Jasa Saluang
Cerpen: M Adioska
Taksi itu terus melaju namun tidak semulus sebelumnya, karena kini ia harus melewati jalan desa yang cukup sempit. Hanya pas untuk mobil yang berselisih, itupun harus hati-hati. Tidak jarang salah satu mobil yang sedang berselisih itu harus berhenti untuk menghindari terjadinya kecelakaan kecil.
Di dalam taksi itu tampak seorang pemuda. Wajahnya lumayan tampan, ditambah dengan setelan pakaian yang rapi. Rambut disisir klimis dan tidak lupa memakai sepatu kulit yang mengkilat. Walaupun dengan pakaian yang terkesan mewah dan mahal, namun hal itu tidak dapat menyembunyikan perasaan si pemuda. Dari wajahnya ia kelihatan sedikit gelisah dan agak cemas. Matanya yang tajam terus menatap ke arah depan taksi. Ia tak sabar lagi ingin segera sampai di tujuan.
“Kiri, Da.” Kata pemuda itu memecah kesunyian yang sudah berlangsung selama tiga jam, tepatnya selama perjalanan dari bandara ke desa tersebut. Segera ia turun dari taksi dan langsung merasakan sengatan mentari di senja itu. Hal ini sangat berbeda ketika ia masih di dalam taksi yang di lengkapi dengan AC.
“Ini, Da. Terima kasih” ia menyodorkan beberapa lembar uang kertas. Baginya, kini, benda itu bukanlah suatu hal yang keramat lagi. Karena setiap hari ia selalu bergelut dengan angka-angka yang jumlahnya tidak sedikit. Di matanya benda itu hanya sebagai barang koleksian, dihamburkan atau diganti dengan keegoannya akan sesuatu. Ah, itu bukan dia, peredaran waktulah yang telah mengajarkan dan mengganti paradigmanya tentang arti kehidupan.
Taksi itu segera melaju. Kini, beberapa meter di hadapan pemuda, berdirilah sebuah rumah gadang tua. Dinding dan tonggaknya serta anyaman kandangnya masih seperti dulu. Hanya saja ada lobang-lobang kecil yang menghiasi rumah tersebut. Maklum rumah gadang itu sudah sangat tua, sehingga tidak heran apa bila rayap dan kumbang menggerogotinya.
Dengan langkah pasti dan berwibawa, pemuda itu melangkah menuju rumah gadang-nya. Bukankah rumah itu masih miliknya? Karena di sanalah ia lahir tumbuh berkembang dan mengenal hidup untuk pertama kali, hingga kini ia menjadi orang sukses di ibu kota.
“Bak, Abak…!” panggil si pemuda di depan pintu yang sudah dimakan usia. Perlahan pintu terbuka, diiringi bunyi kayu reot yang khas. Ah, sudah berkarat dan tua kenapa tidak dibuang dan diganti saja?
Dari balik pintu muncul wajah tua yang kelihatan agak lemas. Namun sinar matanya tetap terang, jernih dan tajam. Segera menusuk relung hati terdalam si pemuda, dan tanpa sadar setetes air bening jatuh dari matanya. Begitupun dengan si tua yang di panggil abak itu. Mereka berpelukan dengan sejuta rasa yang tak terkata.
“Yuang, sudah lama kau di luar?” Pertanyaan abaknya terlontar setelah melepas pelukan dari si pemuda yang teryata adalah anaknya. Ada sedikit rasa yang telah terobati.
Buyuang, buyuang, dan buyuang, kembali kata sapaan itu di dengarnya. Kenapa abaknya selalu memanggil buyuang? Bukankah di zaman modern ini nama itu sudah terlalu usang? Dan kenapa tidak memanggil Amat, nama yang dulu di berikan abak kepadanya, atau Roni, nama yang kini tertulis di kartu namanya untuk di berikan kepada relasi atau mitra bisnisnya? Rasa tidak suka di panggil Yuang kini terbersit di hatinya.
“Baru sampai Bak, Amak mana Bak ?”
“Amakmu pergi ke batang aia di belakang ..” kata abak. Ah, masih ke batang aia, pikir Amat. Sudah sejak lama ia menyuruh orang tuanya membuat sumur bahkan rumah baru. Tapi semua sia-sia. Abak dan amaknya malah memilih tinggal di rumah gadang yang reot dan mandi di batang aia yang airnya tidak bersih dan kadang keruh.
***
Malam telah menampakkan dirinya, di langit sana tidak terlihat sebuah bintang pun. Udara terasa sangat dingin bagi Amat yang telah terbiasa dengan cuaca di kota metropolitan. Selain itu, di rumah gadang itu, abak dan amaknya ternyata juga masih menggunakan penerangan berupa lampu minyak yang ditempelkan ke dinding. Hal ini tampaknya mulai tidak disenangi Amat. Mungkin karena ia sudah terbiasa dengan kerlap-kerlip lampu di ibu kota.
“Bak, saya pulang hari ini karena saya mendapat kabar bahwa abak sakit, apa benar bak?” suara Amat memecah kesunyian malam itu. Kini ia sedang duduk bersila di ruang tengah bersama kedua orang tuanya.
“ Benar, yuang” jawab abaknya singkat.
“Iya, abakmu sakit setelah bermain saluang di kampung sebelah. Kebetulan mereka mengadakan acara kampung. Lumayan menambah pemasukan,” amak menjelaskannya kepada Amat yang kini kelihatan cukup jengkel.
“Itulah abak. Sudah berapa kali saya katakan, abak jangan lagi meniup saluang itu karena abak sudah tua. Lagian, penghasilan dari saluang itu hanya sedikit. Lebih baik abak ikut saya ke kota. Disana saya akan menjamin hidup abak dan amak. Daripada disini, abak hanya meniup, meniup dan terus meniup buluah yang tidak berguna itu!”
Sejenak, semua diam. Hanya suara jengkrik dan bisikan angin malam yang terdengar. Siapa yang berkata tadi? pikir abak sebab Amat yang dulu tidak mungkin berkata demikian. Ia dulu menyukai saluang bahkan dari mulutnya dulu sempat terucap bahwa ia akan meneruskan kepandaian abaknya sebagai peniup saluang. Itu dulu, ketika Amat masih bersih, lugu dan belum mengenal dunia luar.
“Kenapa kau berkata demikian, Yuang? Karena buluah itulah kita masih bisa berkumpul saat ini. Karena buluah itulah abak mu ini bisa menghirup udara hingga detik ini. Ingat, bukankah buluah itu yang telah mengantarkanmu hingga menjadi orang besar saat ini.” suara abak sedikit meninggi. Mungkin karena merasa tersinggung atau karena malam yang begitu sepi, hingga suaranya begitu jelas terdengar.
“Iya, tapi karena saluang itu jualah akhir-akhir ini abak sering sakit. Setiap abak memainkannya, abak pasti selalu sakit. Lagi pula, pada zaman modern ini siapa lagi yang ingin mendengar ratok saluang itu.”
Benar dugaan abak. Anaknya kini bukanlah anaknya yang dulu. Ia telah jauh berubah bahkan kini ia telah berani mencemooh pekerjaan abak nya sendiri.
“Biarlah ndak ada orang yang akan mendengarnya, abak akan terus memainkan buluah itu. Bukan karena siapa atau berapa orang akan membayar abak, tapi abak ingin anak cucu abak bisa mendengarkan saluang. Kalau bukan abak siapa lagi yang akan mempertahankkannya?”
Kembali sunyi menyelimuti rumah gadang itu. Ada berjuta perasaan yang hinggap pada masing-masing penghuninya. Amak yang sedari tadi diam hanya bisa menghela nafas.
“Sudahlah Bak, besok saya akan kembali ke ibu kota, tidak ada lagi yang dapat saya lakukan disini. Abak atau Amak ada yang mau ikut?”
“Ndak” jawab abak singkat, datar, menyembunyikan perasaan yang tidak menentu. Berjuta perasaan kini menusuk dadanya. Amak diam seribu bahasa.
***
Taksi itu terus melaju, namun kini lebih kencang dari sebelumnya, karena kini ia telah memasuki jalan raya. Bukan lagi jalan desa yang kecil yang hanya pas untuk dua mobil jika berselisih. Di dalam taksi itu tampak seorang pemuda, Amat, yang sedang menatap jauh ke depan dengan tatapan kosong.
Tiba-tiba tangan si sopir taksi menjangkau tape yang ada di sebelah kiri kemudinya. Ia memutar-mutar sebuah tombol. Rupanya ia bermaksud menghidupkan radio dan sedang berusaha menemukan gelombang siarannya. Setelah merasa pas, ia menghentikan pencariannya. Maka seketika terdengarlah sekerat alunan saluang. Si sopir tampak menikmatinya.
“Da, tolong matikan radionya, saya tidak suka” kata Amat pendek, datar.
Sesudah percakapan nan sederhana itu, taksi tersebut kemudian meluncur dalam hening, sunyi, sepi. Hanya suara mesin yang terdengar. Tak ada lagi saluang, seakan telah dimakan oleh suara klakson dan mesin-mesin di jalanan, seiring juga dengan meluncurnya sang waktu dalam kehidupan Amat.(*)
Catatan:
Saluang : Alat musik tiup tradisional Minangkabau.
Rumah Gadang : Nama rumah adat Minangkabau
Ratok Saluang : Irama saluang yang terkesan sedang meratapi nasib.
Abak : Ayah
Amak : Ibu
Da : Panggilan singkat untuk Uda, yaitu kakak laki-laki di Minangkabau.
Biasa juga digunakan untuk panggilan umum kepada laki-laki yang
belum dikenal.
Ndak : Tidak
Biodata Penulis:
M. Adioskaadalah seorang penulis yang sudah bergiat di FLP Sumatera Barat sejak tahun 2005. NRA : 092/D/003/005. Saat ini masih aktif menulis cerpen, puisi dan artikel. Beberapa tulisan pernah dimuat di beberapa media di Sumatera Barat.Sekarang menjadi guru di SDN 06 Pulai Anak Air Bukittinggi, Sumatera Barat.
Titik Temu Tradisionalitas dan Modernitas dalam Cerpen “Jasa Saluang” Karya Medi Adioska
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat)
Saut Situmorang (2010) dalam esainya berjudul “Globalitas dan Lokalitas dalam Membayangkan Indonesia Sebuah Kritik Pascakolonial” mengutip pendapat terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Benedict Anderson tentang nasionalisme Indonesia. Ben Anderson mengulas secara mendalam tentang hal yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala–sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruksi kultural.
Walaupun Ben bicara secara luas tentang negara bangsa, pendapat itu cocok untuk mengulas sebauh cerpen berjudul “Jasa Saluang” karya Medi Adioska (2022) yang ditayangkan Kreatika pada minggu ini. Jika Ben Anderson mengatakan bahwa nasionalisme itu harus diciptakan, dikonstruksi dalam imajinasi masyarakat Indonesia, kehidupan yang lebih baik tentang adat dan budaya Minangkabau sebagaimana yang digambarkan Medi Adioska dalam cerpennya juga harus dikonstruksi untuk menjadi lebih baik.
Cerpen secara khusus atau karya sastra secara umum pada dasarnya bisa menjadi wahana untuk mengkonstruksi kehidupan yang lebih baik. Ada dua hal yang selalu dipertentangkan oleh masyarakat seperti antara tradisionalitas dan modernitas. Masyarakat yang pro pada tradisionalitas menganggap modernitas adalah ancaman bagi tradisionalitas, sementara pendukung modernitas menganggap tradisionalitas harus dihilangkan untuk menjadi modern. Padahal, untuk menjadi lebih baik kita tidak perlu hitam putih dan membuat garis demarkasi antara keduanya. Konsep terbaik dari hal ini adalah mengambil segala yang terbaik dari kedua hal ini. Sebagai masyarakat yang memiliki akar budaya, tentu kita tidak bisa menghilangkan tradisionalitas. Sementara itu, karena dunia ini dinamis selalu menemukan kebaruan-kebaruan, kita juga tidak bisa menghambat munculnya modernitas.
Cerpen karya Medi Adioska, seorang guru di Bukittinggi ini mempertentangkan antara tradisionalitas dan modernitas secara terang-terangan dalam kehidupan sosial Minangkabau. Konfrontasi modernitas dan tradisionalitas itu disampaikan oleh Medi Adioska melalui tokoh Abak mewakili tokoh tua, dan tokoh Amat atau Roni. Abak seorang tukang saluang, yang menghidupi keluarganya melalui aktivitasnya bermain saluang. Sementara itu, Amat atau Roni adalah anak muda, anak dari Abak yang sekarang sudah sukses di kota. Hal ini bukanlah hal baru dalam karya sastra Indonesia karena tema perdebatan antaran tradisionalitas dan modernitas ini sudah banyak dieksploitasi oleh sastrawan di Indonesia.
Di Minangkabau sendiri, karya-karya besar dari sastrawan besar Minangkabau memang banyak mengangkat tema tradisionalitas dan modernitas ini. Beberapa judul karya sastra besar tentang Minangkabau seperti Salah Asuhan (Abdoel Muis), Bako (Darman Moenir), Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), dan Persiden (Wisran Hadi). Sastrawan besar Minangkabau itu pada zamannya mampu mengangkat tema adat budaya Minangkabau dalam pusaran modernitas dengan berhasil di dalam karya sastra. Dengan pengalaman tersebut, tidak heran jika banyak penulis-penulis muda Minangkabau mengangkat tema-tema pertentangan modernitas dan tradisionalitas ini.
Hal lain yang menjadi catatan penting atas tema-tema modernitas dan tradisionalitas yang diangkat Medi Adioska dalam cerpen “Saluang” ini mungkin karena latar belakang penulisnya yang prihatin terhadap perubahan dalam budaya Minangkabau ini. Medi Adioska, seorang guru di Bukittinggi, tentulah dapat dimaklumi jika latar sosialnya ini memengaruhi persepsinya terhadap modernitas. Pandangan-pandangannya itulah yang disampaikan dalam cerpen “Saluang” ini. Hal ini tentu wajar karena karya sastra secara ideologis memang adalah perpanjangan dari isi pikiran pengarangnya.
Selain itu, jika dilihat Medi Adioska yang lahir dan besar di Kabupaten Lima Puluh Kota, salah satu daerah tua Minangkabau, tentu turut memengaruhi persepsinya sebagai pengarang. Media Adioska menjadi saksi atas perubahan budaya yang terjadi di Minangkabau, tidak hanya di tanah kelahirannya, mungkin saja di rantau dekat yang pernah disinggahi (Padang) dan ditinggalinya (Bukittinggi).
Apa yang dipaparkan di atas, sejalan dengan apa yang disampaikan Swingewood dan Laurenson (dalam Anggraini, 2015) yang menyampaikan bahwa beberapa perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu perspektif paling popular adalah penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada waktu karya tersebut diciptakan. Pendapat ini menjelaskan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang bisa menjadi cermin bagi masyarakatnya.
Anggraini (2015) dalam menganalisis novel Dari Surau ke Gereja karya Hendra, Helmidjas (2008) dan novel Persiden karya Wisran Hadi (2013) mengatakan terjadinya perkembangan keberagamaan dalam masyarakat Minangkabau disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal yang terdiri dari keilmuan, perkawinan, ekonomi; dan juga faktor eksternal seperti budaya luar yang diserap oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri. Apa yang ditulis Anggraini (2015) itu bisa berlaku pada karya Medi Adioska (2022) yang berjudul “Jasa Saluang” ini.
“Jasa Saluang” sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai sebuah cerpen, memang merupakan cerita pendek yang habis dibaca sekali duduk saja. Alur dan pengisahan cerpen ini juga berlaku pendek, yaitu hanya di atas sebuah taksi yang mengantarkan tokoh Amat atau Roni ke kampung halamannya. Di atas taksi, Amat mendengar sopir taksi memutar lagu saluang, lalu ia meminta sopir taksi mematikan radio itu karena ia tidak suka. Amat meminta sopir taksi mematikan saluang yang mengalun dari radio bukan hanya karena dia tidak suka lagu saluang, tetapi karena ada latar kisah yang membuat pikirannya mengingat perseteruannya dengan Abaknya. Sebelum kembali ke kota, Amat pulang ke kampung halamannya, pulang ke rumah gadang menemui Abak dan Amaknya. Ketika pulang itu, Amat menemui kembali tradisionalitas yang dibencinya. Amaknya yang masih mandi di batang aia (sungai) Abaknya yang sakit-sakitan karena malamnya masih mentas memainkan saluang.
Dua hal tersebut menjadi simbol tradisionalitas yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman oleh tokoh Amat. Pada kesempatan itu, Amat mengajak Amak dan Abaknya pergi bersamanya ke kota (sepertinya ini bukan ajakan pertama Amat). Abaknya sebagai perwakilan kaum tradisional tentu menolak ajakan anaknya itu. Ia memilih tetap tinggal di rumah gadang yang sudah reot dibanding pergi ke kota bersama anaknya. Jika ditafsirkan, tokoh Abak lebih memilih hidup di kampung (sebagai representasi tradisionalitas) dari pada pindah ke kota (sebagai perwakilan modernitas).
Kritikan untuk cerpen “Saluang” ini, pengarang selalu membuat tradisionalitas dan modernitas selalu berhadap-hadapan sebagai musuh. Dalam perdebatan intelektual membuat pertentangan antara tradisionalitas dan modernitas ini selalu tidak menemukan titik temu. Jauh-jauh hari sebelum cerpen ini perdebatan modernitas dan tradisionalitas sudah terjadi antara Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan. Hasil perdebatan itu ya sebatas perdebatan yang masing-masing tokoh memiliki landasannya masing-masing.
Mungkin akan lebih baik jika pengarang-pengarang muda Minangkabau (salah satunya Medi Adioska) membuat titik temu antara modernitas dan tradisionalitas ini. Contohnya dalam cerpen “Jasa Saluang” karya Medi Adioska, kalau tokoh Amat mengatakan mandi di sungai adalah bentuk tradisionalitas, kemudian rumah gadang yang usang mengatakan tidak modern, lalu mengapa tokoh Amat yang sudah sukses itu tidak memperbaiki rumah gadangnya itu? Mengapa dia tidak merenovasi rumah gadang usang itu menjadi rumah gadang yang modern dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budayanya? Bukankah dengan mempertahankan nilai-nilai budaya yang dipertahankan Abak dan Amaknya, Amat juga menunjukkan kelasnya sebagai manusia modern yang berbakti kepada orang tua?
Ini yang saya sebut sebagai titik temu antara modernitas dan tradisionalitas dalam cerpen “Jasa Saluang” ini. Tokoh Amat tidak perlu membenci saluang yang sekarang membuat Abaknya sakit-sakitan karena bagi Abaknya memainkan saluang adalah nostalgia terindah terhadap profesi yang telah menghidupinya bertahun-tahun dan mengantarkan anaknya menjadi orang sukses. Amat tidak perlu dicitrakan sebagai manusia modern yang jahat, karena membiarkan rumah gadangnya rusak. Dengan kesuksesan yang telah dicapai, Amat bisa saja tetap menghargai Abak dan Amaknya tanpa harus menjadi durhaka. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.