baru setengah jadi.
Walau terasa penat dan menyebalkan, kubangkit segera dan menyusul nenek menuju ruang tengah, meninggalkan dapur yang telah sepenuhnya gelap itu. Yang pasti, kemana pun beliau melangkah, kuikuti bagai gerbong kereta yang tidak mau lepas dari lokomotifnya. Hingga pada akhirnya wajahku membentur punggung nenek yang berhenti mendadak di ambang pintu kamar.
“Ada apa, Nek?” Tanyaku dengan dada berdegup kencang setelah benturan tadi.
“Duduklah dulu dikursi itu. Biar nenek bereskan tempat tidur.” Ucapnya meleraiku yang selalu mengekor itu. Dibesarkannya nyala lampu minyak yang dari semula telah berada diruang tengah itu.
Aku duduk dengan enggan, berharap beliau tidak pergi jauh-jauh. “Nek…”Ucapku hendak memulai pembicaraan.
“Ada apa?” Tanya nenek sembari mengibas-ngibaskan selembar kain ke atas dipan tempat tidur kami seperti yang biasa beliau lakukan.
“Kenapa kalau sayurnya tidak dihabiskan akan dimakan Mamung? Memangnya Mamung itu siapa?” Tanyaku datar.
“Sssttt…” Balas Nenek. “Jangan disebut-sebut. Nanti kedengaran. Cepatlah tidur.” Mendengar ucapannya itu, seketika kuturun dari kursi dan melompat ke atas tempat tidur.
Kurebahkan badan seketika dan kujulurkan selimut sejauh mungkin hingga menutupi ujung kaki, tapi sayang, rasa kantuk yang semula sempat datang kini hilang karena otakku kembali berputar kencang.
“Nek…” Ucapku lagi, kali ini dengan suara yang sangat pelan.
“Ada apa?” Tanya Nenek yang kini duduk diujung dipan sembari mengurai rambutnya yang telah beruban.
“Memangnya kenapa kalau sayurnya dimakan Mamung?” Tanyaku sangat ingin tahu.
“Karena itu bisa membuat Inik lemah.”
“Membuat Inik lemah?”
“Ya, Inik belang yang selalu menjaga kita.” Jawab Nenek sembari terus mengurai rambutnya. “Setiap bulan safar, Inik akan keluar. Sepanjang malam, sebelum ayam berkokok, ia akan berkeliling kampung untuk menjaga agar mamung jangan sampai masuk.”
“Kalau mamungnya ada?”
“Ia akan mengusirnya.”
“Kalau mamungnya tidak mau pergi?”
“Mereka akan berkelahi. Inik pandai bersilat dan mamung itu akan dikalahkannya, tapi jika ia sampai memakan sayur kangkung yang kita sisakan. Ia akan menjadi kuat dan Inik akan kalah. Karena itu Inik marah.”
“Inikan bulan safar..” Ucapku dalam hati
Krak! Tiba-tiba terdengar jelas suara gemeretak di luar rumah.
“Apa itu, Nek?” Tanyaku seketika, terjaga dari lamunan.
“Ssssttt..” Hanya itu jawaban yang diberikan Nenek.
Krak! Krak!! Terdengar lagi suara gemeretak itu. kali ini lebih jelas dan berulang.
Kupeluk lengan Nenek seketika. Kengerianku semakin memuncak. Pikirku, Mamung benar-benar telah datang ke rumah kami yang terpencil. Sekarang ia sedang mendobrak pintu dapur dan tidak lama lagi akan segera ke ruang tengah, lalu masuk ke kamar tempatku berada.
Tidak ada tempat untuk bersembunyi di rumah yang kecil ini. Kemanapun pergi, tentu ia akan menemukanku dan segera memangsanya dengan beringas.
“Neeek….” Ucapku gemetar.
“Ehm…”Ucap Nenek mendehem. Suatu bahasa isyarat untuk menunjukkan keberadaan kita terhadap sesuatu yang tidak dikenal diluar rumah.
Krak! Kembali suara gemeretak itu terdengar lagi. Namun, kali ini ayam-ayam kami di dalam kandang mulai menggaduh, riuh seperti melihat pemangsa. Suara kotek-koteknya pun ramai menciptakan suasana yang semakin tidak kondusif.
Nenek melepaskan tanganku dan bangkit dari rebahannya namun aku menahannya. Mencegah agar beliau tidak pergi. “Tunggu di sini.” Ucapnya pelan.
“Nenek mau ke mana?” Tanyaku lirih. Ambil perhatian.
“Mungkin musang tempo hari datang lagi hendak memakan ayam-ayam kita. Biar Nenek halau sebentar.”
“Aku ikut…”
“Tunggulah di sini. Di luar gelap. Nanti kamu jatuh.” Jawab Nenek sembari berlalu.
Tidak peduli apa yang diucapkan Nenek, aku segera mengekor di belakangnya begitu dekat. Sesampai di dapur, perlahan beliau mengintip lewat lubang-lubang kecil dinding anyaman bambu.
Di luar, tepat di sebelah dapur kayu itu terlihat sesosok tubuh yang tidak terlalu besar sedang melakukan susatu di depan pintu kandang ayam kami. Sorotan cahaya lampu di tangannya menembak-nembak ke segala arah, termasuk ke dinding dapur tempat kami berada. “Ehhmm..” Ucap Nenek sekali lagi seperti sebelumnya.
“Asni! Asni!” Terdengar suara Kakek di luar rumah. Nenek segera menyalakan lampu minyak dan membuka pintu dapur. “Lupa lagi kau rupanya menutup pintu kandang! Untung tidak habis ayam-ayam itu dimakan musang.” Sambung Kakek sembari menyudahi kerjanya dan masuk ke dalam rumah.”
“Tidak usahalah bicara keras-keras. Cepatlah masuk.” Jawab Nenek pula dengan suara tinggi.
“Ada apa rupanya?” Tanya Kakek sambil membuka jaketnya dan menggantungkannya di dinding.
“Hari sudah larut malam. Tidakkah Ajo lihat ada apa di belakang kandang tadi?” Bisiknya.
“Ah, tidak usahlah kau risaukan soal itu. Sudah tempatnya pula di sana.”
Bulu kudukku merinding hebat. Segera kususul Kakek menuju ruang tengah meninggalkan Nenek yang sedang mematikan lampu minyak di dapur.
***
Cahaya lampu minyak sudah sangat redup, tapi mataku masih sangat nyalang. Batinku bertanya-tanya apa tadi yang dilihat Nenek di belakang kandang ayam.
“Cepatlah tidur. Dia ada di luar…” Bisik Nenek pelan dalam redup itu.
Kraaaak!!
Sekian.
Biografi Narasi Penulis
Assalamualaikum. Saya Afrizal. Suatu nama yang sangat identik Piaman, tanah kelahiran saya. Lahir pada tanggal 15 April 1982 sebagai anak pertama. Selanjutnya saya adalah Afrizal Jasmann. Memulai pendidikan formal dasar di SDN 04 Sintoga (Dulu SDN 18) selama 5 tahun saja. Kemudian berlanjut ke SLTPN 01 Sintoga (dulu SMP Sintuk) selama 2 tahun. Dari sini saya mulai menulis karya sastra/novel pertama saya yang berjudul Hilang Keseimbangan. Karya ini baru saya tamatkan setelah saya pindah sekolah ke SMPN 10 Bandung pada kelas 3. Selama bersekolah di SMUN19 Bandung, saya kembali menulis 3 Novel, beberapa cerpen dan puluhan puisi. Semuanya ditulis manual pada buku tulis berbagai ukuran. Ketika kuliah di STSI Bandung sebagai mahasiswa teater tahun 2002-2007 saya lebih fokus pada karya artistik, namun sesekali masih tetap menulis. Setamat kuliah, saya sempat wara-wiri Bandung-Jakarta untuk bekerja di Trans7 dan Fremantle Media. Sejak pertengahan 2013, saya kembali ke kampung halaman untuk fokus berkarya kriya kayu dan karya sastra sambil membina keluarga. Oktober 2021 lalu saya berkesempatan untuk menerbitkan sebuah novel berjudul Terima Aku Dengan Sederhana lewat penerbit online Guepedia. Sebuah novel yang terdiri dari 5 cerpen dengan tema yang sama, ‘cinta yang sedrhana.’ Terima kasih. wassalam
Mamung: Kearifan Lokal Masyarakat Pariaman
(Ulasan Cerpen “Mamung” Karya Afrizal Jasmann)
Oleh: Dara Layl
(Koordinator Divisi Karya FLP Sumbar)
Pergerusan nilai-nilai lokal budaya masyarakat salah-satunya disebabkan oleh modernisasi yang berdampak pada bacaan-bacaan yang hanya mengangkat isu-isu percintaan. Oleh karena itu, memasukkan unsur budaya dalam sebuah karya sastra, terkhususnya pada cerpen diharapkan dapat membantu melestarikan budaya yang ada di masyarakat sehingga banyak penulis-penulis yang kemudian memasukkan unsur kearifan lokal ke dalam karyanya. Pelestarian lokal budaya itu juga dilakukan oleh penulis cerpen untuk Kreatika pada minggu ini, yaitu Afrizal Jasmann yang mengangkat sebuah kepercayaan masyarakat di Minangkabau (Pariaman), yaitu Mamung, seekor makhluk dengan bulu yang lebat pemakan daging yang membuat bulu kuduk orang berdiri ketika yang mendengar ceritanya.
Sejalan dengan hal ini, Ratna (2011: 92) mengatakan bahwa bentuk kearifan lokal di Indonesia tak terhingga jumlahnya. Kearifan lokal memperkaya khazanah budaya, seperti termuat dalam pribahasa, pepatah, pantun dan motto yang memiliki amanat pesan di dalamnya. Setiap komunitas memiliki kearifan lokal masing-masing, bahan memiliki makna yang hampir sama pula hanya saja disampikan dengan bahasa sesuai daerahnya. Selain itu, Ratna (2011: 93) juga menjelaskan bahwa kearifan lokal termasuk ke dalam peninggalan budayaan yang harus lestari dan eksis di kalangan masyarakat.
Menurut undang-ndang Nomor 32 tahun 2009, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dengan kata lain, kearifan lokal bentuk menyikapi dan melestarikan potensi nilai-nilai luhur dari suatu tempat. Sikap tersebut secara umum dilakukan secara luas dan turun-temurun oleh masyarakat kemudian berkembang menjadi norma kebiasaan yang pasti, dikenal dengan istilah budaya.
Karya sastra sangat dekat dengan nilai-nilai luhur budaya suatu masyarakat hal ini disebabkan oleh sastra merupakan sebuah cerminan atau refleksi dari kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoggart yang mengatakan bahwa karya sastra selalu disinari oleh ideologi dan nilai-nilai budaya yang diterapkan.
Cerpen “Mamung” karya Afrizal Jasmann yang menggunakan alur maju ini dibuka dengan narasi yang menarik perhatian membaca,” Ini adalah tentang kepercayaan masyarakat lokal.” Yang kemudian ditegaskan pada kalimat pembuka ceritanya dengan menggunakan kalimat yang bernada pertanyaan “Siapa dia sebenarnya, lalu kenapa bulan Safar seperti sekarang ini yang menjadi pilihan waktu baginya untuk muncul?” Narasi pertanyaan yang digunakan dalam cerpen menambah rasa keingintahuan pembaca.
Selanjutnya, cerpen ini memulai ceritanya dengan cara yang menarik, di mana tokoh utama yaitu “Aku” sedang makan dan ditemani oleh neneknya, tokoh “Aku” yang digambarkan sedang memakan sayur diminta untuk menghabiskan sayurnya karena Mamung yang dipercaya sebagai seekor makhluk akan datang ke desa mereka.
Selain Mamung, ada juga sebuah sosok yang dipanggil sebagai Inik yang diceritakan sebagai sosok yang menjaga kampung dari Mamung. Jika Mamung memakan sayur maka Mamung menjadi kuat sehingga dapat mengalahkan Inik sehingga setiap penduduk yang sedang makan diperintahkan untuk menghabiskan sayurnya. Cerita ini dilanjutkan pada malam hari di mana tokoh “Aku” yang takut tidur karena mengingat cerita si nenek serta ditambah kejadian tentang suara-suara gemeretak, ayam-ayam yang terus meribut dan dilanjutkan dengan dialog penutup cerpen, “Cepatlah tidur. Dia ada diluar…” Bisik Nenek pelan dalam redup itu.
Cerpen ini disajikan dengan sangat menarik dengan membawa unsur-unsur lokalitas Minangkabau. Hanya saja ketika membaca cerpen ini terasa tidak lengkap dan menggantung karena cerita yang disajikan terasa tidak utuh dan belum selesai. Banyak hal yang jadi pertanyaan pembaca. Salah-satunya alasan muncul Mamung hanya di bulan Safar tidak dijelaskan. Apakah Mamung adalah makhluk yang jahat? Sebenarnya makhluk apa Inik itu? dan sebagainya. Jika diceritakan lebih detail dan lengkap, tentu akan menambah kemenarikan dan keeksotisan cerpen ini.
Selain itu, sebuah karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang tetap memperhatikan penulisannya walaupun sifatnya tidak baku, di mana penulisan kata-kata yang sesuai dengan kaidahnya akan menambah ketertarikan pembaca untuk melanjutkan membaca sebuah karya. Di dalam cerpen Mamung ini ada beberapa kesalahan penulisan seperti kata-kata: ditunggku, diambang, kesurau, kerumah, didinding, keatas, diujung, dll (sudah diedit). Penulisan imbuhan di- dan ke- itu seharusnya dipisah dengan nama tempat yang mengikutinya.
Sekali lagi sebagai sebuah karya sastra, cerpen “Mamung” Karya Afrizal Jasmann sangat menarik untuk dibaca dan dikaji apalagi jika dituliskan secara lebih lengkap dan detail.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post