Sudah Berapa Lama Kita
sudah berapa lama kita berusaha
menerka-nerka gerak-gerik cuaca
tanpa punya suatu apa untuk menafsirkannya.
sudah berapa lama kita membiarkan
sepatu-sepatu hanyut & layang-layang tersangkut
membiarkan tugu-tugu pahlawan
diam dan tak diperhatikan.
Sudah berapa lama kita
menabur bibit-bibit rumput
mewajarkan rongga hati berlumut.
seperti mimpi yang kusam
di bawah lipatan-lipatan dipan.
akankah kita menemukan kolam coklat panas
menghirup dalam-dalam aroma permen kapas
atau melihat migrasi ribuan burung kertas?
mencari sudut utara yang lain. dan ia pun terjaga di antara garis suaramu yang purba.
Ketika Seorang Tua
Begini saja:
aku akan mengunjungimu tiap akhir pekan
dengan yang seluruh dan yang akan.
merawat jari-jari terluka saat kau mulai
memecahkan bohlam kaca.
Begini saja:
aku akan pura-pura mendengar
segala celotehmu tentang samudra
ombak yang membentur-bentur kepala ke dermaga
lalu perlahan-lahan mengkhianatimu dengan sabar.
Begini saja:
aku akan dengan senang hati menjadi pelupa
berhenti menanyakan kubur siapa
yang kita rayakan empat puluh hari kematiannya
bisakah kita menua tanpa ada
yang berubah dalam nada?
Kampung Cina
Seseorang menyapamu seperti kota yang ramah:
kau dapat menyusuri gedung-gedung bercat merah
dan mendengarkan dengan hikmat orkestra barang pecah
dan sejarah seperti ramah ibu
yang tak kau kenali di wajah
sendu yang sengaja diatur senada
lukisan sedih dan sepasang lingkar mata
–sudah lama tak ditatapnya
tapi ini masih rumah kita, bukan?
kancing baju yang lepas
adegan-adegan tak pantas
tapi ini masih rumah kita, bukan?
“Penghuni lorong”
kau bisa menjaga kota selepas petang
jika pintu-pintu ditutup
dan orang-orang tak lagi berdatang
kau dapat tidur sepanjang lorong;
sepanjang kesadaranku
ia mengharapkan kota itu punya jendela, hijau tua kalau bisa
ia membayangkan duduk di situ mengamati petang,
menghitung berapa bendi pulang lalu mengenang; romantika aroma cengkeh
kalau-kalau tak ada lagi yang dapat ia bagi kecuali kenangan kecil di sudut kota ini
Biodata Penulis:
Surya Hafizh lahir dan menetap di Payakumbuh Sumatera Barat.
Tulisan-tulisanya tergabung dalam antalogi Buah Sebuah Pilihan (2017),
Berkisah di Kimia (2019), Empati (2020), dan Sehimpun Sajak Rindu (2021)
|Dapat ditemui di suryahafizh979@gmail.com.
Getir Bertubi
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
akankah kita menemukan kolam coklat panas
menghirup dalam-dalam aroma permen kapas
atau melihat migrasi ribuan burung kertas?
Sumardjo dan Saini (1997) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.
Hal ini dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris-supernatural. Dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia. Sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan.
Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 20). Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Hal itu disebabkan sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari masyarakat tersebut.
Pada edisi kali ini Kreatika memuat tiga buah puisi dari Surya Hafizh. Ketiga puisi tersebut berjudul “Sudah Berapa Lama Kita”, “Ketika Seorang Tua”, dan “Kampung Cina”. Seperti puisi-puisinya yang terdahulu, puisi-puisi Surya kali ini mengandung melankolia persona-persona yang berada dalam suasana liris kota.
Puisi pertama, “Sudah Berapa Lama Kita”, dengan pertanyaan-pertanyaan retorisnya menunjukkan kemajuan teknik puitika Surya. Penggunaan diksi telah mempertimbangkan komposisi tanda dan bunyi yang memberi keindahan puisi. Bait pertama meskipun mempunyai rima akhir ‘a’ yang biasanya membawa nuansa ceria, namun pada puisi ini menunjukkan sisi murung dengan klausa ketidakpastian: ‘sudah berapa lama kita berusaha/ menerka-nerka gerak-gerik cuaca / tanpa punya suatu apa untuk menafsirkannya.’ Meskipun manusia dapat membaca tanda-tanda alam melalui pengalaman dan proses belajar, namun cuaca adalah gejala yang hanya bisa diramalkan tanpa bisa dipastikan keadaannya pada masa mendatang.
Kemurungan pada bait pertama berlanjut dengan bait dua yang berisi gambaran tentang sesuatu yang telah luput dari perhatian, sesuatu yang telah tak dianggap penting (‘membiarkan tugu-tugu pahlawan/ diam dan tak diperhatikan.’). Bait ketiga suasana terabaikan menjadi lebih akut sampai ‘berlumut’. Metafora ‘rongga hati berlumut’ dapat bermakna keadaan yang tak mendapat perhatian, dibiarkan tanpa dibersihkan, diabiarkan lama menunggu, atau kebersihan yang tak dipelihara. Bait keempat berganti dengan sesuatu yang tak kalah menyedihkan, ‘seperti mimpi yang kusam/ di bawah lipatan-lipatan dipan.’ Mimpi kusam menunjukkan harapan yang tidak membantu memberi kebahagiaan karena telah digerus oleh kehidupan yang memburuk. Muculnya imjai ‘coklat panas’ dan ‘permen kapas’ pada bait kelima ternyata hanya keceriaan semu karena larik selanjutnya hanya kemustahilan perubahan menuju keadaan baik: ‘melihat migrasi ribuan burung kertas’. Ke mana pula burung-burung mampu bermigrasi selain ruang sempit sejangkau benang yang menggantungnya?
Kegetiran adalah unsur dominan puisi-puisi Surya. Pada puisi kedua, “Ketika Seorang Tua”, rasa getir itu muncul lagi dalam larik-larik yang membangkitkan imaji perih: ‘merawat jari-jari terluka saat kau mulai/ memecahkan bohlam kaca’, ‘ombak yang membentur-bentur kepala ke dermaga/ lalu perlahan-lahan mengkhianatimu dengan sabar’, dan ‘menanyakan kubur siapa/ yang kita rayakan empat puluh hari kematiannya’. Imaji-imaji suram tersebut merepresentasikan kekhawatiran Surya terhadap masa tua yang sarat dengan kondisi pikun, perangai nyinyir yang menyebalkan, serta obsesi atau pun fobia kematian. Ini tampak pada bait penutup ‘bisakah kita menua tanpa ada/ yang berubah dalam nada?’ Penyair berharap segala perubahan tersebut dapat disikapi dengan baik seperti keadaan sedia kala.
Bila kita merujuk pada pendapat-pendapat ahli di bagian awal tulisan ini, puisi-puisi Surya dapat dianggap sebagai refleksi kehidupan sosial di sekitarnya yang menjadi pemandangan pengarang dan bersentuhan dengan batin kreatifnya yang sensitif. Refleksi kehidupan yang ditangkap Surya cenderung murung yang menggugah rasa sesak. Begitu pula pada puisi ketiga yang terhubung kepada etnis Cina.
Ungkapan-ungkapan bernada gundah masih menghantui puisi yang diawali suasana merah meriah perayaan: ‘orkestra barang pecah’, ‘sendu yang sengaja diatur senada’, ‘lukisan sedih’, dan ‘pintu-pintu ditutup’. Memang para penyair biasa memiliki mata ironis yang membuatnya tertarik pada sisi lain yang tidak lazim daripada pandangan umum, di balik kemeriahan ada arsiran gelap ketidakriangan. Namun, Surya tidak pula bersungkup sendu kemurungan semata, penyair Payakumbuh ini juga menyelipkan imaji-imaji berwarna cerah dalam arsitektur puisinya, seperti ‘kota yang ramah’, ‘gedung-gedung bercat merah’, ‘ramah ibu’, ‘jendela hijau tua’, ‘bendi pulang’, dan ‘romantika aroma cengkeh’. Bentuk-bentuk ini memuat visual dan imajinasi menyenangkan yang membuncahkan dada.
Selamat memaknai hari kelahiran, Surya! []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post