Dr. Sulastri, M.Hum.
(Dosen Prodi S2 Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Menanggapi tulisan Elly Delfia minggu lalu mengenai “Satiris Gaya Komunikasi Kaum Melenial”, saya jadi tergelitik memahami teks di Instagram sebagai gaya menulis kaum milenial dalam mengekspresikan dirinya. Teks-teks tersebut tampaknya menarik perhatian. Itulah sebabnya pada tulisan ini saya ingin menemukan ideologi dan mitos yang digunakan oleh kelompok milenial dalam kajian semiotika.
Ketika teori semiotika memaparkan persoalan historis, ada yang melihat bahasa sebagai model Saussure, dengan cara bagaimana mengutarakan pesan melalui Instagram, YouTube, dan media sosial lainnya. Cara bagaimana menyampaikan pesan secara tepat, singkat, dan padat dalam ruang terbatas. Oleh sebab itu, teks itu menjadi hasil ’wicara’ (parole) dan bukan ’bahasa’ (langue). Menurut Roland Barthes: ”kita tidak tahu siapa yang berbicara; naskah atau teks sudah berbicara sepenuhnya”. Sekarang diskursus dilakukan sendiri, ia tidak memiliki subjek tertentu. Ia bisa dilakukan oleh berbagai subjek. Sudah terjadi diskursus membentuk diskursus pada saat mengungkapkan narasi. Terjadi dikotomi Saussure, pengaruhnya menyebar dalam aspek: 1) semiotik komunikasi menekuni tanda sebagai bagian dari proses komunikasi; 2) semiotik konotasi, pengaruh makna konotatif kata Roland Barthes dalam kajian film, foto, dan iklan: 3) semiotik ekspansif dalam bidang filsafat.
Roland Barthes mengembangkan teori de Saussure. Ia menjelaskan bagaimana sesuatu itu didominasi oleh konotasi. Konotasi oleh pemakai tanda dikembangkan ke berbagai sudut dari segi petanda (makna atau isi suatu tanda) dan bisa diarahkan bila konotasi telah menguasai masyarakat. Dengan begitu, ia akan menjadi mitos. Barthes lebih menginginkan imaji sejati. Ia mengatakan mitos adalah sebuah pesan, gagasan, atau objek. Dengan kata lain, mitos didefinisikannya menjadi ’bagaimana caranya mengutarakan pesan’. Oleh sebab itu, ia adalah hasil ’wicara’ (parole), bukan ’bahasa’ (langue). Gagasan Roland Barthes terletak pada fase peralihan antara strukturalisme ke pascastrukturalisme. Ia merupakan pionir dalam meneliti tanda dalam sistem budaya. Menurutnya, ada titik temu antara linguistik dengan kajian budaya.
Dalam buku Mythologies-nya, Roland Barthes memunculkan gambaran bahwa (1) kritik ideologi terhadap bahasa budaya karena penyalahgunaan ideologi oleh bahasa; (2) membongkar semiologis atas bahasa disebabkan oleh adanya kaitan bis repetid placent (Barthes,1983:x-xi). Menurut Barthes, konsep konotasi merupakan sebuah pengembangan signifie (petanda, makna) oleh pemakai bahasa. Ia menyatakan pula bahwa pada saat stabil dan mantap maka konotasi akan menjadi mitos. Selanjutnya, ketika mantap, mitos akan menjadi ideologi. Semiotik Roland Barthes maupun Peirce keduanya melihat adanya suatu proses dalam pemaknaan.
Roland Barthes menguraikan analisisnya secara tajam dengan cara mengangkat pesan tentang beberapa aspek keseharian dalam berbahasa. Pesan yang ditemukan itu dianggap sebagai cara subjektif yang ditelaah secara unik dan kritis. Pesan dikaji dengan dasar kultural. Barthes mengatakan mitos itu pesan—bukan konsep, gagasan atau objek, lebih khususnya lagi mitos adalah ’bagaimana caranya mengutarakan pesan’. Menurutnya, ’mitos bukanlah kebohongan atau pengakuan: ia adalah pembelokan (Barthes, 1983:129). Jadi, menurutnya; menjadi pembaca mitos — yang berlawanan dengan pembentuk mitos, atau seorang yang ahli mitos–adalah penerima pesannya sebagaimana adanya.
Barthes orang yang berjasa mengembangkan gagasan teori Ferdinand de Saussure. Ia berhasil menerangkan berbagai keganjilan dalam berbahasa dan dapat diterima oleh pengguna bahasa, seperti bagaimana bahasa menciptakan dan melanggengkan mitos baru kemudian dapat dijelaskan secara memadai. Kemudian, apabila teori penanda – petanda Saussure yang dimodifikasi lebih jauh maka mitos dari ideologi merupakan sistem tanda. Ideologi dan sistem tanda perlu ditafsirkan. Satu sisi apakah mitos bisa menjadi wicara yang natural atau sebaliknya. Pada sisi lain, untuk mengetahui apakah penting dan bisa tidaknya mitos dianalisis sebagai mitos. Menurutnya, tanda budaya bukanlah sesuatu yang polos murni (innocent) namun sebaliknya, tanda justru memiliki kaitan yang kompleks dengan reproduksi ideologi.
Bila Umberto Eco lebih menitikberatkan reproduksi tanda saat komunikasi pembaca, Roland Barthes mereproduksi ideologi dalam tataran budaya. Ideologi merupakan bagaimana menempatkan kekaburan bahasa dan bagaimana penolakan secara kultural. Menurut Roland Barthes, tanda bukan saja gabungan sederhana dari penanda yang ditandakan karena tanda selalu dikonotasikan. Pernyataan ini sama dengan yang diterapkan Peirce pada puisi, namun Barthes menyatakan tanda adalah tulisan bersifat ’tautologis’, atau bersifat retorika yang mengarah ke dimensi puitis. Di sini, titik persamaan terdapat pada bidang retorikanya. Retorika tanda setara dengan sifat rasionalisasi bisa secara alami be transformasi dan bisa pula memenuhi tujuannya.
Sebagaimana uraiannya di atas, diperlihatkan proses retorika ketika mengeksplisitkan kode-kode dalam narasi teks. Menurutnya, ada lima kode yang hampir mirip retorika yang menjadi titik perhatian: 1. Kode hermeneutik (teka-teki); 2. Kode semik (makna konotatif); 3. Kode simbolik; 4. Kode proaretik (logika tindakan); 5. Kode gnomik (kode kultural).
Menurut Roland Barthes, perluasan makna diistilahkan juga dengan metabahasa. Tanda sebagai (penanda, petanda) pada tahap pertama menjadi tahap kedua akan mempunyai penanda lain. Kita ambil contoh apa yang dikemukakan pada data Elly Delfia dengan apa yang dijelaskan pada penanda (imaji bunyi)/s u l t a n/ mempunyai hubungan/ relasi (R1) dengan petanda (konsep) ‘darah biru, orang kaya, klas tinggi (high class)’. Keduanya ini merupakan tanda pada tahap pertama. Pada mitos, berbahasa verbal (lisan maupun tulisan) hubungan antarunsur bersifat linear dan hubungan multidimensial. Konsep diterima secara global, sebagai pengetahuan yang dipadatkan bahwa seorang sultan berbeda dari dari orang kebanyakan (orang biasa). Pada tahap kedua, petanda menyatu dengan penandanya. Petanda tidak hilang, melainkan tersembunyi dan berkat relasinya dengan penanda. Di sini tampak deformasi makna. Deformasi bukan berarti peniadaan makna. Mengacu pada petanda tahap pertama muncul mitos yang menampilkan petanda baru, yaitu keberbedaan kelas sultan dari orang kebanyakan. Ia orang berpunya, orang kaya diri lebih tinggi dari orang lain, dan ia tidak sama derajatnya dengan orang lain. Selalu merasa tinggi dirinya lebih sombong, lebih elegan, dan merasa lebih dari orang kebanyakan sehingga terkesan ia bisa bebas berbuat sesuka hati tanpa penghalang.
Demikianlah mitos sebagai suatu nilai. Hal ini tidak memerlukan kebenaran karena konsep tersebut terurai dan dapat berubah. Konsep itu dapat meluas, membesar, dan memanjang serta dapat menjadi penanda konsep yang selalu berkembang. Sebagaimana diketahui, mitos merupakan suatu tuturan yang lebih ditentukan oleh maksudnya daripada bentuknya. Contoh kalimat “Sultan mah bebas ngapain aja (anonim komentar di Instagam). Orang membaca komentar ini akan memberi makna tertentu, apakah Sultan manusia bebas dari hukum dan bebas dari tata aturan apa pun sehingga kebebasan yang dimilikinya tanpa batas. Sultan seolah-olah manusia super yang tidak dapat disentuh oleh apa pun jua. Dari sini tampak bahwa une parole vole’e et rendue ( tuturan yang dicuri, kemudian dikembalikan). Ketika dikembalikan tuturan itu tidak sama lagi. Ia tidak lagi seperti ketika dicuri. Pencurian sesaat inilah yang membentuk tuturan mitos itu.
Tidak ada yang menghubungkan imaji bunyi dengan konsepnya. Ini yang disebut arbitrer. Meskipun demikian, sifat arbitrer ini ada batasnya. Sementara itu, signifikasi dalam mitos tidak bersifat arbitrer. Ada bagian yang mengandung motivasi. Mitos selalu menampilkan analogi bentuk atau makna. Dengan kata lain, mitos merupakan sistem ideografis. Di sini, bentuk mendapat motivasi dari konsep yang ditampilkan.
Sementara itu, Aart van Zoest mengemukakan bahwa ‘ideologi keterkaitan sejumlah asumsi yang memungkinkan penggunaan tanda (1993:51). Ada keterkaitan yang sangat kuat antara ideologi dan budaya, bahkan ideologi bagian dari budaya. Apabila kaum milenial atau suatu kelompok masyarakat ingin menanamkan atau menyebarkan ideologinya, ia akan menampilkannya dalam salah satu ungkapan budaya “anak mudanya”, baik dalam bahasa verbal maupun cara berkomunikasi. Ini berarti bahwa kaum milenial akan menciptakan mitos. Namun, problemanya bagaimana mereka menemukan ideologi dalam ungkapan-ungkapan spontan tersebut? Teori signifikasi Roland Barthes dapat membantu dalam penganalisan data tersebut.