Cerpen: Nayla Annakamiko
Kau tidak sendiri karena aku ada untukmu di sini
Genggam tanganku kita lewati ini bersama
Alyana seolah melihat salah satu youtuber favoritnya mengulurkan tangan padanya.
Ingin rasanya ia menyambut uluran tangan itu untuk meyakinkan bahwa dirinya benar-benar tidak sendiri.
Akan tetapi, Alyana sadar sosok itu tidak nyata.
“Lagu berisik itu bukannya makin bikin sakit kepala, Al?” Komentar Papa yang masih menyetir di sampingnya.
“Memang, tapi lagu ini yang paling pas dengan keadaan saat ini,” jawab Alyana menghela napas panjang.
“Jangan sampai frustasi hanya karena tugas kelompok, Al. Kalau lelah, hentikan saja,” ujar Papa.
“Terus, nanti nggak dapat nilai,” balas Alyana.
Kalau bisa pura-pura tidak peduli, dia akan melakukannya. Namun jika begitu, mungkin saja tugas kelompok ini tidak akan selesai.
“Terkadang, ada saatnya kamu harus yakin bahwa mereka yang butuh kamu. Bukan kamu yang butuh mereka. Berpikir begitu nggak bikin kamu egois. Mereka cuek dengan tugas, kamu harus lebih cuek dengan mereka. Tentang nilai? Tidak perlu tergantung mereka. Kamu antisipasi dan bikin sendiri. Papa tahu kamu jarang bergantung pada orang lain, Al,” kata Papa.
“Pa … Ini tugas kelompok. Itu masalahnya. Kalau mau egois atau bikin sendiri juga bisa, tapi kan nanti jadi terlihat tidak mampu bekerja dengan orang lain. Aspek sosialku jadi terlihat rendah,” ujar Alyana.
“Cuma antisipasi, Al. Sebagai pembaca novel kamu pasti juga tahu pola itu kan? Jika kita kejar, mereka lari. Jika kita menghindar, mereka akan mengejar.”
Kata-kata Papa berusaha sedikit mengalihkan topik pada novel. Papa tahu membahas novel akan sedikit memperbaiki mood Alyana.
“Aku nggak hobi di genre romance loh, Pa. Alur seperti itu mah klasik. Bagusan juga dark fantasy,” komentar Alyana.
“Selera kamu ekstrem, Al, tapi tetap saja kamu tahu pola alur standar novel romance itu kan?” Kata Papa.
“Hm …” Komentar Alyana.
Gadis itu kini asik mencari lagu baru yang lebih tenang untuk melupakan masalah tugas kelompok. Ia memutar salah satu lagu JKT48 yang berjudul Karena Kau Ada Untuk Diriku.
Durasi lagu tersebut cukup lama sehingga Alyana tidak perlu terlalu sering mengganti lagu. Alyana merebahkan dirinya di kursi mobil.
–disaat yang sulit … Kulihat ke belakang … Untuk melihat ke sosok dirimu–
Memangnya siapa? Siapa yang selalu ada untukku? Batin Alyana.
Gadis itu tahu keluarganya selalu ada untuknya. Namun, memangnya mereka mengerti perasaannya? Lagi pula dia tahu bahwa terkadang dengan pikiran yang masih labil, dia lebih sering frustasi untuk hal yang tidak penting dan cenderung cuek ke hal-hal penting.
“Yang mengerti tentang perasaanmu, ya, kamu sendiri.”
Perkataan itu membuat Alyana tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke samping kanan. Papa tidak berada di sana. Gadis itu menyadari bahwa saat ini mobil sedang dalam keadaan berhenti.
Alyana tidak tahu perasaan aneh apa ini, bahkan setelah menyadari bahwa dia sendiri dan mobil terparkir di tempat yang tidak masuk akal. Gadis itu merasakan suatu sugesti yang mendorongnya untuk masuk ke hutan sana. Alyana yakin suara tadi berasal dari hutan tersebut.
Tidak, tidak. Alyana menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ini bukan genre dark fantasy kesukaannya apalagi genre horror yang bahkan sangat jarang dibacanya. Alyana yakin hidupnya biasa-biasa saja tanpa ada hal-hal gaib atau supranatural yang mengikutinya.
Meskipun tahu semua terasa janggal, kaki Alyana tetap melangkah ke dalam hutan. Maniknya menelusuri segala sesuatu di sekitarnya, bahkan meski jantungnya sedikit berdegup kencang, Alyana tetap bisa bernapas normal.
Hey, tidak ada genre horror oke? Malahan udara ini terasa segar dan nyaman. Alyana juga tidak menyangka hutan penuh semak-semak di pinggir jalan, tanpa bunga berwarna-warni pun bisa terlihat indah.
“Sudah cukup tenang Al?”
Suara itu kembali mengambil alih fokus Alyana. Tatapannya jatuh pada seorang gadis lainnya yang sedang duduk bersandar di bawah pohon. Anehnya gadis itu tidak mirip dengannya. Benar-benar mirip. Yang membedakan mereka hanya gaya berpakaian.
“Kamu pasti bermimpi, Al. Tidak mungkin, Al. Ini bukan drama anak kembar yang terpisah,” gumam Alyana pada dirinya sendiri. Gadis itu mengambil ancang-ancang untuk kembali ke mobil.
“Kamu bebas menganggap ini mimpi atau semacamnya, Al,” komentar ‘kembaran’ nya yang mulai berdiri dan menghampirinya. Langkah Alyana terhenti. Terbesit sedikit rasa tertarik untuk mengetahui siapa gadis itu.
“Kamu siapa?” tanya Alyana.
“Namaku Alyana,” ujar gadis tersebut pada Alyana sembari mengulurkan tangannya.
“Jangan bercanda!” protes Alyana.
“Aku tidak bercanda. Hm … karena panggilanmu Al, kamu bisa memanggilku An,” kata gadis itu. Alyana masih tidak habis pikir. Apakah kebetulan seperti ini benar-benar ada? Seorang gadis yang benar-benar mirip dengannya dan memiliki nama persis sama?
“Pertemuan ini bukan sekedar kebetulan, Al. Aku tidak yakin kita akan bertemu lagi dalam waktu dekat. Karena itu, jika kamu punya masalah, kamu bisa cerita sekarang,”
Lagi-lagi perkataan An membuat Alyana membatalkan langkahnya.
“Kamu orang asing. Kenapa aku harus bercerita padamu? Bagaimana aku bisa mempercayaimu?” balas Alyana.
“Orang asing?” ulang An. Gadis itu tertawa kecil, ”Tapi bagiku kamu bukan orang asing, Al.”
“Kita baru pertama bertemu,” kata Alyana bersikeras.
“Aku sudah bilang padamu terserah bagaimana kamu menganggap pertemuan kita ini,” kata An.
“Terkadang Al, bercerita itu akan nyaman kepada orang yang benar-benar mengenalmu atau orang yang tidak mengenalmu sama sekali,”
“Aku …”
Alyana sendiri tidak tahu kenapa dia pada akhirnya menceritakan masalahnya pada An. Segala sesuatu tentang isi hatinya yang sebenarnya diungkapkannya. Sesuatu yang bahkan tidak diungkapkannya pada Papa.
Alyana mempercayai An. Menurutnya gadis itu tidak tahu siapa Alyana atau siapa yang dibicarakan Alyana. Karena itu, An tidak mungkin membocorkannya pada siapapun. Kalau iya pun, mereka bisa kembali berpura-pura menjadi orang asing.
“Yang perlu kamu pahami, Al, kamu itu tidak sendiri. Kamu tahu kan kalau itu tugas kelompok? Karena itu jangan memperjuangkannya sendiri,” kata An.
“Kalau begitu kan nanti malah tidak pernah jadi tugasnya. Mereka tidak peduli,”
“Mereka pasti peduli. Lagipula jangan terlalu serius. Satu atau dua resiko tidak membuat tugas bukan sesuatu yang menakutkan. Toh, pada akhirnya yang akan terkena dampak bukan kamu seorang. Kenyataan bahwa kalian satu kelompok tidak akan berubah. Kalian akan bersama-sama menerima resikonya,” ujar An.
“Jangan sampai kamu gagal menikmati masa putih abu-abu karena masalah seperti ini. Jangan sampai hubungan baikmu dengan teman-temanmu renggang karena tugas kelompok. Tugas kelompok itu seharusnya menyatukan, bukan merenggangkan hubungan. Jadi nikmati saja. Bukankah anak-anak zaman sekarang lebih ahli mengejar deadline?”
Alyana terdiam, tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Semua bantahannya hilang. Apa yang An katakan hampir mirip dengan yang dikatakan Papa.
“Aku tidak tahu apa perkataanmu benar atau salah. Tetapi sepertinya perasaan kesal dan khawatirku secara bersamaan telah hilang,” kata Alyana.
“Aku masih tidak mengerti siapa kamu. Tapi aku harus kembali sebelum Papa khawatir aku menghilang. Tidak ada hal lain yang ingin kamu jelaskan padaku?” tanya Alyana jelas menuntut jawaban atas rasa penasarannya.
“Tidak ada,” An menggeleng. “Kita tidak akan bertemu dalam waktu dekat. Namun kamu akan mengenalku setelah tiba waktunya,”
“Ah benar!” tepat sebelum Alyana benar-brnar menghilang, An berseru pelan. “Jika suatu hari aku kembali dengan cara yang tidak senormal ini, jangan terlalu terkejut,”
Alyana masih tidak mengerti arti ucapan An. Gadis itu kembali ke mobil. Untungnya Papa masih belum kembali. Sepertinya Papa tidak akan menyadari kepergian Alyana dalam waktu yang cukup lama.
Faktor AC yang menyejukkan, Alyana tertidur dan tahu-tahu mereka sudah sampai di rumah. Alyana menjadi lebih ceria dan tidak terlalu kesal. Segala sesuatu tentang tugas kelompok dilupakannya.
Beberapa hari setelahnya, perkataan Papa dan An benar. Saat Alyana berhenti sejenak untuk peduli. Teman sekelompoknya malah lebih menjadi mempedulikan tugas, bahkan tanpa rencana hari itu, tugas video mereka selesai setengahnya.
Dan yang terpenting, tidak ada perasaan kesal.
Mereka bersenang-senang membuat tugas.
Discussion about this post