Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Tidak banyak yang tahu bahwa bahasa memiliki hubungan dengan keberagaman hayati dalam suatu sistem ekologi. Ekologi didefinisikan sebagai interaksi antarorganisme dan lingkungan di sekitarnya. Organisme dalam hal ini bukan hanya merujuk pada binatang, tumbuhan, dan mikroorganisme, namun juga manusia di dalamnya sebagai makhluk yang memiliki piranti bernama bahasa. Hubungan organisme tersebut menjadi perhatian ekolinguistik, yakni suatu ilmu yang mempelajari relasi antara bahasa dan ekologi.
Dalam ekolinguistik, bahasa merupakan aspek penting dalam menjaga keberlangsungan ekosistem. Jika dimetaforakan, dalam ekolinguistik, bahasa merupakan jaring-jaring yang terdiri dari organisme dan lingkungan di dalamnya sebagai satu kesatuan yang saling bergantung (Skutnabb-Kangas & Harmon, 2018). Bahasa menjadi piranti yang mempengaruhi penuturnya berpikir, berbicara, dan bertindak atau berperilaku terhadap lingkungan alam sekitarnya (Stibbe, 2015). Oleh karena itu, menjaga bahasa berarti juga menjaga alam atau menjaga keberagaman hayati.
Keberagaman hayati dapat dipahami melalui berbagai bentuk kehidupan, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme, dan ekosistem makhluk hidup (Ridhwan, 2012). Keberagaman hayati dikenal juga dengan istilah biodiversitas. Untuk memahami biodiversitas, kita bisa memperhatikan segala hal yang berkenaan dengan organisme di sekitar kita, seperti padi.
Padi atau Oriza Sativa merupakan salah satu jenis tumbuh-tumbuhan yang menjadi bahan pokok pangan masyarakat Indonesia yang ternyata memiliki berbagai jenis varietas. Masyarakat Badui misalnya, memiliki kurang lebih 89 varietas padi lokal. Masyarakat Badui menyebut padi sebagai pare dan beras sebagai beas, serta nasi sebagai sangu atau kejo. Masyarakat Badui juga mengklasifikasikan padi berdasarkan bentuk morfologi gabah berbulu (huasan pare bulu) dan tidak berbulu (huasan pare leger) (Iskandar & Iskandar, 2018).
Selain itu, terdapat juga beberapa istilah dalam upacara berladang di Badui, seperti tanam padi (ngaseuk), panen padi (mipit pare), dan persembahan padi (upacara kawalu). Untuk penyimpanan padi, masyarakat Badui menggunakan istilah lumbung padi (leuit) yang dibagi menjadi leuit lenggang, leuit mandiri, dan leuit karumbung (Iskandar & Iskandar, 2017). Istilah-istilah tersebut membuktikan bagaimana suatu masyarakat mengenali lingkungan alam sekitarnya dan menyimpannya ke dalam memori mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberagaman hayati mempengaruhi keberagaman bahasa atau language diversity.
Contoh lain dari language diversity dibuktikan juga oleh Suyanto (2019) dalam penelitiannya mengenai bagaimana masyarakat Cilacap menggunakan berbagai istilah untuk mendeskripsikan aktivitas penanaman padi. Istilah tersebut di antaranya menyiapkan bibit padi (nggawe winih), merendam bibit padi selama semalam (ngekum), meniriskan bibit padi dari air rendaman (ngisis), menyebar bibit padi pada bedengan untuk bibit padi (nyebar), mencabut bibit padi untuk ditanam (ndaut), membajak sawah untuk lahan penanaman padi (mluku), mengairi lahan (ngeleb), meratakan lahan untuk ditanami padi (nggaru), tanah lumpur yang siap ditanami padi (leleran), dan penanaman benih padi pada leleran (tandur).
Istilah-istilah tersebut menunjukkan tahapan aktivitas penanaman padi ternyata juga melalui proses yang cukup panjang. Kehidupan petani yang lekat dengan alam mempengaruhi pengetahuan bahasa tentang aktivitas pertanian yang mereka jalani. Pengetahuan mengenai istilah-istilah tersebut mungkin tidak akan dimiliki oleh orang yang tidak memiliki interaksi dengan aktivitas penanaman padi, seperti profesi perawat atau akuntan. Dengan demikian, ketika kita tidak mengenal keberagaman hayati, kita tidak akan memiliki keberagaman bahasa. Kepunahan hayati pada akhirnya akan mempengaruhi kepunahan bahasa.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kepunahan hayati adalah green revolution atau revolusi hijau. Beberapa aktivitas revolusi hijau dapat dilihat dalam modernisasi penggunaan bibit varietas padi unggulan baru, penggunaan pupuk anorganik, pestisida sintesis, pembangunan dan perbaikan irigasi, serta perbaikan metode usaha tanam padi sawah. Dampak revolusi hijau tersebut tidak selalu menguntungkan bagi varietas hayati itu sendiri, yang dibuktikan dengan punahnya varietas padi lokal di beberapa wilayah di Jawa Barat.
Setelah revolusi hijau pada akhir 1960-an misalnya, varietas padi lokal di wilayah Majalaya menyisakan kurang dari 10 varietas yang sebelum revolusi hijau terdapat 88 varietas. Hal serupa juga terjadi di wilayah Rancakalong, Kampung Naga, dan Kasepuhan yang hanya memiliki 20, 15, dan 78 varietas dari sebelum revolusi hijau sebanyak 60, 24, dan 146 varietas untuk masing-masing wilayah tersebut (Iskandar & Iskandar, 2018). Hilangnya varietas padi lokal di beberapa wilayah di Jawa Barat berakibat pada hilangnya istilah-istilah padi lokal dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, generasi masa kini dan masa mendatang tidak mengenali istilah-istilah hayati yang dulu digunakan dalam suatu masyarakat.
Untuk menjaga keberagaman istilah hayati tersebut, dapat dilakukan dengan kajian ekolinguistik. Perhatian ekolinguistik terhadap keberagaman istilah dan keberagaman hayati diinisiasi oleh Einar Haugen yang menggunakan konsep lingkungan untuk merujuk bukan hanya alam, melainkan juga masyarakat atau society. Selanjutnya, Haugen juga memperkenalkan istilah language ecology atau ekologi bahasa sebagai metafora bentuk interdisipliner dari sosiolinguistik, bahkan ia mengusulkan bahwa ekologi seharusnya mengambil peran penting dalam perkembangan ilmu sosiolinguistik secara keseluruhan (Eliasson, 2015).
Haugen menegaskan bahwa lingkungan sesungguhnya dalam bahasa adalah masyarakat itu sendiri sebagai pengguna bahasa atau kode. Bahasa ada hanya di dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi menghubungkan penggunanya dengan nature, yakni lingkungan sosial dan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan terutama oleh orang yang mempelajarinya, menggunakannya, dan mentransmisikannya (Haugen, 2001). Oleh karena itu, pembahasan dalam ekolinguistik tidak boleh melupakan bahasa yang merupakan piranti yang dimiliki oleh manusia sebagai bagian dari organisme. Jika ekolinguistik tidak membahas bahasa sebagai piranti dalam menyimpan memori dan pengalaman, relasi antara ekologi dan linguistik akan hilang.
Di Indonesia, kesempatan untuk mengembangkan ekolinguistik dari spektrum keberagaman hayati masih terbuka lebar. Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi selain Brazil dan Zaire. Tingginya keanekaragaman hayati Indonesia, sebagai negara tropis, terlihat dari berbagai jenis ekosistem yang ada di Indonesia, seperti ekosistem pantai, hutan bakau, air tawar, savanna, dan sebagainya (Ridhwan, 2012). Setiap ekosistem tersebut menyimpan berbagai jenis keanekaragaman hayati yang oleh masyarakat lokal memiliki istilah-istilah tersendiri.
Salah satu tugas dari ekolinguistik adalah merekam struktur pola kebahasaan dari istilah-istilah lingkungan yang digunakan dalam suatu masyarakat. Di tengah gerusan teknologi dan industrialisasi yang berpotensi merusak alam, bahasa lokal atau bahasa daerah juga mengalami ancaman kepunahan. Faktor lain yang mempengaruhi kerusakan lingkungan dan kepunahan bahasa adalah pertumbuhan populasi, konsumsi berlebihan, produksi sampah, kerusakan habitat, perubahan iklim, dan globaliasi neoliberal (Fill & Penz, 2018). Kerusakan habitat secara signifikan mempengaruhi kepunahan bahasa sebagai akibat dari kepunahan spesies di lingkungan alam (Skutnabb-Kangas & Harmon, 2018).
Ekolinguistik tidak akan berhenti pada deskripsi keberagaman bahasa sebagai akibat dari keanekaragaman hayati. Namun, ekolinguistik mempromosikan kesadaran akan pentingnya bahasa dalam mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan sekitar. Sebagai contoh, perilaku konsumtif yang dipromosikan secara berlebihan dalam berbagai iklan di media massa atau media sosial secara berangsur-angsur akan mempengaruhi kita dalam mengkonsumsi barang-barang nonprimer secara berlebih. Parfum dan kosmetik misalnya, merupakan barang nonprimer yang secara masif diiklankan sebagai gaya hidup modern yang menjanjikan keindahan dan pengakuan dari orang lain atas penampilan kita.
Munculnya berbagai macam produk lokal dan internasional juga secara cepat ditanggapi oleh masyarakat dengan pembelian berbagai macam produk yang belum tentu cocok bagi kulit mereka. Konsumsi berlebihan tersebut secara repetitif dan masif diterima sebagai hal yang lumrah di kalangan kehidupan saat ini. Pengguna parfum dan kosmetik lain bahkan tidak mengetahui atau tidak menyadari atas akibat dari produksi kosmetik tersebut terhadap lingkungan, seperti sampah yang dihasilkan dari konsumsi yang berlebihan. Oleh karena itu, sangat penting menumbuhkan kesadaran atas bahasa, termasuk bahasa dalam promosi iklan, yang telah dianggap wajar atau naturalised di sekitar kita. Tujuannya untuk menjaga lingkungan kita. Oleh sebab itu, menjaga kesadaran berbahasa sama dengan menjaga atau merawat lingkungan kita.
Discussion about this post