Si Makin Kundang
Ini cerita Si Makin Kundang
dari lembah hendak ke bukit
dari kampung hendak ke kota
dari sini hendak ke sana
membawa humor
menanyai orang-orang yang sedang santai
di sebuah kafe atau sebuah lepau
sejenak singgah jua di pematang ratapan
“Buah apa yang durhaka?” katanya melempar teka-teki.
Orang-orang larak-lirik mengulum senyum.
“Bukan buah itu,” katanya.
Si Makin Kundang memprovokasi orang-orang.
“Ingat saya, ingat saya. Legenda masa kecil Anda.”
Bapak-bapak pun membuka bungkus nasi
yang menjadi bekal siang mereka.
Membaca hari yang terik dengan amarah.
Janda-janda pergi ke tanah rantau, sementara bayi-bayi
menggigil di rumah adat, dibesarkan dengan tungku yang berasap,
mengepul meskipun sekadar menjarang air nasi,
bukan lagi sebuah ASI.
Ini ibu-ibu yang durhaka, kata mereka.
Ibu-ibu pun jengah.
Mereka menyibak koran pembungkus gorengan di depan mata.
ditemukan duda-duda menggagahi anak-anak mereka.
saat istri sudah tiada
karena berjuang untuk sebuah penyakit yang mengganas,
tapi ayah kemudian menjadi hina
hanya untuk sebuah hasrat gila.
Ini bapak-bapak yang durhaka, sahut mereka.
Di kantor-kantor, juga perguruan tinggi.
orang-orang berkompetisi. untuk sebuah jabatan pribadi.
sikut-menyikut kolega dan juga junior muda.
menyebar fitnah dan juga kebencian
yang kian lama menjadi kepalsuan termanajemen.
hati yang merusak ilmu
di balik orang-orang pintar yang durhaka.
Di tepi sawah di hidden gem sebuah kota
muda-mudi menonton beranda tik tok mereka.
membaca ibu-ibu yang murka.
direbusnya gorengan yang tak kunjung kriuk.
dikukusnya cabai yang tak kunjung menjadi sambal goreng.
Ini pemimpin-pemimpin yang durhaka, keluh mereka.
Tidak hanya minyak goreng yang meninggi harganya,
tapi juga pangan alternatif yang kian bodoh saja.
bagaimana bisa dua buah pisang menggantikan seporsi nasi
yang hidup berabad-abad?
menjadi budaya dalam warisan masyarakat
mengakar di halaman tua melalui sebuah keyakinan
untuk hidup dengan kebahagiaan yang fatamorgana
lambung-lambung yang luka karena miskin
kini menjadi perih diolesi kata-kata yang menjadi duri.
yang durhaka ini dulunya mengemis dari sebuah janji.
Mereka perih dan bertanya balik dengan menyerah.
Buah apa yang durhaka?
“Melon Kundang,” katanya sembari berlalu terkekeh-kekeh.
menertawakan nasib yang kian asing di negeri sendiri.
dari atas sana
Malin Kundang tertawa tertampan-tampan.
ia sukses berbisnis.
ialah crazy rich yang abadi.
menghitung orang-orang yang satu legenda dengannya.
di depan sebuah pintu, dia menanti dan menyapa,
“Hai, Si Makin Kundang,” sapanya kepada hati
yang penuh ambisi dan juga iri dengki.
April, 2022
Bukan April Mop
Bulan ini tak layak dikenang
menjadi sebuah April Mop
untuk sekadar lucu-lucuan
meskipun badut sudah bergerombol
membuat orang-orang terhibur dan juga percaya
dengan pemimpin dan pemuka
yang tertawa-tawa bergemuruh dari atas singgasana
Bumi tak bisa lagi menipu orang-orang
dengan berita di layar kaca
mengganti isu koruptor dengan crazy rich berkedok saham
menggoreng isu pandemi untuk meraup untung triliun rezeki
sudah terlalu lama bungkam dengan derita
sudah lelah dengan sosok yang berpakaian pencitraan semata
tangan bengis mereka menyuruk di belakang kerakusan
Ini barisan bukan April mop
tapi barisan untuk sebuah hari kelam
meskipun nanti tak tercatat menjadi sejarah
dari dunia yang bimbang, mereka sudah bersuara
berperang untuk ketidakadilan
April, 2022
Dongeng Negeri Kartu
Ada sebuah dongeng
dari sebuah negeri yang bernama negeri kartu
Jika engkau berjalan jauh
naik kereta atau pesawat murah
jika tak ada kartu penduduk,
engkau tak akan bisa berkelana
meskipun kau lahir di negeri ini
Di negeri ini
tak ada tanah kelahiran ibu jika kau tak memiliki kartu
begitulah hingga kau sakit parah sekali pun
meregang nyawa dengan napas lemah
engkau tak akan bisa berobat ke rumah sakit mana saja
sebelum engkau punya sebuah kartu penduduk
dan juga kartu kesehatan
silakan pasrah menerima ajal
seperti laki-laki yang meregang nyawa
di sebuah kantor catatan sipil
Kala kau tak ada uang untuk membeli kendaraan
atau lemah mental menjadi seorang supir
kau tak akan bisa naik transportasi umum
tanpa kartu yang kaubeli
meskipun dengan uang jerih payahmu sendiri.
Di negeri kartu ini
setiap transaksi ada biaya
ada potongan setiap bulannya
yang harus berubah menjadi sedekah.
harus ikhlas. harus ikhlas.
Jangan mengeluh.
ini negeri kartu.
ada harga untuk sebuah investasi
di balik kartu yang akan engkau beli
kartu-kartu dijual berlevel seri
dari silver, gold, dan platinum ada
kartu yang menampilkan kesombonganmu
di layar anjungan tunai mandiri
dengan angka-angka yang angkuh pula
seberapa digit hartamu itu
April, 2022
Biodata Penulis:
Ria Febrina, lahir di Batusangkar pada 3 Februari 1988. Ia menamatkan S-1 dan S-2 di Universitas Andalas dan saat ini sedang menempuh studi S-3 di Universitas Gadjah Mada Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora. Sejak tahun 2015, ia mengabdi sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Harian Padang Ekspres, Majalah P’Mails, Jurnal Bogor, Scientia, antologi puisi Dua Episode Pacar Merah (2005), antologi cerpen Jemari Laurin (2007), dan antologi cerpen Rumah Ibu (2013).