Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Akhir pekan lalu, saya berkunjung ke tempat salah seorang pengrajin seni ukir motif khas Minangkabau di Sungai Pua Kabupaten Agam. Pak Af, begitu beliau memperkenalkan dirinya kepada kami saat pertama bertemu. Saya senang dan antusias bertemu dengannya. Tentu ada pengalaman, pelajaran, dan juga cerita menarik yang menambah wawasan terutama dalam hal seni ukir motif khas Minangkabau.
Sesampainya di kediaman Pak Af, kami diajak ke gudang tempatnya bekerja. Saya takjub melihat berbagai benda unik dan menarik yang tercipta dari tangan kreatifnya. Ada beberapa jenis ukiran motif Minangkabau yang terpampang di dinding, juga miniatur Jam Gadang dan Rumah Gadang Istana Pagaruyuang. Tidak hanya itu, ia juga menyimpan beberapa potongan papan dan kayu yang berukir motif khas Minangkabau dari Rumah Gadang yang sudah roboh. Ia juga memiliki hobi dalam memotret berbagai ukiran Rumah Gadang, dan hasilnya dicetak dalam bentuk dummy dengan penjelesan nama motif, makna, dan filosofinya, disertai juga beberapa jenis produk yang dapat digunakan motif tersebut. Saya kira akan lebih bagus jika dummy itu diterbitkan menjadi buku.
Ada cerita unik dan menggelitik dari pembicaraan kami dengan Pak Af. Bukan persoalan jenis motif ukir khas Minangkabau atau filosofi yang terkandung di dalamnya, namun perihal salah satu kata dalam dialek bahasa Minangkabau yaitu kusuih. Dan setelah pertemuan itu, kata kusuih selalu menjadi bahan pembicaraan kami selama perjalanan balik ke Padang. Kata kusuih sebenarnya tidak asing dan lazim digunakan dalam bahasa keseharian, terutama di lingkungan tempat saya tinggal.
Kusuih yang dimaksud adalah khusus dalam bahasa Indonesia. Khusus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna khas; istimewa; tidak umum. Dapat dipahami bahwa kusuih yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki kekhasan dan tidak umum, jika itu berupa barang maka ia unik dan hanya dimiliki oleh si pemilik saja. Lebih kerennya kita sebut dengan “tiada duanya”. Setiap yang kusuih tentu istemewa dan menjadi sebuah kebanggaan bagi si empunya.
Cerita ini bermula saat Pak Af bertanya mengenai posisi kata kusuih dalam bahasa Minangkabau dan maknanya. Kami mencoba menjelaskan sesuai dengan kemampuan dan bidang ilmu yang dipelajari. Salah seorang tim kami juga mencoba menelusuri kata kusuih dalam Kamus Minangkabau-Indonesia, juga memberikan kata lain yang dapat digunakan dan memiliki makna sama dengan kusuih serta terdaftar di dalam kamus. Sepertinya penjelesan kami tidak seperti yang diharapkan dan agaknya sedikit membuat Pak Af kecewa. Kenapa begitu?
Jawaban itu baru dapat kami ketahui dua jam kemudian. Hal yang membuat kami tertegun dan menyadarinya adalah sebuah plastik kemasan dengan merek dagang “Kusuih Minang”. Agaknya cukup lama pula kami terperangah dan saling pandang mengenai penjelasan kusuih tadi, namun tetap diakhiri dengan gelak tawa bersama Pak Af. Rupanya jawaban yang ingin didapatkan olehnya adalah dukungan dan legitimasi mengenai keberadaan kata kusuih dalam bahasa Minangkabau.
Saya menyadari hal yang kusuih haruslah diperjuangkan. Memang sesuatu yang kusuih terkadang sulit diterima oleh orang lain, tapi tidak ada yang mustahil bagi kita untuk mempertahankan yang kusuih tersebut. Yang penting kita harus giat untuk terus mempromosikannya. Tidak menutup kemungkinan pula kata kusuih juga masuk dalam kamus bahasa Minangkabau. Begitu pun bagi seseorang yang memiliki tempat kusuih di hati, tentu haruslah diperjuangkan agar jangan pindah ke lain hati.