Senja di Hari Itu
Cerpen Karya: Elang Humaira Cipto
Namaku Rayhan. Biasa dipanggil Aan. Saat ini umurku 15 tahun. Aku tinggal di sebuah kampung yang dekat dengan sebuah pantai. Aku adalah seorang anak yang sangat menyukai senja. Saat senja tiba, aku akan menyalami tangan Bunda dan langsung berlari menuju sebuah batu yang berada di pinggir pantai. Di sanalah tempatku melihat matahari terbenam sambil merenungkan banyak hal. Di saat sang matahari mulai menghilang dan sang bulan hampir menampakkan sinarnya, di saat itulah aku berlari menuju rumah. Kalian tahu? Ada begitu banyak kisahku bersama senja. Dan akan kutuliskan salah satu kisahnya di cerita yang singkat ini.
5 tahun yang lalu………
“Pagi An!” sapa seorang anak laki-laki dengan riang. Anak itu bernama Rian yang biasa di panggil Ian. Ian sekelas denganku dan Ian adalah teman baikku. Walaupun Ian adalah teman baikku, Ian tak sama denganku. Ian tak pernah menyukai senja. Ian lebih menyukai saat-saat bulan dan bintang-bintang bertebaran di langit malam. “Pagi jugaaa!” balasku dengan senyuman yang begitu lebar.
***
KRIIIIIINGG!!!!!
Suara bel berbunyi nyaring. Anak-anak mulai berhamburan keluar kelas, waktunya jam istirahat. Aku memutuskan untuk tetap di kelas. Karena Bunda telah menyiapkan bekal dari rumah, Ian pun tetap di kelas.
“An, kalau nanti kamu udah besar jangan pernah lupa sama cita-cita kita ya”. Seketika kuhentikan tanganku yang ingin menyuap nasi.
“Kamu kenapa, Ian? Kok tiba-tiba bilang gitu?” Tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“Gak kenapa-napa kok. Nih, buat kamu,” Ian menyodorkan sepucuk amplop berwarna putih. Di depannya terdapat tulisan:
‘Dari Rian, untuk teman terbaikku Rayhan’
“Apa ini?” keningku semakin berkerut.
“Buka surat itu di saat kau duduk di batu pinggir pantai pada sore hari nanti”. Aku terdiam, masih mencerna kalimat yang keluar dari mulut kecil Ian.
“Baiklah,” dengan cepat kusimpan amplop itu ke dalam ransel dan langsung kuhabiskan bekalku dengan lahap. Ian telah menghabiskan bekalnya. Setelah merapikan bekalnya, Ian beranjak keluar kelas. Entah apa yang terjadi pada anak itu di hari ini. Tapi ku harap dia baik-baik saja.
***
Pelajaran terakhir telah selesai. Waktunya pulang, anak-anak kembali berhamburan keluar kelas. Tiba-tiba, Ian menarik tanganku. Menuju suatu tempat. Taman sekolah.
“Kita ngapain kesini, Ian?” tanyaku. Perlahan-lahan, Ian mundur. Sambil tersenyum, direntangkan tangannya lebar-lebar. Lalu ia berteriak.
“Peluk aku, An!”.
“Untuk apa?” aku heran.
“Berikan pelukan terbaikmu, An!”. Ian tak menghiraukan pertanyaanku.
“Ada apa denganmu hari ini? Mengapa tingkah mu begitu aneh?” tanyaku heran melihat tingkah Ian yang sedikit berbeda hari ini.
“Peluk Aku, An!”. Ian kembali mengulangi ucapannya. Tapi kini dengan wajah yang mulai terlihat kesal. Dengan langkah ragu-ragu, aku berjalan kearah Ian. Ku peluk tubuh kecilnya itu. Sejak kecil aku menyukai pelukan Ian. Begitu hangat dan menenangkan, tapi Ian tak pernah suka bila dipeluk. Namun, lihatlah sekarang. Dia sendiri yang merentangkan tangannya untuk dipeluk.
“Aku pamit ya, An. Aku mau balik kampung bolehkan?” perlahan-lahan Ian melepaskan pelukannya.
“Boleh kok. Tapi kamu balik lagi kan?” Tanya ku.
“Iya” jawabnya singkat. Ian mengantarku sampai depan rumah.
“Nanti kita ketemu lagi ya.” Ucap Ian sambil melambai-lambaikan tangan. Di hari itu kutatap wajah Ian dengan tatapan yang penuh dengan tanda Tanya, tapi Ian malah menatapku dengan tatapan yang begitu bermakna.
***
“Assalamualaikum” salamku.
“Waalaikumsalam” jawab seseorang yang berada di dalam rumah. Itu bukan suara Bunda. Apa lagi Ayah.
“Itu…. Nenek?” pekikku. Seorang perempuan tua keluar dari balik pintu. Kusalami tangannya dan kupeluk tubuhnya.
“Sudah pulang, An?” Tanya nenek sembari membimbingku masuk.
“Dengan siapa kau pulang?” Tanya nenek lagi tanpa menunggu jawabanku.
“Dengan Ian, Nek” jawabku sambil meletakkan tas di atas kursi.
“Oh… Ian. Bagaimana kabar anak itu?” nenek kembali bertanya.
“Baik, Nek” jawabku singkat.
“Baiklah ganti dulu baju, An. Biar nenek suapi kau makan.” Ucap nenek sambil berjalan menuju dapur.
“Tak usahlah, Nek. Aan bisa makan sendiri,” ucapku sambil memasuki kamar.
“Tak apalah.., Nenek rindu menyuapkan cucu Nenek makan,” Nenek bersikeras. Baiklah, tak bisa ku tolak tawaran itu.
Kau tahu, yang mengenalkanku pada Ian adalah nenek. Nenek pun sangat menyukai Ian. “Ian adalah teman yang baik untuk ditiru, An,” itu ucap Nenek saat tau kami mulai merasa dekat.
***
Siang di hari itu, Aku berlari lebih kencang dari biasanya. Keringat membasahi baju yang kukenakan. Air mata tak mampu kutahan. Kuseka wajahku dengan lengan baju. Berusaha untuk menahan tangisan itu walau tak bias.
Warga-warga sekitar mulai meramaikan rumah itu. Ada isak tangis terdengar dari dalam rumah. Perlahan ku masuki rumah itu.
“An….” terdengar suara lirih seorang perempuan saat aku baru memsuki rumah itu. Matanya dipenuhi kesedihan. Wajahnya basah dipenuhi air mata. Aku menatap perempuan itu dengan tatapan prihatin.
“Apa yang terjadi, kak?” Tanya ku masih dengan wajah yang menahan tangis.
“Masuklah dulu, An”. Perempuan itu membawaku ke suatu ruangan. Dari luar, terdengar banyak suara yang membacakan sesuatu. Perlahan ku masuki ruangan itu. Mendadak air mata kembali meluncur turun dari mataku. Di sana terdapat satu tubuh yang tengah terbaring tertutup kain. Sosok tubuh itu dikelilingi banyak orang. Walaupun tertutup kain, aku tahu dia siapa. Dia adalah Ian. Teman yang paling kusayangi dan yang paling ku sukai pelukannya.
***
“Ini untukmu, An. Dari Ian. Ian menitipkannya padaku tadi pagi sebelum berangkat sekolah”.
Itu kak Nira, kakaknya Ian. Ia memberikan sepucuk amplop berwarna hitam. Di depannya terdapat tulisan
‘Dari Rian, untuk sahabat terbaikku Rayhan’
“Buka amplop itu disaat kau kau duduk di batu pinggir panti saat senja nanti. Itu yang Ian katakan”. Ku tatap amplop itu.
“Apa yang terjadi pada Ian kak?” tanyaku.
“Entahlah, An. Sewaktu pulang sekolah, ada yang berbeda dari anak itu. Ian selalu meminta pelukan. Di saat Ian memeluk ibu, di saat itu pula lah Ian menghembuskan nafas terakhirnya,” kak Nira bercerita sambil menatap kosong ke arah tanah. Seketika, keadaan menjadi hening.
“Haaaah… pulanglah kau, An. Hari sudah hampir asar. Pergilah kau mandi dulu. Lalu kau shalat. Doakan yang terbaik untuk Ian, An. Jangan kau lupa membaca amplop itu,” ucap Kak Nira sambil menatap ke atas langit untuk menahan air yang mendesak keluar dari ujung matanya.
“Baiklah, kak. Aan pulang dulu. Assalamu’alaikum”.
***
“Aan pergi dulu ya, Bunda” Aku pamit pada bunda sambil mencium punggung tangannya.
“Hati-hati di jalan ya, An,” Bunda mencium keningku “Mau kemana, An?” Tanya nenek saat aku hendak melangkahkan kaki keluar.
“Aan mau pergi ke pantai, Nek. Aan mau melihat matahari terbenam.” ucapku sembari menyalami tangan nenek.
“Oh… jangan pulang larut-larut, Aan,” ucap nenek mengingatkan. “Iya, Nek.” jawabku.
Aku berlari menuju batu itu. Sesampai di sana, aku duduk sebentar untuk mengatur napas. Untuk sedetik kemudian, aku hembuskan napasku dengan hembusan yang berat. Kuambil sepucuk surat dari dalam saku celana. Kutatap surat itu. Perlahan, kubuka surat itu dan semua kenanganku bersama Ian terbang menjadi film yang terputar ulang.
***
Hai, An. Apa kabarmu? Ku harap kau baik baik saja. Aku tau, di saat kau membaca surat ini aku telah pergi. Tak banyak yang ingin aku sampaikan padamu. Aku hanya berharap…, kau selalu bisa bahagia. Walaupun kesedihan menjalar dalam hatimu, tetaplah tersenyum, An. Tak apa. Perpisahan ini akan menjadi perpisahan yang indah. Dan ku harap, kau tak akan melupakan teman kecilmu ini. Jangan pernah lupakan cita-cita itu, An. Aku yakin, kau pasti bisa mewujudkannya tanpaku.
Kami pernah mempunyai suatu cita-cita yang sama. Cita-cita yang sangat ingin kami wujudkan bersama. Cita-cita yang sederhana. Kami ingin menjadi pengusaha yang sukses. Langsung terbayang olehku, disaat kami menceritakan cita-cita itu. Dengan penuh semangat kami penuhi langit sore itu dengan mimpi-mimpi indah. Sudah sedemikian rupa kami rancang cita-cita itu. Namun, lihatlah sekarang. Ian meninggalkanku seorang diri dengan cita-cita yang belum terwujud itu. Ahh… Ian, begitu cepat kau meninggalkan dunia ini, kawan. bahkan cita-cita indah itu belum sempat kita wujudkan. Kuputuskan untuk membaca surat yang satunya. Di awali dengan,
‘Dari Rian, untuk sahabat terbaikku Rayhan’
Makasih ya, An. Uudah mau jadi teman Ian di 7 tahun yang singkat ini. Ian bakal ingat Aan terus kok. Kalau Aan pernah merasa tersinggung karena ulah Ian, maafin ya. Maaf kalau Ian belum bisa ngebalas semua kebaikan Aan.
Sampai jumpa, An.
Seandainya aku tahu ini hari terakhirmu, mungkin akan kupenuhi semua keinginanmu, Ian. Seandainya aku tahu ini hari terakhirmu, mungkin akan kupeluk lebih lama tubuh kecilmu itu. Senja, tak bisakah kau meminta kepada tuhan untuk mengembalikan Ian kedunia ini? Senja, tak bisakah kau menyampaikan kata terakhirku pada Ian? Senja, tolonglah aku. Aku begitu membutuhkan Ian untuk saat ini. Aku ingin memeluk tubuh kecilnya yang hangat. Hening. Tak ada dan tak akan pernah ada jawaban dari sang senja.
“An?” terasa tangan seseorang yang memegang pundakku.
“Apa yang kau pikirkan?” Itu nenek. Dengan cepat ku usap air mata yang meluncur di pipiku.
“Tak ada, Nek. An cuma masih merasa sedikit sedih” jawabku.
“Aahh… seperti itulah kehidupan, An. Layaknya senja. Ia hanya datang sebentar lalu pergi perlahan dan digantikan oleh gelapnya malam. Tak usahlah kau bersedih hati. Suatu hari nanti, akan ada yang datang dan pengganti. Dan mungkin akan jauh lebih baik lagi” ujar nenek sambil mengelus-elus punggungku.
“Ayolah, An. Waktunya kita pulang. Langit sebentar lagi akan memunculkan sang bulan,” ucap Nenek. Senja di hari itu, di sanalah aku harus mulai paham bahwa ternyata perpisahan adalah salah satu kunci untuk mengerti arti sebuah kehidupan. Perpisahan adalah pelajaran hidup yang akan selalu dilewati oleh setiap manusia. (*)
Biodata Penulis
Elang Humaira Cipto merupakan seorang siswi yang bersekolah di SMPIT Cahaya Hati, Bukittinggi, Sumatera Barat. Berumur 14 tahun dan beralamat di Bunga Pasang, Kec. IV Jurai, Kab. Pesisir Selatan, Prov. Sumatera Barat.
Gaya Bahasa dan Gender dalam Cerpen “Senja di Hari Itu”
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran
Jakarta dan DPP FLP Sumatera Barat)
Kreatika edisi ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Senja di Hari Itu,” karya Elang Humaira Cipto, seorang pelajar SMP Cahaya Hati, Bukittinggi, Sumatera Barat. Cerpen ini berkisah tentang dua orang sahabat bernama Rayhan dan Rian. Remaja SMP ini sudah berteman sejak kecil sehingga mereka pernah memiliki cita-cita bersama dalam hidup mereka. Sayangnya, Rian memiliki sebuah pemyakit kronis yang tidak diketahui oleh Rayhan sahabatnya.
Pada suatu hari dalam persahabatan mereka, Rian bertingkah aneh menurut Rayhan. Biasanya Rian paling tidak suka dipeluk Rayhan sahabatnya itu, tapi saat itu Rian minta dipeluk oleh Rayhan. Penulis membahasakan dengan “Berikan pelukan terbaikmu, An!”. Setelah itu, Rian memberikan selembar surat untuk Rayhan dengan pesan dibaca nanti di tepi pantai tempat biasa Rayhan menunggu senja. Di akhir cerita sebagaimana yang sudah bisa ditebak, Rian meninggal, lalu Rayhan membaca surat dari Rian yang berisi pesan-pesan persahabatan mereka di tepi pantai pada senja hari sebagaimana yang diwasiatkan Rian.
Membaca cerpen “Senja di Hari Itu”, pada awalnya saya mengira cerpen ini ditulis oleh seorang laki-laki. Karena pada cerpen ini tidak ada nama lengkap penulisnya. Pada file cerpen yang dikirim hanya ada judul cerpen dengan Elang sebagai nama penulisnya. Saat membaca cerpen ini pikiran saya masih bertanya-tanya benarkah penulis cerpen ini laki-laki? Pertanyaan itu terus muncul ketika saya selesai membaca semua cerita ini.
Dari sisi gaya bahasa, cerpen ini sangat feminin sekali. Gaya bahasa yang lembut, dengan sifat-sifat keperempuanan yang melekat pada beberapa kalimatnya. Beberapa adegan di dalam cerita ini juga sangat “perempuan”. Artinya adegan-adegan yang mungkin muncul dalam pergaulan perempuan, sangat jarang sekali dalam pergaulan anak laki-laki. Padahal tokoh yang diceritakan dalam cerita pendek ini adalah Rian dan Rayhan nama dua orang remaja lelaki. Contoh adegan yang terkesan fenimin adalah sebagaimana kutipan berikut ini:
Pelajaran terakhir telah selesai. Waktunya pulang, anak-anak kembali berhamburan keluar kelas. Tiba-tiba Ian menarik tanganku. Menuju suatu tempat. Taman sekolah.
“Kita ngapain kesini, Ian?” tanyaku. Perlahan-lahan, Ian mundur. Sambil tersenyum, direntangkan tangannya lebar-lebar. Lalu ia berteriak.
“Peluk aku, An!”.
“Untuk apa?” aku heran.
“Berikan pelukan terbaikmu, An!”. Ian tak menghiraukan pertanyaanku.
“Ada apa denganmu hari ini? Mengapa tingkah mu begitu aneh?” tanyaku heran melihat tingkah Ian yang sedikit berbeda hari ini.
“Peluk Aku, An!”. Ian kembali mengulangi ucapannya. Tapi kini dengan wajah yang mulai terlihat kesal. Dengan langkah ragu-ragu, aku berjalan kearah Ian. Ku peluk tubuh kecilnya itu.
Dua orang remaja laki-laki, bersahabat walaupun begitu sangat dekat namun mereka akan sangat jarang berpelukan, apalagi di taman sekolah, karena sebab-sebab yang tidak begitu penting. Adegan ini menjadi ganjil dalam pergaulan kaum laki-laki. Berpelukan untuk mengungkapkan perasaan barangkali lumrah dalam persahabatan kaum perempuan, tapi tidak untuk persahabatan kaum laki-laki.
Rasa penasaran akan penulisnya ini akhirnya terjawab, setelah saya membaca biodata penulis yang dikirim belakangan. Elang Humaira Cipto, seorang pelajar perempuan di sebuah sekolah di Bukittinggi, Sumatera Barat. Mengetahui penulisnya seorang perempuan saya menjadi mengerti mengapa cerpen yang menceritakan kehidupan tokoh laki-laki ini diceritakan dengan gaya penulisan yang feminin.
Cerpen ini menarik jika dilihat dari gaya bahasa dan gender. Beberapa ahli sastra seperti Pradopo (1997), Sayuti (2000), Keraf (2008), Sudjiman (1993), Aminuddin (2004), Suparman (1997), dan Waridah (2008) sepakat bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan atau mengungkapkan pikiran dan maksud dengan menggunakan media bahasa indah.
Khusnin (2012) menyampaikan bahwa pengungkapan pikiran dan maksud itu dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, dan untuk maksud tertentu, serta mampu memberikan kesan suasana yang menyentuh daya emosi pembaca. Gaya bahasa akan mendapat reaksi yang berupa tanggapan dari pembaca atau pendengar. Perbedaan keduanya adalah gaya bahasa merupakan gaya seseorang mengungkapkan bahasa baik langsung maupun tidak langsung (kias), sedangkan majas gaya bahasa yang cenderung gaya seseorang yang secara tidak langsung (kias).
Dalam karya sastra, biasanya gaya bahasa pengarang perempuan berbeda dengan gaya bahasa pengarang laki-laki. Elly Delfia dalam tulisannya berjudul “Bahasa Feminin dalam Kumpulan Cerpen Catatan Pertama Karya Reno Wulan Sari” (Scientia, 2019) menyampaikan bahwa perempuan memang makhluk lain sedikit dari laki-laki. Bahasa yang digunakannya juga berbeda dengan laki-laki. Bahasa ataupun diksi yang digunakan perempuan identik dengan gender mereka. Bahasa tersebut kadang menjadi teka-teki dan rahasia yang rumit untuk dimengerti oleh laki-laki.
Dengan dasar hal di ataslah kita bisa memahami cerpen “Senja di Hari Itu” adalah cerita yang berkisah tentang kehidupan kaum lelaki, tetapi ditulis dengan gaya yang feminin (bersifat kewanitaan). Mengutip apa yang disampaikan Delfia (2019) yang menyampaikan bahasa feminin tersebut adalah wujud dari alam bawah sadar yang dimiliki oleh penulis sebagai seorang perempuan. Hal tersebut seperti halnya pernyataan Sigmond Freud yang menerangkan bahwa alam bawah sadar mengatur tingkah laku manusia serta penyimpangan-penyimpangannya. Menurut Freud, teks sastra memang membuka kemungkinan untuk mengungkapkan keinginan terpendam dengan cara yang dapat diterima oleh kesadaran (Minderop, 2010).
Dalam menulis cerita “Senja di Hari Itu”, Elang Humaira menghadirkan tokoh laki-laki dan persahabatan tokoh di dalamnya. Ia berusaha mengisahkan hidup para tokoh sesuai dengan cara pandangnya terhadap hidup laki-laki. Artinya, Elang hanya menangkap atau menerka-nerka kehidupan laki-laki itu. Dia tidak mengalami bagaimana kehidupan laki-laki itu sebenarnya, karena dia adalah seorang perempuan.
Dengan dasar itu, Elang akhirnya menulis sesuai apa yang ada pikirannya (yang notabene seorang perempuan). Dia menggambarkan kehidupan tokoh laki-laki sebagaimana pandangannya. Ia menulis dengan perasaan dan bahkan memilih kata (diksi) pun lebih cendrung sebagai perempuan. Elang Humaira gagal menghadirkan tokoh laki-laki yang maskulin dan dia gagal menggambarkan kehidupan laki-laki dalam ceritanya sebagai tokoh yang maskulin.
Kelemahan lain cerpen ini adalah cara Elang memilih bahasa tulis yang masih kaku. Selain itu Elang kurang memperhatikan pengulangan kata sehingga menghadirkan kata-kata yang mubazir. Hal ini seperti dapat dilihat pada kutipan ini:
“Haaaah… pulanglah kau, An. Hari sudah hampir asar. Pergilah kau mandi dulu. Lalu kau sholat. Doakan yang terbaik untuk Ian, An. Jangan kau lupa membaca amplop itu,” ucap Kak Nira sambil menatap ke atas langit untuk menahan air yang mendesak keluar dari ujung matanya.
Dari kutipan tersebut dapat dilihat Elang berulang kali mengulang kata “Aku” atau “Ku” dalam satu atau dua kalimat saja. Hal ini membuat kalimat yang ditulis tidak nikmat untuk dibaca. Kelemahan ini bisa diatasi dengan mengurangi pengulangan kata dalam kalimat tersebut.
Sungguhpun demikian, kita perlu mengapresiasi proses kreatif Elang Humaira Cipto yang sudah menghasilkan sebuah cerpen berjudul “Senja di Hari Itu” ini. Kisah yang menyentuh, ditulis dengan bahasa yang menyentuh. Sekali lagi walaupun ada beberapa kekurangan tetapi proses kreatif Elang Humaira perlu diapresiasi. Dia berhasil menghasilkan karya yang menarik untuk dinikmati. Semoga ke depan Elang terus melahirkan karya-karya yang bermutu dan bisa hadir di tengah pentas sastra Indonesia. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post