Riwayat Asap
Cerpen: Dodi Saputra
Dalam pagi teramat menggigil ini, suara kawanan jangkrik masih terdengar di sudut-sudut rumah. Pepohonan masih tampak gemerlap di luar sana. Sebuah lampu minyak menyala dari salah satu rumah. Usai melipat sajadah, Mandeh menuruni tangga menuju dapur bersama lampu minyak itu. Ya, perempuan itu mengenakan kain sarung dan penutup kepala yang dibelit. Sebatang korek api kayu digesekkan ke sisi kotaknya. Sedikit minyak tanah dituangkan pada sabut dan kayu-kayu. Perlahan-lahan api menjalar di sabut kelapa dan kayu kering lain. Kayu-kayu kering pun disilangkan di tungku itu. Asap mulai menari-nari hingga ke atap rumbia. Inilah tungku yang saban pagi menghangatkan pagi.
Tungku ini menyimpan banyak cerita. Ia dibuat Mandeh dari tiga buah batu serupa. Melekatkannya dengan abu. Entah bagaimana batu-batu itu bisa dibentuk serapi itu. Sampai-sampai kuali besar-buat rendang pesanan kenduri tetap kokoh bertengger di atasnya. Aroma rendang dari kuali itu membangunkan anaknya. Ya, pintu kamar Malin berbunyi meringkik. Itulah pertanda penghuninya hendak keluar kamar. Anak itu menuruni anak tangga pula. Matanya menangkap Mandeh yang meniup-niup semprong ke tungku. Ia berjalan terseok-seok. Matanya masih setengah terbuka. Badannya oleng, kanan dan kiri menuju sumur. Gemercik air Malin turut mengisi pagi. Ia kembali ke kamar dan mengambil sajadah. Mandeh sudah hapal betul perihal anaknya saban pagi.
Di dapur, Mandeh masih memasuk-masukkan kayu kering ke tungku. Kali ini api mulai tenang. Mandeh mengaduk-aduk masakan di dalam wajan besar itu. Aroma rendang kian beterbangan, sebagian masuk ke hidung Malin. Entah apa yang terjadi. Tetapi kelihatan ia tetap pada pandangannya ke sajadah itu. Ya, Mak sudah berulang-ulang berkata. Tentang aroma rendang yang tak bisa dielakkan. Termasuk sewaktu menggelar sajadah. Agar Malin tetap berpegang pada bacaan hingga selesai. Sebab jika tidak, rendang bisa-bisa menjelma menjadi setan yang mengaduk-aduk kepalanya.
***
Malin menuruni tangga lagi. Ia mengambil sebuah sabut kelapa di tumpukan sebelah tungku. Ia duduk di sebelah kanan Mandeh. Matanya yang masih sembab menatap api yang perlahan-lahan memakan kayu bakar. Sesekali, ia melihat rendang yang menggelegak-gelegak dengan riangnya. Ia juga menatap Mandeh yang kembali mengaduk-aduk wajan.
“Mandeh, Malin mimpi.”
“Mimpi apa, Nak?” balas Mandeh dengan tangan memasukkan kayu bakar.
“Mandeh memasak rendang untuk orang sekampung!” Mata Malin lebih lebar kali ini.
“Ada-ada saja mimpimu, Nak.” Mandeh tersenyum simpul.
“Tapi, mengapa mereka berbaju serba hitam?”
“Ah, sudahlah, Nak. Lebih baik keluarkan kerbaumu dan lekas mandi.”
“Ya, Mandeh.”
Ini bukan yang pertama mereka duduk di depan tungku itu. Bila ingin tahu usia duduk mereka, tak cukup sepuluh jari ini menghitung masanya. Malin melangkah ke kandang kerbau di belakang rumah. Sebuah kandang titipan Ayahnya lima tahun silam. Kayunya yang dipenuhi sarang kumbang itu cukup buat menopang atap. Satu induk kerbau dan anaknya beralih pandang pada tuannya. Malin membawakan seember air di tangan kanannya. Hari ini memang beda; kerbau yang tak tak mau mendekat seperti biasanya, juga mimpi yang berbeda.
Malin berangkat ke madrasah. Langkahnya berhenti di jembatan yang sungainya mengalir deras. Ia menoleh ke belakang. Ya, tepat di rumahnya sendiri. Di mana Mandeh menyiapkan bungkusan-bungkusan rendang pesanan. Asap dari dapur itu menjuang hingga ke langit. Sebagian asap melebar di bawa semilir angin pagi ke rumah-rumah tetangga. Malin masih menyimpan mimpinya semalam.
***
Siti, guru madrasah menceritakan kisah seorang anak yang sekarat. Nyawanya sudah di tenggorokan, tetapi tak kunjung lepas. Ternyata ia punya perkara dengan ibunya. Sementara ibu tak mau membukakan pintu maaf. Namun, saat orang-orang memutuskan hendak membakarnya, lalu ibu tak sampai hati. Sampai jualah nyawa itu melayang ke langit.
“Bu guru, apa salah anak itu?” Tanya Malin seraya mengangkat tangannya.
“Bagus, Malin. Ia telah melukai hati ibunya.”
Mendengar jawaban itu, Malin terdiam. Pikirannya langsung terbawa pada Mandeh yang tadi pagi bersamanya di depan tungku. Hanya Mandeh tempat merebahkan kepala ke pundaknya. Mandeh pula yang ditemui saban pagi menjelang. Juga aroma dari tungku Mandeh yang menggoda-goda hidung. Dari kelas ini, Malin menuliskan sesuatu pada secarik kertas. Selain tugas dari Bu Siti, tulisan ini memang hendak dicurahkan pada Mandeh. Tetapi, mengapa berat sekali tangannya menggoreskan pensil itu. Pikirannya berlari pada kilasan peristiwa bersama Mandeh. Hingga saat ini, ia mengingat-ingat tentang kesalahan yang pernah diperbuat. Ia bahkan kesulitan menemukan kesalahan itu. mungkin merenung beberapa masa cukup mendudukkan pikirannya. Matanya terpejam dengan bibir yang bergerak-gerak. Semacam bacaan penenang diri diucapkannya lirih. Sampai jam pulang tiba, ia tak kunjung menemukan kesalahan.
***
Sebuah pagi kembali menggigil. Lagi-lagi Mandeh telah berada di depan tungku. Dari atap rumah, tampak kemelut asap keluar dan terbang ke atas. Atap yang telah menghitam oleh asap tungku. Itu pertanda tungku ini telah mengukir masa-masa silam bersama Mandeh dan Malin. Dapur Mandeh sampai hari ini masih setia berasap. Bukan hanya memasak pesanan, tapi makanan dan minuman harian juga selesai. Apa yang tak selesai bagi tungku yang setia itu. sampai-sampai sarapan pagi Malin selalu terhidang di meja makan. Ya, Mandeh menyiapkan sarapan sebelum Malin berangkat ke madrasah. Menjelang siang, Mandeh ke ladang di kaki bukit peninggalan Ayah. Ladang cabe, kol, kentang, tomat dan bawah merah. Inilah pegangan Mandeh selain bersama tungku saban pagi. Sampai menjelang siang, mereka bertemu kembali di rumah. Tak lupa tungku penghangat badan. Tinggal di kaki bukit ini membuat mereka harus menggunakan pakaian tebal. Apalagi kala malam menjelang hingga dini hari.
Mandeh pulang sebelum matahari tegak tali. Pulang tengah hari membuat Mandeh bisa bersih-bersih sebelum Zuhur tiba. Tak sekuat masa gadis dulu, Mandeh harus menjaga dirinya agar bisa berjalan. Sebab, jika terlalu dipaksakan, bisa-bisa Mandeh tak sanggup berjalan. Pesanan ibu-ibu di kampung seberang tak dapat dibuat pula. Sudah setahun ini, Mandeh hanya ke ladang sampai tengah hari. pernah juga suatu hari dicobanya sampai senja hari. Malam harinya, Malin harus memijit-mijit kaki Mandeh yang keram dan pegal.
Sembari menanti Malin pulang, Mandeh menyiapkan makan siang. Di sana sudah terhidang nasi putih, tempe goreng, dan semangkuk kecil rendang yang dibuat tadi pagi. Sementara selebihnya sudah diantar ke pemesan. Inilah masa-masa yang tak dilewatkan Mandeh. Ia menanyakan belajar Malin di madrasah tadi.
“Nak, belajar apa tadi?” Tanya Mandeh sambil menyendok nasi.
“Belajar Agama, Mandeh.” Malin teringat tugas dari Siti tadi.
“Mandeh, apa kesalahan Malin pada Mandeh?”
Mandeh tertegun sejenak. Ia heran dengan pertanyaan anaknya yang lain dari yang lain. Biasanya ia lebih suka menilai masakan Mandeh dengan jempol atau ciuman. Tapi saat ini, Malin bertanya tetang kesalahannya. Memang Malin selalu menuruti perintah Mandeh. Dalam hal kesalahan, hanya Mandeh yang tahu tentang perasaannya sendiri. Selama ini, keduanya akur-akur saja. Tetapi siapa yang tahu tentang hati. Mak harus mencari jawaban yang tepat. Ia hanya ingin membuat anaknya merasa puas dengan jawabannya. Malin juga tak ingin jawaban dibuat-buat. Tetapi jawaban apa adanya. Mandeh tersenyum simpul sambil memegang kepala anaknya.
“Ah, sudahlah, Nak. Kalaupun kau bersalah, Mandeh sudah memaafkan.”
“Benarkah? Terima kasih, Mandeh.” Mereka menyantap hidangan begitu lahap. Ya, selahap menyantap makanan di suhu yang dingin. Seolah-olah perut mereka tak kenyang-kenyang.
***
Malin mengerjakan tugas madrasah yang bertumpuk. Ada saja tugas setiap mata pelajarannya.
“Aduh…, letih otak Malin, Mandeh. Serupa kerja di ladang seharian.” Ia menggeleng-geleng seraya mengedipkan mata berulang-ulang.
“Istirahat lah sejenak, Nak. Dulu Ayahmu menyiang rumput dan merawat ladang dari pagi hingga petang. Pulang-pulang tenang saja.”
“Oh ya, besok Minggu tolong temani Mandeh di ladang. Kita panen.”
“Tidak bisa, Mandeh. Malin belajar kelompok. Malam buat tugas. Bagaimana Malin bisa membantu Mandeh?”
Mendengar itu, Mandeh hanya terdiam. Ia tak habis pikir perihal anaknya. Malin saat ini tidak seperti yang dulu lagi. Di masa yang sama, di langit sana kawanan bangau kembali ke sarangnya, kawanan kelelawar bertaburan di pepohonan. Pipit-pipit senja menembus asap sisa-sisa pembakaran. Burung srigunting mengitari rumah itu. Malin masuk ke kamar dan entah apa yang diperbuatnya. Yang Mandeh tahu, akhir-akhir ini seragam sekolah anaknya berbau rokok.
Mandeh mengangkat kayu bakar ke dekat tungku. Angin semakin mendingin saja. Duduk di tungku seraya melihat api yang meliuk-liuk agaknya lebih baik. Ya, esok ia harus memanen hasil ladang sendirian. Telah terbanyang apa kemungkinan yang aka terjadi setelah itu. di depan tungku itu, barangkali ia tengah berdoa buat meminta kekuatan kaki dan tangannya. Juga matanya yang kurang awas. Mandeh melihat jam dinding. Sudah waktunya makan. Mandeh menyiapkan makan malam. Malin menemani lagi. Tetapi sekadar makan. Tak ada obrolan sehangat dahulu, apalagi bertanya-tanya peristiwa di sekolah. Kini yang ada hanya cerita malam. Jangkrik yang terus mengerik dan kodok bersahutan saat hujan tiba.
***
Tungku Mandeh berasap lagi, asapnya menembus hidung Malin, Malin terbangun dengan matanya yang berat.
“Mengapa Mandeh masak malam-malam?”
“Mandeh kedinginan, Nak. Air termos habis.”
“Ah, tak usah masak. Pakai selimut saja, Mandeh.” Ujar Malin sambil membalikkan badan kembali ke kamar.
Malin tak melihat Mandeh yang menghidupkan tungku dengan tempurung kelapa. Sebab, kayu-kayu kering sudah habis. Yang ada hanya kayu basah di luar. Tak pernah Mandeh menghidupkan tungku selama itu. Mandeh tetap hendak membuat air panas, ia suka membuat teh panas bila datang masa dingin yang sangat.
Mandeh keluar dapur tanpa sepengetahuan anaknya. Ya, ia tak mau mengganggu istirahat anaknya di kamar. Niatnya tak bisa dibendung. Kaki dan tongkat itu keluar bersama payung di tangan kiri. Tepat di jembatan penyeberangan ke kampung sebelah. Di bawahnya, sungai yang menjadi ancaman -bagi siapa saja yang melewatinya-kala hujan. Ia harus menyeberang jembatan bambu. Baru saja hendak menaikkan kaki ke bambu itu. kakinya tergelincir dan kepalanya terantuk batu. Dari jilbab Mandeh mengalir darah segar ditetesi air hujan dan petir yang menggelegar. Inilah sebuah masa bersama Mandeh ini hanya Malin yang sanggup merawatnya. Mekipun begitu, kenangan ini harus rela berpasangan pada riwayat masa silam.
***
“Tahniah, Nak. Kalian sudah berhasil khatam hari ini.” Usai menyimak bacaan para santri, Mbah Suro memimpin doa khatam Alquran. Dalam untaian setiap bacaannya, selalu berurai air mata. Sesekali bacaannya terhenti, suaranya tersengal karena menangis tersedu-sedu. Malin dan santri lainnya tak kuasa menahan aliran bening dari sudut mata mereka. Mendengar guru terbaiknya begitu, suara isak tangis santri putri pun menyertai. Sepanjang doa itu, suasana mengharu biru di surau itu. Entah ada isyarat apa, Badrun dan preman pasar pun ikut berlinang air mata. Ya, semua warga diundang untuk perhelatan akbar itu.
Lelaki kurus berkulit gelap menyalami dan memeluk para santri putra bergiliran, dari dekat mimbar sampai ke ujung saf kanan. Farida, perempuan yang setia mendampinginya itu menyalami santri putri dari dekat mimbar hingga ke ujung saf kiri. Air mata mereka berlinang di hari paling bersejarah dalam hidup. Seharian penuh mereka melewati ujian membaca, disimak guru dan orang tua. Inilah khataman Alquran pertama kali, sejak surau itu dibangun. Ya, lewat satu dasawarsa lamanya.
Lima puluh santri diberi sertifikat baca tulis Alquran. Bukan hal yan mudah untuk membuatnya. Usai mengaji dengan ublik, terkadang juga lilin, Mbah Suro menyempatkan untuk mengurus sertifikat ke kantor Wali Nagari. Sepeda unta itu harus rela meniti pematang gelap berlampu cahaya rembulan malam. Tiga kilo perjalanan malam tak menyurutkan kayuhan sepeda menemui Angku Saleh untuk membuat selembar kertas khatam.
“Jamaah sekalian, silakan menikmati nasi tumpeng dan hidangan lainnya!” Ajak Mbah Suro seraya mempersilahkan dengan bahasa tangannya. Di depan mereka sudah terhidang sego kuning, ingkung, kulop, sambal goreng, dan buah-buahan. Tak pernah ada dalam benak Malin akan ada acara sedemikian ramai di kampungnya. Dari sekolah yang berbeda, para santri menuai hari baik itu di surau. Selama ini mereka hanya menghabiskan waktu bermain di sawah, sungai, dan ladang. Sejak kedatangan Mbah Suro di surau itu, semuanya berubah. Alhamdulillah.
“Mbah, Mbah, Sujiono itu siapa? Bukankah seharusnya di sini tanda tangan Mbah?” Malin bertanya dengan keluguannya. Tak ada yang mengetahui perihal nama itu. Bahkan Angku Saleh pun tak menyangka bahwa nama guru mengaji itu bukanlah Mbah Suro. Setelah diminta nama sesuai KTP, barulah Angku Saleh percaya tentang nama asli lelaki penghapal Alquran itu.
“Nak, itu nama asli Mbah.”
“Kenapa Mbah punya dua nama?”
“Baiklah. Nanti kalian segera tahu.”
Usai mengaji, Mbah Suro menyempatkan untuk memberikan tausyiah singkat pada para santri. Pertama, tentang perbedaan nama asli dan nama sapaan di kampung ini. Dahulu saat masih membangun, Sujiono muda kerap menghabiskan waktu di surau. Ia menyapu ruangan dan halamannya, mengelap kaca, mencuci tikar, dan menghapal Alquran. Saking seringnya orang-orang melihat pemuda yang rajin ke surau, ia dipanggil Suro.
Pernah suatu kali Mbah Suro berpesan pada mereka untuk terus salat lima waktu dan mempelajari Aquran.
“Amalkan dan ajarkan isi Alquran pada umat ini!”
“Kenapa dengan umat ini, Mbah?”
“Umat ini lemah!” ketiga santri itu makin tak mengerti ucapan gurunya.
“Apa kalian tak merasakan?”
Kali ini Mbah Suro benar-benar tak dapat bersuara lirih seperti hari biasa. Kepalanya makin penuh dengan pertanyaan yang berjejal. Lelaki paruh baya itu sempat berpikir akan kelemahan dirinya menjaga para santri dari pengaruh kemajuan zaman. Santrinya yang dahulu begitu polos dan lugu, kini lebih asyik menonton televisi dari pada belajar, mereka lebih suka keluar rumah hingga larut malam, sampai terlewat Subuh. Beberapa dari mereka berani berboncengan dengan lawan jenis di malam hari. Mereka menghabiskan waktu bersama ponsel pintar mereka, ketimbang membaca Alquran.
“Maafkan Mbah, Nak. Mbah tidak bisa menjaga saudara-saudaramu itu.”
“Hanya kalian bertiga harapan Mbah untuk Surau ini.”
“Insyaallah, Mbah.”
***
Mbah Suro menitikkan air mata saat menyimak tilawah Malin, Suriah, dan Suli. Tiga santri itulah yang masih bertahan sampai malam ini. Mereka sempat tertegun melihat guru mengajinya bertingkah tak seperti biasanya. Lelaki lima puluh tahun berjenggot putih panjang itu sempat tersedu-sedu. Sesekali ia mengusapkan sorban ke sudut matanya. Rambut panjangnya sebahu masih tertata rapi. Kopiah hitamnya pun perlahan mulai tertunduk, ketika suara santrinya sampai di akhir surah Fatihah. Ketiga santri itu berpandangan heran satu sama lain.
“Mbah, Mbah, ado apo?” Malin mencoba menepuk-nepuk punggung tangan gurunya.
“Sampai kapan kalian akan terus mengaji?” Pertanyaan Mbah Suro baru saja mengejutkan mereka. Seketika para santri tertegun dan menundukkan kepala pula. Dalam benak Malin, ia berhasrat menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi ia tak mungkin menjawab, sebab Suri dan Suli dianggap lebih pantas menjawabnya. Detik waktu makin berlalu, belum ada jawaban sama sekali. Dua santri putri itu merasa segan pula menjawab, sebab Malin dinilai lebih bagus dalam pemikiran agama dan ilmu tajwidnya.
“Mengapa kalian diam?” Jawab!” suara Mbah Suro kali ini lebih keras. Matanya semakin terbuka lebar. Wajahnya menghadap santrinya satu per satu. Malin merasa waktu kian terbuang sia-sia. Ia memberanikan mengangkat kedua bibir dan mengayunkan lidahnya.
“Maaf, Mbah. Selama para santri masih bernapas.”
“Yakin? Di mana pun? Kapan pun?”
“Ya, insyaallah, Mbah.” Jawaban Malin membuat Mbah Suro tersenyum simpul. Suli dan Suri yang tadi bersimpuh, kini duduk bersila sambil berpegangan tangan. Malin sendiri masih berpetualang pada ingatan saat permulaan mengaji di surau ini. Pikirannya berlari dari pertanyaan satu ke pertanyaan lain. Sudah berapa lama mengaji? Kenapa hanya tinggal bertiga? Apa yang terjadi saat Mbah Suro tak ada lagi? Malin hanya bisa memejamkan mata. Mulutnya tak henti-hentinya berzikir. Astaghfirullah.
***
Sejak Mbah Suro dan keluarganya datang dari Jawa Timur, surau Pondok kelihatan sumringah. Anak-anak Kampung Baru berhenti bermain di pelataran balai desa ketika azan Ashar berkumandang. Mereka yang bermain di sekitar gundukan jerami, juga bergegas meniti pematang sawah menuju sungai Sianok untuk berwudhu. Sebagian lagi adalah mereka yang tinggal di kampung sebelah. Ada yang bersepeda dan berjalan kaki. Mereka berduyun-duyun menyebarangi sungai di atas jembatan gantung. Di tangan mereka sudah ada jinjingan tas anyaman berisi Alquran dan alat tulis. Tak lupa mereka membawa plastik bekas bungkusan kerupuk sebagai pengganti jas hujan.
Sudah enam tahun mereka mengaji di surau hingga saat ini, satu demi satu santri makin berkurang. Seingat Malin, dulu di surau beratap rumbia itu penuh sesak. Ya, santrinya sampai seratus orang. Jangankan mengaji sore atau sepulang sekolah, mengaji malam saja sampai jam Sembilan. Dari Maghrib sampai Isya sekali pun masih kelihatan antrean panjang anak-anak kampung ini ingin disimak. Mereka sungguh seperti mendapat pelita dalam malam panjang. Kehadiran mereka juga menjawab pertanyaan dalam orang tua di sana. Mereka tak bisa membaca huruf-huruf hijaiyah. Jangankan huruf arab, huruf A sampai Z saja para santri susah merangkai. Kecuali bagi bagi mereka yang tamat sekolah dasar.
Mbah Suro dan istrinya sukarela saja menghadapi anak-anak desa bermacam tingkah itu. Entah bagaimana mereka bisa bertahan hidup. Sampai pada suatu kali ada orang berpakaian serba putih datang padanya malam itu. Biasanya orang tua santri hanya datang siang hari untuk menanyakan kemampuan mengaji anaknya. Tetapi kali ini benar-benar kedatangan yang mengejutkan.
Mulanya, terdengar suara ketukan pintu dan salam dari pintu luar. Agaknya suara lelaki tua sebaya dengan Mbah Suro. Ketika dibuka, ternyata dihadapannya adalah seorang berwajah amat terang, sampai mata Mbah Suro tak kuasa menatapnya. Mata itu hanya bisa berpaling dan ditutup telapan tangan. Dalam posisi menyamping itu, tamu tersebut sempat bertanya-tanya.
“Siapa kau?” tanya Mbah Suro seiring detak jantung yang kian berdebar kencang.
“Jangan takut! Aku hamba Allah.” Suara berat itu terdengar merdu dan tenang.
“Jangan ganggu para santri! Kau mau apa datang ke sini?”
“Mbah, senang tinggal di surau ini?”
“Alhamdulillah. Para santri senang tinggal di surau ini.” Selepas pertanyaan itu, sosok aneh itu meninggal mereka dengan salam dan sinar putih yang perlahan menjauh hingga hilang ke ladang sawit. Pertanyaan berikutnya datang esok hari. Datang pulalah seorang wali. Kali ini berwujud manusia asli. Tamu itu diajak duduk di beranda rumah dan obrolan pun berlangsung. Farida yang telah berjilbab rapi, bergegas keluar kamar dan membuatkan kopi.
Begitulah perempuan sabar itu melayani setiap tamu yang silaturahmi ke ruangan depan surau. Ada-ada saja orang yang mau singgah, padahal hanya ruangan pas untuk tidur, masak dan mandi. Ruangan tengah disekat dengan kain tirai pembatas, agar tidak tampak kasur lihap dan bantal-bantal oleh tamu. Lalu, ruang belakang di sekat pula menjadi tempat masak dan kamar mandi. Di atasnya hanya setengah bagian loteng tertutup dari triplek. Selebihnya seng berkarat yang terkadang bocor saat hujan lebat. Lubang ventilasinya terbuka lebar, sehingga tatkala malam, banyak serangga bersayap masuk ke dalam kamarnya. Demikian mereka hidup di ruangan depan surau.
Tiba pula pertanyaan di Jumat senja itu. Seorang berpakaian seperti pejabat baru saja keluar dari mobil sedan mewahnya. Dalam perjalananya mendekati surau, ia melepaskan kaca mata dan jas hitamnya. Kini hanya seragam kantor dan dasi biru yang mesaih menggantung di lehernya. Ia masuk saja ke ruangan itu tanpa salam.
“Ke mana anak-anak mengaji, Mbah? Padahal tahun lalu ramai sekali.” Selepas pertanyaan itu, Mbah Suro dan Farida berpandangan sesaat. Mereka hanya menjawab pelan seraya menundukkan kepala.
“Bacalah salam kalau datang ke surau ini, Pak.”
“Maaf saya lupa. Oh ya, berapa banyak santri, Mbah?”
“Tiga.”
“Tiga apa, Mbah? Tiga puluh atau tiga apa?”
“Satu putra, dua putri.”
“Sungguh?” Berkali-kali orang aneh itu menimpali pertanyaan. Namun Mbah Suro tetap meladeni tamunya. Mereka juga sempat bertanya-tanya perihal kejadian janggal itu.
***
Libur puasa ini Malin memutuskan pulang ke kampung halaman. Ini adalah tahun ke sepuluh ia terpisah dari suara jangkrik saat malam di kampung. Tahun ini pula yang membuatnya rindu seperti bangau-bangau yang pulang ke kubangan awal. Selama perjalanan, Malin merasakan banyak keanehan pada dirinya. Ia heran pada uang yang ada di dompetnya. Perasaan uang itu tidak pernah habis-habisnya. Ah, barangkali karena memang Allah sayang padanya. Ya, ia sering mentraktir saudaranya di kampus yang tidak punya uang. Ia juga tidak pelit ketika orang meminjam uang padanya. Usaha menjual jam tangan di kota cukup membuahkan hasil untuk dipersembahkan kepada Amak.
Jalan menuju surau kini sudah beraspal. Sayangnya, surau itu kini telah ramai. Ramai oleh rerumputan yang menjalar riang, ramai oleh suara serangga bersayap, dan kelam sekelam sarang kelelawar yang hinggap di lotengnya. Malin yang datang bersama tas ransel besarnya terduduk lemas. Dari sebelah kanan dan kiri telinganya tiba-tiba ada suara tanpa terlihat siapa orangnya.
“Dahulu waktu wa`ang masih di siko, suara azan terus terdengar sampai ke kedai Mbah Suminah. Kini, sempatkanlah menilik surau semak itu!”
Apa maksud Inyiak? Surau semak?”
“Tunggu! Uni Suli dan Mbak Suri ke mana?
“Suli dinikahi pria bertato. Saat ini ia mendekam di jeruji besi. Suri Pengedar ganja. Mbak Suri tak selesai sekolahnya karena terlanjur hamil. Tinggal Mbah Suro yang sedang terbaring di halaman surau itu.
Selepas kepergian Mbah Suro, warga tak lagi menaruh pandang pada surau. Siangnya mereka ke ladang, malamnya mereka berkerumun di kedai kopi lapau panjang. Bermain domino, kartu dan ceki. Di meja sudut kerumunan pemain ceki juga ada botol minuman beralkohol. Asap rokok mengepul memenuhi ruangan kedai. Sebagian lagi menari-nari membubung sampai ke atap. Lenyap.
Demikian sepasang masa silam terus dirawat sepanjang usianya. Malin harus memasak sendiri. Setiap menatap tungku itu. Ia teringat betapa memasak tak mudah. Perjuangan malam hari menghidupkan api terakhir kali. Air matanya terus menetes dan api di tungku tak hidup lagi. Juga pada riwayat manis bersama Mbah Suro. Hanya isak tangis mengisi malam-malamnya. Ia mengulang kata-kata yang menjadi penyesalan sepanjang masa. Kini hanya ada senandung rindu. Oh, rindu di depan tungku, juga surau masa silam.
“Mandeh, Mbah Suro, maafkan Malin.”
*(Pasaman, 2020)
Terjemahan kata
Amak = panggilan untuk ibu
Angku = kakek
Ublik = lampu penerang dari minyak tanah
Ado = ada
Apo = apa
Ingkung = ayam panggang
Kulop = rebusan daun singkong bertabur kelapa
Sego = nasi
Siko = sini
Biodata Penulis
Dodi Saputra, S.Pd. merupakan penulis kelahiran Pasaman di Perumahan Manise No. 7, Kec. Rao, Kab. Pasaman, Sumatra Barat. Sekarang menjadi guru di MAN IC Pariaman. WhatsApp. : 085265991790. Email dodimujahid@gmail.com. Instagram : dodi_saputra_berkarya.
Sastra sebagai Potret Sosial
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen UPN Veteran Jakarta dan DPP FLP Wilayah Sumatera Barat)
Karya sastra tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari pergolakan batin, perenungan, dan hasil buah pikiran pengarangnya. Karya sastra juga merupakan respon pengarang atas kehidupan sosial yang dihadapinya. Tidak salah jika disebutkan karya sastra merupakan rekaman atas gejala sosial yang terjadi dalam dunia realitas manusia namun dituliskan dengan imajinasi oleh pengarangnya. Hal di atas dikokohkan oleh pendapat beberapa ahli yang pada dasarnya menjelaskan bahwa karya sastra adalah imajinasi dan refleksi pengarang terhadap gejala sosial masyarakatnya.
Zuniar Kamaluddin Mabruri dan Suminto A. Sayuti dalam tulisan mereka yang berjudul “Potret Sosial dalam Sepuluh Sajak Remy Sylado dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di SMA”, yang dimuat dalam Jurnal LingTera Volume 2 – Nomor 1, Mei 2015 menyampaikan bahwa karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang dan menghasilkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada disekitarnya.
]
Lebih jauh Mabruri dan Sayuti (2015) menegaskan bahwa sastra tidak saja lahir karena fenomena kehidupan lugas, tetapi juga dari kesadaran penulisnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dan inventif juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan dan bertendensi. Sementara itu, Wellek dan Warren (1990) menyatakan bahwa “sastra menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia”.
Sejalan dengan pendapat di atas, Teeuw (1984) memberikan penegasan bahwa sastrawan memberi makna lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asal tetap dapat dipahami oleh pembaca dalam rangka konvensi yang tersedia baginya: konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra. Dunia yang diciptakannya adalah dunia alternatif dan alternatif terhadap kenyataan hanya mungkin kita bayangkan berdasarkan pengetahuan kenyataan itu sendiri.
Luxemburg, Bal, dan Westeijn, 1992, juga menyampaikan bahwa sastra merupakan perwujudan gejala sosi-al. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia merupakan warga masyarakat tersebut.
Kreatika edisi minggu ini mengulas sebuah cerpen yang berjudul “Riwayat Asap” karya Dodi Saputra yang merupakan seorang guru dan juga anggota FLP Wilayah Sumatera Barat. Dodi menulis cerpen “Riwayat Asap” dengan cerita yang pada awalnya agak membosankan. Cerita dibuka dengan kisah tokoh “Malin” yang menjadi tokoh utama dalam cerita itu pada masa kecilnya. Malin kecil hidup bersama Mandehnya di sebuah kampung transmigrasi di Sumatera Barat. Walaupun tidak spesifik dan tidak menyebutkan secara nyata, mungkin saja penulis menuliskan cerita dengan latar di kampung transmigrasi yang bernama Kampung Baru di Pasaman. Latar cerita ini dikuatkan dengan percampuran adat dan budaya antara adat Minangkabau dan adat Jawa seperti yang dituliskan penulis dalam ceritanya.
Minangkabau hadir dalam cerita ini melalui ungkapan-ungkapan khas Minangkabau seperti nama desa yang disebut dengan Nagari. Selain itu, Kepala Desa disebut dengan Wali Nagari. Hal ini tentu saja sudah menyebutkan hal spesifik bahwa daerah dalam cerita itu adanya di Sumatera Barat. Sementar itu, adat Jawa hadir dari nama-nama tokoh seperti Mbah Suro atau Sujiono, Mbak Suli dan nama-nama atau panggilan lain khas Jawa.
Secara umum, dalam kerangka besar cerita, penulis menceritakan perubahan zaman yang terjadi pada sebuah kampung transmigrasi itu. Dulu pada waktu tokoh Malin kecil itu, dia akrab dengan suasana pedesaan yang masih murni. Anak-anak mengaji dan surau ramai oleh aktivitas keagamaan. Ketika cerita bergerak pada masa dewasa tokoh Malin (sekira 10 tahun kemudian) di mana Malin sudah bekerja dan merantau ke kota, ketika pulang kampung Malin menyaksikan hal yang berubah di kampung halamannya. Perubahan itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Jalan menuju surau kini sudah beraspal. Sayangnya, surau itu kini telah ramai. Ramai oleh rerumputan yang menjalar riang, ramai oleh suara serangga bersayap, dan kelam sekelam sarang kelelawar yang hinggap di lotengnya. Malin yang datang bersama tas ransel besarnya terduduk lemas. Dari sebelah kanan dan kiri telinganya tiba-tiba ada suara tanpa terlihat siapa orangnya.” (Saputra, 2020).
Kutipan di atas menunjukkan dengan sarkastis bahwa surau yang dulu ramai sebagai tempat pendidikan anak-anak dan juga sebagai pusat keagamaan kini telah sepi ditinggalkan masyarakatnya. Masyarakatnya tidak lagi peduli dengan surau dan aktivitasnya, mereka sudah terseret dalam suasana moderen yang salah arti. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
“Suli dinikahi pria bertato. Saat ini, ia mendekam di jeruji besi. Suri Pengedar ganja. Mbak Suri tak selesai sekolahnya karena terlanjur hamil. Tinggal Mbah Suro yang sedang terbaring di halaman surau itu.” (Saputra, 2020).
Kutipan percakapan singkat tokoh Malin yang baru saja pulang merantau dengan salah satu tetua kampung itu mendeskripsikan bagaimana perubahan terjadi. Mbah Suro yang merupakan tokoh agama dulu, kini telah tiada, terbaring di pusaranya di halaman surau yang sudah semak itu. Suli, Suri, teman mengaji Malin dulu, ternyata mereka terjerat pahit dan kelamnya hidup karena kebodohan mereka. Mereka yang tidak sempat menamatkan sekolah mereka akhirnya terjerat oleh kerasnya hidup sebagai pengedar narkoba. Sekarang mereka mendekam di penjara.
Pesan moral cerita ini sangat jelas. Pengarang ingin mengatakan bahwa masyarakat telah hanyut dalam kehidupan yang tercerabut dari budaya mereka. Agama tidak lagi menjadi hal penting lagi dalam kehidupan masyarakat yang sedang berlomba-lomba mencari simbol-simbol kesuksesan hidup seperti harta dan kekayaan. Perlombaan mendapatkan harta dan kekayaan itu tidak dilengkapi dengan pengamalan nilai-nilai agama mereka.
Selain itu, pesan moral yang kuat, keunggulan cerita ini adalah penulis mampu mendeskripsikan bagaimana suasana akulturasi di daerah transmigarasi di Minangkabau. Hadirnya simbol-simbol budaya Minangkabau dan budaya Jawa menghadirkan kata-kata baru yang merupakan efek dari bauran dua budaya ini membuka mata pembaca bahwa Indonesia ini ternyata memang kaya dengan adat dan budaya yang ada. Sinergi antar budaya ini menghadirkan budaya-budaya baru yang membuat semakin kayanya budaya Indonesia. Akulturasi dua budaya ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Dahulu waktu wa`ang masih di siko, suara azan terus terdengar sampai ke kedai Mbah Suminah. Kini, sempatkanlah menilik surau semak itu!”
“Apa maksud Inyiak? Surau semak?”
“Tunggu! Uni Suli dan Mbak Suri ke mana? (Saputra, 2020).
Secara umum, cerita yang ditulis Dodi Saputra ini menarik walaupun seperti dikemukakan di awal tulisan bahwa cerpen ini dibuka dengan kisah panjang yang seolah saling terpisah. Kisah Malin dengan Mandehnya, perubahan hidup Malin yang sudah tidak patuh pada Mandeh, kisah-kisah masa kecil di surau bersama Mbah Suro, kisah masa kecil Khatam Alquran dan sebagainya. Kemudian, cerita melompat pada masa dewasa Malin yang sudah sukses hidup di kota sebagai pedagang. Ketika ia pulang ke kampung halamannya, Malin disuguhkan kisah tragis penduduk dan teman-temannya yang sudah meninggalkan surau mereka. Surau itu semak dan tidak digunakan lagi karena Mbah Suro sudah meninggal. Selain itu tentunya karena tidak ada penerus Mbah Suro yang menghidupkan tradisi pendidikan keagamaan di Surau.
Selain hal di atas, cacat kecil dari cerita ini adalah tidak konsistennya penulis yang menuliskan panggilan untuk tokoh ibu yang disebut dengan Mandeh. Kadang penulis menyebut tokoh ibu itu dengan Mak yang membuat pembaca bingung seolah membaca ada dua tokoh dalam satu tokoh yang sama (dalam cerita yang dimuat ini, editor telah menyeragamkan penyebutan nama ibu dengan Mandeh). (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post