Oleh: Armini Arbain*
Baru saja aku duduk melepas lelah setelah memberi penyegar pada wajah seorang ibu yang facial, Hp-ku berdering. Dengan malas kulirik Hp yang ada di pangkuanku. Ah, ternyata dari mama. Dengan mata setengah mengantuk, kuangkat dan kuucapkan salam pada mama. Dari ujung sana kudengar suara mama menjawab salamku dan kemudian mama langsung berujar “ Nak, sore ini tolong pulang agak cepat ya.” Mendengar permintaan mama itu aku langsung bertanya, “ada apa Ma, kok harus pulang cepat?”
“Iya, mamakmu, Mak Udin ingin bicara denganmu, tentang masa depanmu.” jawab mama. Mendengar ucapan mama, aku terkejut namun dengan sopan aku menyanggupi permintaan mama. Aku yakin kalau Mak Udin akan membicarakan jodohku. Karena hal itu sudah dikatakan mama seminggu yang lalu. Aku sangat menghormati Mak Udin karena sejak papa meninggal sepuluh tahun yang lalu, Mak Udin, kakak mamalah yang membantu kehidupan kami.
Mak Udin tidak hanya memenuhi kebutuhan materi kami, tetapi juga sering memberi kami nasihat agar menjadi manusia yang berakhlaktulkarimah. Ia memberi nasihat dengan lemah lembut dan bahasa yang santun. Belum pernah aku mendengar ia berkata keras apalagi membentak, walau terkadang aku adikku melakukan kesalahan.
Setamat SMU, aku ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi namun menyadari tingginya biaya masuk kuliah aku memutuskan untuk masuk les salon saja. Aku ingin bisa membantu biaya kuliah Dina kalau ia telah tamat SMU nanti. Keinginanku disetujui olah mama dan Mak Udin. Mak Udin juga menyanggupi membiayai les salonku.
Tiga bulan aku les, aku langsung bekerja di sebuah salon di komplek perumahan yang tidak jauh dari rumahku. Kak Susi pemilik salon sangat ramah. Walaupun usia Kak Susi sudah dua puluh delapan tahun, ia belum menikah. Kak Susilah yang menuntunku untuk dapat bekerja dengan baik. Kami bekerja dengan profesional sehingga pelanggan salon itu makin hari makin ramai.
Sorenya, ketika aku sampai di rumah. Mak Udin dan mama telah menungguku di ruang tengah. Seperti biasa, dengan suara yang lembut, tapi tegas Mak Udin mengatakan bahwa aku dijodohkan dengan seorang laki-laki yang bergelar sarjana dan bekerja di sebuah perusahaan. Dari HP-nya Mak Udin memperlihatkan gambar seorang laki-laki. Dalam penglihatanku, laki-laki itu cukup ganteng dan terkesan lembut.
Walaupun aku belum mengenalnya, karena yang menyodorkan adalah Mak Udin, aku tak mampu menyanggah keinginannya. Tampaknya mama juga menyetujui perjodohan itu. Tak beberapa lama, tampa halangan, pernikahan pun digelar dengan sederhana namun meriah.
Kulihat Mama dan Mak Udin amat bahagia. Aku juga juga bahagia. Namun, tidak demikian dengan Uda Doni, kulihat ada kegugupan di matanya. Dalam hati aku berkata bahwa wajarlah seorang laki-laki gugup memasuki gerbang perkawinan karena tanggung jawabnya besar. Ia bertanggung jawab dunia akhirat akan istri dan keturunanya kelak.
Malamnya, kami memasuki kamar pengantin. Suamiku memegang kedua tanganku dan berjanji akan membahagiakan aku. Ia mengecup keningku dengan lembut sambil mengatakan kalau ia sangat lelah dan ingin tidur. Aku mengangguk dan menyuruhnya tidur. Aku paham, aku juga sangat lelah dan mengantuk setelah seharian melaksanakan acara pernikahan. Aku rebahan di sebelah suamiku. Esok paginya, ketika aku bangun, suamiku telah berangkat ke masjid untuk subuh berjemaah. Aku senang, ia lelaki yang sholeh.
Esok malam, aku benar-benar telah siap menerima suamiku. Aku ingin melaksanakan tugasku sebagai istri. Aku sengaja memakai baju tidur yang transparan dan memakai harum-haruman yang merangsang. Uda Doni menatapku dengan kaku dan lalu mengatakan kalau kepalanya pusing. Mendengar keluhannya aku langsung menawarkan untuk memijitnya. Namun, ia melarang, ia tidur saja. Lagi-lagi kubiarkan ia tidur dan iapun membelakangiku.
Seminggu berlalu, suamiku tetap belum menunaikan tugasnya sebagai seorang suami. Aku heran dan bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi dengan suamiku. Ketika ia mengatakan kepalanya pusing, sengaja kuraba keningnya dan tanpa sadar aku mengelusnya. Ia menatapku dan aku mendekatkan wajahku ke bibirnya. Ia menciumku dengan lembut. Aku terangsang dan memeluknya. Ia juga memelukku namun tidak ada kehangatan rasanya amat hambar. Gairahku hilang dan aku pun tidur membelakanginya.
Setelah seminggu cuti, kami pun mulai beraktivitas seperti biasa. Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari kantor suamiku. Namun, agak jauh dari salonku sehingga untuk ke salon, aku diantar jemput suamiku. Aku mulai memusatkan perhatian pada pekerjaan. Namun, pada waktu senggang kucari informasi tentang kehidupan suami istri di internet. Kucoba mempraktikkan nasihat dan cara yang kudapatkan. Sesuai dengan nasihat yang ada, aku lebih agresif untuk merangsang suamiku. Namun, hasilnya nihil. Malah suamiku seperti orang ketakutan dan menarik diri.
Esoknya, kuubah strategiku. Aku merayunya dan memberikan sentuhan halus dengan lemah lembut kucoba untuk mendekatinya. Ia membalas pelukan itu, namun tetap tidak memiliki gairah. Aku benar-benar bingung, marah dan kecewa. Namun aku tetap bersabar dan berdoa pada Ilahi agar semuanya teratasi. Aku menyimpan derita ini sendiri. Aku tidak mungkin bercerita pada mama apalagi pada orang lain.
Tiga bulan sudah usia perkawinanku. Keadaan tidak berubah. Siang hari kami tetap bercengkerama, bekerja, dan beribadah. Kami selalu shalat berjemaah dan habis magrib, suamiku membaca Al Quran. Ternyata suaranya merdu dan tajwidnya juga bagus. Aku senang mendengarnya. Setelah itu, ia akan membaca buku agama.
Suamiku tidak pernah membiarkan aku melakukan pekerjaan rumah sendirian. Baik memasak, mencuci, maupun membersihkan rumah. Bahkan ia lebih telaten dariku dalam merapikan rumah. Ia pun pintar memasak. Banyak resep masakan baru yang diajarkannya padaku. Aku benar-benar dimanjakan. Semua pekerjaan yang biasanya dilakukan perempuan dapat diselesaikannya dengan baik. Namun, jika malam tiba, suasana kehampaan mulai menggerogotiku. Ia akan tidur pulas memunggungiku. Aku mulai berpikir, mungkin suamiku seorang homo. Lelaki yang hanya menyukai jenisnya. Kuperhatikan beberapa sifatnya memang mengarah pada sifat seorang homo atau gay. Beberapa pertanyaan muncul di kepalaku. Kalau ia homo, mengapa ia mau menikahiku. Kulihat ia sangat alim tapi mengapa ia melakukan suatu yang terlarang dalam agama dan adat? Kepalaku pusing memikirkan semua itu. Untuk mengurai masalah itu, aku memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan suamiku.
Suatu pagi di hari minggu, ketika kami bersantai di ruang tamu, kuberanikan untuk bertanya padanya. Mendengar pertanyaanku suamiku terkejut luar biasa. Ia ternganga, keringat dinginnya mulai bercucuran dan tanpa kusangka ia menghambur ke tempatku dan memegang tanganku seraya berkata “Maafkan aku Andini, aku salah dan aku telah menyiksa hidupmu”. Tak sabar aku mendengar jawaban dan kukejar ia dengan bertanyaan yang bertubi.
“Jadi, Uda memang penyuka sesama jenis, lalu mengapa Uda menikah? Uda tahu kan kalau perbuatan Uda sangat dibenci Allah. Uda tidak takut dilaknat Allah? Ingatlah, azab Allah sangat pedih”. Kulihat ia makin tergugu, ia minta aku mendengarkan pengakuannya. Dengan terbata-bata, ia mengawali ceritanya.
“ Perbuatan terlarang itu terjadi sejak aku kuliah. Aku satu kamar dengan mahasiswa teknik. Usianya dua tahun di atasku. Ia gagah dan maco. Ia selalu memperhatikan dan melindungiku. Akupun sangat menghormatinya. Namun, suatu malam ketika hujan turun dengan deras, aku kedinginan dan menggigil. Ia meraba keningku yang panas. Kemudian rabaan itu berubah menjadi belaian. Tanpa kami sadari kami telah berpelukan dan berciuman dengan hangat. Sejak itu, kami tidak pernah berpisah”.
Aku tenganga mendengar penjelasannya, lalu menyela ceritanya.
“Sampai kini Uda masih berhubungankah, untuk apa Uda menikah?”
“Tidak. Setelah ia tamat. Ia pulang ke kampungnya, aku ditinggalkan begitu saja. Aku terpukul dan mencari penggantinya. Aku telah berganti pasangan beberapa kali dan aku menikmatinya sehingga aku tidak berpikir untuk menikah. Sampai pada suatu hari kakak sulungku mengetahui keadaanku. Ia marah dan sangat kecewa. Ia minta dipertemukan dengan pasanganku. Dengan tegas kakakku menyuruh kami untuk kembali ke jalan yang benar. Ia menyitir berapa ayat Al Quran untuk menyadarkan kami. Ia juga menjelaskan akibat perbuatan kami terhadap kesehatan kami. Kami menyadari kesalahan itu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Kakak mengirim pasanganku itu ke Samarinda untuk bekerja di sebuah perusahan kenalan kakakku. Dan aku dijodohkan denganmu”.
“Jadi aku hanya tempat pelarianmu?” tanyaku memintas. Tangisku mulai pecah.
“Bukan, aku memang menyadari kesalahanku. Aku memang berniat untuk mengubah jalan hidupku. Aku berusaha untuk melupakan semuanya dan berjanji untuk membahagiakanmu. Aku sudah bertaubat. Aku telah berusaha, namun aku minta maaf sampai hari ini aku belum bisa memenuhi kewajibanku sebagai suami. Bantu aku untuk keluar dari kemelut ini, aku akan berusaha sekuat tenaga”.
Tak mampu aku menahan tangis, hatiku berkecamuk, marah, kecewa sedih dan bahkan aku membenci Mak Udin yang telah menjodohkanku. Mengapa Mak Udin tidak menyelidiki latar belakang orang yang akan dijodohkan denganku. Namun melihat kesungguhan suamiku untuk berubah dan keluar dari kemelut itu, aku berjanji untuk membantunya. Sejak itu, kami berusaha mencari jalan keluar. Kami berkonsultasi dengan psikolog dan juga psikiater. Setahun lamanya, usaha itu mulai membuahkan hasil. Suamiku mulai bergairah jika kami bercumbu. Namun untuk menunaikan kewajibannya, ia belum mampu.
Namun petaka muncul. Suatu pagi aku melihat suamiku menerima telepon dari seseorang dan ia membuat janji untuk bertemu sore itu. Aku tidak menghiraukan percakapan itu dan pergi bekerja seperti biasa. Hari itu pengunjung salon cukup ramai sehingga aku tidak bisa beristirahat. Aku sangat lelah dan melihat pengunjung mulai sepi sehabis salat asyar aku pamit untuk pulang.
Sampai di rumah, kulihat motor suamiku ada di depan rumah. Artinya, ia telah pulang duluan. Ketika aku mau masuk rumah pintu depan terkunci. Aku mengira suamiku tidur dan aku tidak memanggilnya. Aku ingin masuk melalui pintu dapur. Namun, begitu aku meliwati kamar samping aku mendengar suara orang terengah-engah. Aku mengintip melalui jendala kamar. “Astagfirullah”, jantungku terasa berhenti berdetak, aku melihat suamiku sedang bermesraan dengan seorang pria. Aku masuk sambil berteriak histeris
“Biadab, laknat.” Hanya itu yang keluar dari mulutku kemudian aku terhenyak di lantai, tidak sadarkan diri. Begitu aku siuman, aku telah berada di tempat tidur. Kulihat suamiku sesegukkan. Tanpa bicara, aku mengemasi pakaianku dan pergi ke rumah mama. Suamiku mengejar dari belakang, aku tak peduli.
Melihat aku datang tergopoh dan berurai air mata, mama cemas dan memberi aku segelas air putih. Setelah itu, baru mama bertanya apa yang terjadi. Dengan emosi, aku menceritakan semuanya pada mama. Mama terperanjat karena selama ini ia tidak pernah tahu dengan kondisi rumah tanggaku. Mama tidak pernah menduga kalau aku masih perawan. Setahun lebih kami menikah dan belum dikarunia anak, mama hanya berprasangka baik. Tak pernah terlintas dalam pikiran mama kalau sebenarnya menantunya adalah seorang penyuka sesama jenis yang kini disebut orang dengan LGBT.
Malamnya, sehabis isya Mak Udin datang tergopoh. Aku yakin, mama yang meminta. Melihat Mak Udin datang, emosiku memuncak, aku menyalahkan Mak Udin mengapa menjodohkan aku dengan laki-laki yang homo itu. Mendengar penyesalan itu, Mak Udin terperangah. Ia tidak pernah menyangka kalau laki-laki pilihannya itu adalah seorang gay. Dari matanya kutangkap kalau Mak Udin terluka dan merasa bersalah. Ia menyabarkanku dan berjanji akan membicarakannya dengan suamiku.
Esok malam, Mak Udin masuk rumah dengan muka yang marah padam karena ia baru saja menyaksikan pengkhianatan suamiku. Mak Udin bercerita. Pukul lima sore Mak Udin sengaja menemui suamiku. Sampai di kantor suamiku, ia melihat sepeda motor suamiku masih ada di parkiran kantor. Mak Udin pun masuk. Begitu ia masuk kantor, suasana telah sepi. Hanya satu ruangan yang pintunya masih terbuka sedikit. Mak Udin mencoba menguakkan pintu itu, tapi ia mundur dengan cepat. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Ia melihat dua orang pria yang sedang berpelukan. Mak Udin yakin itu adalah suamiku. Hatinya mengelegak dan ia menendang pintu dengan keras sehingga kedua laki-laki itu sadar dan melepaskan pelukan mereka. Suamiku lansung minta maaf dan mengatakan bahwa temannya akan berangkat ke Samarinda makanya mereka saling berpelukan. Mak Udin tidak percaya begitu saja sehingga setelah lelaki itu pergi, Mak Udin memarahi suamiku. Cerita Mak Udin membuat aku semakin membenci suamiku dan ingin menyudahi perkawinan itu. Mama juga menyetujui keinginanku.
Walaupun Mak Udin setuju aku bercerai dari suamiku, sebagai mamak ia tidak bisa memutuskan sepihak sehingga ia membicarakan kejadian itu dengan kakak suamiku. Kakak suamiku lansung memarahi adiknya dan menyuruhnya menyemputku serta minta maaf. Beberapa kali suamiku datang ke rumah mama, aku tak mengcuhkannya. Hatiku terlanjur sakit. Luka dihatiku tak akan mungkin diobati.
Aku tidak tahan menanggung beban sendiri dan kuceritakan semuanya pada Kak Susi. Kak Susi yang selama ini kulihat sangat bijaksana hanya terdiam. Sore itu, kak Susi menghiburku, ia membelai rambutku, aku terisak dibahunya. Dadaku terasa damai dalam pelukan Kak Susi, aku peluk ia dengan erat dan ia membalasnya dengan gairah. Aku terlena dan tanpa kuketahui ia melumat bibirku. Apa yang kuinginkan dari suamiku dipenuhi oleh Kak Susi.
Tanpa kami sadari ada seseorang yang masuk ke ruang salon, dengan terkejut kami melepaskan pelukan. Belum sempat kami melihat sosok itu kami dengar hantaman di kaca salon dan pecahan kaca berserakan di lantai. Aku lari keluar, kulihat ada laki-laki yang berlari menjauhi salon dan aku yakin itu adalah Mak Udin. Ada darah berceceran di lantai, pasti darah tangan Mak Udin yang luka. Luka itu sangat perih namun yang lebih perih adalah luka yang ada di hati Mak Udin. Aku hanya ternganga.
Padang, Juli 2024
* Penulis adalah Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Discussion about this post