Asa dalam Aksara
Aku seorang gadis kecil, mungil, dan terkucil
Merengek sedih dalam pedih yang tertindih
Menyanyi sunyi, sendiri tak terperi
Berjalan gontai, lunglai seolah tak pernah usai
Lama…membisu, tergugu, dan membiru
Namun setitik embun mengayun di antara daun
Sebongkah harap, merayap, dan mengerjap
Berbekal tekad, semangat yang menguat
Mengeja aksara, menjelma kata penuh makna
Meniti lembaran-lembaran ilmu, bersikukuh tanpa keluh
Walau duri tajam, meghujam membuat terpejam
Luka itu sama, menganga, dan beraroma
Tapi langkah tak lagi sama, berirama, dan menjelma
Menatap hari berseri penuh mimpi
Melongok mutiara yang tersimpan dan berkilauan
Berlari, menyusuri hari yang tiada bertepi
Meski terhuyung, limbung dan terkatung
Meski terjatuh, rapuh, dan mengaduh
Raga tetap tegar, bersinar, dan tak pudar
Mencerna makna dalam aksara yang terus dieja
Dalam senja, menghiba, dan merengek pada-Nya
Mengemis kasih, merintih, dan meminta
Agar bisa menggapai mimpi dan segala cita
Berbekal tekad baja tanpa lelah mengeja aksara
Hingga perjuangan ini menemukan muara…
Mengeja Aksara Cinta
Cinta…….
Satu kata selaksa makna
Yang kau eja dalam pelukan rasa
Yang kau timang dalam dekapan mesra
Tuk meniti jalan menjemput asa
Cinta…….
Jika kau eja ia pada belahan jiwa
Seketika hatimu merona berbunga
Merasakan aroma kasih yang enggan sirna
Terperangkap dalam balutan kerinduan tuk bersua
Cinta……
Jika kau eja, ia pada ayah bunda
Segala kepayahan mereka perlahan sirna
Merasakan setitik bahagia di dunia
Agar menjadi bekal di akhir sana
Cinta……
Jika kau eja ia pada sesama
Berjuta kehangatan menjalari ruang rasa
Mengaliri denyut nadi dengan buncah gembira
Lekat keyakinan saudara itu ada
Cinta……
Jika kau eja ia pada pewaris bangsa
Mereka akan bersuara lantang pada dunia
Sanggup berdiri tanpa takut terhina
Menebar rahmat pada semesta
Cinta….
Jika kau eja ia pada Baginda Mulia
Sungguh lebih indah dari dunia dan seisinya
Mengenggam sunnahnya dengan sekuat raga
Penuh harap berjumpa di Firdaus A’la
Cinta……
Jika semuanya telah kau eja
Kau mesti tahu kemana ia bermuara
Agar semua cinta abadi dan tak tersia
Kembalikan ia pada Sang Pemilik cinta…
Nyanyian Sunyi Pewaris Negeri
Aura kepongahan memenuhi segenap rasa
Angin keangkuhan menguar semesta
Terdengar nyanyian kesombongan yang membahana
Tiada peduli siapa terluka, siapa terhina
Tahukah engkau wahai jiwa
Tak mudah membuat tanah ini merdeka
Perlu tebusan darah dan air mata
Butuh jiwa-jiwa ksatria dengan tekad membaja
Tahukah engkau wahai jiwa
Kelak pewaris negeri ini akan terluka
Menatap hampa pada dunia
Dengan nyanyian sunyi menyayat hati
Dengan lagu sendu menyentuh kalbu
Dengan senandung lara menyesakkan jiwa
Mereka tak pernah belajar untuk berdiri
Mereka tak pernah belajar untuk mengerti
Mereka hanya tau keangkuhan yang kau ajari
Barulah kelak kau akan tahu
Ketika angin memberikan kabar pilu
Ketika hujan meneteskan rintik sendu
Ketika matahari bersinar dengan ragu
Tapi…, hey! Tunggu!
Nyanyian itu belum sempurna usai
Kau masih bisa menambahkan bait-bait perisai
Mengirim lirik setia dari nyiur nan melambai
Memberi irama peduli pada petikan dawai
Mengakhiri lagu dengan perasaan damai
Tiada sesiapa yang sempurna
Tak mengapa pernah tergulung alpa
Mereka akan mengerti kau pernah kalah tapi tak menyerah
Mereka akan tahu kau telah tiada tapi dikenang mulia
Mereka akan sadari kau telah gugur tapi luhur
Nyanyian sunyi tak selamanya sepi
Akan ada energi pagi menjemput mimpi
Menyongsong hari dengan langkah pasti
Menjemput cita dan cinta hakiki
Bersama membangun negeri
Biodata Penulis:
Amelia, S.E. biasanya dipanggil Bu Amel atau Ustadzah Amel. Guru mata pelajaran IPS di SMP Perguruan Islam Ar Risalah di Kota Padang ini lahir tanggal 20 Februari 1982 di Kota Curup Provinsi Bengkulu. Ia pernah mendapat penghargaan sebagai Guru SMP Berprestasi Tingkat Kota Padang Tahun 2014, 2015, dan Perwakilan Sumatera Barat untuk Olimpiade Guru Nasional (OGN) Tingkat Nasional Tahun 2017. Ia juga Instruktur Nasional mata pelajaran IPS Tahun 2016 dan tahun 2021 dan dianugerahi menjadi Guru Penggerak Angkatan I. Ia dapat dihubungi melalui nomor: 082390782504.
Sajak Cinta untuk Yang Maha Kuasa
Oleh: Dara Layl
(Koordinator Divisi Karya FLP Sumatera Barat)
Merengek sedih dalam pedih yang tertindih
Menyanyi sunyi, sendiri tak terperi
Berjalan gontai, lunglai seolah tak pernah usai
Lama…membisu, tergugu, dan membiru
Waluyo (2005: 1) mengemukakan bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pilihan kata-kata yang kias (imajinatif), kata-kata betul-betul terpilih agar mewakili kekuatan ucapan, walaupun singkat dan padat namun berkekuatan. Sementara itu, Sanusi Pane dalam Atmazaki (2008: 6) menyatakan puisi bukanlah kata yang sembarangan, tetapi musti kata-kata yang keluar dari sukma. Sejalan dengan itu, Samuel Taylot Coleridge dalam Pradopo (2005) mengungkapkan bahwa puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa jantung dari sebuah puisi adalah kata-kata, di mana kata-kata yang lahir dari sebuah pengalaman dan pengalaman panjang dari sebuah perjalanan seseorang yang disusun dengan kata-kata yang indah.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan tiga buah puisi karya Amelia atau Ustazah Amel seorang guru di SMP perguruan Ar-risalah di Kota Padang. Yang berjudul “Asa dalam Aksara”, “Mengeja Aksara Cinta”, serta “Nyanyian Sunyi Pewaris Negeri”. Puisi-puisi Ustadzah Amel ini mengikuti gaya kepenulisan puisi yang puitis terlihat dari susunan kata-kata yang sengaja dipilih yang menjadikan puisi kaya akan keindahan kata-kata. Selain itu, puisi-puisi yang ditulis seperti sebuah sajak cinta bagi Yang Maha Kuasa, terutama pada puisi pertama dan kedua.
Puisi Pertama, “Asa dalam Aksara”, mulai dari sajak pertama tepat di bait pertama kita sudah dibawa pada perasaan dingin akibat rasa sedih yang terdapat pada pembuka puisi: Aku seorang gadis kecil, mungil, dan terkucil/ Merengek sedih dalam pedih yang tertindih/Menyanyi sunyi, sendiri tak terperi/Berjalan gontai, lunglai seolah tak pernah usai/Lama…membisu, tergugu, dan membiru. penggunaan kata-kata “gadis kecil”, “terkucil”, “pedih”, “tertindih” “sunyi” “sendiri” “usai”, “membisu”, “tergugu” dan “membiru” menghadirkan aura kesedihan yang pekat, kita seolah didekap rasa sedih yang tiada akhir. Selain itu, kata-kata ini juga mengandung unsur puitis, dimana Pradopo (2005: 13) mengatakan bahwa karya sastra disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas dan secara umum bila menimbulkan keharuan maka disebut puitis. Bait puisi jelas membawa kita pada keadaan mengharukan.
Setelah dibawa pada perasaan mengharukan, kita seolah diajak berlari cepat menuju suasana yang penuh harapan seperti yang terdapat pada bait: Namun setitik embun mengayun di antara daun/ Sebongkah harap, merayap, dan mengerjap/ Berbekal tekad, semangat yang menguat/ Mengeja aksara, menjelma kata penuh makna/Meniti lembaran-lembaran ilmu, bersikukuh tanpa keluh. Kata-kata dalam bait-bait ini seolah mengingatkan kita bahwa dalam keadaan yang sedih sekalipun kita masih memiliki harapan walau kecil, tapi jika dilakukan dengan penuh semangat akan sangat bermakna.
Pada bait selanjutnya, kita juga seolah diingatkan bahwa di setiap harapan yang kita temukan pasti akan kita temukan rintangan, namun itu tidak akan mengurungkan niat kita, hanya saja pada kata “Meski langkah tak lagi sama” alangkah lebih baik dipisahkan dari bait sebelumnya agar tidak timbul kebingungan pembaca.
Di akhir puisi, kemudian kita menemukan jantung dari puisi: Agar bisa menggapai mimpi dan segala cita/Berbekal tekad baja tanpa lelah mengeja aksara/ dan Dalam senja, menghiba, dan merengek pada-Nya. Dari bait-bait ini, penulis seolah berkata kepada kita bahwa dengan hanya meminta kepada Allah maka tidak ada hal yang mustahil, penggunaan kata “aksara” yang digunakan penulis seolah memberitahu kita bahwa mungkin salah-satu cita-cita penulis adalah dengan benar-benar menjadi penulis atau mungkin juga menulis perjalanan kehidupan yang dilalui.
Puisi “Asa dalam Aksara” benar-benar membawa kita pada banyak keadaan mulai dari keputusasaan, harapan, semangat, rintangan sampai pada menyerahkan semuanya pada Allah. Penulis seperti membuat sebuah dunia dimana kita hanyut di dalamnya, hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Hasanuddin (2002: 34) bahwa sebuah dunia yang diciptakan dan ditiadakan oleh penyair.
Puisi kedua, “Mengeja Aksara Cinta”, seperti puisi pertama, pada puisi “Mengeja Aksara Cinta” ini juga kembali mengingatkan kita bahwa muara dari segala adalah Allah SWT. Namun, berbeda dengan puisi pertama, pada puisi kedua ini suasanya lebih ceria dan membawa kita pada semangat baru dan pemaknaan dari cinta itu sendiri terlihat pada bait puisi: Cinta……./ Satu kata selaksa makna/ Yang kau eja dalam pelukan rasa/ Yang kau timang dalam dekapan mesra/ Tuk meniti jalan menjemput asa.
Suasana menyenangkan dari puisi tidak lepas dari rima. Rima membuat puisi menjadi lebih hidup dan berwarna. Itu tergantung bagaimana penulis membuatnya. Menurut Atmazaki (2008: 76-77), rima adalah persamaan bunyi di akhir kata. Bunyi itu berulang secara berpola dan biasanya terdapat di akhir baris, tetapi kadang-kadang juga terdapat di awal atau di tengah baris. Rima sebuah sajak dilihat pada persamaan bunyi antara baris yang satu dengan yang lain. Rima terdapat pada sajak yang mengutamakan unsur formal sajak (bait dan baris) . Biasanya rima ditandai dengan abjad, misalnya a-b-a-b, a-a-b-b. Uniknya pada puisi ini semua rima yang digunakan adalah a-a-a-a, mulai dari awal sampai akhir puisi:
Cinta……
Jika kau eja ia pada sesama
Berjuta kehangatan menjalari ruang rasa
Mengaliri denyut nadi dengan buncah gembira
Lekat keyakinan saudara itu ada
Cinta……
Jika kau eja ia pada pewaris bangsa
Mereka akan bersuara lantang pada dunia
Sanggup berdiri tanpa takut terhina
Menebar rahmat pada semesta
Puisi Ketiga, “Nyanyian Sunyi Pewaris Negeri” berbeda dengan puisi pertama dan kedua yang lebih bertema religius, maka pada puisi “Nyanyian Sunyi Pewaris Negeri” sangat cocok dengan bulan ini, bulan Agustus yang kental dengan semangat perjuangan. Puisi pertama ini dimulai dengan kata-kata yang membuat kita ingat pada perjuangan di masa lampau, terlihat pada bait: Aura kepongahan memenuhi segenap rasa/ Angin keangkuhan menguar semesta/ Terdengar nyanyian kesombongan yang membahana/Tiada peduli siapa terluka, siapa terhina/Tahukah engkau wahai jiwa/Tak mudah membuat tanah ini merdeka/Perlu tebusan darah dan air mata/ Butuh jiwa-jiwa ksatria dengan tekad membajak. Pada bait-bait ini, kita seolah dibawa pada masa lampau ketika pada pejuang berkorban darah dan air mata untuk kemerdekaan namun berbeda dengan kondisi kita saat ini yang hanya mementingkan diri sendiri. Hal ini juga terlihat pada kata “tiada peduli”.
Jika dilihat dengan saksama, penyajian puisi ketiga ini sama dengan puisi pertama walaupun di awal sampai ke tengah puisi kita seolah dibawa pada keadaan yang suram dan kurang mengenakkan. Namun, menuju akhir puisi kita seolah menemukan harapan baru dan semangat baru. Hal ini menggambarkan bahwa penulis adalah orang yang penuh harapan dan tidak mau lama-lama berada dalam kondisi yang tidak mengenakkan. Mari kita lihat harapan yang ditulis di akhir puisi: Nyanyian sunyi tak selamanya sepi/ Akan ada energi pagi menjemput mimpi/ Menyongsong hari dengan langkah pasti/ Menjemput cita dan cinta hakiki/Bersama membangun negeri. Kata-kata yang disajikan dalam bait terakhir seolah membuat kita lupa akan kesuraman di awal puisi dan bait terakhir ini menjadi penguat.
Bukan hanya itu, puisi ketiga ini juga menyuguhkan kata-kata dengan Rima yang sama sehingga jika dibaca terdengar sangat indah dan memanjakan telinga pendengar, serta mata kita yang sedang membacanya. Bait-bait puitis bisa kita lihat pada bait puisi: Ketika angin memberikan kabar pilu/ Ketika hujan meneteskan rintik sendu/Ketika matahari bersinar dengan ragu/ nyanyian itu belum sempurna usai/ Kau masih bisa menambahkan bait-bait perisai/Mengirim lirik setia dari nyiur nan melambai/Memberi irama peduli pada petikan dawai/Mengakhiri lagu dengan perasaan damai.
Puisi-puisi Ustadzah Amel dalam Kreatika edisi ini bisa kita nikmati sebagai bentuk perenungan, cinta dan juga semangat. Terlebih lagi, kita bisa menikmati kata-kata yang puitis sehingga secara tidak langsung puisi-puisi ini dapat menghibur. Untuk menghasilkan puisi yang lebih kuat, indah dan terus dikenang, tentu harus terus berlatih dan tidak pernah berhenti menulis. Selamat untuk Ustadzah Amel dan ditunggu karya-karya lainnya.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.