Suatu Hari, Suatu McD, Suatu Ironi
jangan kau bicara kesadaran kelas. jangan kau bicara kesejahteraan buruh. jangan kau bicara tentang batas-batas antara apa yang kau butuh & apa yang kau inginkan belaka. jangan kau bicara alienasi. jangan kau bicara tentang keluhanmu pada borjuis muda yang dengan tengiknya tekun flexing di sosial media. jangan kau bicara komodifikasi. jangan kau bicara seperti seorang Yuri yang bernyanyi: Soyuz nerushimy respublik svobodnykh, splotila naveki velikaya Rus’!
jangan kau bicara Komunisme. jangan kau bicara Marxisme. jangan kau bicara Sosialisme. jangan kau bicara Leninisme. jangan kau bicara isme-isme bernada merah. jangan kau bicara Mazhab Frankfurt. jangan kau bicara Revolusi Maret, Revolusi Oktober. jangan kau bicara tentang Fidel yang 638 kali gagal dijagal intel CIA. jangan kau bicara tentang Che yang pada akhirnya mati ditembus peluru sebuah bedil seorang tentara Bolivia.
kau tak bisa bicara hal-hal kidal di suatu hari—di suatu McDonald’s—di sebuah negara dunia ketiga—dengan segunung es krim McFlurry berbau mahal di mulutmu, Macbook Pro di depan kedua mata elitmu, & iPhone terbaru di lengan kanan yang dilengkapi hasrat impulsif berwarna Konsumerisme pada aplikasi Shopee-mu itu, sayangku.
: lebih mudah bayangkan tuhan gabut lantas dengan lekas buat dunia ini kiamat, ketimbang bayangkan sepasang tolol bahas perihal hal-hal kidal di tempat—di keadaan—di mana—kita semua diperkosa sistem ekonomi global yang babi, bajingan, & telah final.
(2022)
Bila Aku Menulis Puisi Bucin
hari itu, sore itu, kita pun mengautopsi
tubuh kebebasan & temukan kesepian.
sedari itu, kausadari—kita, kau & aku
sepasang lebaran—ada kemenangan
dalam namamu & pengorbanan dalam
namaku. tapi kemurungan-kemurungan
kau & aku, tahu: kita sudah kalah—jauh
sebelum kita dilahirkan, & tak ada yang
mesti kita korbankan. & kau tak pernah
berjihad menahan apa-apa. & aku tak
pernah berkorban apa-apa. kita adalah
kata sifat kiamat campur kesintinganmu &
serupa telenovela yang diputar-putar
ketika di luar sana, el niño & la niña
hancurkan batas-batas dualitas:
kekekalan & kesementaraan
kesedihan & kebahagiaan
kesenian & kesusastraan
masalalu & masadepan
mimpi & kenyataan
pikiran & perasaan
matamu-mataku
lidahmu-lidahku
bibirmu-bibirku
kita—kau-aku
bertubrukan.
“que será, será …” kata kita berdua
seraya berdansa-bernyanyi balon kita
ada dua—meletus dalam satu supernova.
(2022)
Bila Aku Menulis Puisi di Bawah Bulan yang Bersinar Tolol
: kesedihan adalah narkotika
golongan satu, yang hanya
dibolehkan untuk keperluan
penciptaan jiwa seni-sastra
narkotika jenis ini, memiliki
potensi yang begitu tinggi
timbulkan ketergantungan.
hari itu, malam itu, kau pinjam pipi kiriku & tumpahkan seluruh sedihmu yang tak pernah sudah itu di pipi kiriku. bibirmu hangat, ya? kataku memecah keheningan. seperti kelahiran kembali, seperti … seorang perantau yang bertemu perantau lain di tanah perantauan—yang pada gilirannya, cair jadi satu dalam titik lebur tertentu, dalam satu kerangka ruang-waktu.
tapi bulan bersinar tolol, & kau dapat lihat aku diam-diam benamkan dua per tiga senyawa utama kecemasan-kecemasanku di dahimu. seribu Schopenhauer mati di situ. seribu Kierkegaard menangis di situ. & sejuta pertunjukan Macbeth selesai di bibirmu.
kita buka jendela. tapi yang terbuka adalah kegelapan kosmik—yang entah berapa juta tahun cahaya jauhnya. kita saksikan masa-masa indah yang tak pernah ada. & bulan masih bersinar tolol, di sana. & kita berciuman seperti ketakutan waktu di hadapan hari kematiannya.
(2022)
Dari Lebaran ke Lebaran
Biodata Penulis:
Moch Aldy MA, lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Seorang Pengarang, Penerjemah, Ilustrator, dan juga Redaktur Omong-Omong Media. Bisa disapa melalui: email-genrifinaldy@gmail.com; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma
Sinis Nakal Penuh Makna
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
kesedihan adalah narkotika
golongan satu, yang hanya
dibolehkan untuk keperluan
penciptaan jiwa seni-sastra
narkotika jenis ini, memiliki
potensi yang begitu tinggi
timbulkan ketergantungan.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat empat buah puisi karya Moch Aldy MA. Keempat puisi tersebut berjudul “Suatu Hari, Suatu McD, Suatu Ironi”, “Bila Aku Menulis Puisi Bucin”, “Bila Aku Menulis Puisi di Bawah Bulan yang Bersinar Tolol”, dan “Dari Lebaran ke Lebaran”. Corak puisi-puisi Aldy cukup berbeda dengan kecenderungan puisi-puisi yang pernah tampil di Kreatika sejak tahun 2020.
Puisi pertama, “Suatu Hari, Suatu McD, Suatu Ironi”, menyajikan ironi tentang perilaku sok bijak – sok idealis – sok peduli yang menjadi gaya orang-orang yang ingin terlihat intelek dan budiman. Gaya ini mucul dalam bentuk topik pembicaraan yang menyinggung isu-isu aktual sambil berkomentar pedas terhadap pihak-pihak terkait dengan menunjukkan keberpihakan pada sisi subordinat sembari menyisipkan opini pengamat yang sering diundang bicara dalam talkshow. Selain kehebatan beretorika, gaya intelek bijak ini juga muncul dalam bentuk aksi-aksi humanis yang menjunjung solidaritas terhadap kaum marginal dan berdiri di posisi korban suatu konflik yang pelik.
Ironisnya tampak ketika sikap bijak tersebut bertolak belakang dengan selera makanan, pilihan pakaian, dan harga tongkrongan yang tidak mencerminkan gagasan perjuangan. Aldy menyentil dengan pedas: ‘jangan kau bicara kesadaran kelas. jangan kau bicara kesejahteraan buruh. jangan kau bicara tentang batas-batas antara apa yang kau butuh & apa yang kau inginkan belaka. jangan kau bicara alienasi. jangan kau bicara tentang keluhanmu pada borjuis muda yang dengan tengiknya tekun flexing di sosial media.’ Semuanya menjadi omong kosong ketika si pejuang keadilan justru berkubang dengan apa yang dia lawan: ‘kau tak bisa bicara hal-hal kidal di suatu hari—di suatu McDonald’s—di sebuah negara dunia ketiga—dengan segunung es krim McFlurry berbau mahal di mulutmu, Macbook Pro di depan kedua mata elitmu, & iPhone terbaru di lengan kanan yang dilengkapi hasrat impulsif berwarna Konsumerisme pada aplikasi Shopee-mu itu, sayangku.’ Puisi di atas begitu telak menyindir orang-orang yang bicara tentang pemerataan kesejahteraan sambil menikmati produk-produk kapitalisme keluaran terbaru.
Meski menyindir, puisi Aldy tetap dapat dibaca dengan enak. Ungkapan-ungkapan yang digunakannya dengan pas memberikan gambaran atas persoalan yang disuarakan, seperti ‘tekun flexing di sosial media’, yang menyinggung masalah jejak digital yang dapat menjadi bumerang dari aktivitas sosial di dalam kehidupan nyata, di samping dapat pula berarti sindiran atas kebiasan wasring time, buang-buang waktu dengan interaksi tak henti-henti dengan gawai. Aldy juga mengganti istilah ‘kiri’ yang telah lazim digunakan untuk menyebut ideologi sosialisme komunis dengan kata ‘kidal’. Pemilihan kata ini memberi pengaruh pada teks puisi sehingga tidak terlalu tendensius. Puisi pun dapat dinikmati dengan santai umpama irama musik rap. Musik rap memang sering digunakan untuk menyampaikan kritik sosial dengan menggunakan rentetan kata-kata berima yang menggelitik.
Puisi adalah misteri yang menggoda untuk dinikmati. Layaknya negeri asing yang baru pertama kali dijejaki, sekalipun punya banyak persamaan dengan negeri sendiri, bentangan pemandangan di depan mata akan memancing perhatian untuk menjelahi, menelisik apa yang serupa dan mencari mana yang belum pernah dijumpa. Pencarian dan penghubungan dengan koleksi pengalaman batin personal akan membentuk pengalaman baru dengan kesan kontekstual.
Secara etimologis, istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Mahayana (2015: 14) berpendapat bahwa puisi bukan sekadar ekspresi perasaan dari suara hati yang terdalam, melainkan pergulatan estetis dan tarik menarik perasaan yang melimpah. Gejolak perasaan tersebut harus dikendalikan dan diintegrasikan pada pemikiran intelektual yang berkualitas. Memaknai pendapat tersebut, puisi tidak hanya memaparkan untaian kata-kata yang tersusun berirama, tetapi memperhitungkan kualitas isi sebagai ekspresi kemampuan intelektual.
Selanjutnya, ada dua buah puisi yang berisi tentang menulis puisi, yakni “Bila Aku Menulis Puisi Bucin” dan “Bila Aku Menulis Puisi di Bawah Bulan yang Bersinar Tolol”. Ada dua topik yang serta merta melintas ketika membaca kedua judul, yakni ‘puisi bucin’ dan ‘bulan yang bersinar tolol’. Puisi bucin yang ditulis Aldy sarat larik-larik romantik yang memabukkan jiwa memikat hati pendengar. Pasangan-pasangan kata yang disusun dengan pola yang sama memberi intensitas terhadap puisi seperti gerakan alur maju menuju klimaks. Namun, sang penyair tetap menyusipkan sejenis cemooh, misalnya klausa ‘kau tak pernah berjihad menahan apa-apa’; kata ‘jihad’ bermakna agung dan suci tetapi digunakan untuk pengorbanan yang sepertinya tidak begitu penting. Larik ‘serupa telenovela yang diputar-putar ketika di luar sana, el niño & la niña’ ini juga menggaruk rasa kepedulian terhadap lingkungan.
Kekuatan Aldy juga terletak pada permainan imaji yang merangsang imajinasi pembaca. Larik ‘kau pinjam pipi kiriku & tumpahkan seluruh sedihmu yang tak pernah sudah itu di pipi kiriku’. Perbuatan ‘meminjam’ pada larik ini tentu saja bukan berarti pipinya diambil lalu dibawa oleh di peminjam, namun lebih mengarah pada arti ‘mencium’. Rangkaian kata ‘bulan bersinar tolol’, ‘seribu Schopenhauer mati’, ‘seribu Kierkegaard menangis’, ‘sejuta pertunjukan Machbeth’, dan ‘kegelapan kosmik’ tentu merangsang imajinasi untuk mereka suatu realita.
Puisi yang cukup ‘kalem’ adalah puisi keempat, “Dari Lebaran ke Lebaran”. Puisi ini bermain-main dengan enjambemen membentuk tipologi teks yang berundak-undak. Apabila disederhanakan, puisi tersebut menjadi sependek ini: ‘aku/ reguk/ airmatamu,/kekalahan jadi hujan.// kau/ teguk/ airmataku, kesia-siaan jadi sungai.// kita/ tenggak/ airmata kita berdua, & air laut pun/ tercipta.’. Lebaran diidentikkan Aldy dengan air mata yang volumenya mengalami signifikansi mulai dari hujan, sungai, berarkhir sebanyak air laut. Air mata yang dikaitkan dengan kekalahan dan kesia-siaan menjadi isyarat tentang momen lebaran yang tidak menyenangkan, bisa jadi karena tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau kondisi-kondisi lain yang menghalangi kebahagiaan di waktu hari raya.
Puisi-puisi Aldy yang kita nikmati pada edisi kali ini menunjukkan buah dari proses yang tidak dadakan. Perlu latihan rajin yang memeras keringat dan menghabiskan waktu untuk melahirkan karya yang mampu bicara banyak. Selamat! []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.