Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Di media sosial kerap dijumpai kata ‘betina’ untuk menyebut perempuan. Sebutan itu biasanya muncul dalam komentar yang membahas sekelumit persoalan perempuan. Misalnya dalam menanggapi stereotipe perempuan dengan jawaban ‘terserah’ bila ditanya mau makan apa. Ujung dari komentar bisa saja berbunyi, “Maumu apa, sih? Dasar betina!”
Bila merunut arti dalam kamus, ‘betina’ berarti ‘perempuan’ (biasanya dipakai untuk binatang atau benda). Pengertian lainnya dari kata ini ialah ‘pasangan’ (bagi binatang jantan). Berdasarkan arti dari kamus tersebut, keduanya mengarah pada jenis kelamin yang dimiliki oleh binatang maka tidak heran bila sebagian orang tidak berkenan dengan sematan kata ini untuk perempuan.
Penyematan kata ‘betina’ seolah melecehkan dan merendahkan. Kata itu pun kerap muncul dari seseorang yang kurang menyukai sikap atau tindakan tertentu dari perempuan (tanpa memandang sisi positif dan negatifnya). Misalnya untuk mengomentari aktivis yang getol bicara soal kesetaraan gender. Bagi mereka yang menolak kesetaraan, perempuan itu bisa saja dilabeli dengan ‘Betina Ribet’.
Boleh setuju boleh tidak, penyebutan ‘betina’ kepada perempuan agak menjurus pada tindakan misogini. Kata ‘betina’ biasanya digunakan untuk menghujat, menyudutkan, dan meremehkan perempuan. Sebaliknya, jarang ditemukan kata ‘jantan’ untuk menghujat dan menyudutkan laki-laki. Kata ‘jantan’ justru bermakna positif dan berupa pujian dengan arti gagah dan berani.
Misogini merupakan kebencian terhadap perempuan. Seseorang yang berpotensi misogini tidak hanya laki-laki, namun juga perempuan itu sendiri. Oleh sebab itu, dikatakan misogini tidak bias gender. Tindakannya pun tidak melulu berupa pelecehan dan kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk verbal seperti penyebutan ‘betina’ pada contoh kasus sebelumnya.
Seseorang yang menganut pemikiran misogini memandang perempuan dengan rendah hingga sampai pada tahap benci, misalnya pendapatnya tidak didengarkan karena di hadapan misoginis perempuan itu lemah akal. Contoh lainnya, perempuan dipandang sebagai objek yang hanya harus manut tanpa boleh membantah karena di hadapan misoginis perempuan itu tulang rusuk yang bengok. Pemikiran serupa inilah yang kemudian dapat berujung pada tindakan yang lebih ekstrem, seperti pelecehan verbal, kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga pembunuhan.
Kajian gender dan Islam pun menyinyalir bahwa hadis-hadir tertentu bernuansa membenci perempuan. Hadis-hadis ini kemudian disebut “hadis-hadis misogini”. Hadis yang dimaksud di antaranya: perempuan yang disebut tulang rusuk laki-laki, kurangnya akal dan agama perempuan, dan perempuan penghuni neraka terbanyak. Tidak jarang pula hadis-hadis tersebut dijadikan senjata untuk menyudutkan perempuan. Pemahaman yang terlanjur keliru soal hadis-hadis itulah yang berusaha diluruskan oleh aktivis gender dan Islam hingga kini.
Akibat dari pandangan misogini tidaklah main-main. Pandangan ini membuat perempuan rentan mengalami pelecehan dan kekerasan. Seorang misoginis menyalurkan kebenciannya dengan cara menghina, memukul, memerkosa, membunuh, dan perbuatan apa saja yang dapat membuat pelaku merasa puas. Menyebut perempuan dengan ‘betina’ adalah salah satu contoh kecil yang tidak bisa dinormalisasi begitu saja.
Discussion about this post