Lelaki Angin
Cerpen: Sakura Fitri
Jika kau adalah lelaki angin
Saat kau pergi
Hendak kemana lagi kan kuutarakan rindu?
Aku memasuki kafe tempat pertemuan yang sudah dikirimnya pagi tadi. Setelah sekian lama tak berkabar, mencarinya dengan susah payah, melupakannya setengah mati, ia muncul memberi pesan untuk bertemu. Apalagi kalau ini bukan anugerah. Lelaki yang kucari hingga ke ujung kampus sekarang berbalik ingin menemuiku.
Kakiku melangkah pelan mendorong pintu kaca dan menengok ke beberapa meja yang berisi pengunjung. Mataku berhenti pada sosok jangkung yang duduk sambil menatap kopi di hadapannya. Aku melangkah pelan menghampirinya.
“Kenapa datang sendiri?” tanya lelaki itu dengan tatapan sengit.
Aku terperanjat. Pertanyaan macam apa ini? Aku benar-benar merasa dia adalah orang asing. Bukan lelaki yang mencintaiku setulus hati seperti dulu.
“Kamu memintaku datang untuk bertemu denganmu. Kenapa sekarang mempertanyakan kenapa aku datang sendiri?” Aku tak kalah sengit menjawab pertanyaannya. Kulihat raut wajahnya berubah kecewa.
“Karena kamu perempuan, sedangkan aku laki-laki” Lelaki berkemeja lengan panjang yang kancingnya sengaja dilepas dengan kaos bertuliskan huruf Arab itu menunduk berkali-kali ketika tanpa sengaja pandangan kami bertemu.
“Bukankah dulu kita sering bertemu seperti ini?” Aku kembali terheran dengan tingkahnya yang berubah drastis.
“Sekarang sudah berbeda, Za. Aku sudah tidak sama lagi dengan aku yang dulu.”
Iya, dia sudah sangat jauh berbeda, aku bahkan sampai tidak lagi mengenalinya. Batinku.
“Baiklah, sekarang maumu apa? Aku sudah di sini meskipun sendiri tidak seperti yang kamu inginkan” aku to the poin sambil menahan butiran panas dari pelupuk mata. Aku benar-benar sudah kehilangan sosok ini.
“Duduklah dan pesanlah sesuatu.” Lelaki jangkung yang biasa kupanggil Randa menyodorkan buku menu. Aku menatap buku itu tanpa selera dan memesan sembarangan.
Setelah pesananku dicatat pelayan, ia masih membuang muka. Sesekali ia menunduk. Tak jarang ia lebih memilih mengamati sekitar dibandingkan dulu ketika ia lebih sering memanjakanku dengan tatapannya. Aku kecewa. Sosok yang aku cari selama berbulan-bulan lalu benar-benar menghilang. Lelaki ini entah siapa. Aku benar-benar tidak mengenalinya.
Pikiranku menerawang pada kejadian silam. Ketika aku menolak berkali-kali perasaannya hingga aku lelah untuk menolak dan memilih untuk menerimanya. Setelah perasaannya resmi aku terima, Randa benar-benar memperlakukanku istimewa. Hingga perasaan halus diam-diam menyusup dalam relung hatiku. Aku akhirnya jatuh cinta padanya.
Dalam bulan-bulan yang indah itu, aku tidak pernah lepas darinya. Berkegiatan, berbincang, membuat tugas kuliah, hingga hang out selalu ada di akhir pekan. Ini adalah perasaan pertama yang aku rasakan. Aku tidak ingin kehilangannya, bahkan sampai suatu ketika.
“Aku ingin suatu hari nanti kita menikah. Memiliki anak-anak yang cantik sepertimu dan ganteng sepertiku,” ungkapnya tulus.
“Ganteng sepertimu?” Aku meledeknya dan kami pun tertawa.
“Iya dong. Nanti jika perempuan, aku ingin nama anak kita ada penggalan kata Aisyahnya. Pencemburu sepertimu.” Hatiku meleleh dan mengaminkan dalam hati.
Atau di kesempatan lain. Ketika ia sedang sakit, aku mengantarkan makanan dan obat untuknya. Meski hanya sampai pagar kosnya saja. Aku sangat bahagia sudah merawatnya dengan baik. Pikiran masa depan mengambang bebas di angkasa pikiranku. Aku ingin tua bersamanya.
Hingga enam bulan yang lalu ketika ia menghilang tiba-tiba. Tanpa kabar. Lenyap. Ketidakhadirannya dalam satu semester membuatnya cuti otomatis dari sistem kampus. Aku mencari ke kosnya dan bertanya ke teman-teman dekatnya. Nihil. Lelaki yang menyematkan masa depan indah itu lenyap ditelan bumi. Tidak ada lagi Randa yang selalu menyemangatiku. Tidak ada lagi Randa yang selalu menungguku di depan gang untuk berangkat ke kampus bersama. Tidak ada lagi Randa yang menguatkanku ketika banyak cemooh yang datang menghampiri kemesraan kami. Tidak ada. Aku benar-benar kesepian sepanjang waktu.
Ketika aku berhasil menepis segala perasaan cinta dan kecewa. Pesan singkat itu mengejutkanku. Aku ingin bertemu denganmu di kafe samping kampus nanti siang lepas zuhur. Tempat biasa kita bertemu tertera nama pengirimnya Randa.
Aku sekarang di sini dan di hadapan lelaki yang kunanti-nanti kehadirannya. Aku mengamatinya lebih dalam dan dari fisik tidak banyak berubah. Style berpakaiannya sama. Hanya baju kaosnya yang sedikit berubah. Ia tidak pernah mengenakan kaos bertuliskan Arab seperti itu. Keningnya yang menghitam. Entah karena apa. Aku mengeryitkan dahi heran. Kenapa dengan dahinya?
“Mungkin kamu heran dengan aku yang sekarang” Randa membuka percakapan. Aku memilih diam menyimak kalimat apa yang akan keluar dari mulutnya setelah ini.
“Aku sangat berharap kamu datang tidak sendirian. Tahukah kenapa?” ia mendongak padaku, lalu aku menggeleng.
“Kamu perempuan. Kamu harus paham bahwa kita tidak ada ikatan apa-apa.” Aku giliran mendongak ke arahnya. Menatapnya protes.
“Baiklah, kamu tentu akan mempertanyakan apa yang telah kita lakukan enam bulan lalu.” Nada suara Randa sangat tenang. Aku seperti terbawa angin kedamaian sesaat.
“Kita berpacaran waktu itu kan? Aku banyak memberikanmu janji yang teramat manis.” Aku mengganggukkan ucapanya
“Makin ke sini aku menyadari bahwa yang aku dan kita lakukan adalah salah.” Ucapnya. Aku mendadak seperti disambar petir. Pengakuannya juga sama seperti hatiku yang berulang kali memohon untuk menghentikan semua ini, namun aku mengabaikannya.
“Kamu perempuan dan aku laki-laki tidak memiliki hubungan pernikahan. Kita tidak mahram, Kanza. Itulah sebabnya aku ingin kamu datang dengan teman perempuanmu”
“Tapi kamu tidak memberitahukan padaku sebelumnya.” Aku protes.
“Iya, aku sudah mengirimkan pesan itu sesaat kamu akan memasuki pintu kafe.” Aku mengecek pesan. Benar, ada satu pesan yang belum kubaca. [bawa teman perempuanmu juga]. Tanganku mendadak dingin.
“Aku minta maaf sudah menjerumuskanmu sampai sejauh ini. Aku mengetahui kabarmu enam bulan terakhir. Banyak yang bilang bahwa kamu mencariku kemana-mana dan tidak semangat belajar lagi ya?”
Aku mengangguk pasrah, memang seperti itulah adanya.
“Maka sekarang sudah saatnya aku menjelaskannya padamu bahwa hubungan kita kemarin tidak pernah ada. Tidak bisa diakui.”
“Apa?” Aku terkejut setengah mati. Semudah itu dia bilang tidak bisa diakui? Tidak pernah ada?
“Maaf, jika aku membuatmu terkejut. Enam bulan aku menghilang bukan untuk menjauhimu. Saat ujian semester terakhir aku bertemu dengan pamanku yang baru pulang dari Qatar. Kami banyak berbincang. Juga tentang pernikahan.” Randa tersenyum tipis, wajahnya masih menunduk menatapi kopinya yang mulai dingin. Aku bahkan baru mengetahui bahwa pamannya ada yang menetap di Qatar.
“Suatu hari, pamanku membaca pesanmu yang masuk. Aku merasa seperti tertangkap basah. Paman mengajakku berbicara lebih dalam. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Aku menyadari kita belum menikah. Entah kenapa saat itu aku merasa nyaman diperlakukan Paman. Beliau tidak memarahi dan memaki aku, tapi lebih merangkulku dan menunjukkanku jalan yang benar.” Randa masih terpekur pada cangkir kopinya.
“Berhari-hari aku memikirkan ucapan Paman, bahwa lekaki baik untuk perempuan yang baik, lelaki keji untuk perempuan yang keji. Perempuan yang baik untuk lelaki yang baik dan perempuan yang keji untuk lelaki yang keji.” Wajah Randa menyiratkan kesedihan. Pandangannya menyapu ruangan kafe mengusir tangis.
“Kamu harus tahu bahwa itu ada di dalam Alquran, Surat An Nur ayat 26.” Randa menangis. Air matanya tumpah namun segera ditepis dengan tangannya.
Aku mendadak beku. Kata An-Nur ayat 26 terngiang-ngiang di telingaku. Melihat Randa menangis, aku paham yang kami lakukan dulu adalah sebuah dosa. Aku paham perihal dosa, tapi kenapa aku baru disadarkan oleh tangis lelaki yang amat kucintai?
Oh Allah,,,terlalu jauh aku tersesat.
“Tapi cintaku kepadamu saat itu masih menggebu. Paman mengajakku untuk cuti kuliah dan tinggal bersamanya di Qatar. Aku digembleng oleh Paman. Tinggal bersama keluarga dengan nuansa islam yang kental. Dari bangun tidur hingga tidur lagi aku diajarkan banyak hal ilmu agama dan sekarang aku di sini. Menuntaskan hal yang tertunda enam bulan lalu.”
“Kita sudahi saja semua perasaan ini,” lanjutnya.
Air mataku yang menggenang di pelupuk mata kini tumpah. Tumpah sejadi-jadinya bersama isak yang semakin sesak. Aku merasa terpuruk dalam jurang yang dalam dan gelap.
“Aku ingin suatu hari nanti, kita bertemu dengan kesempatan yang baik dan iman yang lebih baik. Jika kamu adalah rusuk kananku. Insya Allah tidak akan tertukar.” Randa ingin menutup kalimatnya. Ia mulai memberesi tas dan gawainya yang tergeletak di meja menyimak percakapan kami.
“Aku pamit. Assalamualaikum.” Randa pergi sambil melampirkan senyum tipis yang membekukan perasaanku.
Kemeja lelaki itu melambai di tiup angin ketika pintu kafe sempurna tertutup. Aku masih membeku menyerap semua informasi yang diucapkannya. Sangat sulit diterima nalarku saat ini. Setelah menghabiskan jus jeruk hangat yang kini mulai dingin, aku pergi dari tempat yang penuh dengan kenangan ini.
****
Tiga tahun sudah berlalu. Aku perlahan memahami arti An Nur ayat 26. Kini dengan balutan gamis dan hiasan bahan till disekujur tubuh serta hijab yang terjulur panjang menutup tubuh sintalku. Aku mematut diri. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri sah dari seorang lelaki.
Aku sudah melupakan Randa. Sudah sangat lama. Berhijrah dengan tertatih dan membunuh rasa rindu. Menepis semua cemooh yang menghampiri telinganya. Bagiku, Randa adalah penyelamatku. Saat itu meskipun ia hadir seperti orang lain. Hatiku tak pernah menolak pengakuan tulus dari mulut lelaki itu.
Meski ia datang dan pergi seperti angin, tapi jika tanpanya aku mungkin tidak akan merasakan nikmat iman seperti sekarang. Merasakan damainya menimba ilmu dari taklim ke taklim, dari halaqah ke halaqah. Aku tahu, dia akan menghilang kembali seperti kemarin-kemarin. Ia akan membaur dengan teman lelakinya yang seiman dan tidak lagi memperdulikanku.
“Kanza, yuk kita keluar. Sebentar lagi akad nikah akan dilangsungkan. Bapak penghulu meminta calon mempelai perempuan juga ikut hadir.” Kak Ziya memutus lamunanku. Aku keluar. Semua hadirin menatapku takjub. Entah karena gaunku atau riasan make up-ku. Aku hanya tersenyum ringan. Aku duduk di jejeran barisan keluarga. Duduk di samping ibuku yang mulai sepuh. Kulirik ke depan, ayahku sudah duduk bersama lelaki yang akan berganti memikul tanggung jawab ayah selama ini. Aku bahagia.
Dengan sekali ucap, aku telah sah menjadi seorang istri dari seorang lelaki bernama Hanif. Dengannyalah aku akan mengabdi. Ibadah terpanjang dan terlama yang akan kujalani bersama suami. Entah bagaimana kabar Randa, aku sudah tidak peduli lagi. Semoga ia segera bertemu dengan rusuk kanannya dan bahagia.
Bukittinggi, 21 September 2019
Biodata Penulis:
Sakura Fitri adalah nama pena dari Fitri Afriani. Ia lahir di Bengkulu dan merupakan anggota FLP Sumatera Barat. Saat ini, ia menetap di Kota Bukittinggi bersama keluarga kecilnya. Dengan ditemani si gadis mungil, ia melewati hari-hari bermakna di rumah dan ia dapat dihubungi lewat nomor handphone 081374507670 atau berbagi pesan di email sakuraalvino@gmail.com.
“Lelaki Angin”, FLP, dan Kesusastraan Indonesia
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta)
Membaca cerpen “Lelaki Angin” karya Sakura Fitri yang merupakan nama pena dari Fitri Afriani mengingatkan kita pada fiksi-fiksi yang dihasilkan oleh penulis-penulis, seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Maimon Herawati, Izzatul Jannah dan sederet penulis yang lahir dari rahim Forum Lingkar Pena (FLP) lainnya. Sudah lama saya tidak menemukan karya-karya dengan tema yang sangat khas itu, yang kadang sering di “cemeeh” oleh banyak kritikus sastra atau sekadar pembaca karya sastra.
Tema-tema yang diusung sangat mainstream, sangat hitam putih, dan menceritakan bagaimana hijrahnya seseorang dari kehidupan yang masih awam menjadi kehidupan dengan menerapkan adab Islami. Dulu, di beberapa majalah dan buku-buku terbitan FLP, sering ditemukan tema-tema seorang perempuan, biasanya mahasiswa atau pelajar yang ingin berhijab kemudian ditentang oleh keluarga dan lingkungannya. Akhirnya, dengan ending yang begitu sangat gampang ditebak, si tokoh bersusah payah memperjuangkan keyakinannya untuk berhijab.
Ada juga cerita seorang laki-laki terkenal, bintang sekolah atau bintang kampus, tiba-tiba kemudian menjadi pendiam, rajin ikut pengajian, dan bahkan memilih jalan hijrah untuk ditempuh. Pola-pola cerita seperti “Ketika Mas Gagah Pergi” itu begitu banyak turunannya. Ada banyak cerita serupa yang digandrungi anak-anak muda aktivis kampus atau aktivis Rohis sekolah waktu itu.
Kini dalam cerpen “Lelaki Angin” karya Sakura Fitri saya menemukan tema yang sama dengan kemasan kekinian tentunya. Seorang perempuan bernama Kanza, mahasiswi sebuah perguruan tinggi menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki kharismatik di kampusnya bernama Randa. Randa begitu memesona dengan segala perjuangannya untuk mendapatkan cinta Khanza. Pada saat Khanza sudah menerima cintanya, Randa menghilang satu semester tanpa kabar, tanpa berita. Khanza pontang-panting mencarinya.
Khanza yang baru saja benar-benar jatuh cinta padanya mencari Randa sampai ke ujung kampus (begitu bahasa penulisnya) benar-benar terpuruk hingga tidak bersemangat kuliah. Tiba-tiba suatu hari di saat Khanza sudah putus asa untuk menemukan Randa dan cinta yang dibawanya pergi, laki-laki itu datang mengajaknya bertemu di sebuah kafe. Khanza sumringah. Seperti bunga yang layu tiba-tiba mendapat setetes air yang menyejukkannya.
Namun pahitnya, dalam pertemuan itu Randa berubah. Ia tak lagi mau menatap wajah Khanza, kekasihnya. Ia membuang muka, bukan karena tak cinta lagi, namun karena ingin menjaga kehormatan mereka. Singkat cerita, Randa menyampaikan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini keliru. Tidak ada cinta antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah, begitu kata-kata yang meluncur dari bibir Randa. Walau pahit, Khanza menerima keputusan Randa yang mengunci bibir Khanza dengan kata-kata “Jika kamu adalah rusuk kananku, insya Allah tidak akan tertukar.”
Kisah yang ditulis Sakura tersebut sangat populer dulu. Hal tersebut dilandasi oleh sikap penulis sebagai bagian dari Forum Lingkar Pena (FLP) yang memandang karya sastra sebagai media dakwah. Komunitas sastra ini lahir pada dekade 1990-an. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh penolakan karya-karya sastra Islami yang dialami banyak anak-anak muda waktu itu. Penolakan atas karya tersebut juga dialami oleh Helvy Tiana Rosa (selanjutnya ditulis HTR). HTR sebagai pentolan FLP mewariskan pada anggota FLP bahwa tujuan dalam menulis ini, yaitu untuk menyebarkan pemikiran, untuk mengembangkan kemampuan dan untuk menambah penghasilan (Rosa, 2003).
Lebih jauh HTR menyampaikan bahwa tujuan yang pertama ini membuat karya-karyanya pada tahap awal banyak ditolak oleh penerbit. HTR yang sangat memahami bahwa berdakwah melalui tulisan adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang muslim, menjadikan karya-karyanya penuh warna keislaman. Dia harus menunggu lama untuk mendapat kesempatan menerbitkan buku hasil pemikirannya.
Seperti diceritakan HTR (2003), ia bukannya tidak berusaha, tapi sudah banyak penerbit yang didatanginya, menunggu berjam-jam, tapi tetap saja tidak ada yang mau menerbitkan karya-karyanya. Karena waktu itu penerbit tidak pernah tertarik dengan karya sastra Islami. Menyadari bahwa karya-karyanya harus dibaca oleh orang lain, sementara media untuk itu belum ada. Pada tahun 1991 tanpa ada yang menduga HTR seperti terlahir bersama Majalah Annida. Majalah Islami yang memuat fiksi-fiksi buah karya penulis-penulis idealis seperti HTR. Annida tumbuh sebagai wadah bagi penulis-penulis muda, dengan bentuk dan ciri karya sastra berbeda dari karya-karya sastra Indonesia sebelumnya.
Kelahiran FLP (tepatnya 22 Februari 1997) berawal dari penolakan, pencekalan, pengebirian atas karya-karya mereka. Tidak ada yang mau menerbitkan karya seperti yang mereka hasilkan. Lalu mereka merintis wadah sendiri dan membesarkan sendiri sehingga mampu mewarnai Sastra Indonesia pada usia mereka yang masih muda. Walaupun dari segi kualitas karya-karya penulis FLP masih harus diperbaiki, bahkan banyak orang mengatakan bahwa karya-karya mereka tidak bermutu, di sisi lain kita harus mengakui bahwa mereka ada di tengah-tengah sastra kita. Karya-karya penulis FLP lahir menjadi bacaan rakyat Indonesia. Mereka mampu menempatkan diri sejajar dengan penulis-penulis Indonesia lainnya. Kita harus mengakui bahwa FLP mampu memposisikan diri dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia.
Dalam perkembangannya, FLP bermetamorfosis juga, karya-karya anggota FLP berubah tidak lagi kaku sebagaimana pada awal-awal kelahirannya. Salah satu contohnya seperti yang ditulis Sakura Fitri ini. Walau temanya sangat klasik, ada perubahan dalam tema-tema cerita tersebut. Tokoh Randa yang hijrah kalau pada masa-masa dulu, biasanya disebabkan oleh ikut pengajian di kampus atau ikut pengajian Rohis di sekolah. Pada cerita “Lelaki Angin” ini, penulis membuat tawaran yang berbeda di mana tokoh mendapat hidayah setelah berdiskusi dengan pamannya yang merantau ke Qatar, bahkan Randa selama 6 bulan tinggal di Qatar untuk mendalami Islam.
Hal baru yang ditawarkan penulis dalam cerita “Lelaki Angin” adalah penampilan Randa yang menggunakan kaos dilapisi kemeja dengan kancing terbuka. Hal ini berbeda dengan cerita-cerita pada masa awal FLP di mana hijrah atau berubahnya seseorang ditandai dengan berubahnya penampilannya seperti kalau laki-laki menggunakan koko atau perempuan menggunakan gamis sebagai pakaian syar’i. Penulis barangkali mengikuti zaman di mana saat ini hijrahnya seorang laki-laki tidak lagi bisa dilihat pada penampilan saja, tetapi lebih kepada bagaimana akhlaknya.
Secara umum, cerita “Lelaki Angin” ini walaupun tidak menawarkan tema cerita yang baru dan terkesan mainstream, namun tetap saja bisa mengobati kerinduan pembaca akan karya-karya sastra yang dulu sering dimuat di Majalah Annida dan sejenisnya. Kegagalan penulis menghadirkan tema yang baru ini tentu saja sebagai kelemahan cerpen ini. Akan tetapi, sebagai sebuah karya yang sudah selesai, tetap saja ada yang harus diapresiasi dari karya ini. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post