Laut di Lemari Bapak
berulang kali, kupinjam sarung bapak
untuk sembahyang
tiap sarung yang kuambil, memendam ombak laut
entah laut yang mana,
bergemuruh seperti dada bapak
tenang, seperti matanya yang tajam
dari ujung ke ujung sarung
ia mengabarkan angin dari pangkal nasib
sampai ke sepotong doa dalam perut
yang kami kunyah begitu lahap
yang kami santap tanpa sisa
angin yang berhembus di dalam itu,
menyentuh seluruh kakiku untuk mengabarkan pasang
akan naik sampai ke anak tangga kedua
di rumah kita
kuambil sandal agar tak terseret air ketika surut
seperti langkah kaki bapak yang mengerucut
menjadi sepetak dadu
untuk mengisi tiap kotak dalam motif sarungnya
tiap sarung yang kuambil, menyimpan ombak laut
yang siap menghempas
menjatuhkan diri pada tepian nasib
di tangga rumah kita
entah pada anak tangga yang keberapa
(Busan, Juli 2022)
Hari yang Biasa-Biasa Saja
untuk saat ini, jika kau ingin menjadi angin
tak mengapa
sekalipun kau bisa mencabik air
yang tergeletak di ujung sepatumu
untuk saat ini, jika kau ingin menjadi api
tak mengapa
sekalipun kau bisa mematahkan kayu
dalam sekejap
untuk saat ini, jika kau ingin menjadi bukan siapa-siapa
tak mengapa
sekalipun namamu terus bergemuruh di hati seorang terkasih
untuk saat ini, jika kau ingin menjadi pohon pun
tak mengapa
sekalipun kau bisa menancapkan akar
di bawah telapak kaki banyak orang
setelahnya, berjanjilah untuk kembali ke tempat semula
untuk hari yang biasa-biasa saja
sebagaimana caramu membuat segalanya
menjadi baik-baik saja
(Busan, Juli 2022)
Pertengahan Tahun
di cangkir ini, pagi tiba bergegas
sedangkan malam selalu datang malu-malu
pekatnya tak pernah berubah
dari tahun ke tahun
dari satu garis waktu ke garis yang lain
kita berdiri di titik masing-masing
seperti pagi dan malam
kita pasti akan bertemu di suatu titik
yang seharusnya berada di tengah
tetapi pada pertengahan tahun, titik itu selalu tak berimbang
seperti pagi, aku berjalan pada putaran waktu yang panjang
sedangkan kau melangkah hanya dalam jarak yang dekat
kau, mengumandangkan kepada alam
bahwa pada musim ini, kau hanya akan menunggu
ah, sungguh keangkuhan yang sempurna
di cangkir ini, kau lupa, musim terus berganti
(Busan, Juli 2022)
Biodata Penulis:
Reno Wulan Sari merupakan Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Bukunya telah terbit dalam bentuk kumpulan cerpen yang berjudul Catatan Pertama. Selain menulis puisi, cerpen, dan artikel, ia juga merupakan sutradara teater yang tertarik pada ilmu geografi, dunia cosmos, dan segala hal tentang alam semesta.